Dua Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

"Aku benar-benar minta maaf karena kamu harus mendengar aku mengatakan hal yang segitu buruknya tentang kamu kepada teman-temanku dulu," Atharwa memulai tanpa basa-basi setelah pelayan yang mencatat pesanan kami pergi. "Aku benar-benar melakukan itu untuk menghindari persaingan dengan Remmy. Itu masa-masa naif, dan aku merasa akan sulit mendapatkan hati kamu kalau harus berhadapan dengan Remmy."

Ini bukan percakapan yang nyaman. "Kamu sudah pernah bilang itu." Aku benar-benar tidak ingin membicarakan ini lagi.

"Iya, aku tahu. Tapi aku belum mendengar kamu mengatakan sudah memaafkan aku. Kasih maaf buat aku memang bukan perkara gampang. Aku juga tahu itu. Jadi kalau ada sesuatu yang kamu ingin aku lakukan untuk mendapatkan maaf kamu, tolong katakan saja."

Aku tidak ingin Atharwa melakukan apa-apa. Meskipun merasa dia memang keterlaluan dengan mengolok-olok kekuranganku secara fisik, aku bisa mengerti setelah tahu alasannya. Hanya saja, aku bukan orang yang gampang mengeluarkan isi hati dan pikiran dengan runut secara verbal. "Saya hanya nggak mau bicara soal itu lagi."

"Ini memang bukan hal yang nyaman untuk diomongin, Kar. Tapi aku harus melakukannya supaya kamu beneran yakin kalau aku nggak pernah bermaksud melukai perasaan kamu. Dulu, sekarang, dan nanti." Atharwa meraih sebelah tanganku di atas meja dan menggenggamnya. Dia menatapku tepat di manik mata. "Kalau kamu dulu memilih mengatakan melihat dan mendengar apa yang aku lakukan itu, kesalahpahaman seperti itu nggak akan terjadi. Aku nggak akan penasaran tentang apa yang membuatmu menjauh, dan kamu nggak perlu menyimpan sakit hati segitu lamanya. Mungkin juga kita sudah dekat dari dulu."

Entah mengapa aku merasa gerah ditatap seperti itu. Aku sungguh ingin melepaskan genggaman tangan Atharwa, tetapi aku tahu itu tidak akan mudah karena walaupun tidak mencengkeram, genggamannya erat.

"Maaf, kesannya aku jadi menyalahkanmu, padahal itu sepenuhnya kesalahanku. Kalau aku memilih jujur kepadamu, ketimbang fokus menyingkirkan orang lain yang juga kelihatan tertarik sama kamu, mungkin kita nggak akan kehilangan waktu sebanyak ini."

"Saya...." Aku kehilangan kata-kata. Aku mulai meraba ke mana Atharwa akan membawa percakapan ini dan hal itu membuatku semakin gelisah. Kursiku yang tadinya nyaman-nyaman saja, busanya mendadak terasa terlalu tipis.

"Aku nggak mau membuang waktu terlalu banyak kali ini karena nggak ingin kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya seperti dulu. Jadi meskipun aku sama sekali nggak yakin dengan respons kamu, aku tetap akan mengatakan ini." Atharwa memberi jeda sesaat sebelum melanjutkan, "Aku suka kamu, Kara. Aku pernah suka banget sama kamu dulu, meskipun kita sudah berpisah lama, dan ada periode aku sudah melepaskan masa lalu, tapi bertemu kembali seperti ini kembali membangkitkan perasaan itu. Hanya saja, ini nggak terasa seperti cinta monyet seperti dulu lagi. Ini cinta yang jauh lebih dewasa."

Saat terdiam, aku tahu Atharwa memberiku waktu untuk merespons, tetapi aku tidak tahu harus mengatakan apa. Pikiranku rasanya kosong.

"Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkannya. Aku nggak akan memaksa kamu untuk menjawabnya sekarang. Prioritasku hanyalah membuat kamu tahu apa yang aku rasakan. Aku hanya ingin kamu memberi kesempatan padaku untuk membuktikan kalau aku sungguh-sungguh dengan apa yang aku katakan ini. Jangan menghindariku."

Tanganku yang terasa dingin bergerak-gerak gelisah dalam genggaman Atharwa. Dia tidak terlihat hendak melepaskannya. Tidak memaksa bagaimana kalau seperti ini? Memaksa bukan kata yang tepat. Ini malah mengintimidasi!

"Aku nggak mungkin main-main dengan apa yang aku katakan. Saya sudah bicara dengan Kakak kamu, dan ancamannya nggak tanggung-tanggung."

"Genta mengancam kamu?" Aku sudah menduga hal seperti itu akan terjadi.

Atharwa tersenyum. "Sebenarnya nggak seperti itu. Bukan mengancam, itu hanya obrolan sesama laki-laki. Aku juga mungkin akan melakukannya kalau punya adik perempuan. Kakak kamu sayang banget sama kamu. Aku yakin kamu pasti nggak pernah cerita kalau aku pernah bikin kamu sakit hati di masa lalu, karena kalau iya, dia nggak mungkin membiarkan aku dekat-dekat kamu."

Aku tidak mungkin menceritakan semua hal yang melukai perasaanku kepada Genta dan Mama, karena reaksi mereka akan berbalik membuatku panik sendiri. Di mata Papa-Mama dan Genta, aku adalah putri yang harus dijaga sebaik-baiknya. Aku tidak akan membuat mereka marah dan khawatir seandainya tahu bagaimana sulitnya hari-hari yang kulalui di masa sekolah dulu.

"Aku janji nggak akan bikin kamu kecewa lagi seandainya kamu memberi kesempatan. Aku belajar banyak dari pengalaman. Aku...."

Aku menarik napas lega saat pelayan yang mengantarkan makanan kami datang. Atharwa benar, aku harus benar-benar memikirkan soal ini sebelum melanjutkan pembicaraan.

**

Rasanya aku belum lama tertidur saat kembali terjaga karena gedoran di pintu kamar. Aku mengintip jam di atas nakas. Jam setengah 2! Jingga benar-benar minta dikirim ke Gurun Gobi. Jangan bilang dia membangunkan aku karena kelaparan dan ingin menjarah camilan di kulkasku.

Sebenarnya aku ingin menarik selimut lagi, berpura-pura tuli, tetapi gedorannya kini diikuti teriakan. Aku terpaksa mengalah. Aku hanya perlu membuka pintu dan membiarkannya masuk untuk mengambil apa pun yang dia inginkan, sementara aku melanjutkan tidur.

"Lelet amat sih!" omel Jingga sebelum aku membuka mulut mendampratnya. Aku terpaku saat melihat siapa yang sementara dipapahnya. "Kurus-kurus gini, dia ternyata berat juga." Jingga merangsek masuk dan membaringkan orang yang dibawanya itu di atas ranjangku.

"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanyaku protes.

Jingga balik menatapku tidak mengerti. "Ya, karena dia sepupu lo. Tadi sopir taksinya ngantar dia ke sini, jadi dia pasti pengin ketemu lo. Masa mau ketemu gue sih?"

Aku mendesah. "Pretty nggak tahu gue kos di mana, Jingga! Bagaimana ceritanya dia tiba-tiba nyasar di sini?"

Jingga langsung cengengesan. "Tadi dia nelpon gue dan nanyain alamat tempat kos kita, Kar."

Aku nyaris melotot. "Dan lo kasih?"

"Ya ampun, Kara, tentu saja gue kasih lah. Yang minta Pretty Puspa Citra gitu lho. Gue malah masih takjub dari mana dia dapat nomor gue."

Mendapatkan nomor Jingga bukanlah masalah untuk Pretty. Aku hanya sama sekali tidak menduga dia akan muncul di tempat kosku, apalagi di waktu seperti ini.

"Gue ngantuk banget, Kar. Lo urusin deh sepupu lo itu. Dia kayaknya mabuk berat deh." Jingga mampir di depan kulkas dan mengambil sepotong cokelat di situ sebelum menuju pintu. "Gue bisa kurus kalau sering kaget karena terbangun tengah malam kayak gini. Gue nggak minat punya badan kayak lo berdua kalau harus tersiksa. Makan cokelat bikin gue bisa tenang lagi." Dia menutup pintu dari luar.

Aku mengembuskan napas lewat mulut dan mendekat ke arah ranjang. Pretty tampaknya benar-benar mabuk. Bau alkohol menguar dan mengalahkan wangi parfum yang dipakainya. Sebelah tangannya mengurut-ngurut dahi.

Aku tidak suka melihatnya berada di kamarku, tetapi tidak mungkin juga mengusirnya dalam keadaan seperti ini. Kalau dia kenapa-kenapa di luar sana, aku juga yang nanti akan merasa bersalah.

"Minum," suara Pretty terdengar tidak jelas. "Ambilin gue minum, gue butuh minum!"

Aku mengarahkan bola mata ke atas, tetapi membuka kulkas untuk mengambil botol air mineral dan mengulurkannya kepada Pretty setelah membuka tutupnya.

Pretty bangkit dan duduk di tepi ranjang, masih mengurut dahi. Dia kemudian meneguk air mineral itu. "Wine keparat. Katanya nggak bikin mabuk."

Setetes memang nggak akan bikin mabuk. Dan aku yakin Pretty nggak hanya minum setetes dengan keadaan seperti itu. Aku hanya malas melayani dia bicara.

"Gue benci sama lo. Benci banget!"

"Gue tahu," aku terpancing untuk menjawab. "Saking bencinya, lo sampai nyasar ke kos-kosan gue saat mabuk."

"Lo nggak pernah tahu, kan, kenapa gue benci sama lo?" Pretty terkikik. Dia menunjukku dengan tangan yang masih memegang botol air. "Lo bukan nggak pernah tahu, tapi memang nggak mau tahu. Lo tahu kenapa? Karena lo orang paling nggak berperasaan yang pernah gue kenal seumur hidup gue. Dasar perempuan berdarah dingin!"

**

Iya, tahu, motongnya nanggung banget. hehehe... Boleh minta vote dan komen yang banyak untuk part selanjutnya? Oh ya, follow instagram @titisanaria untuk info tulisan dan novel terbit, ya. Tengkiu...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro