20. Mini Love Bites

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

20. Mini Love Bites

Cessa membuang napas berat begitu melihat kedua kelopak matanya yang bengkak. Ia tidak akan bisa menghindari pertanyaan teman-teman di kantor jika ada yang sempat memerhatikan kondisi matanya.

Untuk meminta ijin pun ia enggan. Ia merasa fisiknya masih cukup kuat, meskipun harus diakui bahwa perasaannya masih belum pulih pasca pengakuan Arion kemarin.

Hatinya hancur. Singkatnya seperti itu.

Dan Arion-lah penyebabnya.

Ia tidak bisa menggambarkan lebih detail lagi bagaimana perasaannya kini. Seberapa sakit hingga hanya bisa dianalogikan dengan pengandaian.

Hancur. Ringsek. Tidak berbentuk.

Cessa mengusap lagi airmatanya sampai benar-benar kering. Kemudian merapikan riasannya dengan sentuhan spons dari kemasan compact powder.

Hari ini banyak yang harus dilakukan. Ia harus menyingkirkan segala mendung di hatinya dan fokus pada apa yang harus ia kerjakan.

Sakit, bila mengingat pekerjaan itu akan ia lakukan bersama-sama dengan Arion.

Laki-laki yang harus bertanggung jawab terhadap semua airmata yang ia keluarkan dan rasa sakit hati yang ia rasakan.

Ia akan bekerja semampunya dan mengabaikan kehadiran Arion sebisanya, meskipun ia tahu hal itu sangat sulit untuk dilakukan karena suara laki-laki itu selalu mendistraksi pikirannya. Mereka tidak mungkin berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa isyarat, bukan? Komunikasi verbal adalah hal lumrah antara partner kerja. Dan sialnya, ia tidak bisa menghindari Arion karena tuntutan pekerjaan di mana untuk sementara ia yang akan mengambil alih tugas Pak Dayat yang sedang sakit.

Ia berharap Pak Dayat segera sembuh. Karena ia yakin tidak akan bisa melewatkan waktu lebih lama bersama Arion tanpa ingin mencekik lehernya hingga kehabisan napas.

Cessa membuka laporan yang diletakkan di meja kerjanya. Ia menarik napas beberapa kali sampai ia merasa cukup lega.

Laporan itu harus ia sesuaikan lagi dengan kondisi riil di lapangan. Ia lalu mengambil laporan dari bagian purchasing dan departemen produksi di mana terdapat penjabaran kondisi pabrik dan stok barang yang tersimpan di gudang.

Sesuai kesepakatan, ia dan Arion akan sama-sama memeriksa laporan kemudian mencocokkan dan mengkomunikasikan hasilnya dengan manajer dari divisi yang terkait. Meeting biasanya akan dilakukan sebelum laporan diserahkan ke Arion untuk ditandatangani.

Nama Arion tercantum di setiap laporan.

Ada cara nggak sih biar nama itu tidak terlihat? Misalnya dibuat transparan.

Ia bertahan untuk tidak mencabik-cabik kertas di tangannya.

Ya Tuhan, mengapa harus sesulit ini?

"Ayana, ke ruangan saya sekarang. Bawa laptop dan semua laporannya."

Kalimat dengan nada tegas itu terdengar setelah Cessa mengangkat telepon.

Fine.

Dan sekarang Arion bahkan memintanya untuk ke ruangannya.

Benar-benar tidak punya perasaan!

***

"Bisa bantu saya cek persediaan bahan baku?" tanya Arion kepada Ayana yang sedang duduk di depannya.

"Hmm," jawab Ayana.

Arion bukannya tidak memahami laporan yang tengah ia baca. Ia hanya mencari cara bagaimana berkomunikasi dengan Ayana.

"Mata kamu bengkak." Arion tidak bisa menahan mulutnya mengomentari tampilan Ayana saat itu.

"Persediaan awal bahan baku xxx, kemudian perusahaan melakukan pembelian sebesar...,"

Arion mendengarkan suara Ayana merinci satu demi satu komponen HPP. Ia tidak pernah membayangkan jika suatu saat nanti gadis itu memutuskan untuk pergi.

Pergi dari perusahaan. Pergi dari hidupnya.

Tapi jika saat itu tiba, apa yang bisa ia lakukan untuk mencegahnya?

Ayana sudah terlalu membencinya.

Suasana kembali hening. Arion tidak tahu di bagian mana Ayana berhenti.

"Jadi gimana pendapat kamu tentang persediaan bahan baku untuk bulan depan?"

Ayana terdiam sesaat.

"Saya selalu berharap yang terbaik," ucap Arion.

Ayana menjawab. "Kemungkinan masih sama."

"Buat kamu."

Gadis di hadapannya masih sibuk menatap hasil print out balance sheet untuk bulan Januari. Apakah ia mengerti? Atau pura-pura bersikap cuek seperti biasanya?

"Saya akan cek lagi biaya overhead pabrik," ujar Ayana sambil membuka lembaran-lembaran kertas.

Ck. Ia memang tidak peduli.

Ayana sangat pintar mengatur sikap di depannya. Sementara dirinya?

Mungkin lebih mirip kentang goreng dingin yang telah layu. Lembek.

Ia hanya ingin meminta maaf, dan meminta Ayana untuk tetap menyayangi dan menerimanya kembali.

Tapi apakah hal itu mungkin?

"Ay, saya mau minta maaf sama kamu."

Ayana tetap seperti patung batu. Namun, ia masih mendengar suara pelan Ayana. "Saya mau fokus kerja."

"Kamu masih benci sama saya?"

"Saya ke sini buat kerja."

Arion mengangguk pelan. "Baik. Kamu memang asisten manajer yang sangat profesional. Saya berharap karir kamu bisa terus berkembang di sini. Perusahaan ini sangat membutuhkan karyawan sebaik kamu."

Ayana menatapnya sendu. "Apa saya bisa kembali bekerja di meja saya sendiri?"

"Silahkan."

"Baik, Pak."

***

"Minum dulu, gih." Gya menyodorkan air putih hangat kepadanya.

Cessa masih berbaring sambil memegangi perutnya. Asam lambungnya kembali kumat setelah makan siang. Dan sekarang masih beberapa jam lagi sebelum tiba waktu pulang kantor. Ia sudah berencana akan lembur, tapi dengan kondisinya saat ini yang kurang sehat, ia akan memikirkan untuk membatalkan rencananya.

Sebuah kamar berukuran kecil yang difungsikan sebagai napping room ia manfaatkan untuk beristirahat. Sangat jarang, Cessa berada di sana. Lembur pun ia memilih tetap berada di ruang kerja. Namun, karena saat ini kesehatannya sedang terganggu, ia tidak bisa berlama-lama duduk di ruang kerja.

"Santai aja, Cess. Nggak usah pikirin kerjaan dulu," ucap Gya sambil memijiti betisnya.

"Iya, ini juga lagi ngosongin pikiran."

"Gue mendingan tetap di posisi gue aja terus, daripada mesti punya beban kerja kaya lo." Gya memandangnya khawatir. "Lo pasti kaget ya karena mesti ngerjain pekerjaan Pak Dayat. Harusnya kan lo minta tolong orang buat bantuin kerjaan lo. Gimana mungkin coba lo kerjain bagian lo dan Pak Dayat dalam waktu bersamaan. Ya kan?"

"Iya, iya. Makasih udah nasehatin gue."

"Pokoknya abis ini, gue nggak mau tau. Lo harus pulang bareng gue. Nggak usah lembur-lembur dulu."

"Iyaa, Gy. Gue udah pikirin soal itu kok."

"Bagus deh kalo gitu."

Cessa perlahan bangun dari posisi berbaring. Ia bermaksud mengambil ponsel di dalam tasnya.

"Udah, biar gue ambilin." Tidak berapa lama, Gya merogoh tas, lalu menyerahkan iphone 8 ke tangannya.

"Yah lowbatt," keluh Cessa,

"Sini gue charge."

Cessa memerhatikan Gya yang begitu perhatian saat ia sedang sakit. Meskipun ia diomeli, tapi tetap saja Cessa dibuat terharu dengan kebaikan hatinya.

Pintu diketuk berikut Ala yang muncul sambil menenteng sebuah paper bag.

"Dari Pak Arion nih."

Ala bertukar pandang dengan Gya.

"Wih tumben lho. Ada yang sakit dikasih kue sama pak Arion."

"Kue apa sih?"

"Cupcakes."

Cessa berusaha menahan keterkejutan dari Gya dan Ala. Mereka mungkin akan mulai berspekulasi dengan kejadian langka tersebut.

Namun, tidak baginya. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan kue itu, meskipun mendengar cupcakes disebut saja, ia sudah merasa ngiler.

"Buat kalian aja."

Ala mengerutkan kening. "Gue sih pengen, tapi nih kue bukan buat gue."

Gya berdehem. "Lo nggak ada hubungan apa-apa kan sama Pak Arion?"

Cessa menggeleng cepat. "Nggaklah."

"Tapi kok gue ngerasa lo nyembunyiin sesuatu." Ala menambahkan.

"Ya, kalian tanya aja sama yang bersangkutan kalo nggak percaya?" tantang Cessa. Ia juga tidak yakin teman-temannya akan memiliki keberanian untuk menanyakan hal dalam konteks pribadi tersebut.

"Iya, gue tanya ke Pak Arion, terus besoknya pasti gue dipecat," Gya memasang tampang kusut.

"Lagian, gue juga tau peraturan di perusahaan ini. Gue kayak cari masalah aja kalo gue seperti yang kalian tuduhkan."

Ala mengangguk-angguk. "Hmm, benar juga. Nggak mungkin lo ngorbanin posisi lo yang udah bagus banget. Trus nggak mungkin juga Pak Arion... ah udahlah. Kita ngomongnya mulai halu deh. Cuma cupcakes ya kan? Walaupun gue lumayan baper juga sih, secara, selama tiga tahun di divisi ini, si Dewa Hermes nggak pernah ngasih-ngasih yang ginian ke karyawan."

Gya masih menunjukkan wajah penuh rasa penasaran. "Yaah meskipun gue juga curiga. Tapi, gue simpan aja rasa curiga gue."

"Positive thinking aja. Soalnya lo sekarang kan gantiin Pak Dayat untuk sementara. Pak Arion hanya ingin mastiin lo cepat sembuh, biar kerjaan lo bisa selesai dengan cepat."

"Tapi kan nggak harus sampe beliin kue segala." Gya mengetuk-ngetukkan jari di dagunya. "Eh, tapi kalo emang beneran, gue nggak tau harus dukung atau nggak. Reputasi Pak Arion soal cewek kan nggak gitu bagus. Tapi kalian serasi kok. Sama-sama ganteng, cantik."

"Astaga, Gy. Udah deh. Gue beneran nggak ada apa-apa sama dia," tegas Cessa.

Ya, memang tidak ada apa-apa kan? Ia tidak berbohong.

Buat apa berbohong, jika kenyataannya memang seperti itu?

Gya tergelak. "Iya deh. Lupain aja. Kan lo lagi sakit? ntar lo kepikiran lagi."

"Eh, gue balik kerja deh. Get well soon, Say." Ala mengusap lembut lengannya.

"Kalo gitu, gue balik juga ya, Cess. Lo nggak apa-apa kan gue tinggal? Kalo gue di sini terus, gue bakal ganggu istirahat lo."

Cessa tersenyum kepada teman-temannya yang bersama-sama meninggalkan kamar. Setelah yakin mereka telah pergi, ia beralih ke meja kecil di dekat bed tempat Ala meletakkan kue.

Ia membuka kotak kue berwarna kuning bertuliskan Minilovesbites berisi enam buah cupcakes cokelat sambil menahan napas.

Seharusnya ia tersenyum. Ia sangat menyukai kue berukuran kecil dengan aneka topping cantik tersebut. Terbayang rasa cake yang manis dan tekstur lembut yang lumer di dalam mulut. Tangannya terulur mengambil salah satu cupcake.

"I can't." Kembali ia letakkan kue yang telah dipegangnya ke dalam wadah, menutup kotaknya dan mengembalikan ke atas meja.

Bukan salah kue-nya sehingga ia enggan memakannya.

Tapi menerima apalagi sampai memakannya hanya akan membuat usahanya untuk melupakan Arion jadi sia-sia.

Ia mungkin terdengar kekanak-kanakan.

Lagipula itu hanya makanan. Benda mati yang tidak bisa bersuara.

Namun tetap saja ia tidak bisa menerimanya.

Biarlah cupcakes itu berakhir di dalam perut teman-temannya. Ia akan membagikannya setelah tubuhnya sudah terasa mendingan.

***

Arion penasaran bagaimana respon Ayana setelah menerima cupcake yang ia antarkan melalui Ala. Meskipun ia cukup yakin Ayana tidak akan memakannya, paling tidak, ia hanya ingin menunjukkan perhatiannya.

Ayana sedang sakit. Penyakit maagnya kambuh.

Ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan sebagai sinyal bahwa ia tidak akan pernah berhenti memperhatikan gadis itu.

Apalagi mendengarnya sampai sakit. Andai ia punya kesempatan juga keberanian untuk menjenguknya di napping room.

Ia sudah tidak peduli dengan tanggapan para staf.

Ia tidak peduli mereka akan bergunjing, menggosipkan tentang dirinya dan Ayana.

Ia tidak lagi ingin bersembunyi.

Ia ingin mengatakan kepada semua orang bahwa ia menyayangi Ayana, dan tidak peduli dengan status mereka di kantor. Baginya, Ayana bukan karyawannya.

Ayana adalah cintanya. Sayangnya.

Oh My God.

Apa yang ia pikirkan?

Seharusnya ia bekerja secara profesional. Bukan menghabiskan waktu meratapi segala sesuatu yang telah terjadi.

"Get well soon, Sayang."

Arion tengah membenamkan dirinya di kursi kerja sambil mengusap wajahnya ketika terdengar suara ketukan di pintu. Setelah ia berteriak masuk, sesosok OB masuk ke ruangannya sambil membawa paper bag.

Jangan bilang ini...

"Maaf, Pak. Ini saya ada titipan dari Bu Cessa."

"Lho? Kan saya udah kasihkan ke kamu untuk dikasih ke Ayana?"

"Bu Cessa, Pak. Tapi katanya disuruh balikin ke Bapak?"

Dio adalah OB yang sama yang ia minta tolong membeli sekaligus mengantarkan paket cupcakes tersebut. Sekarang, Dio pula yang mengembalikan paket itu ke ruangannya.

"Iya, itu maksud saya." Arion memijit-mijit kepalanya.

Oh, Tuhan.

Tidak bisakah gadis itu menerima saja pemberiannya? Ia tidak perlu ucapan terimakasih, tapi setidaknya menerima kue kesukaannya itu bukan sebuah masalah besar, kan?

"Jadi, bagaimana nih paketnya?" tanya Dio dengan wajah bingung.

"Balikin lagi. Saya nggak mungkin ngambil sesuatu yang sudah saya berikan sama seseorang."

"Jadi, paket ini saya kasih lagi ke Bu Cessa?"

Arion mendesah panjang karena frustrasi. "Sekarang dia di mana?"

"Udah pulang, Pak."

"Kok pulang nggak bilang-bilang ke saya?" Mendadak Arion kesal.

"Ya, saya nggak tau, Pak. Saya bukan bagian absensi karyawan?"

Arion mengambil ponsel.

Berapa lama ia melamun sampai tidak mendengarkan notifikasi di ponselnya.

Ayana Sayang : Saya ijin pulang, Pak. Harus ke dokter ASAP

"Pak, maaf. Saya mesti balik untuk beres-beres. Kuenya gimana?"

"Simpan saja."

"Baik, Pak."

Setelah Dio keluar dari ruangannya, Arion mengambil kotak berisi cupcakes dan memakan satu. Tidak peduli akan alerginya terhadap cokelat.

Ia menandaskan satu buah. Setelah tandas, ia mengambil cupcake kedua dan ketiga.

Ia akan menghabiskan semuanya.

Setelah semua tandas, ia mengetikkan chat kepada Ayana.

Ayana Sayang : Cupcakes-nya sudah saya habiskan. Saya harap abis ini kamu mau ketemu saya lagi.

***

Cessa menekan-nekan rambut basahnya dengan handuk setelah selesai mandi sore. Setelah singgah di sebuah klinik untuk memeriksakan kondisi lambungnya, ia langsung pulang ke kostan bersama Gya.

Ia membuka Whatsapp, mengecek apakah Arion membaca WA-nya.

Ternyata ia membalasnya.

Nyaris saja ponselnya jatuh ke lantai jika ia tidak sigap menahannya.

"Mau kamu apa sih?"

Arion bilang, ia baru saja memakan semua cupcake yang diberikan kepadanya. Ia memang mengembalikan paket tersebut, tapi ia tidak pernah terpikir jika Arion akan memakannya. Arion tentu saja kesal terhadap aksi Cessa mengembalikan pemberiannya dan melampiaskan rasa kesal dengan memakan semua kue cokelat tersebut, sekalipun cokelat adalah makanan pantangan.

Arion tidak sedang berbohong kan?

Arion hanya ingin mengujinya kan?

Argh.

Gimana kalau Arion sampai kenapa-napa?

Tanpa pikir panjang, Cessa menghubungi nomor WA Arion. Jelas Arion adalah orang yang cukup licik. Arion tahu jika ia tidak akan tinggal diam mendengar kabar tersebut.

Cessa bisa mengabaikan semua yang dilakukan Arion, tapi tidak dengan tindakannya memakan cokelat.

Bagaimana jika alerginya bertambah parah?

Mungkin tidak akan fatal.

Tapi siapa yang tahu?

"Halo? Pak? Pak Arion?"

Panggilannya tersambung, tapi tidak ada yang menjawab.

"Halo? Pak? Bapak di mana?"

Benar-benar menegangkan. Tidak ada jawaban dari seberang.

"Pak? Bapak bisa dengar suara saya?"

"Saya di depan kostan kamu."

Cessa bergegas keluar, melihat jika benar ada mobil Arion yang terparkir di sana.

Ternyata benar.

Mobil M4 milik Arion terparkir di depan.

Cessa mengabaikan tampilannya yang hanya mengenakan celana piama dan kaus oversize bergambar Strawberry. Lengkap dengan sandal jepit.

"Pak?" panggil Cessa setelah membuka pintu di samping kemudi.

Arion tersenyum padanya. Namun, wajahnya terlihat kurang sehat.

"Bapak beneran makan cupcake-nya?"

Arion mengangguk dan menunjuk kotak di atas jok di samping kemudi.

"Tolong antar saya ke klinik."

Cessa mengembuskan napas panjang.

"Ya udah, Bapak geser duduknya."

"Kamu mau ngapain?"

"Ya mau nyetirlah, Pak."

"Kamu bisa?"

"Seharusnya sih bisa." Cessa menoleh ke kamar kost yang pintunya masih terbuka. "Bapak bisa tunggu sebentar? Saya mau ngambil dompet di kamar. SIM saya ada di situ."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro