24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

   

Akhirnya Ayana mengiyakan permintaan Arion untuk datang bertamu ke rumah mamanya. Gadis itu mengonfirmasi hal tersebut di pagi hari saat Arion baru saja selesai mandi.

Kejutan di pagi hari yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Arion sampai mengurungkan niatnya untuk membuat kopi. Ia ingin menanyakan kembali maksud Whatsapp dari Ayana. Bukan berarti ia tidak percaya.

Ia hanya butuh meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang mengkhayal. Lebih tepatnya, sebenarnya ia tidak sabar bertemu Ayana lagi. Gila kan? Belum 24 jam ia tidak melihat gadis itu, ia langsung merindukannya. Ia butuh mendengar suaranya sebagai penawar kerinduan.

Oke, ia kedengaran mulai berlebihan.

"Ay, kamu serius?"

Ayana mengiyakan.

"Saya jemput kamu ya?"

"Saya sudah di rumah mama. Bapak datengnya sekitar jam 11 ya?"

"Kamu udah kasih tau ke mama kamu kalau saya mau datang ke sana?"

"Iya, sudah. Mama cuma bilang, dateng aja. Sekalian makan siang bareng."

"Mama kamu mau kan nerima saya jadi menantu?"

Tidak ada suara Ayana lagi, tetapi Arion cukup yakin saat ini Ayana terdiam karena sedang berpikir untuk memberinya jawaban.

"Rahasia."

Dan Arion yakin, saat ini Ayana pasti sedang tertawa di balik telepon.

Mengesalkan.

"Kamu suka gitu ya sama saya?" Arion tidak bisa menahan nada suaranya yang khas orang sedang ngambek.

"Biar seru."

Arion menggeram. Kalau saja gadis itu ada di hadapannya saat ini, ia yakin ia sudah menggigit lagi bibirnya, persis seperti waktu ia datang ke rumah mamanya waktu itu. Saat mereka terlibat perselisihan kecil di halaman rumahnya.

"Saya boleh numpang sarapan?" tanya Arion lagi, setelah mendengar suara tawa Ayana.

"Berarti Bapak mau datang lebih awal?"

"Hmm." Arion meneguk air putih hangat yang ia ambil dari dispenser.

"Yang ada cuma jatah makan siang. Sarapan nggak termasuk."

"Saya bayar deh kelebihannya. Mau dibayar pake cinta atau pake cium?"

"Bapak suka gitu deh."

Kali ini Arion membayangkan ekspresi khas Ayana setiapkali ia menggodanya.

"Ya udah. Jam 11 ya? Jangan kecepetan atau telat."

"Nggak mungkin telat, Sayang. Kamu tau kan kalo segala sesuatu tentang kamu, saya pasti gerak cepat."

"Terserah Bapak aja deh mau ngomong apa. Udahan ngobrolnya. Saya mau bantuin mama masak."

"Masaknya pake cinta dan kasih sayang ya, Ay?"

"Issh. Udah."

"Sayang kamu, Ay."

"Hmm, iya. I know. Sayang balik."

Benar-benar membahagiakan.

***

"Jadi, selama ini kalian pacaran?" tanya mama ketika mereka tengah bersama-sama merapikan meja makan serta menyiapkan peralatan makan berikut sajian makanan yang disiapkan sejak pagi.

"Iya, Ma."

"Lho kok bisa, Sa? Dia kan bos kamu? Memangnya boleh kalian punya hubungan?"

Rentetan pertanyaan mama tidak begitu saja dijawab oleh Cessa. Sebagai sosok mama yang sangat perhatian terhadap puterinya, termasuk soal pekerjaan, mama mengetahui peraturan yang berlaku di perusahaan. Termasuk poin yang mengatur tentang larangan memiliki hubungan di luar profesionalisme bagi mereka yang berada di divisi yang sama. Entah bagaimana aturan di kantor lain. Yang pasti, perusahaan sebesar Padma memiliki peraturan yang sangat ketat.

Mama mengaku jadi was-was.

"Ya, sebenarnya nggak boleh sih, Ma." Cessa menggigiti bibir bawahnya. Sambil mengatur piring di atas meja, ia berusaha menghadapi mama setenang mungkin.

Arion akan datang sekitar sepuluh menit lagi. Ia hanya bisa berharap Arion bisa memberikan penjelasan yang memuaskan kepada mama ketika ia datang nanti untuk membicarakan rencana pernikahan mereka.

"Arion bilang, aku nggak perlu memikirkan soal itu. Katanya dia punya rencana yang nggak akan merugikan kami berdua." Cessa lalu menatap mama yang berdiri berseberangan dengannya. "Mama setuju kan sama hubungan aku dengan Arion?"

"Tergantung gimana sikap Arion ke Mama."

"Dia baik kok, Ma. Arion sayang sama Cessa. Padahal Cessa udah berusaha menghindari dia, tapi Arion ngeyakinin kalau dia...serius pengen nikahin Cessa."

"Mama hanya nggak siap punya besan orang terpandang, Sa. Arion mungkin aja memang sayang sama kamu, tapi gimana sama keluarganya? Kamu bilang udah ketemu sama mamanya, tapi papanya belum kan?"

Cessa mengangguk pelan. "Sebenarnya, nikahnya juga nggak buru-buru, Ma. Kami masih masa penjajakan. Arion ke sini, hanya pengen...ngeyakinin mama untuk memberinya kesempatan."

Mama membuang napas pasrah. "Jadi, kalian belum tentu akan menikah?"

"Arion bilang, dia nggak mau nikah kalau bukan sama Cessa."

"Trus, kamu percaya gitu aja?"

"Ma. Kasih kesempatan Arion dulu buat mengenal keluarga kita. Cessa nggak mau berdebat sama Mama atau memaksa Mama ngasih restu. Mama kenalan aja dulu sama Arion. Iya, Ma?"

Mama akhirnya menunjukkan anggukan, meski sorot mata mama menyiratkan keraguan. Senyuman tipis yang ia tunjukkan membuat jantung Cessa semakin berdebar.

"Sa, ada orang bunyiin bel."

Cessa menutup mata lalu menarik napas dalam-dalam. Setelah yakin, ia pun melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Diintipnya dari salah satu jendela tertutup tirai yang mengapit pintu.

Ia membuka daun pintu dengan pelan-pelan, hingga muncul sosok Arion. pagi menjelang siang itu, Arion mengenakan kaus polo berwarna putih dan celana jins. Wangi parfum khasnya menyerbu indera penciuman Cessa. Wajahnya dihiasi senyum lebar, menunjukkan perasaan senang sekaligus optimisme.

Sementara Cessa berdiri di hadapannya dengan canggung, Arion malah dengan santainya meraih salah satu tangan Cessa yang tadinya ia turunkan setelah membuka pintu. Cessa tidak ingin protes, karena ia menyukai genggaman tangan Arion yang hangat. Sangat kontras dengan telapak tangannya yang mendingin.

"Tangan kamu kok dingin banget, Ay? Kaya mau malam pertama saja," goda Arion. Kali ini Arion tidak bisa menahan diri untuk mengecup kepala Cessa.

"Apaan sih? Nanti Mama lihat."

"Nggak apa-apa," ucap Arion kalem, kini memeluk pinggangnya.

Benar-benar cuek sama keadaan. Cessa malah jadi ragu, jangan-jangan malah mama yang grogi melihat sikap tenang dan santai yang ditunjukkan Arion.

"Calon mertua aku mana, Sayang?"

Arion terus menggodanya sampai mereka telah memasuki ruang tamu. Cessa segera melepaskan pelukan Arion di pinggangnya ketika melihat kedatangan mama. Mama merapikan pakaiannya sebelum menyambut uluran tangan Arion.

"Iya, Arion, Tante." Arion menjawab ketika mama berbasa-basi menanyakan apakah namanya sudah benar.

"Kemarin waktu kamu datang nyari Cessa, Tante lupa nama kamu. Mungkin karena namanya nggak pasaran."

"Iya, Tan. Muka saya juga nggak pasaran. Nggak bakal ketemu yang setampan saya."

Mama tersenyum mendengar jawaban Arion, sementara Cessa sumpah mati sudah ingin menenggelamkan dirinya ke rawa-rawa, mendengar jawaban penuh percaya diri sekaligus menyebalkan tersebut. Ia tidak bisa menyalahkan mama jika menyebutnya sosok yang narsis.

Setelah basa-basi singkat, mama lalu mengajak Arion menuju meja makan. Tadinya mama bertanya apakah Arion ingin mengobrol di ruang tamu atau di ruang makan, dan Arion memilih pilihan kedua. Ia beralasan, perutnya sudah kelaparan dan sudah tidak sabar menikmati makan siang spesial bintang lima ala rumahan.

Bisa banget gombalnya.

Posisi duduk Cessa dengan Arion berdampingan, sementara mama duduk di kepala meja. Arion menanyakan keberadaan Nathan yang dijawab mama terlebih dahulu kemudian Cessa yang melengkapi. Nathan menginap di rumah temannya karena semalam mereka mengerjakan tugas asistensi bersama-sama. Basa-basi yang cukup impressive. Berlanjut dengan sedikit membahas tentang Nara yang kini menetap di Seoul.

"Maaf kalau menunya ala kadarnya begini," ujar mama. Cessa mengingatkan mama untuk tidak merendah di hadapan Arion dan menghadapinya dengan santai seperti menghadapi anggota keluarga mereka. Kenyataannya, mama malah juga terlihat gugup, sama seperti dirinya.

Apakah aura orang kaya memang selalu membuat orang-orang di sekelilingnya minder seperti ini?

"Tante kok ngomong begitu? Buat saya, makanan yang disajikan, semuanya istimewa. Karena Tante yang masak. Tidak ada yang mengalahkan masakan buatan Tante dan mama saya di rumah. Saya harus nyebutin mama saya, nanti dia bisa kecewa kalau saya hanya muji masakan Tante."

Mama tertawa, terlihat salah tingkah. "Padahal kamu belum makan, malah sudah memuji Tante."

Arion menolehnya, lalu beralih kepada mama. "Sebenarnya, saya sudah pernah makan masakan Tante."

"Oh, ya?" Kedua mata mama membulat. Cessa mengaduh dalam hati.

Ma, please. Rileks aja. Jangan berlebihan begitu dong.

"Nasi goreng. Waktu itu saya iseng mencicipi bekal yang dibawa Ayana." Arion menatapnya tanpa berkedip. "Tante, saya manggil Ayana, boleh?"

"Oh, boleh. Agak asing sih, karena keluarga kami dan semua teman-temannya manggil dengan sebutan Cessa. Atau Sasa."

"Saya senang manggil namanya dengan Ayana. Artinya bunga."

"Iya, artinya bunga," angguk mama. "Kami ngasih nama Ayana Princessa karena kedengarannya manis. Princessa itu karena Tante mengagumi sosok Lady Diana. Tadinya Tante mau pakai nama Diana, tapi Tante ingat ada saudara Tante yang namanya Diana. Jadi, Tante pakai nama Princess ditambah huruf A."

Sepenting itukah namanya sampai harus dibahas?

"Iya, memang manis, Tan. Sampai saya bisa kena diabetes tiap melihat Ayana."

Rasanya Cessa ingin melarikan diri saja dari situ.

"Saya sayang sama Ayana, Tante. Saya nggak bisa bayangin gimana kalo saya nggak hidup bersama...putri Tante ini."

Mama dan dirinya bertukar pandang dalam diam. Dalam hening, Cessa menunggu respon mama.

"Oh. Haah. Begitu ya?" Mama mengambil segelas air dan meneguknya pelan-pelan. "Gimana kalau kita makan saja dulu? Nanti saya dibicarakan lagi. Ayo, Arion, silahkan. Mau makan yang mana dulu?"

"Iya, Tante." Arion kemudian menyendok nasi ke piringnya, dilanjutkan dengan mengambil sepotong ayam kecap dan sup ayam makaroni.

Cessa menunduk menekuri piringnya yang masih kosong. Suara Arion seolah kembali menyadarkannya.

"Makan, Ay."

"Iya." Cessa menyendok nasi dan sup. Ia memilih bagian sayap yang segera dikomentari oleh mama.

"Katanya, kalau anak gadis makan sayap ayam, artinya ia akan mengikuti suaminya setelah menikah."

"Apa aku pilih paha ayam aja, Ma?"

"Kalau kamu sukanya sayap ayam, ya ambil saja yang itu, Sa." Mama tersenyum, yang di mata Cessa terlihat mengharukan.

Apakah itu berarti mama belum siap melepasnya untuk menikah?

"Dada ayam aja kalau gitu, Ay." Arion meletakkan dada ayam yang tadi ia ambilkan, ke piring Cessa. "Biar lebih berisi."

Arion mengucapkanya dengan berbisik di telinganya, jadi mama tidak bisa mendengar. Kalau saja mama bisa mendengar ucapan Arion, sudah pasti sendok sayur di meja melayang ke kepalanya.

Sepanjang makan, mereka mengobrol tentang banyak hal. Pertama, tentang keluarga mereka. Mama bercerita tentang masa kecil Cessa yang membuat Cessa jadi salah tingkah. Mama bisa banget menceritakan kebiasaannya yang suka ngemut jempol saat tidur.

"Untung besarnya udah nggak ya?" Arion tergelak.

"Ih, Mama. Kok nyeritain yang kaya gitu sih?"

"Nanti deh, saya suruh mama saya ceritain kebiasaan saya waktu kecil, biar adil. Ya nggak, Say...Ay." Arion hampir keceplosan memanggilnya sayang di depan mama.

Masih bakal calon mantu lho ini. Harus baik dan sopan di depan mamanya.

"Kalau Tante nggak keberatan, nanti saya temuin Tante sama mama saya. Saya jemput Tante, gimana?"

"Jangan dulu deh," tolak mama. "Kan Tante belum bilang setuju sama hubungan kalian."

"Kalo gitu maafin saya, Tan. Karena udah lancang nawarin Tante buat ketemu sama mama saya."

Mama tersenyum. "Tante nggak bilang kalo Tante menolak. Tante hanya butuh kepastian dari kamu dan keluarga kamu. Karena keluarga kami hanya orang biasa, dan Tante tahu, bukan hal yang mudah untuk berbaur dengan keluarga kamu."

"Iya, saya ngerti, Tan. Saya ke sini juga nggak maksa pengen ngelamar Ayana. Saya hanya ingin meminta diberi kesempatan untuk melakukan penjajakan." Arion terdengar cukup tenang menangani situasi seperti ini. Tidak memaksa dan berjalan secara pelan-pelan dan bertahap. Hal itu yang sekali lagi ia jelaskan kepada mama.

Beruntung mama bisa memberikan respon yang cukup melegakan. Mama akan mengiyakan, jika keluarga Arion juga merestui hubungan mereka. Karena menyatukan dua keluarga apalagi dengan status sosial berbeda, bukanlah perkara sederhana. Butuh persiapan dan waktu yang sedikit lebih lama.

"Saya janji akan segera membawa orangtua saya untuk melamar Ayana, Tante."

Mama mengiyakan dengan anggukan.

"Semoga penjajakan ini berjalan lancar ya? Tante nggak mengharapkan apa-apa selain kebahagiaan puteri Tante. Jika hubungan kalian memang berjodoh sampai ke pernikahan, Tante berharap kamu bisa menyayangi dan menjaga Cessa dengan baik."

"Saya berjanji, Tante. Saya akan mencintai, menyayangi, menjaga dan melindungi Ayana dengan sepenuh hati saya." Arion mengucapkan setiap kata tanpa ragu.

Cessa belum sepenuhnya lega. Perjuangan mereka menuju pernikahan masih belum selesai, karena langkah selanjutnya adalah meyakinkan orangtua Arion untuk datang melamarnya. Ia akan bersabar melalui setiap proses yang ada, karena ia yakin, Arion akan menepati janji yang ia ucapkan kepadanya dan kepada mama.

***

Matahari telah melewati waktu tengah hari, ketika Arion berpamitan. Sebelum beranjak menuju halaman, mama Ayana berbaik hati mengirimkan paket makanan untuk dibawa pulang. Paket tersebut berupa tiga wadah Tupperware dan satu kotak besar berisi bolu gulung. Mama Ayana memiliki bisnis kue kecil-kecilan, tertera pada kotak kemasan kue, merk dan alamat rumah itu. Beliau terlihat ramah dan tulus, serta menghargai niatnya, meskipun raut wajah sedih tidak bisa ia sembunyikan. Ia memahami, bahwa melepaskan anak untuk menikah, bukanlah hal yang mudah bagi setiap orangtua. Ia pun membayangkan perasaan kedua orangtuanya kelak ketika melepasnya untuk memulai hidup baru yang disebut pernikahan.

Ayana mengantarnya sampai ke mobil, berusaha menolak tapi tidak bisa mengelak saat ia mengecup keningnya. Ayana berhasil mendorongnya setelah Arion sekali lagi mencuri cium tengkuknya yang tidak terhalangi rambut, karena Ayana menggelungnya ke atas.

"Udah buruan pulang."

Ayana menggeram saat ia menggigit lembut daun telinga kanan gadis itu. "Beneran ya? Kamu itu bikin nagih, tau nggak, Sayang?"

"Kamu bisa nggak sih, nggak cantik sehari saja? Biar saya nggak nafsuan tiap melihat kamu?" Arion balas menggeram karena Ayana menolaknya saat akan mengecup tengkuk kanannya. "Tanggung, Sayang. Yang kiri udah, yang kanan belum."

"Pak. Beneran. Saya bisa berubah pikiran kalo Bapak terus kaya gini." Tapi Arion tidak peduli. Ia berhasil mendaratkan bibirnya plus menghadiahi gigitan kecil di tengkuk kanan Ayana.

"Paaak."

"Tenang, nggak ada bekasnya kok."

"Buruan pulang."

"Iyaaa, Sayang." Arion akhirnya menurut. Ia membuka pintu mobil kemudian meletakkan tas berisi makanan di jok penumpang di samping kursi kemudi. "Mas Arion pulang dulu. Nanti Mas telepon kalau sudah sampai di rumah."

"Ih, apaan sih?"

"Pulang dulu ya, Sayang. Love you."

"Love you too."

Arion memanuver mobilnya menuju pintu pagar. Ia menoleh ke belakang sekali lagi, melihat bayangan Ayana yang masih berdiri di halaman.

I love you so much, Ay.

Aku tidak bisa mendefinisikan sebesar apa cinta aku sama kamu. Aku nggak bisa ngasih kamu bulan dan memetik bintang di langit untuk kupersembahkan sama kamu. Aku nggak bisa membangun 1000 candi dalam semalam untuk membuktikan cintaku sama kamu.

Tetapi aku punya satu hati ini yang sepenuhnya hanya untuk mencintai kamu.

***

Aduh isi hatinya Arion hahai

Semoga kalian suka ya.

Aku benar-benar mengusahakan bisa update malam ini :D diramein yaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro