05 || Hello?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tresna melepas sepatu hitam bertalinya dengan bantuan tumit dengan sedikit paksaan. Ia terlambat datang ke perjamuan makan malam rekan bisnis ayahnya karena acara Job & Faculty Fair hari kedua baru selesai jam 7 malam, tepat di waktu seharusnya ia sudah tiba di restoran. Langkahnya yang sedikit terburu-buru membuatnya sempat salah ruangan dan perlu mendapat teguran dari pelayan restoran karena ia memakai sepatu di ruangan tanpa alas kaki.

Saat pintu ruang makan terbuka, Tresna refleks mengucap salam dan membungkukkan badan sembari berujar, "Maaf, saya terlambat banget."

Semua mata dalam ruangan itu jelas langsung menatap lelaki berkaus hitam dengan kemeja garis-garis yang kancingnya dilepas semua sebagai luaran. Tangan-tangan yang memegang alat makan dan sedang mengiris daging panggang di atas piring sejenak berhenti untuk menyambut kedatangan Tresna.

"Ini, ya, yang namanya Tresna?" Seorang lelaki paruh baya berjanggut tipis meletakkan alat makannya dan berdiri menghampiri Tresna. "Masuk, Nak. Langsung makan, ya," ujar lelaki itu sambil memberi kode ke pelayan untuk menyajikan makanan milik Tresna.

"Pak Bagus?" Masih dengan posisi punggung yang sedikit menunduk, Tresna mengulurkan tangan pada lelaki berjanggut yang menyambutnya dengan hangat itu.

"Benar. Selamat datang, Tresna. Terima kasih karena sudah menyempatkan datang di sela kesibukanmu."

"Oh, saya nggak sibuk, Pak."

Pak Bagus tertawa. "Nggak apa-apa. Masih muda menyibukkan diri itu wajar. Bapakmu cerita banyak soal kesibukanmu. Ayo, duduk, duduk."

Tresna berjalan menuju bangku di sebelah kakak iparnya, Mas Pandu. "Udah dari tadi, ya, Mas?" bisiknya pada kakak iparnya.

"Lumayan. Pak Bagus dan keluarganya tepat waktu. Tadi, kita juga telat 15 menit."

"Dasar orang Indonesia," ledek Tresna yang dibalas dengan tendangan pelan dari Pandu.

"Pas sekali kamu datang pas kami lagi bahas kamu. Kapan wisuda, Tresna?"

Hampir saja Tresna tersedak dengan pertanyaan tiba-tiba dari Pak Bagus. Sebenarnya, bukan pertanyaan yang aneh apalagi tabu. Hanya saja, tiba-tiba menjadi pusat perhatian saat ia baru menghela napas justru membuatnya gagal bernapas. Acara pameran kampus sudah membuatnya cukup lelah berinteraksi dan ingin sebentar bersembunyi sebelum harus kembali bersosialisasi. Ya, salahnya sendiri. Tidak mungkin, kan, ia tidak jadi pusat perhatian setelah terlambat datang ke perjamuan?

Setelah menarik napas dan menelan air yang tersisa di kerongkongan, Tresna memasang senyum tersopannya. "Insyaa Allah, bulan September, Pak. Tiga bulan lagi."

"Oh, masih lama, ya?"

"Iya. Kebetulan selesai yudisiumnya setelah periode wisuda pertama. Jadi saya masuk ke periode kedua wisuda untuk program magister."

"Kalo gitu, kita rencanakan lamarannya dulu saja. Bagaimana?"

Kalimat Pak Bagus membuat seisi ruangan yang sudah mulai menyantap makanan kembali terdiam lagi. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tetapi dalam pikiran Tresna, semua ini terjadi terlalu cepat. Tiba-tiba ia merasa panik dan berkeringat dingin. Tangannya menepuk paha kakak iparnya, meminta bantuan.

Pandu beradu tatap dengan Tresna, beralih ke Risma—kakak perempuan Tresna—dan kedua mertuanya yang juga memasang ekspresi penuh kekagetan. Tampaknya, semua terkejut dengan kalimat barusan, tetapi canggung dan bingung harus menanggapi seperti apa. Melihat Tresna yang sepertinya masih mencerna keterkejutannya, akhirnya Pandu mengambil alih.

"Masyaa Allah, hal baik memang perlu disegerakan, ya, Pak. Tapi, sepertinya Tresna dan Ayu perlu waktu untuk saling mengenal dulu." Pandu berpaling ke Tresna. "Kamu baru dateng tadi. Udah kenalan sama Ayu?"

Mata Tresna berkedip berulang kali dengan cepat. Ia merasa kepalanya sudah menggeleng, tapi sepertinya kekakuan sudah menjalar ke seluruh tubuh. Kepalanya tidak bisa digerakkan.

"Oh, iya. Mari saya kenalkan." Pak Bagus menanggapi dengan suara lantang dan intonasi bahagia. "Ini anak saya satu-satunya. Baru lulus magister juga, tapi di Turki, jadi ini baru kembali ke Indonesia lagi. Ayu, kenalan dulu sama Tresna."

Mungkin karena terlambat dan sudah disambut dengan ketegangan suasana, Tresna sama sekali tidak menyadari ada perempuan berkerudung biru laut yang duduk persis di seberangnya. Kalau saja kakak iparnya atau rekan bisnis ayahnya itu tidak menyebutkan, sepertinya mata Tresna tidak akan menangkap sosok yang sedari tadi hanya diam menyimak di hadapannya.

Tresna dan Ayu saling tatap sesaat, menganggukkan kepala, lalu berpaling kembali ke forum keluarga. Sebuah pikiran pun terlintas dalam benak Tresna yang kesadarannya sudah kembali dari keterkejutan situasi.

"Wah, terima kasih karena sudah mengenalkan saya kepada Ayu, anak Pak Bagus. Kemarin, saya sempat diberitahu oleh Bunda terkait rencana baik yang akan dibicarakan hari ini. Namun, benar kata Mas Pandu, sepertinya kami butuh waktu untuk mengenal dulu, ya, Pak. Terlalu terburu-buru pun rasanya kurang baik untuk hal sebesar lamaran dan pernikahan." Tresna mengeluarkan jurus negosiasinya sesopan mungkin. Meski dari luar terlihat tegas, lancar, dan berwibawa, sebenarnya jantung lelaki bermata hitam itu berdebar tidak karuan. Di bawah meja, kedua tangannya saling bertaut dan saling meremas. Tidak hanya itu, kakinya pun beberapa kali menyenggol kaki kakak iparnya.

"Nak Ayu juga baru pulang dari Turki. Mungkin butuh adaptasi dan ketemu temen-temennya dulu di Indonesia, Pak. Maklum, lah. Masih muda biasanya banyak hal yang ingin dilakukan sebelum berkeluarga." Akhirnya ayah Tresna masuk dalam percakapan.

Pak Bagus dan istrinya mengangguk-angguk. "Hahaha, benar. Kok malah saya yang keliatan kebelet nikahin anak, ya. Baik, baik. Saya mengundang keluarga Pak Farhan hari ini juga ingin berkenalan dan pendekatan dulu. Mohon maaf kalau tadi saya terkesan terburu-buru."

Senyum canggung mulai muncul satu per satu dari keluarga Tresna.

"Salam kenal, ya, Mas Tresna."

Suara yang begitu lembut, tetapi serasa penuh dengan kepercayaan diri, membuat seluruh mata berpaling ke pemilik suara itu. Tresna lagi-lagi dibuat terkejut dengan suara perempuan di depannya. Kalau dianalogikan, suara itu seperti kesejukan yang menenangkan bagi siapa saja yang mendengarnya. Mulut Tresna sedikit menganga, alisnya terangkat bersamaan dengan kelopak mata yang membuka lebar.

Kalau saja Pandu tidak menyenggol kakinya, sepertinya Tresna akan membeku dengan konyol di kursi. "Ah. Oh. Iya. Salam kenal juga, Ayu."

Tawa kecil terdengar dari seluruh anggota keluarga—menertawakan kecanggungan yang sangat kentara dari perilaku Tresna. Untung saja makanannya sudah datang sehingga Tresna bisa mengalihkan kecanggungannya dengan mengiris daging panggang yang sudah tersaji di hadapan.

Makan malam itu berlangsung sampai pukul 9 malam. Keluarga Pak Bagus pamit pulang terlebih dulu karena ayah Tresna masih ingin berdiam di restoran untuk menghabiskan waktu bersama keluarga—katanya, mumpung bisa kumpul lengkap. Setelah keluarga Pak Bagus pergi, rapat keluarga Tresna di mulai.

"Jadi, gimana, Tresna?" Bundanya memulai pembicaraan.

"Gimana apanya, Bun?"

"Itu, anaknya Pak Bagus."

Tresna menghela napas panjang. "Mau diomongin sekarang banget, nih, Bun?"

"Itu bundamu cuma mau tanya pendapatmu dulu aja." Ayahnya menimpali.

"Ya, nggak gimana-gimana. Tresna juga baru kenal, kan," jawab Tresna dengan memaksakan senyuman.

Sebenarnya, kelelahan lelaki yang seharian bertugas di acara pameran universitas ini sudah diambang batas. Rasanya ia ingin cepat-cepat bertemu kasur dan tidur karena besok adalah hari ketiga pameran dan ia masih harus bertugas. Namun, tidak mungkin juga jika dirinya langsung pamit pulang dan meninggalkan keluarganya atas alasan lelah. Walau keluarganya akan memaklumi, tetapi beban moral yang dirasakan Tresna membuat ia memaksakan diri untuk bertahan.

"Kayaknya, Tresna udah capek banget, Yah, Bund."

Tresna memandang kakaknya dengan tatapan terharu. Lewat matanya, ia seolah mengucapkan, Makasih banyak,Mbak. Kamu paling mengerti!

"Oh, iya. Seharian ngurusin acara, ya. Ya, udah. Kita pulang, yuk. Risma sama Pandu ikut pulang ke rumah Bunda atau gimana?"

Pandu melirik Tresna dan memberi kode ke Risma. "Ikut ke rumah Bunda boleh? Lagi kangen, nih," ujar Risma yang langsung melingkarkan lengannya ke lengan Bunda.

Mereka pun menuju ke parkiran mobil bersama-sama. Namun, Tresna tertinggal di belakang karena berjalan sangat pelan. Usai pertemuan tadi dan kini sedikit mendapat ruang keheningan, pikiran-pikiran yang sebelumnya tertahan mulai muncul.

Tresna bingung. Apa yang ia rasakan saat ini?

Dua hari lalu, ia kembali bertemu dengan Manda, perempuan yang sudah menjadi penghuni sudut hatinya bertahun-tahun. Bahkan, saat Tresna mencoba melupakan Manda dengan menjalin hubungan bersama perempuan lain semasa kuliah, hubungan itu tidak pernah bisa lanjut sampai ke tahap pacaran, apalagi lebih.

Namun, ketiadaan kabar Manda selama bertahun-tahun pun melelahkan bagi Tresna yang menyimpan rasa tak berbalas ini. Hingga berita soal niat perjodohan yang diinformasikan padanya dua hari lalu juga membuat ia akhirnya siap melepas Manda. Sayangnya, setelah informasi itu, justru Manda kembali hadir.

Dan kini ada Ayu.

Tresna tidak mengenal Ayu. Meski suara perempuan itu sempat memberikan desir aneh dalam hatinya, tetapi itu mungkin hanya kekaguman sesaat karena Tresna cukup sensitif dengan suara. Setiap ada suara yang indah dan pas di telinganya, pasti akan terus terngiang. Mungkin kondisi ini terjadi karena Tresna menyukai musik dan kreasi suara yang memberi warna dalam proses komunikasi manusia.

Hanya saja ... Situasi apa ini?

"Mikirin apa serius banget?" Pandu merangkul punggung Tresna dari belakang.

"Ah. Enggak."

"Aman, kan? Katamu beberapa waktu lalu, udah siap ngelepas first love-mu di SMA itu. Apa masih belum?" Pandu memang menjadi salah satu tempat penampung curahan hati Tresna, sekaligus guru masalah percintaannya sejak ia pacaran dengan kakak perempuan Tresna.

Pertanyaan Pandu membuat langkah Tresna terhenti. "Itu dia."

"Kenapa?"

"Aku dikerjain takdir."

Pandu mengangkat alis. Adik iparnya itu menatap dengan pandangan yang melukiskan kebingungan luar biasa.

"Manda dateng lagi dalam hidup aku. Persis 2 hari lalu. Persis waktu Bunda ngasih info soal rencana perjodohan ini."

Kedua kakak-beradik ipar itu saling bertatap dalam diam. Pandu bisa mengerti kebingungan adik iparnya ini karena ia tahu perjalanan cerita Tresna dan Manda yang, bagi seorang lelaki, akan sulit melepas perempuan yang sangat bermakna dalam hidupnya.

"Hei, kalian mau ditinggal?" Panggilan Risma membuat percakapan batin Pandu dan Tresna buyar.

"Nanti kita obrolin lagi."

Tresna mengangguk dan mengikuti langkah Pandu menuju mobil. Setidaknya, kebingungan ini tidak harus ia hadapi sendiri.

***

~1537 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro