Lima Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...

**

Sudah hampir pukul 7 saat aku beranjak dari kubikel. Sebenarnya tidak ada pekerjaan penting yang harus aku kebut. Hanya saja, Genta tertahan di jalan sehingga dia terlambat menjemputku untuk makan malam. Kami akan bertemu Mama-Papa di restoran. Makan di luar adalah ritual yang wajib dilakukan saat salah seorang anggota keluarga kami berulang tahun. Kami melakukannya sejak aku dan Genta merasa sudah terlalu tua untuk merayakan ulang tahun dengan balon dan badut.

Ini bukan hari yang menyenangkan setelah makan siang bersama Atharwa dan Remmy tadi. Aku merasa seperti orang bodoh yang berada di tempat yang salah dan waktu yang tidak tepat. Remmy dengan gombalan garing yang membuat telingaku gatal, dan Atharwa sok perhatian dengan menanyakan hal-hal remeh seolah dia benar-benar tertarik ingin tahu, padahal aku yakin dia melakukannya hanya untuk basa-basi. Aku tidak akan tertipu dua kali dengan sikap palsunya. Aku sudah mengalaminya saat masih naif di usia belasan. Tolol sekali kalau aku kembali jatuh pada tipu daya yang sama.

Kesialanku rupanya belum berakhir padahal hari sudah malam. Aku sedang berjalan menuju pintu keluar, saat ruangan Atharwa terbuka dan dia keluar dari sana. Tadinya aku mengira tinggal aku sendiri yang tertahan di kantor.

Aku berniat menghindar, tetapi sudah terlambat. Atharwa sudah melihatku.

"Baru mau pulang juga?" Pertanyaan bodoh. Kalau aku sudah pulang dari tadi, aku tidak akan berada di sini sekarang. Atharwa berdiri di depan ruangannya, seperti menungguku menghampirinya. Aku memang harus melewatinya untuk keluar.

Aku mendesah. Kali ini aku tidak mendramatisir keadaan lagi. Ini memang bukan hariku. "Iya, Pak." Aku melanjutkan langkah menuju pintu dan membiarkan Atharwa mengiringiku.

"Saya sudah bilang jangan panggil Bapak. Aneh saja. Kita kan teman."

Apakah dia tidak bosan mengulang pernyataan yang sama? Aku yang dengar saja bosan. Aku hanya mengedik, tidak menjawab.

"Nggak usah pesan taksi, kamu ikut saya saja."

Ya, seolah itu akan membuatku bahagia. "Saya dijemput, Pak. Ada acara."

"Kamu beneran ada acara? Saya pikir kamu bilang begitu tadi hanya untuk menolak ajakan Remmy saja."

Tentu saja dia berpikir seperti itu. Dia yakin tidak akan ada laki-laki yang tertarik pada tumpukan tulang seperti aku. Postur yang sama sekali tidak menjanjikan kehangatan saat dipeluk. Perempuan yang harus diperlakukan hati-hati, karena pelukan bisa saja mematahkan tulang-tulang yang menyusun tubuhnya. Bisa-bisa tulang itu berantakan seperti menara lego yang tidak sengaja tersentuh dan roboh, berceceran tak berbentuk di lantai.

Aku terus melangkah menuju lift dan menekan tombol, bersikap seolah tidak mendengar Atharwa bicara.

"Saya masih terus berusaha mengingat-ingat kesalahan yang dulu mungkin saja pernah saya buat sama kamu, sampai kamu bersikap seolah-olah kita nggak pernah kenal dan dekat dulu."

"Kita kenal dulu," aku memutuskan untuk menjawab kali ini, "tapi nggak dekat. Bapak nggak mungkin mau dekat-dekat dengan orang seperti saya." Aku mengatakan itu sambil menatapnya lekat-lekat, meskipun tanpa emosi.

Atharwa mengernyit. "Maksud kamu apa? Mengapa saya nggak mungkin dekat-dekat dengan orang seperti kamu? Memangnya kamu kenapa?"

Aku mengembuskan napas melalui mulut dan melepas pandangan. Inilah susahnya bicara dengan orang yang begitu gampang melupakan olok-olok yang keluar dari mulutnya sendiri. Para perundung itu tidak tahu bahwa kami yang menerima ejekan harus hidup dengan perasaan direndahkan untuk waktu yang sangat lama. Mungkin bahkan akan membawa dan menyimpan ejekan itu selamanya di dalam hati dan kepala. Dan aku harus menerima perlakuan itu dari dua orang yang pernah kuanggap dekat dan istimewa. Ada banyak orang yang ikut-ikutan merundungku untuk mengambil hati Pretty, tetapi yang paling membuatku sakit hati hanyalah Pretty dan Atharwa. Karena aku menganggap mereka penting untukku. Ralat, PERNAH. Mereka tidak punya keistimewaan itu lagi sekarang. Aku hanya belum melupakan. Aku rasa perempuan memang tidak pernah benar-benar melupakan apa yang membuat hatinya luka, meskipun sudah rela memaafkan.

"Memangnya menurut Bapak, saya orang seperti apa?" Mungkin aku harus mencoba untuk mengingatkan.

"Apa?"

Pintu lift terbuka, dan aku bergegas masuk. Atharwa tergesa mengikutiku. Pertanyaannya membuat aku yakin kalau dia benar-benar sudah melupakan ejekannya. "Bukan apa-apa."

"Pasti ada sesuatu. Saya yakin." Atharwa terdengar mendesak.

Yakin, tapi tidak ingat. Ya, memang ada orang seperti itu. "Saya sudah bilang kalau itu bukan hal penting, Pak."

"Pasti penting banget kalau lihat reaksi kamu seperti ini sejak dulu." Atharwa mendekat ke arahku sehingga aku spontan bergerak mundur. "Saya dulu nggak berkeras menanyakannya karena kamu jelas banget berusaha menghindar. Sama sekali nggak kasih kesempatan saya untuk mendekat."

Aku menarik napas lega saat pintu lift terbuka dan seseorang masuk. Atharwa terdiam. Syukurlah. Aku malas membahas soal itu sekarang. Sudah basi juga.

Namun aku salah saat mengira Atharwa lantas menutup permbicaraan tentang masa lalu. Dia kembali mengulangnya setelah kami keluar dari lift dan berjalan di lobi, menuju pintu keluar gedung.

"Saya mungkin akan terdengar berengsek karena sama sekali nggak ingat apa yang sudah saya lakukan yang bikin kamu kayaknya sakit hati banget. Tapi saya beneran menyesal dan minta maaf untuk itu. Apa pun itu, saya pasti nggak melakukannya dengan sengaja."

Dia minta maaf tapi tidak ingat sudah membuatku sakit hati dengan ucapannya? Dia pasti bercanda! Aku menghentikan langkah lalu berbalik. Atharwa melakukan hal yang sama. Kami sekarang berhadapan. "Orang biasanya minta maaf karena menyadari melakukan kesalahan. Bapak nggak perlu minta maaf kalau nggak merasa salah. Kayak orang kurang kerjaan saja."

Atharwa mendesah. Dia memang terlihat seperti orang yang merasa bersalah, tetapi siapa yang bisa tahu kalau itu tulus? Dia juga dulu terlihat tulus ingin berteman denganku. Nyatanya, dia tetap saja merundung di balik punggungku.

"Saya memang nggak ingat, Kara, tapi saya bisa tahu kesalahan saya sama kamu pasti fatal karena sikap kamu yang seperti ini. Kamu bahkan nggak mau mengakui saya sebagai teman, padahal kita dulu beneran pernah dekat."

Aku memilih kembali berbalik dan melanjutkan langkah. "Itu nggak penting lagi sekarang."

Atharwa menahan lenganku. "Pasti masih sangat penting karena kamu masih mengingatnya setelah sekian lama. Orang nggak akan menyimpan sesuatu yang nggak penting dalam ingatannya."

Itu benar. Kita tidak akan menghabiskan waktu untuk mengingat hal-hal remeh. Namun aku benar-benar tidak mau membahasnya, karena kami bisa saja melihat peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda. Atharwa mungkin menganggap bahwa menyebutku tumpukan tulang bukanlah kesalahan karena di matanya aku memang terlihat seperti itu. Gadis kurus yang tulangnya menonjol di mana-mana sehingga tampak merusak pemandangan. Dan aku tidak seharusnya tersinggung karena dia mengungkapkan fakta dan tidak mengarang bebas. Aku saja yang sensitif.

"Saya harus keluar sekarang." Aku mengalihkan percakapan. "Jemputan saya sedikit lagi sampai."

Atharwa melepaskan cekalannya, tetapi tetap ikut berjalan di sampingku sampai kami keluar gedung. Dia juga tetap berdiri di sebelahku setelah kami berada di luar. Tidak langsung menuju tempat parkir. "Saya benar-benar nggak ingat apa pun, meskipun sudah berusaha," katanya setelah jeda lumayan panjang dalam hening. "Kamu bisa bantu mengingatkan, kan? Mungkin seperti mengorek luka lama, tapi saya juga perlu diingatkan supaya bisa menebus kesalahan dan nggak akan melakukan hal seperti itu lagi."

Aku memandang lurus ke depan. Kenapa Genta lama sekali? Dia pasti tahu Mama orangnya panikan. Dia akan membordir kami dengan telepon seandainya tidak sampai di restoran tepat waktu.

"Kara?" Sentuhan Atharwa di sikuku membuatku menoleh.

Aku mendesah. Mungkin aku memang harus memberitahunya meskipun dia pasti hanya menganggap peristiwa itu hanya lelucon. Atharwa harus tahu bahwa mengejek seseorang secara fisik dengan membawa-bawa nama binatang sama sekali tidak keren untuk dilakukan, meskipun oleh anak umur belasan tahun sekalipun.

Sekali lagi aku menatapnya lekat, berusaha tetap terlihat datar saat mengatakan, "Saya mendengarnya. Saya mendengar apa yang Bapak dan teman-teman Bapak katakan tentang saya dulu."

Kerutan di dahi Atharwa tampak nyata. Dia masih terlihat bingung. "Memangnya saya bilang apa tentang kamu? Saya nggak mungkin mengatakan sesuatu yang jelek tentang kamu dulu. Kita berteman, kan?"

Aku mengarahkan bola mata ke atas. Cara Atharwa memperlakukan teman ternyata luar biasa. "Ya, mungkin saja saya yang terlalu berlebihan menanggapinya. Dan mungkin saja saya seharusnya nggak tersinggung karena apa yang Bapak bilang itu benar. Saya hanya...."

"Kara, saya sebenarnya bilang apa?" Atharwa memotong. Untuk pertama kalinya aku melihatnya tampak tidak sabar.

Aku mengembuskan napas kuat-kuat, "Saya juga minta maaf kalau ternyata berlebihan dan tersinggung dibilang terlihat seperti tumpukan tulang, dan hanya anjing yang akan tertarik kepada orang yang terlihat seperti saya. Anjingnya spesifik sih. Bulldog. Saya masih ingat."

Raut Atharwa langsung berubah. Mulutnya sedikit membuka, menampilkan kesan syok. "Astaga, kamu beneran dengar itu?" katanya setelah berdeham dan menemukan suara. "Atau Remmy yang bilang sama kamu?"

Aku melengos. "Di perpustakaan. Saya nggak berteman dengan Remmy atau siapa pun waktu itu. Satu-satunya orang yang saya anggap teman sedang menikmati menjadikan saya olok-olok. Dia mungkin nggak salah karena di matanya saya hanya tumpukan tulang. Tapi dia seharusnya nggak membawa-bawa nama binatang." Entah mengapa mataku terasa memanas. Seharusnya rasa sakitnya tidak terasa lagi setelah sekian lama. Atharwa benar, ini seperti mengorek luka lama. Seharusnya aku tidak perlu melakukannya sehingga tidak terlihat cengeng dan konyol seperti sekarang.

"Kara," Atharwa memegang kedua lenganku sehingga aku harus menghadapnya. "Saya benran minta maaf karena kamu sudah mendengar saya mengatakan sesuatu yang segitu buruknya tentang kamu. Saya tahu itu salah dan mustahil diperbaiki, tapi saya beneran nggak bermaksud seperti itu." Atharwa diam sejenak. "Hanya saja, waktu itu Remmy kelihatannya tertarik sama kamu."

"Lalu?" Apa aku terlihat terlalu jelek sehingga dia harus menyadarkan temannya untuk membuka mata lebar-lebar sehingga bisa melihat bahwa aku hanyalah tumpukan tulang yang tidak menarik?

"Kamu lihat Remmy waktu kita sekolah dulu, kan? Nggak ada cewek yang nggak suka sama dia, Kar. Saya nggak mau dia beneran tertarik sama kamu. Saya harus menghindarkan dia dari kamu. Kalau pilihannya antara Remmy dan saya, kamu pasti pilih dia. Iya, saya melakukan itu karena saya suka sama kamu. Cara saya memang licik, tapi saya harus melakukan itu."

Aku terperangah. Kakiku seperti baru saja dipaku dengan keras di lantai. Aku sama sekali tidak bisa bergerak. Sekarang aku yang syok.

**

Di antara semua tulisanku yang termasuk kategori baru, yang ini paling banyak dapat kritikan. Mulai dari penggunakan kata yang nggak konsisten karena memang minim suntingan untuk mengejar update, alur yang bertele-tele dan membuat bosan, sampai yang menganggapnya datar dan menyodorkan alternatif untuk membuatnya lebih menarik.

Aku sangat berterima kasih untuk semua masukannya, karena itu berarti pembaca peduli dengan ceritanya sehingga memberi saran untuk membuat mereka tetap nyaman di lapak ini dan nggak memilih menyerah di tengah jalan. Hanya saja, untuk persoalan alur dan plot, aku sudah punya sendiri dan memutuskan untuk jalan dengan yang sudah ada dan nggak akan mengikuti keinginan pembaca. Maafkeun. Dan untuk typo dan kalimat tidak efektif yang membuat nggak nyaman, aku juga memikirkannya. Mungkin aku memang nggak usah mengejar fast update sehingga punya waktu untuk mengedit naskahnya biar bersih dulu. Gimana kalau update-nya 1-2 kali seminggu aja, dengan catatan naskah sudah jauuuhhh lebih bersih dan enak dibaca? Masukannya ya, Gaesss... tengkiu...

Oh ya, follow Instagram @titisanaria ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro