17 || Second Thought

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bohong kalau Tresna mengatakan dirinya baik-baik saja. Walau ia menyadari bahwa penolakan Manda adalah kenyataan yang perlu dihadapi sebagai risiko dari pernyataan cinta, tetap saja itu berat dan ia tidak ingin tenggelam dalam kegalauan sendiri. Walau kakak iparnya, Mas Pandu, sudah mengatakan bahwa Tresna perlu bersikap seperti laki-laki—sudah dapat kepastian di satu pihak, tinggal memberi kepastian ke pihak lainnya—lelaki penyuka biru dongker ini tidak yakin dengan langkah yang seharusnya ia ambil setelah ini.

Usai mendapatkan jawaban dari Manda, Tresna langsung bertolak dari daerah kampus yang cerah menuju mendung yang menyambutnya di depan rumah. Hanya saja, ia tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya. Ia butuh waktu berpikir sendiri dan tidak ingin ditanya terkait apa pun oleh orang tuanya. Satu-satunya tempat yang akan memberi Tresna ruang untuk itu adalah tempat kakaknya, Risma, tinggal bersama suaminya.

"Kamu dari mana? Kenapa basah kuyup gini?" ujar Risma melihat adiknya dengan bibir gemetar hampir biru saat membukakan pintu rumah.

"Dingin, Kak."

"Sebentar." Risma masuk ke rumah dan masih membiarkan adiknya di depan pintu, lalu kembali membawa keset dan handuk. "Lepas baju kamu, pake handuk, langsung mandi. Nanti kusiapin baju di kamar belakang."

Tresna hanya mengangguk dan menuruti perintah kakaknya. Pikirannya sudah kosong. Bukannya ia mau hujan-hujanan, tetapi dirinya memang tidak bawa payung dan sudah terlalu malas untuk repot-repot beli payung saat dirinya turun dari bis kota dan hujan sudah menderas. Ia hanya berpikir untuk segera sampai ke rumah kakaknya, tiduran di kamar belakang, dan mengelola perasaannya yang tertolak.

Untungnya, Risma dan Pandu tidak serta merta menerobos ke kamar tamu dan membanjiri adik laki-laki mereka dengan beragam tanya. Keduanya menunggu, hingga malam esoknya Tresna yang lebih dulu menghampiri.

"Kamu mau kubuatin kopi? Atau air biasa aja?" tanya Risma yang langsung berdiri saat melihat adiknya menghampiri meja makan. Tadinya, Risma dan Pandu sedang berdiskusi apakah keduanya perlu menanyakan kondisi Tresna atau menunggu adik mereka itu bercerita saat ia mau.

Tentu saja ini bukan sekali dua kali Tresna kabur ke rumah kakaknya. Setiap kali ada hal berat yang ia rasakan atau perlu mendapat saran selain saran orang tua yang menurutnya sangat template, lelaki penyuka ice americano ini pasti mohon izin untuk menginap di rumah kakaknya.

Maka, Risma dan Pandu sudah biasa dengan kondisi Tresna dan membiarkan adiknya itu mengelola pikiran dan emosinya sendiri. Mereka akan maju ketika memang Tresna tidak keluar kamar seharian penuh atau kalaupun keluar kamar, ia masih tidak bisa diajak bicara setelah dua hari berselang.

Tawaran kopi dari Risma dijawab dengan anggukan oleh Tresna. Saat kakak perempuannya itu ke dapur untuk membuat kopi, ia menarik kursi dan duduk di hadapan kakak iparnya yang sedang menikmati teh pasca pulang kerja.

"Mas, kalo aku udah dapet kepastian tapi aku masih nggak yakin dengan kepastian yang akan aku kasih ke pihak satunya, gimana?" lirih Tresna dengan kepala yang ditundukkan.

Pandu mengangkat alis ketika mendengar pertanyaan tanpa konteks dari adiknya itu. Meskipun demikian, ia bisa paham ke arah mana pembicaraan yang ingin dibawa oleh Tresna. Tentu saja ini perihal perasaan dan perempuan. Panda tersenyum sekilas sebelum membalas pertanyaan adiknya itu. "Kenapa nggak yakin"

"Ya, gimana caranya bisa yakin kalo perasaannya nggak ada?"

"Belum ada. Bukan nggak ada."

Tresna mengangkat kepala. "Kenapa gitu?"

"Boleh Mas memperjelas konteksnya?"

Alis Tresna berkerut. Ia sedikit ragu, tetapi akhirnya mengangguk pelan.

"Oke. Kalo dari pertanyaanmu, ini pasti soal Manda sama Ayu. Bener?" Pandu mengecek reaksi dari Tresna dan melanjutkan saat melihat lelaki bermata hitam di hadapannya itu berkedip beberapa kali. "Kalo ngeliat kondisimu dari dateng sampe sekarang, jawaban Manda nggak sesuai harapanmu dan kamu juga bingung karena ngerasa nggak ada rasa sama Ayu. Gitu?"

"Yah, mau gimana."

Pandu tersenyum. "Sulit emang kalo nunggu ada rasa dulu baru yakin. Hanya, satu hal yang udah pasti, Manda bukan lagi jadi pilihanmu, kan? Kamu udah pernah ngobrol sama Ayu?"

"Soal?"

"Kalian? Perjodohan kalian? Apa pun."

Tarikan napas Tresna terasa berat. "Pernah, sih, pas ketemu terakhir di rumah seminggu apa dua minggu yang lalu gitu. Dia nanyain soal persetujuan aku tentang perjodohan ini."

"Terus?"

"Karena ternyata kami temen SMA, dia kakak kelasku dan Man ... Ehm, sahabatku itu," Tresna enggan menyebut nama Manda, "kayaknya dia tau soal di mana perasaanku. Dia nggak maksain aku dan bisa bantu buat nolak ke ortunya kalo emang pada akhirnya aku nggak mau. Tapi ..."

Risma datang dengan secangkir kopi hitam—anggap saja pengganti americano favorit Tresna—dan duduk di samping Pandu setelah meletakkan minuman itu di depan Tresna. Risma sempat bertanya pada Pandu dengan tatapannya, tetapi Pandu hanya mengode dengan anggukan. Risma pun duduk diam dan ikut mendengarkan dengan tangan kanan menyangga dagunya.

"Tapi, dia bilang kalo dia juga percaya sama ortunya yang nggak bakal ngenalin dia sama laki-laki yang nggak bener. Dia seyakin itu kalo aku baik buat dia, padahal aku udah bilang kalau aku nggak sebaik itu."

"Yang bikin kamu nggak yakin sebenernya nggak yakin karena Manda atau karena kamu belum ada rasa dan takut ngecewain Ayu?"

"Itu yang aku pikirin dari kemarin." Tresna mendengkus.

"Ternyata jawabannya?"

"Karena Ayu."

"Bukan Manda?" Kali ini Risma memastikan.

Tresna menggeleng. "Bukan. Walau aku sempet kesel karena dia lebih milih temenku, tapi liat dia sebahagia itu, ya, udah. Aku emang kesel karena selama ini dia emang nganggep aku sebatas sahabat. Ya, aku bisa apa? Itu udah jadi keputusan dia. Setidaknya, perasaan yang aku punya selama hampir tujuh tahun ini keliatan titik ujungnya. Aku marah, iya. Tapi, setelah kupikir lagi, buat apa? Kenyataannya, bukan aku yang dipilih."

Sebenarnya, Pandu masih bisa merasakan penolakan dan rasa tidak terima dari kalimat adik iparnya itu. Tidak mudah melepaskan perasaan yang sudah ada bertahun-tahun, tetapi tetap ada kemungkinan perasaan itu bisa hilang dengan cepat hanya dengan sebuah kepastian. Tidak ada yang tahu hati manusia sebenarnya, termasuk dirinya yang tidak tahu kondisi hati adik iparnya dengan pasti. Cukuplah ia terima dulu ucapan Tresna sebagai isi hati yang sebenarnya. Bisa jadi memang benar. Lagi pula, hati memang semudah itu dibolak-balik, kan?

"Mungkin dia bisa bahagia sama Hanan dan aku cukup mendukungnya aja, kan? Kata Mas Pandu, ambil gampangnya aja. Kalo dijawab enggak, berarti memang enggak. Aku berpegang ke prinsip itu juga. Daripada sakit sendiri. Tapi, Ayu ... Aduh gimana, ya?"

Risma dan Pandu tersenyum dan saling bertatapan. Sepertinya, dua orang suami-istri ini geli melihat kegalauan adik mereka. Terlebih lagi, keduanya pernah ada di posisi yang hampir sama seperti Tresna.

"Tresna! Inget waktu kamu nyomblangin Kakak sama Mas Pandu?" Risma mengambil alih obrolan.

"Kenapa jadi bahas itu?"

"Soalnya, mirip."

"Mirip dari mana?"

"Kamu nggak inget dulu Kakak se-nggak mau apa waktu kamu minta buat kenalan sama Mas Pandu?"

Tresna mengingat-ingat momen yang dimaksud. Namun, sepertinya pikirannya sudah jenuh. "Au, ah. Nggak inget."

"Ya, udah. Intinya gini, dulu Kakak juga nggak mau karena nggak ada rasa. Masmu ini, kan, ganteng iya, pinter iya, banyak yang mau juga iya. Kok malah minta dicomblangin sama Kakak yang nggak se-eksis itu di kampus. Males banget, kan, sama cowok idaman anak-anak kampus. Gimana ntar kalo kena hujat dan lain sebagainya?"

Tresna menyimak. "Iya, kayaknya Kak Risma pernah bilang, cowokk populer bukan kriteria idaman. Terus kenapa mau?"

"Soalnya, Kakak percaya kamu."

"Aku?"

"Ya, iya. Kan, kamu yang jadi Pak Comblang." Risma dan Pandu tertawa.

"Mungkin Ayu juga gitu. Apalagi yang ngenalin dia ke keluarga kita, kan, ayahnya. Nggak mungkin ayahnya ngenalin anak perempuan satu-satunya ke cowok nggak bener. Makanya, berhubung Ayu juga udah siap nikah, dia terima aja sama siapa dia dikenalin. Asal itu direstuin ayahnya."

"Segampang itu?"

"Tiap orang beda-beda, sih, Res." Kali ini Pandu yang menambahkan. "Tetep aja, semua tergantung orangnya, keluarganya. Hanya, kakakmu ini ngasih contoh yang paling deket. Dan semua balik lagi ke kamu. Mau yakin atau enggak? Mau sama yang nggak pasti atau sama yang pasti-pasti aja?"

"Kan, perasaan juga nggak pasti."

"Perasaan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Kamu ke Manda dulu juga gitu, kan? Nggak tiba-tiba suka kayak di drama-drama itu?" sahut Risma.

Tresna menyeringai dan berdecih.

"Mungkin selama ini kamu belum ngerasain apa-apa juga karena masih ketutup sama harapan masa lalu kamu. Coba kamu buka hati kamu buat orang baru. Liat dia dengan sudut pandang yang berbeda. Itu pun kalo kamu mau coba untuk niatin serius sama Ayu." Risma menambahkan. "Itu yang dulu Kakak coba lakuin. Karena masmu ini beneran serius, ya, why not? Banyakin ngobrol dulu aja sama Ayu."

Meski hati Tresna masih sedikit berat menerima saran kedua kakaknya itu, tetapi logikanya membenarkan semua yang diucapkan kakaknya. Mungkin memang benar, mata dan hatinya tertutup akan harapan bersama Manda sehingga melihat Ayu pun tidak dengan sebenar-benarnya—terus ia bandingkan dan ia cari hal yang ada di diri Manda pada Ayu.

Padahal, Manda dan Ayu berbeda. Jelas saja. Tidak ada dua orang yang bisa disamakan bahkan saudara kembar sekalipun.

Mungkin, Tresna memang perlu membuka hatinya dulu untuk menerima kehadiran Ayu. Toh, keputusannya untuk melepas Manda sudah bulat sejak sahabatnya itu memberikan jawaban—lebih tepatnya berita kalau Manda menjalin hubungan dengan Hanan. Walaupun sempat kesal, tetapi ia bisa menerima itu karena Manda memang terlihat bahagia dengan Hanan.

Ternyata yang Tresna bingungkan sejak kemarin adalah soal kepastian dirinya dan Ayu. Bukan lagi soal dirinya dan Manda.

***

~1512 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro