Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hubunganku dengan Adnan dua minggu ini bisa dibilang lancar jaya. Di sekolah kami selalu bersama di setiap kesempatan. Sepulang sekolah pun demikian.

Saat kejadian yang membuatku sakit hati sepulang sekolah waktu itu, malamnya Adnan datang ke rumah dengan cengiran lebar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sialnya, dia membawa kembang padahal tahu aku tidak menyukainya. Maksudku, tidak menyukai kembang. Aku lebih suka dia membawa permen kapas daripada kembang. Memangnya dia itu mau apa coba bawa-bawa kembang? Mau berpacaran dengan kuntilanak atau denganku? Aku tahu, Adnan sengaja membuat sebalku berlipat-lipat.

"Hai, Cantik," sapa Adnan malam itu sambil menahan geli. "Apalah artinya bunga mawar yang kupegang ini, bila dia kalah cantik dengan bidadari yang sedang cemberut di depanku saat ini."

Hoek! Cuih, cuih. Harusnya seperti itu reaksiku. Mual-enek-muntah, tetapi tidak. A en je a ye! Sumpah mati wajahku memanas. Aku tersipu-sipu, tertawa kecil, dan detik itu juga sudah memaafkan Adnan. Kami berbaikan. Semudah itu.

Percayalah, Adnan itu aslinya norak banget. Maka dari itu, dulu sebelum aku menyukainya, begitu melihat ujung rambutnya saja aku sudah lari terbirit-birit. Namun, ke-norak-annya berkurang—malah terkesan hilang—ketika dia tahu aku balik menyukainya. Dia menjadi sibuk menghindar dan sulit tergapai.

"Jadi, mau pake baju yang mana?"

Akan tetapi, aku tidak perlu lagi memusingkan hal itu. Toh, Adnan sudah menjadi pacarku. Dan, aku sangat menyukainya. Tidak, tidak, aku tidak menyukainya, tetapi sangat mencintainya. Ya ampun! Sekarang aku yang terlihat norak. Aku juga ....

"Woy! Nurul! Woy!"

Aku merasa tubuhku berguncang. Mataku mengerjap sekali, kemudian tatapanku tertuju pada Mayang yang bertampang kesal. Kenapa?

Mayang mendengkus. "Mikirin apa sih? Hell-o, kamu mau pakai baju apa?"

Aku mencebik. Berjalan ke arah lemari, mengobrak-abrik baju yang kupunya. "Baju apa, ya? Karena ini date pertamaku. Aku ingin yang spesial."

Aku menarik rok panjang yang dibelikan Mama beberapa bulan yang lalu. Aku belum pernah memakainya karena aku lebih suka memakai celana.

Aku melemparkan rok panjang itu sembarang, mulai mencari-cari lagi apa yang ada di lemari. Aku menemukan kaus putih yang menurutku sangat imut dan memutuskan segera memakainya.

"Bagus juga kalau kamu pake rok ini," celetuk Mayang. Aku menoleh kepadanya. "Biar beda."

"Nggak deh," tolakku, kembali memusatkan diri ke isi lemari.

"Lho, kenapa? Imut lagi kembang-kembang," kata Mayang, lalu mengepaskannya di pinggangku. "Tuh, cocok, kan?"

Ogah-ogahan aku melihatnya juga. Kelihatan lumayan, tetapi masa aku memakai rok? Yang ada aku tidak bisa menempel-peluk-manja Adnan saat berboncengan. Duh, rugi!

"Yang bener aja deh, May, aku nggak bisa mesra-mesraan entar pas naik motor!" seruku.

Mayang cekikikan, menjatuhkan diri ke ranjang dan memainkan handphone. Aku mendesah. Tak ada guna meminta pendapat Mayang. Dia juga belum pernah mengerti apa itu nge-date. Aku menarik ripped jins yang warnanya agak pudar, lalu segera mengenakannya.

"Nurul ...."

Terdengar suara Mama di balik pintu. Aku segera menyelesaikan dandan ala kadarnya dan berjalan ke arah pintu.

"Ya, Ma," jawabku sambil membuka pintu.

"Di ruang tamu ada—" Ucapan Mama terputus. Mata Mama naik-turun mengamatiku. "Tumben udah cakep di hari libur?"

Aku tersenyum sok malu-malu karena sudah dipuji cakep. Ya, aku tahu, cakep adalah nama tengahku.

Kening Mama berkerut.

"Gimana, gimana, Ma?" tanyaku antusias. "Di ruang tamu ada apa? Adnan udah dateng, ya?"

"Kamu mau pergi sama Adnan?" Mama balas bertanya.

Aku mengangguk. "Yup."

"Kalian pacaran?" selidik Mama dengan mata memincing curiga.

Aku tersenyum lebar sekali. "Kenapa Mama masih juga bertanya?"

"Sejak kapan?" tanya Mama serius.

Aku merangkul Mama dan mengecup pipinya. "Seharusnya Mama udah tahu dong."

Mama mendesah. "Dengar, Nurul, kamu jangan terla—"

"Nggak kok, Ma. Aku nggak bakal neko-neko pacarannya. Paling sebatas gandengan tangan," potongku cepat karena dari mimik wajah Mama, terlihat beliau tidak senang anak gadisnya menjalin hubungan dengan lawan jenis. "Atau mungkin ya ditambah pelukan dikit, ciuman dikit, cumbuan dikit. Boleh, Ma?" sambungku dengan senyum menggoda.

"Nurul!" Mama mengeram murka. Salah satu tangannya sukses menjitak keras kepalaku membuatku ber-adooow-adooow ria.

"Astaga Mama!" seruku agak histeris.

Mama berkacak pinggang. Matanya memancarkan kilat galak yang menusuk membuat nyaliku ciut.

"Awas saja kalau berani," ancam Mama.

"Ya, ya, ya. Ya udah, aku mau ketemu Yayang Adnan dulu," kataku, kembali melesat ke dalam kamar untuk menggambil tas.

"Terus Mayang? Kamu tega ninggalin dia?" Mama menyusulku masuk ke dalam kamar.

"Mayang bentar lagi juga pulang kalau aku dan Adnan udah pergi," jawabku santai yang dihadiahi pelototan mama.

"Bener kok Tante apa kata Nurul. Aku mah apa atuh cuma jadi penasehat fashion doang meski nggak didengerin," bela Mayang.

Aku menyengir keki.

Mama menghela napas panjang. "Ya udah, tapi kamu makan dulu, ya?"

Mayang mengacungkan jempolnya. "Sip, Tante."

Aku melambaikan tangan dengan riang kepada Mama dan Mayang, lalu segera melesat ke ruang tamu. Di sana Adnan duduk berhadapan dengan Ayah, sementara Alfa berdiri sambil bersedekap. Aku berdecak pelan. Cih! Gayanya selangit.

Keningku mengernyit ketika merasakan aura ketengangan yang ganjil menyelimuti mereka bertiga. Perlahan, aku mendekati Adnan. Duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya yang saling bertautan di pangkuan.

"Maaf, lama," kataku. Lalu, mengalihkan pandangan kepada Ayah yang memasang wajah dingin. Aku menelan ludahku susah payah.

"Yah ...." Suaraku tercekat ditenggorokan.

"Adnan sudah minta ijin kalau kal—"

"Jadi, boleh?" selaku semangat, lalu meringis karena sudah memotong ucapan Ayah.

"Itu tanganmu." Ayah mengendikkan dagu ke arahku.

Mengerti, aku segera melepas genggamanku pada Adnan. "Maaf, maaf."

"Satu jam."

"Hah?"

"Atau nggak!"

"Kok git—"

"Satu jam atau nggak sama sekali!" seru Ayah tegas.

"Lah ..." protesku tak terima. "Man—"

"Baik, Om," potong Adnan cepat.

"Ih Adnan ih ... kurang panjang tahu durasinya," renggekku manja.

"Nurul!" seru Ayah galak.

"Iya, iya, iya, Ayah."

Adnan berdiri. Dia pamit seraya mencium punggung tangan Ayah. Diikuti olehku. Meski wajahku cemberut berat, aku tetap harus sopan.

Adnan menitip salam untuk Mama yang tidak turun juga, sementara kepada Alfa, dia hanya menundukkan kepala. Sepertinya Adnan tahu keenganan Alfa untuk berjabat tangan dengannya.

Di halaman, Adnan menyerahkan helm berwarna biru muda kepadaku yang segera memakainya.

"Jadi, kita mau kencan di mana?" tanyaku penasaran. 

"Ke Gedung Perundingan Linggarjati atau Taman Purbakala Cipari sekalian ketemu teman-temanku di sana ...."

Mulutku mengangga. Astaga! Tidak adakah tempat kencan yang lebih romantis daripada yang barusan Adnan sebut? Terus apa katanya tadi? Bertemu teman-temannya di sana? Bukannya yang namanya kencan itu berdua? Namun, jika yang dimaksud bertemu teman-teman oleh Adnan itu fosil, tulang belulang, artefak, batu, kursi atau foto-foto jaman dahulu kala, pacarku itu benar-benar butuh hiburan ekstra.

"... lama nggak ke tempat bersejarah. Terakhir ...."

Yup! Memang itu tempat bersejarah. Akan tetapi, kencan di tempat seperti itu? Yang benar saja! Atau jangan-jangan Adnan mengajakku ke sana untuk melakukan sebuah perjanjian love 4 ever, secara tempat itu juga merupakan saksi bisu Perjanjian Linggarjati. Perjanjian bersejarah yang berisi kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda dalam upaya diplomatik pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan wilayah kesatuan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Linggarjati karena lokasi terjadinya di Desa Linggarjati yang terletak di sebelah selatan kota Cirebon, Jawa Barat, pada tanggal 10 November 1946.

Pun, dengan Taman Purbakala Cipari.  Itu juga termasuk tempat bersejarah. Kita bisa merasakan ikut terseret jauh ke jaman ratusan ribu tahun lalu jika berada ditengah-tengah Batu Temu Gelang. Sebuah tanah lapang berbentuk lingkaran dikelilingi batu sirap yang menjadi tempat upacara berhubungan dengan arwah nenek moyang dan berfungsi sebagai tempat musyawarah. Tempatnya memang bagus. Embusan angin pegunungan yang datang dari gunung Ciremai, bisa membuat betah siapa saja untuk berlama-lama di sana dan tahu-tahu tanpa terasa hari sudah beranjak gelap.

Tetapi, tetap saja kedua tempat itu tidak ada dalam daftar keinginanku untuk menjadi tempat kencan pertama yang penuh cinta.

"... kerena satu jam. Lebih ba—"

"Jadi, kencan nggak sih?" potongku, memanyunkan bibir. Masih tidak terima tentang destinasi Adnan mengenai tempat kencan pertama kami sampai aku tidak menyimak sepenuhnya apa yang diucapkan pacarku itu.

Adnan terkekeh, mencubit kedua pipiku gemas. "Duh, makin cantik aja sih kalau lagi manyun."

Hatiku langsung bercorak bunga. Pipiku memanas. Adnan menaiki motornya diikuti aku yang membonceng di belakangnya. Kali ini, Adnan menarik tanganku untuk memeluk pinggangnya. Aku tidak menolak dan menyandarkan kepala ke punggung Adnan yang sandarable banget.

Adnan diam.

Aku diam.

Perjalanan kami diisi dengan kediaman yang nyaman.

"Udah sampai nih," kata Adnan bersamaan dengan laju motornya yang berhenti.

Aku menegakkan tubuh. "Sampai mana? Kok rasanya cep—" Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat. Turun dari motor.

Apa-apaan sih ini?

Aku menatap punggung Adnan sampai sosoknya hilang dari pandanganku. Hanya sebentar. Kemudian, cowok itu sudah ada lagi di depanku dengan senyum permohonan maaf.

"Aku tahu kamu nggak suka, tapi hanya di sini tempat yang kupikirkan karena kita hanya punya waktu satu jam," kata Adnan lembut, dia menggenggam tanganku dan menarikku untuk berjalan. Mau tidak mau aku menurut juga.

Keningku mengernyit menyadari kesunyian yang tidak biasa di sekitarku. "Kok rumahmu sepi? Tante, Om, Mbok Ijah, Mang Usman ke mana?"

Benar, tempat pertamaku kencan dengan Adnan adalah di rumah cowok itu. Benar-benar tidak sesuai keinginanku. Miris.

"Mama ke Surabaya sama Papa. Mbok Ijah sama Mang Usman, ada kok. Mungkin di belakang," jawab Adnan mengangkat bahu cuek.

Aku diam tidak menanggapi.

"Kamu masuk ke kamarku dulu gih," kata Adnan kemudian.

Hah? Apa katanya? Masuk ke kamarnya? Jangan gila, please!

"A-a-apa?"

"Aku tahu kamu mendengarnya," sahut Adnan datar.

"Mas-mas-suk kam-mar ka-kamu?" ulangku terbata-bata. Astaga! Ada apa sih denganku?

Adnan tersenyum miring. "Kenapa? Takut?"

Oh, jelas takut. Aku tidak tahu bakal secepat ini. Pikiranku sudah melantur ke mana-mana. Ke adegan salah satu tokoh novel yang tidak sengaja kubaca saat Christian Grey dan Anna berduaan di dalam kamar dan melakukan—otak ngeres!

Aku menggeleng cepat. "Nggak. Nggak kok. Nggak takut."

"Ya udah sana masuk dulu," kata Adnan, melepas genggamannya ketika melihatku mengangguk.

Aku berjalan sendirian menuju kamar Adnan. Sampai di depan kamar cowok itu, aku hanya berdiri terpaku memandang pintu kayu berwarna cokelat untuk beberapa saat. Menghela napas, aku membuka pintu itu dengan sekali sentakan dan berjalan perlahan memasuki kamar Adnan, membiarkan pintunya terbuka lebar.

Ini pertama kalinya aku memasuki kamar cowok. Dalam hal ini, Alfa tidak termasuk karena kami bersaudara dan tinggal satu atap. Kupikir semua kamar cowok itu berantakan seperti kamar Alfa, tetapi kamar Adnan tidak, meski meja belajarnya cukup berantakan. Aku tersenyum melihat fotoku terbingkai di atas sana.

Suara dehaman seseorang dari arah belakang, membuatku berbalik. Adnan masuk membawa nampan berisi dua gelas es jeruk dan kue. Cowok itu memberi isyarat untukku mengikutinya, lalu dia menyuruhku untuk membukakan pintu yang terhubung dengan balkon.

Jadi, di sinilah kami berada. Duduk-duduk manis di papan yang didesain sedemikian rupa pada batang-batang pohon mangga yang ada di samping kamar Adnan. Ditemani sepiring kue lapis legit dan dua gelas es jeruk, tentunya. Lumayanlah untuk menjadi tempat kencan.

"Menurutmu egois itu apa?" tanya Adnan santai, memecahkan keheningan. Keheningan yang mempunyai warna tersendiri, menurutku. Karena asal bersamanya, keheningan tadi bukan hanya sekadar keheningan semata.

"Mentingin diri sendiri?" jawabku sedikit bingung.

"Egois nggak kalau aku minta kita putus?" tanya Adnan lagi tanpa menatapku dan masih dengan nada santai.

Untuk beberapa detik jantungku serasa berhenti berdetak. Mendadak otakku blank. Aku tidak bisa menjawab. Adnan menoleh ke arahku, menatap lekat wajahku yang kuyakini sepucat mayat. Mataku mengedip begitu melihat cengiran tak berdosa terukir dibibirnya.

"Apaan sih, Adnan, jangan mulai aneh-aneh deh," kataku agak cemas.

Adnan tidak menanggapi.

"Aku—" Aku diam sejenak untuk membasahi bibirku yang terasa kering. "Kamu itu kayak soal bahasa Indonesia yang membuatku bingung memilih jawaban di pilihan ganda."

Adnan tertawa, entah menertawakan apa, membuat keningku keriting. Dia menusuk pinggangku menggunakan jari telunjuknya, membuatku mengelinjang dan berteriak tak terima.

"Kenapa tertawa sih emang ada yang lucu apa?" kataku sewot, nyaris menangis sambil memukul-mukul tubuhnya.

Adnan berdecak. "Gitu aja ngambek."

"Jahat tahu nggak." Aku berhenti memukul Adnan dan menunduk, tidak berani menatap cowok itu.

"Dengar," kata Adnan tiba-tiba terdengar serius. "Jika aku bersikap egois nantinya, yang perlu kamu ingat itu, aku sayang kamu."

Wajahku mendongak, menatap Adnan yang menatap lurus ke manik mataku.

"Cinta kamu juga."

Detak jantungku melesat cepat. Aku tidak bisa berkata apa-apa saking shock-nya. Shock yang menyenangkan sekaligus mendebarkan. Semilirnya angin membuat rambutku yang tergerai menjadi berantakan. Aku membiarkannya karena terlalu asyik untuk tidak kehilangan momen menatap kesungguhan di mata Adnan.

Tangan Adnan terulur, menyelipkan rambutku ke balik telinga. Tatap matanya yang dalam, menyihirku untuk diam saat cowok itu mendekat, mengikis jarak di antara kami. Dia memiringkan wajah, membuatku mencengkeram kuat kausnya di bagian dada saat aku membiarkannya mencium bibirku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro