Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ceritanya makin nggak menarik atau gimana, ya? Komennya seret amat. Hehehehe... Aku ribet banget jadi otor, ya? Udah nggak mau di-komen "lanjut, Kaka", males bales komen, tapi masih mau komen yang banyak. Mau gimana lagi, aku Mak-Mak pencinta komen sih.  Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

 Mama mengadakan inspeksi mendadak dengan mengetuk pintu rumah kosku sebelum azan subuh. Tidak ada yang lebih berdedikasi daripada Mama dalam hal membuatku merasa sangat diperhatikan.

"Mama bawa sarapan untuk kamu." Mama membongkar bawaannya di atas meja di dalam kamarku. Satu set rantang Tupperware berukuran besar dan wadah tahan panas langsung dijajar di situ. Kelihatannya Mama sangat bertekad untuk menyiapkan sarapan ini. Makanan yang dibawanya tidak akan habis aku makan selama tiga hari ke depan kalau harus memakannya sendiri. Untuk pertama kalinya aku bersyukur punya tetangga kamar seperti Jingga.

"Ma, nggak ada orang sarapan dengan menu seperti ini." Aku menunjuk meja kecil yang biasanya kupakai untuk bekerja. Sekarang kelihatannya sudah seperti meja restoran. "Habis makan ini aku bisa balik tidur lagi karena kekenyangan."

Mama langsung cemberut. "Tapi semuanya makanan kesukaan kamu, Kar. Sate kambing, sambal goreng hati, rendang, capcay, dan sop sayuran." Ekspresi Mama berubah cepat. Senyumnya lantas melebar. "Pakai nasi kuning, Kar. Mama suruh Mbak Suti mencampur berasnya dengan ketan, biar tambah pulen. Kamu kan suka nasi kuning pulen."

Nah, sudah dengar mamaku, kan? Mana ada orang yang sarapan dengan menu seperti itu? Sarapan itu nasi goreng dengan telur ceplok. Atau sandwich. Atau apa pun yang membuat lambung tidak bekerja keras dan malah membuat mata menjadi malas terbuka lebar.

Aku baru membuka mulut hendak protes saat Mama memelukku erat-erat, sampai tulangku rasanya nyaris remuk.. "Selamat ulang tahun, Sayang. Rasanya baru kemarin kamu nangis-nangis saat digangguin kakak kamu, eh, sekarang sudah 28 tahun saja. Kamu beneran sudah segede itu?"

Aku mendesah pasrah. Aku juga tahu hari ini ulang tahunku, tetapi aku sudah terlalu tua untuk ritual seperti ini. Namun, Mama sepertinya menolak mengakui hal itu. Di matanya, aku masih pantas merayakan ulang tahun dengan kumpulan balon.

"Ma, banyak orang yang sudah punya dua orang anak di umur seperti ini." Mama harus disadarkan kalau umurku sudah tidak setipis tubuhku lagi. Mamaku termasuk golongan orangtua yang menolak percaya kalau anak-anak mereka sudah tidak suka lagu nina bobo lagi sebagai pengantar tidur.

"Kamu juga sudah boleh punya anak kalau sudah ketemu dengan orang yang cocok."

"Orang yang seperti apa?" Soalnya calon potensial yang pernah main ke rumahku—yang lantas kabur menyelamatkan diri saat memasuki proses seleksi ala-ala Mama dan Genta—tidak ada yang terlihat cukup bagus di mata mereka.

Mama mengedik, belum melepaskan pelukannya. "Mama belum melihat yang cukup pantas untuk kamu."

Mama sering kali lupa kalau aku bukan perempuan sempurna yang akan menarik perhatian semua laki-laki yang ada di planet bumi, sehingga aku hanya perlu menunjuk siapa pun yang aku mau. Aku bukan Pretty, meskipun di mata Mama aku jauh lebih cantik daripada sepupuku itu. Semua orangtua melihat anak-anak mereka dengan mata jiwa, sehingga penilaian mereka sangat subyektif.

Aku balas mengusap punggung Mama sebelum melepaskan diri. Kalau tidak, sedikit lagi aku pasti akan menangis. Aku tidak suka melakukannya karena akan terlihat lemah dan cengeng di depan Mama.

"Terima kasih, Ma." Aku sungguh-sungguh mengucapkannya. Ada banyak orang lain di luar sana yang tidak mendapatkan kasih sayang seperti aku, bahkan dari orangtua kandung mereka sendiri. "Aku sayang Mama."

"Jangan bilang terima kasih dulu sebelum lihat hadiahnya." Senyum Mama semakin lebar. "Harusnya sih Mama kasih nanti malam saja, saat kita makan sama-sama dengan Papa dan Kakak kamu. Tapi Mama sudah nggak sabar." Dia meraih tas tangan dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Hadiah Mama selalu gampang ditebak. Dari tahun ke tahun selalu sama. Perhiasan. Hanya bentuk dan organ tubuh yang mengenakannnya yang beda-beda.

Aku menampilkan wajah takjub dan surprise berlebihan saat membuka kotaknya untuk menyenangkan Mama. "Kalung!" Aku sudah punya beberapa kalung yang diberikan Mama saat aku ulang tahun. Ada juga yang dibelinya iseng saat aku sedang tidak ulang tahun, hanya karena menurutnya benda itu akan terlihat "lucu" saat aku mengenakanannya, dan Mama lantas tidak bisa menahan diri untuk membelinya.

"Nah, bagus, kan? Mama bilang juga apa?" Mama memuji pilihannya sendiri. "Sini, Mama pasangkan." Mama lalu melepas kalung yang sedang kupakai dan diganti dengan kalung yang baru dia berikan. Setelah itu dia berdiri di depanku untuk mengamati. Perasaan puas segera terpancar dari wajahnya, seolah wajah bantalku terlihat menjadi sempurna hanya karena kalung baru yang menggantung di leher. "Coba lihat, Kar!" Mama mengeluarkan sesuatu dari balik blusnya. "Taraaa... kita pakai kalung kembar lho! Keren, kan?"

Aku hampir memutar bola mata. Kalau begini, Mama akan terlihat seperti ibu-ibu dalam sinetron Indonesia lebay yang menjual mimpi. Jenis orangtua yang too good to be true sekaligus menyebalkan bagi anak-anaknya sendiri.

"Iya, Mama tahu ini berlebihan. Papamu juga bilang begitu kemarin, waktu Mama kasih lihat kado ini." Mama bisa membaca apa yang kupikirkan padahal ekspresiku sudah kembali datar. "Mama hanya ingin melakukan ini sebelum kamu benar-benar pergi dari rumah karena menikah. Bagaimanapun dekatnya kita, kalau kamu sudah menikah, Mama nggak akan menjadi orang pertama lagi di hidup kamu seperti sekarang. Kita memang sering beda pendapat tapi Mama tahu persis kamu sayang sama Mama. Sama seperti apa yang Mama rasakan sama kamu."

Mama sepertinya sudah bertekad hendak membuatku menangis, karena aku merasa mataku memanas. "Menikah dengan siapa? Hilalnya saja belum kelihatan. Mama dan Genta bikin semua orang yang mencoba dekatin aku jadi ketakutan begitu."

"Kalau mereka benar-benar peduli dan sayang kamu, Kar, mereka nggak akan gentar sama Mama dan Genta. Mama akan ikhlas melepas kamu kepada orang berkeras menginginkan kamu meskipun selalu dijuteki Mama dan Genta. Karena itu tandanya dia mau berjuang untuk mendapatkan kamu."

"Aku tahu, Ma." Aku mendekati meja untuk memutus suasana sendu di antara kami. "Aku mau makan nasi kuning dan rendang. Itu sarapan sempurna untuk ulang tahunku. Aku pasti langsung tertidur di kubikelku begitu sampai kantor."

**

Senyum Pak Budi tampak lebar. Wajahnya semringah. Dia selalu seperti itu kalau melihat grafik penerimaan bergerak ke atas.

"Kamu ulang tahun, ya?" Pak Budi pasti mendengar Jingga yang tadi heboh mendata restoran tempat dia minta ditraktir besok. Jingga itu bukan hanya badannya yang jumbo, suaranya tanpa toa pun sudah menyakiti telinga. Dia minta ditraktir besok karena siang ini dia ke pabrik, dan malamnya aku ada acara keluarga.

Aku hanya tersenyum tipis. Tidak ada pentingnya juga membahas hari kelahiranku dengan Pak Budi. Dia tidak mungkin meminta traktiran seperti Jingga.

"Kamu sudah punya rencana makan malam?" Pertanyaan lanjutan Pak Budi membuat telingaku berdiri tegak. Kalau dalam film kartun, aku pasti terlihat seperti kelinci yang tertangkap basah sedang mencuri wortel di kebun Pak Tani.

"Saya ada acara dengan keluarga, Pak."Atau jangan-jangan aku salah. Mungkin Pak Budi juga minta ditraktir. Tapi itu rasanya mustahil. Masa iya orang seperti Pak Budi butuh makan gratis? Yang benar saja!

"Makan siang sebentar?"

"Apa?" Bosku ini kenapa sih? Dompetnya disita Bu Budi? Dia disetrap dan tidak dikasih jatah uang buat makan hari ini? Program diet baru untuk menghilangkan lemak di perut suaminya?

"Jadi belum ada acara? Baguslah." Pak Budi mengeluarkan ponsel. "Nanti makan sama Remmy saja. Dia kelihatannya beneran tertarik sama kamu. Saya bilang juga apa, orang yang sifatnya beda itu pasti cocok."

Aku berjalan mundur mendekati pintu ruangan Pak Budi, bersiap kabur. Tidak, aku tidak akan makan dengan Remmy. Aku sama sekali tidak tertarik kepada playboy itu betapa pun tampannya dia. Aku tidak akan menyerahkan hatiku dengan sengaja kepada orang yang hanya berniat bermain-main denganku.

"Pak, saya nggak bisa makan—" Aku menghentikan kalimat saat Pak Budi mengangkat tangan dan mulai bicara di telepon. Menilik isi percakapannya, dia pasti bicara dengan Remmy. "Nah, Kara," sambungnya dengan wajah makin berseri setelah menutup ponsel. "Remmy bisa menjemput kamu di sini untuk makan siang sama-sama."

Aku mendesah sebal. Seandainya dia bukan bosku, aku akan keluar dari ruangan ini sambil membanting pintu keras-keras. Aku pikir tidak ada laki-laki dewasa yang begitu bernafsu mencarikan jodoh untuk keponakan playboy-nya. Iya sih, aku bisa mengerti keinginan Pak Budi untuk melihat keponakannya settle dengan satu orang perempuan, tetapi bukan aku orang yang harus menjadi kambing hitam percobaan demi mengembalikan Remmy ke jalan yang baik dan benar. Dia laki-laki dewasa yang bisa memutuskan apa yang ingin dia lakukan dengan hidupnya. Dengan kemampuannya memikat perempuan, dia jelas tidak butuh pamannya untuk memilih tumbal penaklukkan. Dan aku tidak mau menjadi tumbalnya.

"Pak, saya nggak bisa makan dengan Remmy."

"Kenapa?" Pak Budi balik bertanya. Nadanya heran, seolah aku baru saja menolak hadiah lotre yang baru saja aku menangkan. "Remmy bilang dia bisa kok."

Bukan berarti karena Remmy bisa maka aku harus mau, kan? Pak Budi jelas tidak mengerti keenggananku. Atau mungkin dia melihatnya sebagai sikap jual mahal. "Pak, saya punya pekerjaan yang—"

"Orang nggak bisa bekerja dengan baik kalau perutnya lapar. Pekerjaannya kamu bisa selesaikan setelah jam makan siang." Pak Budi memotong cepat.

"Tapi, Pak, saya—"

"Sudah, kamu keluar dan tunggu saja Remmy datang." Kali ini bosku itu mengibas dan membuat gerakan mengusir, seolah bosan mendengarku mendebat.

Duh, kenapa juga Jingga harus ke pabrik di saat-saat seperti ini sih?

Pesan Remmy masuk saat aku baru saja duduk di kursiku. Hebat. Aku benar-benar akan makan siang dengan dia. Kedua kalinya dalam minggu ini. Mungkin aku harus memperbanyak sedekah supaya terhindar dari nasib buruk, karena sampai saat ini aku belum menemukan toko yang menjual jimat antisial sialan itu!

Aku akhirnya mengirim pesan balik kepada Remmy, memintanya menunggu di bawah. Bertemu dia di sini hanya akan menambah drama tambahan dari Pak Budi yang terlihat begitu bernafsu untuk merayakan keberhasilannya menjadi cupid.

Aku berpapasan dengan Atharwa yang baru keluar dari ruangannya. Dia berjalan sambil menggulung lengan kemeja. Aku segera menahan langkah, berniat membiarkannya pergi lebih dulu supaya kami tidak harus menggunakan lift yang sama.

"Mau makan siang, kan?" Atharwa ikut menghentikan langkah dan berbalik kepadaku. "Yuk, sama-sama."

Ho...ho...ho... tidak, terima kasih. "Bapak duluan saja. Saya—"

"Sama-sama saja. Kan sama-sama mau makan juga."

Duh, Gusti, hidupku kok gini amat, ya?

**

Follow Instagram @titisanaria  untuk info tentang novel yang akan terbit, ya. Daann... yang belum ikutan PO Midnight Prince, yuk ikutan. PO sudah dibuka sejak kemarin. Buat yang ikutan, ada kesempatan untuk mendapatkan kaus MP yang akan  diundi  untuk 2 orang pemenang. More info, di IG, ya. Aku slow respons di  wattpad. Tengkiuuuu... 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro