Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maafkeun kalau nggak nyaman bacanya. Stok tulisan udah habis, jadi ini baru kelar ditulis dan langsung update, tanpa diedit. Buat Ratna Watty, hepi beldei, ya. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaess...

**

Aku tidak suka berada di antara Pretty, Atharwa, dan Remmy, tetapi aku tidak bisa menghindar. Sangat kecil kemungkinan mereka bekerja sama untuk membuatku mengingat kembali masa sekolah yang menyebalkan, tetapi entah sadar atau tidak, mereka sedang melakukannya sekarang. Pretty yang mendapatkan kebahagiaan dengan mengolok-olokku. Atharwa dan Remmy yang tidak berbeda. Setali tiga uang. Mereka menjadikan aku sebagai lelucon untuk memancing tawa. Lelucon kasar yang menyamakan diriku dengan tumpukan tulang yang membuat liur anjing menetes. Jujur, aku tidak ingin terlibat dengan mereka di dunia nyataku yang sekarang. Namun, apa boleh buat. Takdir memang tak selalu ramah kepadaku.

"Pretty? Athar?" Remmy lebih dulu menyapa. Tentu saja dengan nada superantusias seperti yang digunakannya menyapaku saat bertemu tadi. "Gue nggak nyangka bisa ketemu lo berdua di sini."

"Gue sama Athar kerja di sini," jawab Pretty manis. Dia memang selalu begitu kepada semua orang, kecuali aku.

"Lo kerja di sini? Memang artis kayak lo bisa dan mau kerja kantoran?" Tawa Remmy terdengar lagi. "Gue nggak bermaksud ngeremehin sih, tapi kerja kantoran duitnya nggak bisa buat maintenance penampilan lo yang kayak gini." Dia menunjuk Pretty dari atas ke bawah. "Kecuali kalau lo jadi direktur, atau nggak, simpanan direktur."

"Sialan!" Maki Pretty, tapi dia tidak terlihat kesal dengan Remmy. "Gue pantasnya jadi istri sah, bukan simpanan."

"Lo kok bisa di sini?" tanya Atharwa. Dia memandang aku dan Remmy bergantian. Aku lantas memilih menekuri ponsel.

"Om gue sok-sok mau jadi cupid. Dia ngajak gue ke sini buat kenalan sama cewek. Gue nggak nyangka kalau orangnya ternyata Kara. Eh, lo sudah kerja di kantor bokap lo? Bukannya tempo hari, waktu kita ketemu lo bilang belum tertarik jadi kacung bokap lo?"

"It's about time," sambut Atharwa. Aku hanya mendengar percakapan mereka karena tidak mengangkat kepala dari layar ponsel. "Gue belum lama di sini. Sudah tahap pasrah sih. Kalau ujung-ujungnya bakal ke sini juga, ngapain menunda-nunda? Lebih cepat kenal medan kan jauh lebih baik."

"Makanya jadi orang sok idealisnya nggak usah berlebihan. Kesannya malah menentang takdir."

Percakapan mereka sebenarnya agak membingungkan karena Remmy menyebut Atharwa bekerja di kantor ayahnya. Pak Darman, direktur kami masih muda, dan tidak mungkin punya anak seumur Atharwa kecuali kalau dia langsung menikah setelah akil balig, saat mendapat mimpi basah pertamanya, dan itu rasanya mustahil. Interaksi mereka saat rapat pun tidak menunjukkan kalau mereka punya hubungan yang dekat.

"Gue bukan sok idealis. Gue hanya mau tahu dunia di luar gedung ini."

Aku malas terjebak lebih lama di situ. "Saya naik sekarang ya," selaku di antara percakapan mereka saat melihat lift membuka. "Makasih makan siangnya." Remmy tadi berkeras membayar makan siangku, meskipun kutolak. Aku akhirnya diam karena tidak mau ribut di restoran.

"Oh, oke." Remmy mengembalikan perhatiannya kepadaku. "Makasih juga sudah mau makan bareng gue. Nanti gue hubungi lagi, ya. Senang banget bisa ketemu lo lagi."

Aku tidak menjawab dan bergegas masuk ke dalam lift sebelum menutup. Rasanya lega bisa terbebas dari ketiga orang itu. Huufftt.

**

Aku terlambat pulang karena menyelesaikan pekerjaan. Pak Budi dan Atharwa sudah sepakat soal dana yang akan dipakai untuk promosi produk, jadi aku harus membuat menyesuaian kembali. Aku tipe yang tidak suka menunda pekerjaan, makanya aku lebih memilih pulang terlambat daripada tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan pekerjaan yang tidak tuntas.

Suasana kantor sudah sangat sepi saat aku turun ke lobi. Jingga tadi ke pabrik dan langsung pulang. Sepertinya aku harus memesan taksi online lagi. Hanya saja, aku sangat lapar. Restoran di gedung kantorku sudah tutup dari tadi. Aku tidak suka naik-turun taksi kalau mampir makan di mal. Namun, aku sepertinya tidak punya pilihan.

Aku sebenarnya menyetok mi instan seperti anak kos yang lain, tetapi Mama menemukan koleksi harta karunku itu saat datang berkunjung. Dan dia langsung mengangkut dan memberikannya kepada Jingga yang menerimanya dengan senang hati. Mama sepertinya merasa terhina karena melihatku makan mi instan.

Aku tahu Mama melarangku karena alasan kesehatan, meskipun rasanya tetap saja lebay. Ada orang yang makan mi instan setiap hari dan mereka toh baik-baik saja. Menurutku kampanye hitam anti mi instan itu terlalu berlebihan. Mi instan itu penyambung hidup jutaan orang. Mana ada orang bisa makan soto atau rendang hanya dengan modal dua ribu perak saja kalau bukan dari mi instan? Ya, aromanya saja yang soto dan rendang sih, tapi rasanya nyerempet kok, meskipun hanya sedikit. Produsen mi instan punya kreativitas luar biasa dalam menciptakan varian rasa.

Sampai di luar gedung, aku mengeluarkan ponsel dari ransel untuk memesan taksi online. Sial, baterainya tinggal 1 persen. Dan baru saja kupegang langsung mati. Benar-benar kejutan yang menyenangkan. Hebat! Nasib baik benar-benar sedang enggan dekat-dekat denganku.

Aku tadi sibuk bekerja sehingga tidak memperhatikan ponsel. Power bank-ku dibawa Jingga ke pabrik karena ponselnya juga lowbatt.

Aku mendesah sebal. Jadi aku harus menunggu taksi di pinggir jalan malam-malam begini? Gila! Aku baru saja berbalik hendak masuk kembali ke dalam gedung untuk mengisi baterai ponsel, cukup untuk masuk dalam aplikasi dan memesan taksi, saat pajero hitam yang mulai terlihat familier itu berhenti di depanku.

"Yuk, naik!" Jendela mobil terbuka dan Atharwa terlihat dari balik kemudi.

Aku segera menoleh ke sekelilingku, untuk meyakinkan bahwa akulah yang dia ajak bicara. Iya, ini memang sudah sepi sih, tetapi mungkin saja ada orang yang mendadak muncul, entah dari mana, dan dialah yang diajak bicara oleh Atharwa.

"Nggak usah, terima kasih," jawabku setelah yakin tidak ada orang lain di situ. Bahkan tidak ada makhluk yang kakinya tidak menjejak tanah. "Saya sudah pesan taksi." Aku tidak bohong. Setelah aku mengisi baterai, aku akan melakukannya, kan?

"Batalkan saja." Atharwa turun dari mobil dan menuju ke arahku. Dia lantas membuka pintu di sisi penumpang. "Ayo, masuk. Sudah malam banget ini."

Aku mengernyit. Memangnya dia siapa sampai seenaknya menyuruh-nyuruh? Meskipun kedudukannya di kantor lebih tinggi daripada aku, dia bukan atasan langsungku. Secara struktur organisasi, kami tidak bersinggungan.

"Pak, saya sudah pesan taksi!" Aku mengulangi kalimatku dengan suara lebih keras dan intonasi lebih tegas.

"Ponsel kamu mana?" Atharwa mengulurkan tangan.

"Apa?" Dia bicara apa sih?

"Biar saya batalkan pesanannya."

Aku spontan memegang erat ponselku dan menyembunyikannya di belakang punggung. Ketahuan bohong itu pasti tidak menyenangkan. Aku tidak mau merasakan hal itu sekarang. Tidak di malam hari saat aku sudah kelelahan dan luar biasa lapar. "Saya bisa membatalkannya sendiri, Pak." Aku tidak punya pilihan kecuali ikut Atharwa. Aku memang tidak salah saat mengatakan kehabisan stok nasib baik. Seandainya aplikasi belanja online menjual isi ulangnya, aku bersedia mengorek tabungan dalam-dalam.

"Kok pulangnya telat banget?" Atharwa membuka percakapan setelah keheningan yang lumayan panjang melingkupi kami di dalam mobil yang melaju.

"Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak." Aku tetap menjawab formal, membangun jarak tak kasatmata melalui kata-kata.

"Memangnya mendesak sampai nggak bisa ditunda sampai besok?"

Lha, dia tanya! Dia sendiri kenapa baru pulang juga di waktu seperti ini? Tapi aku malas menanggapi, jadi hanya mengedik. Dan kejadian yang lebih memalukan lantas terjadi. Perutku yang keroncongan mengeluarkan bunyi! Memang tidak sekeras bunyi petir saat hujan deras, atau kentut Jingga di pagi hari, tapi tetap saja kedengaran. Ya Tuhan!

"Kita mampir makan dulu, baru saya antar kamu pulang," kata Atharwa.

Tempat kosku tinggal beberapa ratus meter dari situ. Aku tidak mau terjebak lebih lama dengan Atharwa. Kurang sial apa aku sampai harus makan siang dengan Remmy dan makan malam dengan Atharwa? "Nggak usah, Pak. Kos saya sudah...." Aku menatap tak berdaya ke arah tempat kosku saat Atharwa memutar tanpa menunggu persetujuanku.

Kalau toko belanja online tidak menjual isi ulang nasib baik, mungkin aku bisa menemukan toko yang menjual jimat antisial, karena aku butuh sekali barang seperti itu. Untuk pertama kali dalam hidup aku berharap bisa percaya ramalan dan dunia supranatural. Kurasa hanya itu yang bisa menyelamatku sekarang.

**

Follow Instagram @titisanaria untuk info tentang tulisan dan up coming novel, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro