04. Curhat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aya tiba di rumahnya. Dia disambut maminya yang tadi sedang nonton televisi.

“Aya, tumben pulangnya telat?” tanya Rika penuh perhatian.

Aya mencium punggung tangan Rika. Tiba-tiba, Aya merasakan nyeri di kepalanya. Dia memegang kepalanya sembari menyipitkan mata menahan nyeri.

“Tadi Aya nemenin teman nonton futsal, Mi.”

“Wajah Aya kenapa begitu? Kenapa Aya megangin kepala? Kepala Aya sakit?” tanya Rika khawatir.

“Kepala Aya sakit. Kena timpuk bola saat nonton futsal tadi. Nggak apa kok, nanti juga hilang sakitnya.”

Rika memegang kepala anaknya, memeriksa, lalu mengelus lembut puncuk kepala Aya dengan penuh kasih sayang.

“Beneran nggak pa-pa, Ya? Atau Mami telepon dokter?” tawar Rika.

“Berlebihan banget. Aya nggak cedera, Mami. Bawa istirahat entaran sakitnya ilang,” ketusnya sembari melepaskan tangan Rika dari kepalannya. “Aya ke kamar dulu, Mi.”

Rika mengembus napasnya kasar. Kesal mendengar ucapan anaknya, padahal dia sangat khawatir.

Aya pergi menuju tangga, menaikinya untuk sampai ke kamarnya yang berada di lantai dua. Rika pun kembali ke sofa ruang keluarga, melanjutkan menonton acara telivisi yang tadi ditontonnya.

***

Aya berdiri di depan jendela terbuka, memandang langit malam bertabur bintang-bintang. Dia tersenyum sambil bertopang dagu.

Tidak biasanya, dia seperti ini. Kebahagiaan itu datang dari Alfi yang perhatian dengannya sore tadi di sekolah.

Tok! Tok! Tok!

Lamunannya terganggu oleh ketukan pintu dari luar kamarnya.

“Siapa?!” tanyanya sedikit kesal.

“Ini aku, Tiara,” jawab cewek di balik pintu.

“Buka aja, pintunya nggak dikunci!” ucap Aya yang masih tidak beranjak dari jendela.

Tiara membuka pintu bercat putih tersebut. Kemudian, menghampiri sepupunya yang memandang ke luar jendela.

“Tumben nih jendela kamu buka? Nggak takut masuk angin, Ya?” tanya Tiara berdiri di belakang Aya dengan heran.

“Nggak tuh,” jawabnya tanpa melihat lawan bicaranya dan masih memandang bintang-bintang.

Tiara berdecak, kemudian melangkah menuju meja belajar yang berada tak jauh dari jendela. Dia mengambil novel yang berada di rak dinding, di sebelah meja belajar. Setelah melihat judulnya, dia mencari buku lainnya.

“Ya, kamu nggak punya novel lain selain yang  ini?” tanyanya karena tidak menemukan buku yang lain. Buku yang ditangannya itu sudah pernah dibacanya.

Aya tidak menjawab. Tiara beralih pandang dari rak buku menjadi memperhatikan cewek berbaju tidur merah muda itu.

Tiara memperhatiikan Aya yang senyum-senyum sendiri memandang langit. Aneh. Yang dia tau Aya tidak suka memperhatikan langit. Entah ada apa dengan sepupunya malam ini.

“Aya,” panggil Tiara, “Aya!” panggilnya sekali lagi dengan teriakan.

Aya menoleh dan berdecak. “Apaan sih!” ketusnya.

“Senyam-senyum liatin langit. Aneh banget. Pasti ada sesuatu. Lagi falling in love, ya?” tanya Tiara beranjak dari duduknya dan mendekati Aya sembari bertanya.

“Apaan, sih. Nggak ada apa-apa kok,” pungkas Aya menyembunyikan perasaanya.

“Jangan boong. Gerak-gerik kamu kelihatan banget. Aku kan saudara kamu. Cerita aja. Mana tau aku bisa kasih masukan atau jadi temen curhatmu. Kan biasanya kamu suka curhat ke aku.”

Aya menutup jendela, kemudian duduk di tepi ranjangnya dan disusuli oleh Tiara yang juga duduk di sampingnya.

“Jadi gini. Aku suka sama cowok,” jawabnya sedikit malu. Baru pertama kalinya dia curhat peri hal cowok kepada sepupunya itu.

“Kamu kan cewek, ya suka cowok dong,” jawab Tiara dengan sengaja membuat seolah dirinya polos.

Aya mendengkus. “Kakak nyebelin deh! Aku serius.”

“Iya, iya. Terus bagaimana dengan cowok itu, dia tau nggak kamu suka ama dia?”

Aya menggeleng. “Dia hanya mengenalku sebagai adik kelas. Kami tidak dekat.”

“Lho, kalau kamu nggak deket ama doi, bagaimana kamu bisa suka sama tu cowok? Jangan bilang suka karena penampilan doang. Doi tampan?”

“Iya, dia tampan. Tapi, bukan ketampanannya yang membuatku suka. Kebaikannya dan perhatiannya kepada anak-anak sekolah yang membuatku menyukainya. Baru kali ini aku ketemu cowok yang super baik banget. Pasti bahagia jadi pacarnya,” jawab Aya yang mulai berharap jadi pacarnya Alfi.

“Oh, kebaikan,” ucap Tiara sembari mengangguk, “Terus, langkah kamu selanjutnya ‘ntuk deketin doi gimana? ‘kan kamu kudu deket sama doi biar bisa jadi pacarnya.”

“Itu yang buat aku bingung, Kak. Kan aneh kalau tiba-tiba aku deketin dia. ‘Ntar aku dikira ganjen. Aku tak mau dipandang seperti itu.”

Tiara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia pun bingung mau membei saran apa pada sepupunya itu.

“Aku juga bingung. Hehe,” kekehnya menampakkan gigi ratanya yang putih, “aku malam ini nginap, ya. Kamu bisa puas-puasin cerita ke aku malam ini. Aku siap dengerin.”

“Ok,” jawab Aya memperbolehkan sepupunya menginap dan dia pun tersenyum.

Mereka melanjutkan perbincangan sampai mata kedua cewek itu lelah dan mereka tertidur.

***

Pagi setelah sarapan, Tiara pulang ke rumahnya. Hari ini minggu.  Kini Aya sendiri di kamarnya duduk di kursi di depan meja belajarnya sambil merenung. Dia bingung mau ngapain. Dan teringat olehnya bahwa hari selasa ada PR Biologi. Aya mengambil bukunya dan membuka laci untuk mengambil pena.

Di dalam laci, dia melihat sticky note baru yang masih terbungkus. Dia keluarkan benda itu.  Seketika, dia teringat adegan film yang belum lama ditontonnya. Di film itu si cowok menempelkan pesan dengan sticky note lalu ditempelkan di kantung kresek makanan untuk cewek yang disukainya yang sedang sakit. Aya jadi berinisiatif untuk mengirim pesan kepada Alfi melalui sticky note.

Aya yang tadinya mau buat tugas, malah teralihkan memikirkan makanan apa yang akan diberikannya kepada Alfi dan bagaimana cara memberikannya. Iya tidak berani memberikannya langsung. Jika itu terjadi, bisa jadi bahan gunjingan anak-anak sekolahnya.

Setelah berpikir, dia mendapatkan solusinya. Aya bergegas keluar dari kamarnya dan turun melalui anak tangga menuju dapur untuk menemui pembantunya.

Di dapur tidak ditemuinya Bi Inem—pembantu di rumah Aya. Aya mendekati kulkas dan mengeluarkan cemilan. Dia duduk di kursi meja makan dan mengunyah cemilan sambil menunggu datangnya Bi Inem. Dia malas teriak-teriak memanggil pembantunya itu. Hari ini dia mau jadi gadis kalem agar Bi Inem mau membantunya.

Tak butuh waktu lama, Bi Inem yang ditunggu itu datang. Tampaknya wanita berkepala lima itu baru saja selesai menjemur kain, terlihat dari tangannya yang basah menenteng ember.

“Bik,” panggil Aya, yang dipanggil pun menoleh.

“Iya, Non. Ada yang bisa bibi bantu?” tanya Bi Inem yang sedang masih menenteng ember dan mendekati anak majikannya.

“Ajarin Aya masak, Bik,” pinta Aya sehingga membuat pembantunya terheran mendengarnya.

“Baiklah, Non. Tapi, bibi ke kamar mandi dulu, mau taruh ember.”

Aya mengangguk dan Bi Inem pun pergi. Aya tidak sabar akan membuat makanan untuk sang punjaan hati. Berharap rencananya berjalan dengan baik dan harapannya menjadi kekasih Alfi bisa tercapai.

.
.
.

Akhirnya, Stiky Note Aya update lagi
Uwu ....

Nih Aya cantik banget. Keimutannya masih kelihatan 😊


Jangan lupa votmen-nya
Makasih dah baca ceritaku ini
😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro