Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai, Gaesss... semoga cocok dengan cerita ini, ya. Dan semoga update-nya bisa cepet. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss..

**

Seharusnya ada undang-undang yang melarang orang untuk menyampaikan berita buruk di pagi hari, karena percaya atau tidak, kabar yang kita terima di pagi hari akan menentukan suasana hati untuk menjalani sisa hari. Orang boleh saja mengatakan kalau itu mitos, tetapi bagiku, itu bukan omong kosong.

Waktu aku kelas V, Genta mencegatku di tangga saat turun dan mengatakan bahwa dia tidak sengaja menumpahkan air di buku gambarku. Butuh waktu tiga hari untuk menyelesaikan tugas itu karena aku benci menggambar. Aku tidak mungkin menggambar dan mewarnai ulang karena satu jam lagi aku sudah harus berada di sekolah untuk mengikuti upacara bendera hari senin. Karena kabar buruk yang dibawa Genta, aku harus dihukum beberapa kali di sekolah hari itu. Dijemur karena terlambat upacara setelah menghabiskan waktu cukup lama untuk menangis dan mengutuki nasib sialku karena punya kakak yang ceroboh seperti Genta; disuruh berdiri di depan kelas karena ibu guru tidak percaya bahwa aku sebenarnya sudah membuat tugas, tetapi tidak bisa membawanya ke sekolah karena gambar itu sudah dimandikan si kakak durhaka; dan masuk ruangan BP karena kekesalan yang kubawa keluar dari kelas membuatku menendang kerikil di halaman. Itu hanya kerikil kecil, tapi dampaknya besar, karena berkat tendanganku yang cemerlang, batu kecil itu mendarat manis di dahi kepala sekolah. Kurang sial apa aku, coba?

Itu baru satu contoh kecil. Aku masih punya banyak contoh lain yang akan membuat orang tertidur bosan saat mendengar aku bercerita saking panjangnya daftar itu. Jadi saat seseorang terdengar antuasis saat mengatakan punya kabar untukku di pagi hari, aku pasti akan menanyakan kategori kabar tersebut sebelum memutuskan untuk mendengarnya. Aku tidak keberatan dengan kabar baik untuk mood booster, tetapi kalau kabar buruk, tolong kirim melalui email saja. Aku bisa membukanya kapan-kapan kalau sempat dan tidak pura-pura lupa.

"Kara, Mama punya berita gembira untuk kamu!" Suara Mama terdengar antusias saat aku mengangkat teleponnya. Aku tidak segera tersenyum lebar karena sering kali aku dan Mama tidak punya persepsi yang sama tentang apa yang dimaksud dengan berita gembira. "Coba tebak!"

Entah mengapa perasaanku mendadak tidak enak. Indra keenamku sama sekali tidak bisa dipakai untuk meramal, tetapi aku memutuskan melewatkan berita gembira dari Mama. "Ma, ponselku lowbatt. Nanti aku telpon balik kalau sudah sampai di kantor." Hanya alasan itu yang muncul di kepalaku. Aku memang bukan orang yang terlalu kreatif saat berbohong.

"Kok bisa lowbatt pagi-pagi sih? Nggak kamu colok pas bangun tidur? Makanya, kalau mau tidur, wifi-nya dimatiin dong. Sambungan internet bikin boros baterai. Masa yang kayak gitu harus Mama ingatkan juga sih." Kelebihan mamaku dibanding ibu-ibu lain adalah fokusnya yang gampang teralihkan. Seperti sekarang, alih-alih memaksaku mendengar berita gembira yang tadi membuatnya menelepon, dia malah sudah mengomel soal ponsel. "Jangan-jangan kamu nggak sarapan juga? Ya ampun, Kara. Breakfast is the most important meal of the day. Kamu nggak pernah melewatkan sarapan saat masih di rumah. Kebiasaan baik itu nggak boleh diubah. Yang harus dibuang itu adalah kebiasaan jelek kamu." Nah, aku bilang juga apa! Sekarang topiknya sudah berganti lagi.

"Ma, aku benar-benar harus pergi sekarang. Kalau telat, nanti ketinggalan bus." Jangan salah, karena kebiasaan Mama yang tidak fokus dan suka melompat-lompat saat bicara, dia bisa saja kembali pada topik awal yang membuatnya menelepon. Ini masih terlalu pagi untuk berita gembira versi Mama.

"Makanya, Mama bilang juga apa. Pakai mobil saja, supaya kamu nggak usah desak-desakkan di angkutan umum."

Aku mendesah. "Ma, aku nggak bisa nyetir. Bagaimana mau pakai mobil?"

"Kursus dong. Belajar bawa motor mungkin sulit, tapi mobil itu gampang banget. Rodanya ada empat, Kara. Kamu nggak perlu takut soal keseimbangan." Mama terus mengulang soal ini. Aku sampai tidak bisa menghitung saking seringnya, padahal dia tahu aku tidak akan tergerak untuk belajar menyetir.

Mengemudi sendiri tidak mungkin seenak naik kendaran umum. Begitu duduk di kursi bisa langsung menutup mata dan tidak perlu stress dengan kemacetan. Menggunakan transportasi publik baru terasa berat saat tidak kebagian tempat duduk. Namun aku sedang malas mendebat Mama. "Ma, sudah dulu, ya. Aku hubungi kalau sudah di kantor dan baterai ponselnya sudah diisi."

"Duh, tadi Mama mau bilang apa, ya?"

"Ma, aku beneran—"

"Oh iya, tadi Mama ditelepon Tante Elis," potong Mama. Seketika bulu kudukku meremang. Aku bilang juga apa! Berita gembira versi Mama adalah kabar buruk untukku. Bukan Tante Elis-nya yang bikin horor, melainkan... "Katanya Pretty diterima di kantormu lho. Kalian sekarang kerja di kantor yang sama. Bukankah itu menyenangkan?"

Terlambat untuk menghindar. Nama yang disebut barusan adalah sumber dari sumber segala mimpi burukku. Sama sekali tidak ada yang menyenangkan saat mendengar nama itu disebut.

"Apa?" Aku kaget sendiri mendengar teriakanku. "Pretty nggak mungkin kerja di kantorku, Ma. Dia sudah punya pekerjaan yang dia suka banget."

"Sudah Mama duga kalau kamu senang banget." Mama salah mengartikan nada suaraku yang mendadak menyaingi Demi Levato. "Ya sudah, Mama nggak mau ganggu kamu lagi, nanti kamu beneran ketinggalan bus. Nggak usah telepon Mama dari kantor, biar pekerjaan kamu nggak terganggu. Mama akan telepon lagi kalau kamu sudah pulang kerja."

Tunggu, Mama tidak bisa memutus hubungan begitu saja di saat seperti ini. "Ma, Mama pasti salah dengar. Pretty nggak mungkin kerja di kantorku. Mama kan tahu gimana Tante Elis, dia suka bergosip. Dia dengarnya berita A, tapi kalau disampaikan ke orang-orang beritanya sudah jadi X. Tante Elis itu tipe yang suka mengubah cerpen jadi novel."

"Hush, itu tantemu sendiri lho!"

Karena dia tanteku maka aku kenal dia dengan baik. "Mama telepon Tante Elis lagi deh. Aku yakin informasinya salah."

"Nggak mungkin salah, Kara," bantah Mama. "Sudah, ya. Tuh kan, Mama jadi ganggu. Harusnya Mama tunggu sampai kamu pulang kantor dulu baru kabarin, tapi Mama nggak sabar karena tahu kamu akan senang banget." Telepon langsung ditutup. Aku melihat layar ponselku dengan ngeri.

"Lo kenapa?" Aku terlonjak saat menyadari Jingga sudah melambaikan tangan di depan wajahku. Aku sama sekali tidak mendengar dia mengetuk dan membuka pintu kamarku. Aku menarik rambut panjangnya kuat-kuat. Jingga langsung berteriak. "Lo kesambet?"

Aku mengenyakkan tubuh di kursi. "Ini beneran bukan mimpi," keluhku.

"Lo harusnya cubit kulit lo sendiri, jangan main jambak sembarangan kalau mau tahu sedang mimpi atau nggak!" Jingga mengelus kepalanya. "Buruan, ntar kita terlambat."

Aku menarik napas panjang. Mama mungkin salah dengar. Tidak, jangan pakai kata mungkin. Mama harus salah dengar. Aku tidak mau satu kantor dengan Pretty. Sudah cukup penderitaanku saat kami satu sekolah di SMP dan SMA dulu. Tolong, jangan sampai kejadian lagi. Tidak ada yang lebih mengerikan daripada terjebak bersama Pretty.

**

Sebelum menjelma menjadi mimpi burukku yang paling-ter-amat-sangat buruk, Pretty adalah sahabat terbaikku. Mama dan Tante Elis bersepupu, dan karena mereka seumuran, hubungan mereka sudah seperti saudara kandung. Dan mereka bertekad melanjutkan persahabatan itu kepada generasi selanjutnya. Aku dan Pretty. Itu bukan rencana muluk karena kami memang dekat sejak sejak kecil. Pretty termasuk orang pertama yang aku kenali dalam hidup, bersama kedua orangtuaku, dan Genta.

Aku sama sekali tidak tahu apa yang menyebabkan hubungan kami memburuk. Aku hanya tahu Pretty lantas menjaga jarak dan menggantikan aku dengan teman-temannya yang baru sejak kami masuk SMP. Tidak cukup hanya menjaga jarak, dia kemudian mendedikasikan hidupnya untuk membuatku merasa tidak berguna dan menyedihkan.

Dia tidak sengaja menjatuhkan prakarya yang kukerjakan dengan susah payah sehingga hancur berantakan sehingga aku mendapat nilai jelek, dia tidak sengaja merusak kue ulang tahunku, dia tidak sengaja lupa mengundangku di acara ulang tahunnya yang diadakan di restoran. Ada banyak hal yang akan diakui Pretty sebagai ketidaksengajaan saat berhubungan denganku. Namun di antara ketidaksengajaan itu, tidak ada yang membuatku lebih sakit hati daripada saat dia tidak sengaja mengatakan bahwa kami sebenarnya tidak bersepupu karena aku hanyalah anak pungut orangtuaku. Dan dia mengatakannya di kantin, kepada teman-temannya saat tempat itu sedang ramai-ramainya.

Aku ingat waktu itu aku pulang sambil menangis dan menanyakan kepada Mama apakah aku memang bukan anak kandungnya. Dan wajah Mama yang pias segera menjawab keingintahuanku. Aku memang hanya anak angkat.

Ketidaksengajaan Pretty itu membuat hubungan Mama dan Tante Elis sempat merenggang cukup lama. Kurasa Tante Elis sangat marah kepada anak kesayangannya itu sehingga Pretty datang dan minta maaf kepadaku. Ya, dia memang minta maaf, tetapi tentu saja tidak tulus. Ketidaksengajaannya untuk mengerjaiku masih terus berlangsung. Aku hanya memilih tidak mengatakan apa pun kepada Mama karena tidak mau hubungannya dengan Tante Elis yang sudah membaik kembali memburuk. Setahu Mama dan Tante Elis, hubunganku dengan Pretty baik-baik saja.

Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada kuliah dan bekerja di tempat berbeda dengan Pretty. Kami hanya perlu bertemu di acara keluarga, dan kami akan memilih orang berbeda untuk ngobrol supaya tidak perlu berbasa-basi lama-lama berdua.

Jadi, aku tidak bisa membayangkan berada di kantor yang sama dengan Pretty selama lima hari seminggu. Itu seperti hidup di dalam mimpi buruk. Tidak, aku tidak mau mimpi burukku kembali.

**

Pliss bagi komen untuk part awal ini. Masih merasa nyaman tetap pakai narasi baku seperti ini dan santai di dialog seperti gaya yang biasa aku pakai?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro