Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menggigit kuku jempol seraya menatap ponsel yang tergeletak manis di atas meja makan. Aku ingin menghubungi Adnan untuk memastikan hubungan kami baik-baik saja. Namun, hati kecilku berkata jangan.

Aku tersentak kaget begitu ponselku bergetar. Dengan segera aku mengambilnya. Ada satu pesan di sana, membuatku cepat-cepat membukanya. Aku mendesis sebal saat tahu siapa yang mengirimiku pesan. Alfa.

"Beli sendiri sana!" teriakku kepada Alfa yang sedari tadi duduk di depanku. Sedang makan, tetapi memintaku untuk membelikan rujak buah.

Alfa menatapku, memasang wajah memelas. "Tolonglah. Ya?"

"Nggak mau!" tolakku.

"Nanti Kakak kasih uangnya lebih. Kembaliannya buat kamu semua," bujuk Alfa.

Sebab aku menyayanginya, maksudku menyayangi uang kembalian, aku mengadahkan tangan. "Mana?"

Alfa tersenyum lebar. Dia merogoh saku celana pendeknya. "Ini," katanya sambil meletakkan uang lima ribuan di telapak tanganku.

Mulutku melongo.

"Kakak tunggu di kamar, ya," kata Alfa lagi seraya beranjak.

"Kak, ini gimana? Duitnya kurang. Rujak buah harganya tujuh ribu," ucapku nelangsa.

"Pinjem dua ribunya kamu, Dek," jawab Alfa santai tanpa menoleh kepadaku.

"Dasar bedebah! Goblok banget sih aku," kataku lirih sambil mengacak-ngacak rambut frustrasi.

Ponselku bergetar lagi. Kali ini ada lima pesan sekaligus. Semuanya dari Mayang.

Mayang : Uyuuuuung.

Mayang : Yuuuung?

Mayang : Woy!!!!

Mayang : Uyuuung, aku traktir es krim ya.

Mayang : Uyuuuung. Bls. Cuma di R aja. Astaga!

Aku mendengkus. Mulai mengetik pesan balasan untuk Mayang.

Nurul : Sbk.

Pesan itu terkirim.

Aku memejamkan mata sejenak dan memainkan ponsel. Jariku berhenti pada nomor Adnan. Kupandangi nomor itu saksama dan badai kesedihan kembali melanda.

Setelah menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan, aku berjalan keluar rumah dengan gontai untuk membeli rujak buah pesanan Alfa.

***

Aku terkapar di meja milik tukang mi ayam, kepalaku terkulai di atas serbet kotak-kotak. Aku sudah tidak sabar merasakan mi di mulutku. Aku sudah lapar sampai tubuhku terasa lemas dan tak bertulang. Aku baru merasa demikian setelah berhasil menemukan rujak buah yang sering mangkal di depan Rumah Sakit Linggarjati.

"Hei, kamu beneran laper banget?"

Aku diam. Tidak mau menanggapi omongan Azka yang tidak bermutu. Sempat terheran-heran bisa bertemu Azka di sini. Namun, ketika cowok itu bercerita sedang membantu temannya jualan mi ayam di sini, aku cukup merasa kagum.

"Sabar, bentar lagi Salim selesai," kata Azka lagi dan aku merasa kepalaku dielus-elus lembut, membuatku seketika bereaksi.

Aku mengangkat kepalaku dan terdengar bunyi benturan. Aku mengerang sakit sambil mengelus cepat bagian kepalaku yang nyut-nyutan.

"Sumpah! Ini sakit banget gila!" seruku melirik ganas kepada Azka yang memegang dagu.

"Maaf," kata Azka, dia ikut mengelus bagian kepalaku yang terasa berdenyut.

"Iiisst! Jangan elus-elus sih, Ka. Bisa-bisa rontok nih rambutku!" Aku menepis tangan Azka, membuatnya cemberut sok dramatis. Kenapa sih dengan ekspresinya itu? Aku geli. Lagi pula, tidak pantas banget mengingat cowok itu pernah  bersikap sok dingin kepadaku.

"Rontok?" Azka menarik kursi yang ada di sampingku dan duduk. "Dasar lebay."

Aku menyeringai. "Lebay gini, kamu juga cinta sama aku," kataku teringat perkatakannya tadi pagi, meskipun seratus persen aku meyakini bahwa dia hanya bercanda.

Azka mengangkat bahu.

"Cie ... yang cintanya sama aku," ledekku. Aku berdecak seraya menggeleng. "Cantik banget sih aku ini, makanya banyak yang kepincut."

Aku tertawa sombong.

"Nurul, kamu itu benar-benar bahaya," kata Azka kemudian sambil menatap kepadaku.

Tawaku terhenti. Keningku mengernyit bingung. Maksudnya bahaya itu apa?

Azka tersenyum miring. Namun, sebelum kutahu apa yang akan terjadi, tiba-tiba cowok itu mendekatkan wajahnya kepadaku dan bibirnya tanpa permisi mencium bibirku.

Mataku mengedip. Untuk beberapa detik, aku merasa bumi tidak berputar pada porosnya. Untuk beberapa detik juga, detak jantungku seakan berhenti.

"Mi ayamnya sudah ... ya, Allah!"

Aku mendengar suara Salim disusul dengan suara mangkuk diletakkan di atas meja. Azka menarik diri, memberi jarak kepada kami kemudian dengan santainya cowok itu tersenyum lebar.

"Bocah edan! Gemblung! Nggak waras!" maki Salim sambil memukul Azka menggunakan sapu, membuat cowok itu mengaduh kesakitan.

Sementara aku, ketika sadar apa yang telah dilakukan oleh Azka, wajahku memanas karena marah.

"Mamaaaaaaaa! Mamaaaaaa! Mamaaaaaaa!" Aku berteriak sekuat tenaga, berharap dengan begitu Mama tiba-tiba muncul di depanku.

"Oh, astaga!" Azka melompat, dia membekap mulutku. "Kenapa berteriak?"

"Aendabeliangkeynepa?" kataku, menatap garang Azka.

Azka melepas bekapan tangannya saat aku menendang tulang keringnya. Cowok itu mengaduh kesakitan lagi seraya membungkuk-bungkukan badan.

"Kurang ajar!" Aku memukul wajah Azka tanpa ampun.

Azka mengumpat. Dia menjauh dariku. Setelah itu, Azka menatapku. Dia membuka mulutnya untuk berkata sesuatu dan aku siap menyerbu serta menampar pipinya seraya mengeluarkan sumpah serapah begitu tiba-tiba Salim berada di antara kami.

"Mi ayamnya nanti melar. Tolong dimakan dulu," kata Salim dengan wajah meminta pengertianku.

Aku mendengkus.

"Makan, Nurul," kata Azka dengan sikapnya yang biasa saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mahapenting terjadi di antara kami.

Aku menatap sekilas mi ayam yang tersaji di atas meja, kemudian menatap sengit Azka yang sudah duduk. Apa cowok itu tidak merasa bersalah sedikit pun setelah menciumku? Gosh! Padahal aku bermimpi ciuman pertamaku itu Adnan. Itu pun bila cowok itu menginginkannya. Kalau tidak, apa boleh buat? Aku akan memaksa.

"Nurul, apa ngeliatin aku jauh lebih mengasyikkan daripada makan mi ayam, hm?" Azka menompang dagu dengan satu tangannya sambil menatapku.

Ugh! Rasanya aku ingin melemparkan  mi ayam milikku ke wajah Azka. Dan, memang itulah yang kulakukan. Selanjutnya, aku membayar mi ayam dan melengang pergi, mengabaikan teriakan Azka yang menggelegar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro