Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terima kasih semuanya. Aku bisa sampai sejauh ini berkat pembaca semuanya

Untuk chapter kali ini, isinya fluff dan romance. Silahkan dinikmati

---------------

Sebenarnya bagaimana cara untuk membahagiakan seseorang? Sepertinya tidak akan ada jawaban yang pasti, karena kebahagiaan itu berbeda-beda untuk setiap orang.

Sedangkan arti kebahagiaan untuk Yaya sendiri ...

Sang gadis, meski sudah menikah ia masih gadis, membuka matanya perlahan di pagi hari. Ada rasanya nyeri yang samar di salah satu pergelangan tangan dan sudut bibirnya, namun ia tidak terlalu merisaukannya. Yang membuatnya risau adalah seseorang memeluknya dengan sangat erat. Sekarang, di tempat tidur.

Yaya membuka matanya lebih lebar dan bertemu muka dengan suaminya, Boboiboy, yang tidur memeluknya dengan erat. Satu tangan memeluk tubuh Yaya, tangan yang lain ia gunakan sebagai alas tidur Yaya.

Sang istri wajahnya bersemu merah, ia ingat bagaimana di malam sebelumnya, Halilintar menolak meninggalkannya dan bersikeras tidur di kamarnya. Untunglah, meski kembaran yang satu itu sulit di tebak, ia tidak melakukan hal yang aneh-aneh pada Yaya.

Kecuali tampaknya ia memeluk Yaya dalam tidurnya.

Yaya berusaha bergeser, agar tercipta jarak antara dia dan suaminya namun Boboiboy yang masih tidur tampak tak suka dan memeluknya lebih erat. Seakan tak mau melepaskannya.

Yaya tercekat, jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia yakin sang suami pasti bisa mendengarnya.

Sepertinya ada satu lagi persamaan untuk semua kembar lima yang terjebak dalam satu tubuh itu.

Mereka semua cenderung manja terhadap Yaya.

Perlahan, bibir Yaya menyimpul, meski agak sakit karena bagian yang luka tertarik. Ia senang, karena setidaknya, semua kembaran suaminya akhirnya mulai nyaman bersamanya.

Atau mungkin kelewat terlalu nyaman ...

"Boboiboy ... Bangun... Ayo sholat subuh," bisik Yaya lembut. Boboiboy mengernyit, kemudian menggumamkan sesuatu seperti nada protes yang tidak jelas. Ia menekan kepalanya ke bantal lebih jauh, jelas menolak untuk bangun. Yaya tersenyum makin lebar.

"Ayo bangun, kamu harus berangkat kerja juga kan ...," bisik Yaya lagi. Akhirnya, suaminya membuka matanya. Wajahnya masam dan masih mengantuk. Di saat seperti ini, sulit sekali untuk mengenali siapa yang sedang mengambil kendali.

"Uuh ... masih ngantuk," keluh Boboiboy, namun akhirnya mau melepaskan Yaya dan perlahan bangkit.

"Cuci muka, biar nggak ngantuk," saran Yaya lagi, ikut bangkit, ia merapikan rambutnya yang berantakan sedikit dan melihat suaminya menguap lebar.

"Hm ...," gumam suaminya, dengan mata setengah tertutup akhirnya berjalan keluar dari kamar Yaya.

Yaya hanya tersenyum melihatnya.

IoI

"Pergelangan tangan kamu nggak apa-apa 'kan?"

Yaya mendongak dan tersenyum pada Gempa. Salah satu pergelangan tangan Yaya memar, terdapat bekas seperti genggaman namun tidak begitu buruk. Yaya sudah membalutnya agar tidak terlihat orang. Sementara sudut bibirnya sedikit bengkak, namun lukanya tidak besar.

"Nggak apa-apa," jawab Yaya sambil tersenyum. Gempa terlihat bersalah namun membalas senyumannya.

"Oh ya ... Hari ini, kamu jangan ke luar apartemen, bisa?" pinta Gempa. Yaya menghentikan memakan serealnya, menatap Gempa dengan bingung namun tetap mengangguk. Sang suami tersenyum puas.

"Hari ini rencananya aku mau pulang cepat," jelas Gempa lagi. Yaya menaikkan kedua alisnya. Ia pikir suaminya sedang sibuk, mengingat ia bahkan bekerja di hari Minggu meski bekerja di rumah.

"Memangnya ada apa?" tanya Yaya, khawatir apakah lagi-lagi suaminya harus pergi ke psikiater. Namun, wajah Gempa yang tampak rileks dan tenang membuat Yaya merasa ia punya rencana yang lain.

"Nggak ... Aku cuma mau pulang cepet aja," jawabnya dengan penuh senyum. Yaya hampir sanksi mendengar itu dari Gempa. Sang kembaran yang terkenal workaholic itu mau pulang kerja cepat hanya karena ingin saja? Tapi, Yaya tidak protes. Ia tahu, Gempa stres beberapa hari terakhir, kemudian tubuh mereka akhirnya sedikit ambruk kemarin, meski untungnya tidak sampai sakit.

Mereka butuh istirahat.

"Baiklah kalau begitu," balas Yaya. Gempa tersenyum balik, membuat Yaya berpikir apa suaminya merencanakan sesuatu untuknya, tapi ... sudahlah.

IoI

"Assalamu'alaikum ..."

"Wa'alaikumsalam."

Yaya tidak menyangka, saat Gempa bilang ia akan pulang cepat, ia pikir mungkin antara siang atau sore bukannya sebelum jam makan siang. Suaminya muncul penuh senyum di pintu depan, sedikit asing karena biasanya ia selalu terlihat lelah sepulang bekerja.

Yaya segera salim dan Gempa menarik dagunya kemudian mencium bibirnya. Sang istri agak terkejut, namun merilekskan diri dan mencium balik.

"Kamu pulang cepat sekali ...," komentar Yaya, pipinya agak kemerahan.

"Aku sudah bilang mau pulang cepat," ulang Gempa. Ia mengendurkan dasinya kemudian melepaskan jasnya.

"Aku belum masak makan siang ...," tambah Yaya lagi. Padahal hari ini rencananya ia mau buat mi instan saja untuk makan siang, tapi ternyata suaminya sudah pulang mana bisa ia suguhkan makan siang macam begitu.

"Memang sengaja," potong Gempa membuat Yaya terkejut.

"Sampai sekarang, aku belum pernah memasak untukmu 'kan?" tanya suaminya itu. Yaya mengerjapkan mata, jadi ia pulang cepat hanya untuk memasakkan makan siang untuk Yaya?

"Tapi, kau pasti lelah ...," tepis Yaya, merasa sedikit bersalah suaminya mengenyampingkan pekerjaannya hanya untuk melakukan hal sepele seperti itu untuk Yaya.

"Nggak kok, tunggu ya, biar aku ganti baju sebentar," kata Gempa, menutup pintu kamarnya membuat Yaya menelan kembali kata-katanya.

Jujur, Yaya merasa senang, istri mana yang tak senang dilayani suaminya, tapi juga merasa tidak enak hati, karena seharusnya istri yang melayani suami. Oh tapi ya sudahlah, kalau memang Gempa ingin memasak untuknya. Lebih baik ia nikmati saja.

Tak lama, Gempa ke luar mengenakan pakaian yang lebih santai, kaus lengan panjang warna abu-abu dengan celana training panjang warna hitam.

"Kamu mau makan apa?" tanya Gempa, berjalan bersama Yaya menuju dapur. Sang istri sedikit kebingungan menjawabnya.

"Uhm ... Apa saja boleh," jawabnya tak ingin menyusahkan. Gempa hanya tertawa mendengarnya, ia kemudian membuka kulkas untuk mengecek bahan makanan yang tersisa.

"Nasi goreng seafood ... mungkin?" tawar Gempa, menoleh pada Yaya. Sang istri hanya mengangguk. Sebenarnya, ia memang agak penasaran. Dari semua kembaran, katanya Gempa yang paling jago memasak. Masakan Taufan saja sudah enak, bagaimana dengan Gempa?

"Aku boleh bantu?" tanya Yaya. Gempa terdiam sebentar, tampaknya sedang mempertimbangkan hal itu.

"Yakin tangan kamu nggak apa-apa?" tanya Gempa lagi. Itu kedua kalinya ia menanyakan pergelangan tangan Yaya hari ini. Sang istri paham, mungkin suaminya melakukan ini semua karena merasa bersalah padanya.

"Nggak apa-apa kok, nggak sakit," tepis Yaya. Gempa mendesah kecil kemudian mengangguk.

Dan mereka berdua pun memasak bersama. Atau lebih tepatnya, Gempa yang memasak dan Yaya yang mengganggunya. Sang suami jelas bukan amatir dalam memasak. Ia memotong bahan makanan dengan rapi seperti koki handal, mengulek bumbu dengan rata seperti ibunya. Ia menunjukkan berbagai trik memasak pada Yaya.

"Jadi, kalau kamu kocok telur, kocok sampai merata dan cair. Coba angkat garpunya," kata Gempa. Sesuai instruksi suaminya, Yaya mengangkat garpu yang digunakan untuk mengocok telur.

"Itu masih belum, kocok lagi deh. Kalau kocokannya merata, telurnya waktu digoreng jadinya putih dan manis," jelas Gempa lagi. Yaya menganggukkan kepalanya, baru tahu trik seperti itu.

"Nah, sekarang kita buat telur dadar." Gempa mengambil wajan pipih bulat dengan spatula dari karet. Ia menuangkan minyak goreng (yang harganya mahal, Yaya ingat Gempa pecicilan soal yang satu ini) ke atas wajan dan menyalakan kompornya.

"Apinya kecil aja. Kalau terlalu besar, nanti telur dadarnya pinggirnya udah gosong, tengahnya belum mateng," tambah Gempa lagi. Yaya mengangguk mengerti.

Yaya mengambil spatula dari tangan Gempa dan mulai menggoreng telur. Memang benar, telurnya tampak lebih putih daripada telur dadar yang biasa ia goreng. Yaya agak melonjak saat Gempa berdiri di belakangnya, memegang tangannya yang memegang spatula dan mengarahkannya untuk mengangkat telurnya sedikit.

"Sekarang dibalik," kata Gempa, dengan lihai menggerakkan tangan Yaya membalik telurnya. Yaya hanya berdiri dengan kikuk, pipinya kemerahan sedikit.

Ia melonjak saat Gempa mencium pipinya. Yaya menoleh padanya dan bertemu dengan senyuman hangat Gempa, berbeda dengan Taufan yang biasanya akan melakukan hal seperti itu dengan senyum jahil.

"Nah, udah matang, sekarang, kita bikin nasi gorengnya," Gempa mematikan kompor. Namun, bukannya mengambil nasi putih yang sudah disediakan, ia memutar Yaya dan mengecup bibirnya dengan mesra.

Yaya mendorongnya sedikit. "Katanya mau masak nasi goreng," protesnya dengan wajah merah. Gempa tersenyum kecil.

"Istirahat sebentar," bisik Gempa, mencium bibir Yaya lagi. Ciuman yang lembut namun juga mesra, membuat Yaya serasa meleleh ke pelukan suaminya.

"Uh ... Gempa, lapar nih," kilah Yaya saat merasa Gempa akan menciumnya lagi, bukannya berhenti. Sebenarnya ia tidak lapar, tapi ia merasa kalau tidak dihentikan, Gempa tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Suaminya akhirnya melepaskannya, meski wajahnya tampak berat dan tersenyum padanya.

"Baiklah, Tuan Putri...," godanya. Yaya memukul pundaknya pelan dan mereka kembali memasak.

IoI

"Enak ...."

Yaya takjub. Ia sekarang paham maksud Taufan, Gempa memang pandai memasak. Meski hanya nasi goreng seafood dengan telur dadar di tambah salad, tapi enak sekali. Bumbunya pas dan merata, nasinya tidak terlalu basah oleh minyak, telur gorengnya pun manis dan saladnya segar.

"Syukurlah kalau begitu," balas Gempa, entah kenapa daripada sibuk makan, ia malah asik melihat Yaya. Sang istri jadi malu sendiri. Ada sesuatu di wajahnya?

Tangan Gempa terulur, mengambil sebutir nasi yang ada di pinggir bibir Yaya. Sang istri malu bukan kepalang, ia segera mengambil tisu dan melap bibirnya. Sang suami hanya tertawa kecil.

"Maaf ya aku makannya berantakan," tukas Yaya cepat, wajahnya masih merah padam. Ia lupa diri karena makanannya enak. Gempa segera menggeleng.

"Nggak ... nggak apa-apa, ini pertama kalinya aku masak untuk orang lain. Aku senang kamu suka," balas Gempa, melanjutkan makannya. Yaya mengerjapkan mata, tapi langsung ingat kenyataan bagaimana suaminya selama ini terisolir seorang diri. Mungkin, waktu kecil saat Tok Aba masih hidup, ia belum bisa memasak.

Yaya tersenyum sambil menyantap nasi gorengnya. Entah kenapa setelah tahu hal itu, rasanya jadi semakin enak. Jika dibandingkan dengan dirinya ...

"Coba aku juga pintar masak kayak kamu ...," gumam Yaya, mengasihani kemampuan masaknya. Gempa tersenyum geli.

"Masakan kamu enak kok," balasnya. Yaya sudah mulai bisa memasak, meski baru yang sederhana saja. Setidaknya ia sudah bisa membuat telur goreng, sup sayur, roti bakar dan masakan sederhana lainnya.

Yaya hanya mengeryit, merasa tersindir karena Gempa sendiri jauh lebih jago memasak darinya.

"Karena, kamu mau susah payah belajar masak demi aku, makanya, enak kok," tambah Gempa dengan cepat. Wajah Yaya tersipu sedikit. Memang Gempa itu paling pandai mempermanis kata-kata.

"Jadi, kenapa kamu pulang cepat hari ini?" tanya Yaya, mengalihkan pembicaraan. Sudah cukup mereka membahas kemampuan masaknya yang menyedihkan.

Gempa mengambil gelas berisi air putih dan meminumnya sebentar sebelum menjawab. "Aku cuma capek, butuh istirahat, kalau bukan karena proyek baru itu, aku tadinya mau cuti hari ini."

Yaya mengangguk paham, enaknya suaminya yang merupakan direktur salah satu perusahaan Aba Corporation, bisa ambil cuti seenaknya. Yah, karena ia biasanya bekerja dengan baik, sekali-sekali istirahat seharusnya tidak apa-apa.

"Oh ya, setelah ini Api punya sesuatu untukmu," kata Gempa, membuyarkan lamunan Yaya.

"Sesuatu?" tanya Yaya. Gempa tersenyum manis, matanya memandang ke atas, entah sedang memikirkan apa.

"Yah, lihat saja nanti."

IoI

Selesai makan siang, Gempa berganti kendali dengan Api. Kembaran yang paling kekanakan dan ceria itu tersenyum lebar pada Yaya.

"Iya, aku punya sesuatu untukmu, tapi tunggu sebentar ya, tunggu, 5 menit aja," kata Api cepat sebelum ia menghilang ke kamarnya. Yaya hanya mengernyitkan dahi tidak mengerti. Tapi kemudian ia hanya menggelengkan kepala dan memilih untuk membereskan dapur.

Selesai mencuci semua peralatan memasak dan peralatan makan, saat Yaya mengelap meja makan dan dapur, Api muncul dengan kedua tangannya disembunyikan di balik punggungnya. Senyumnya begitu lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dan bersih.

"Hehehe ... Ini buat kamu."

Dan Api menyodorkan sebuah kertas.

Atau lebih tepatnya kertas gambar.

Yaya menerimanya dengan terkesima. Ia melihat sebuah gambar tertuang di atas kertas itu. Gambarnya berantakan, pewarnaannya menggunakan krayon. Yang Yaya lihat, ini adalah gambar ia dan Api yang sedang bermain di sebuah taman. Gambarnya cukup bagus, hanya warnanya yang berantakan khas anak kecil.

"Api, ini bagus sekali, aku nggak tahu kamu suka gambar," kata Yaya penuh senyum, entah kenapa sekarang merasa seperti ibu yang tengah memuji karya anaknya.

"Sebelum nikah sama aku, aku sering banget gambar, ke sini deh," Api meraih tangan Yaya dan menariknya ke kamarnya. Yaya bisa melihat banyak kertas gambar bertebaran di lantai, juga krayon yang berserakan.

Apa ia baru menggambar ini tadi? Atau baru mewarnainya tadi?

Yaya berjongkok di samping Api, ia bisa melihat banyak gambar di kertas lain dan ia tersenyum melihatnya. Kebanyakan adalah gambar Api bersama kembarannya yang lain. Kebanyakan mereka sedang bermain bersama. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, tapi senang rasanya melihatnya dalam gambar.

"Jadi kamu sering gambar ya?" tanya Yaya, merapikan kertas-kertas gambar milik Api. Suaminya itu mengangguk.

"Iya, buat terapi."

"Terapi?" Yaya mengerjapkan mata. Api mengulum bibirnya, senyumnya hilang.

"Habis Tok Aba meninggal, aku cuma bisa ngamuk sama nangis aja ... jadi suatu hari Gempa beliin aku peralatan gambar, katanya ngegambar bisa bantu aku buat nuangin perasaanku. Jadi, aku sering gambar," jelas Api.

Yaya menatap gambar-gambar Api, kemudian mengerjapkan matanya agar tidak menangis. Ia melihat ada satu buku sketsa yang tergeletak tak jauh darinya. Ia mengambilnya dan membukanya, kemudian berjengit.

Di halaman pertama, terlihat gambar Api yang sedang marah dan menghancurkan barang. Di halaman ke dua, Api sedang menangis. Di halaman ke tiga, Api bermain dengan seorang kakek yang Yaya tebak sebagai Tok Aba. Di halaman ke empat, Api sedang mengamuk ke dua orang yang Yaya tebak sebagai orang tuanya. Di situ Yaya berhenti dan menutup bukunya.

Ia mendongak dan melihat Api yang memandangnya dengan wajah polos. Yaya tersenyum padanya dan Api tersenyum balik.

"Jadi, kamu menggambar semua yang kamu impikan selama ini?" tebak Yaya. Api mengangguk, tampak senang dengan tebakan Yaya yang tepat sasaran.

"Kata Taufan, seseorang bisa membuat daftar impiannya dan suatu saat akan melihat daftar itu sebagai sesuatu yang sudah ia lakukan, aku nggak jago nulis. Jadi aku gambar aja," kata Api penuh senyum.

Yaya mengangguk, paham kalau sebagian impian Api tidak semuanya indah. Ia masih ingat bagaimana Api membenci kedua orang tuanya. Tak sulit membayangkan Api yang ingin mengamuk di hadapan kedua orang tuanya itu, mungkin lelah dengan perlakuan mereka terhadapnya.

"Coba sini deh," Api meminta kembali buku sketsanya. Yaya memberikannya padanya, dengan cepat Api membuka dan membolak-balik halaman, sepertinya sedang mencari sesuatu.

"Ini, ini," ia menunjukkan sebuah gambar.

Itu adalah sebuah gambar dimana Api sedang menikah dengan seorang gadis. Dan gadis itu bukan Yaya. Sang istri menatap Api, berharap suaminya itu memberikan penjelasan.

"Kan kalau di dongeng, ending-nya biasanya sang putri menikah dengan orang yang dicintai, aku juga dulu selalu mau nikah dengan seseorang yang mau terima aku apa adanya," kenang Api dengan penuh senyum. Yaya mengerjapkan mata. Oh, jadi ini gambar sebelum ia menikah dengannya.

"Sekarang jadi kenyataan deh! Ternyata benar juga ya," seru Api senang. Yaya hanya tertawa kecil. Terhibur dengan kepolosan Api.

Yaya membalik halaman lain dan melihat Api dan gadis sebelumnya itu kini bersama seorang anak kecil dan tengah bermain bertiga. Yaya langsung paham apa maksudnya, wajahnya terbakar sedikit dan menutup buku sketsa itu dengan cepat.

Oh, ternyata sepolos apapun Api, ia memang tetap laki-laki.

"Dan gambar ini ...," Yaya menarik gambar yang Api berikan padanya.

"Itu aku buat ... uhm ... kapan ya? Lupa, minggu lalu kalau nggak salah," jelas Api. Yaya mengangguk paham.

"Uhm .. Satu lagi, kenapa krayon?" tanya Yaya. Bukannya apa-apa, siapa lagi ada laki-laki dewasa berumur 25 tahun yang menjabat sebagai direktur perusahaan menggunakan krayon untuk menggambar?

"Soalnya, pensil warna gampang patah, terus warnanya juga tipis. Aku dilarang pakai cat air ataupun cat minyak, soalnya suka berantakan kemana-mana," jelas Api. Yaya mengangguk paham. Beberapa gambar di buku sketsa milik Api ada yang hanya menggunakan pensil. Hasilnya cukup rapi, meski sama sekali tidak bisa dibilang profesional, hasilnya seperti kartun. Tapi setidaknya, Api menggambar jauh lebih bagus dari Yaya.

"Ini kalau ditekuni secara serius pasti bagus," puji Yaya. Tak menyangka kalau Api punya bakat terpendam.

"Mau sih, tapi nggak punya waktu," Api cemberut sedikit. Yaya menutup mulutnya, merasa sudah salah bicara. Api hanya bisa keluar kadang belum tentu setiap hari, itu pun hanya beberapa jam saja.

Mungkin ia bisa menggambar sebanyak ini sebelumnya karena ketika keluar ia tidak punya kegiatan lain selain menonton televisi. Itu sebelum Yaya datang.

"Kalau gitu, kamu bisa gambarin aku nggak?" Yaya mengalihkan pembicaraan. Ekspresi Api langsung berubah. Senang, akhirnya Yaya meminta sesuatu darinya untuk pertama kalinya.

"Boleh, gambar apa?" tanya Api.

"Gambar aku dengan kalian semua, bisa?" tanya Yaya.

Api mengerjapkan mata. "Sama aku, Gempa, Taufan, Halilintar dan Air?" tanyanya. Yaya mengangguk penuh senyuman.

"Bisa, serahkan padaku!" Api melonjak kegirangan, segera beralih ke meja kerja, melemparkan semua berkas yang ada di meja membuat Yaya terkejut, dan kemudian menggambar di sana. Yaya hanya menggelengkan kepala dan membereskan semua berkas kerja yang berserakan.

IoI

"JADI!"

Yaya yang tengah membereskan kamar sambil menunggu Api selesai segera berhenti. Ia beralih ke Api yang menunjukkan gambarnya yang baru. Yaya di tengah, diapit oleh semua kembaran Boboiboy. Senyum Yaya merekah lebar dan melihatnya, Api tampak puas.

"Nanti ini bakal kupajang," kata Yaya. Api tampak terkesima, pipinya memerah sedikit.

"Hehehe ... Beneran? Gempa aja nggak mau majang gambarku, 'mencurigakan' katanya," jelas Api tampak malu.

Yaya diam sebentar sebelum akhirnya mengerti, maksudnya mencurigakan itu bisa membuat orang lain curiga kalau melihatnya.

"Tenang, kupajang di kamar kok, nggak apa-apa," tambah Yaya. Api mengangguk senang.

"Cium dong."

Yaya mendongak, agak terkejut karena permintaan itu datang tiba-tiba.

"Kan udah kugambarin, bayarnya pake ciuman ya," Api menunjuk bibirnya. Wajah Yaya bersemu merah kali ini. Dasar, ini pasti pengaruh dari Taufan.

"Kamu ini ... yang ikhlas dong," tegur Yaya, namun tetap menghampiri Api kemudian mengecup pipi suaminya. Ketika mundur, ia melihat wajah Api yang cemberut.

"Bukan di situ."

Dan Api menarik Yaya hingga sang istri duduk di pangkuan suaminya yang sedang duduk di kursi kerjanya. Belum sempat Yaya panik, Api mencium bibirnya. Sang istri memilih untuk menyerah dan mencium Api balik.

Begitu mereka selesai berciuman, Api memeluk Yaya erat dengan penuh sayang, karena posisi mereka, kepala Api bersandar di dada Yaya. Sang istri mendesah pelan dan membelai rambut Api.

Kemudian tiba-tiba Api melepaskan pelukannya dengan cepat. "Eh, sekarang tayangan ulang Ksatria Bertopeng nih!" serunya merusak suasana. Yaya hanya heran, hampir terjerembab saat mendadak Api bangkit, untung masih ditangkap suaminya. Namun, kembaran itu segera melesat keluar kamar meninggalkan Yaya yang kebingungan.

Oh, dasar Api.

IoI

Yaya sedang mengangkat jemuran dan hendak menyetrika selama Api menonton televisi, saat tiba-tiba suaminya muncul di beranda dengan penuh senyum.

"Giliranku sekarang," senyuman yang tampak agak jahil campur mesum membuat Yaya sadar ia berhadapan dengan Taufan.

"Giliran apa?" tanya Yaya, tapi tangannya ditarik oleh Taufan, membuatnya meninggalkan tumpukan cucian kering begitu saja.

Taufan hanya tersenyum padanya, tidak menjawab pertanyaannya.

"Api bisa gambar, Gempa bisa masak, coba tebak aku bisa apa?" tanyanya.

Yaya terdiam sebentar. "Main game?" karena ada setumpuk konsol game terbaru dengan banyak judul game yang tersusun rapi di rak di ruang depan.

"Bener sih, tapi ada yang lain, coba tebak."

Yaya memutar otaknya lagi, bingung dengan permainan Taufan.

"Uhm .. Aku nggak tahu," Yaya akhirnya menyerah. Taufan mendecak lidahnya sedikit tapi kemudian menyugingkan senyum pada Yaya.

"Aku bisa nari," jawab Taufan akhirnya. Yaya memiringkan kepalanya sedikit.

"Nari?"

"Iya, nari."

Taufan menarik Yaya ke ruang depan, membuat sang istri bingung apa mau suaminya. Taufan menyalakan televisi dan pemutar blue-ray. Sebuah musik klasik mengalun, membuat Yaya makin bingung. Karena bukannya ia lancang, tapi musik klasik dan Taufan sama sekali tidak nyambung.

Namun, sang suami membungkuk dan menawarkan satu tangannya.

"Lady, do you want to dance with me?" tanyanya dengan bahasa inggris yang fasih.

Untunglah Yaya pandai berbahasa inggris jadi ia paham apa yang dikatakan Taufan dan ia juga langsung paham apa maksud semua ini.

"Tunggu Taufan, aku nggak bisa dansa!" seru Yaya panik. Belum lagi sebagai tambahan, betapa konyolnya semua ini, karena ia hanya memakai daster dengan rambut agak berantakan dan Taufan sendiri memakai baju santai untuk di rumah.

"Santai aja, biar kuajarin," tukas Taufan, mengambil satu tangan Yaya dan menariknya untuk berdansa.

Taufan meletakkan satu tangan Yaya di pundaknya dan satu tangan lainnya ia genggam. Sedangkan tangan Taufan sendiri selain menggenggam tangan Yaya, yang lain melingkari pinggangnya. Dan dengan apik, ia menuntun Yaya berdansa.

Sang istri dengan kikuk mengikuti langkah Taufan, awalnya sangat bingung dengan semua ini namun kemudian memutuskan untuk menikmatinya saja.

"Jujur, aku nggak nyangka kamu bisa dansa," komentar Yaya penuh senyum. Tidak menyangka seumur hidupnya, ia akan berdansa seperti yang ia lihat di film barat.

"Waktu kecil, aku, oke, Gempa dipaksa untuk les dansa. Tapi tahu nggak? Gempa payah banget soal dansa," cerita Taufan. Mendengarnya Yaya tertawa kecil, tidak menyangka Gempa yang serba bisa itu lemah akan sesuatu juga.

"Mungkin karena dansa, waltz dance ini, harus berdansa dengan seseorang dan meski kayak gitu, Gempa dulu payah menghadapi orang, apalagi sesuatu yang melibatkan menyentuh orang," Taufan memutar tubuh Yaya dan menangkapnya lagi di pelukannya. Sang istri makin mudah mengikuti gerakan tarinya.

"Dan kutebak, Halilintar dan Api pun nggak bisa?" tebak Yaya. Taufan tertawa miris.

"Yang benar saja, mereka mau belajar pun nggak. Yah, Api mau belajar break dance, tapi dicegah Gempa dan Halilintar, aku sih nggak masalah," jawab Taufan penuh senyum.

"Nggak masalah?" tanya Yaya bingung.

"Nggak masalah, karena aku jago nari break dance dan aku nggak keberatan Api belajar nari break dance juga," jelas Taufan. Yaya mengangguk paham.

"Kamu bisa nari break dance?" Yaya terkesima kagum. Taufan tersenyum dengan bangga, mempererat pelukan tangannya di pinggang Yaya, memaksa sang istri berdansa lebih erat dengannya.

"Iya dong, yah ... Sekarang udah lama banget aku nggak nari break dance lagi, jadi nggak bisa yang susah-susah, tapi aku masih bisa," jelas Taufan.

Yaya sedikit miris mendengarnya. Pertama, Gempa yang jarang masak, kemudian Api yang jarang menggambar, sekarang Taufan yang jarang menari. Apa semuanya mengorbankan hobi mereka karena tak punya cukup waktu?

"Kalau Halilintar dan Air, hobi mereka apa?" tanya Yaya penasaran.

"Halilintar sebenernya jago karate, tapi ...," Taufan menghentikan kalimatnya di sana, membuat Yaya bingung. "Kalau Air, dia suka berenang, dia kayak ikan paus," canda Taufan kemudian tertawa.

Yaya hanya ikut tertawa bersamanya.

"Kok kayak ikan paus sih?" tanya Yaya di sela tawanya.

"Habis, dia mamalia tapi suka banget sama air. Yah, emang sesuai namanya sih. Dulu, dia kalau keluar, kalau nggak tidur ya berenang di kolam renang di rumah, tapi terus yah sejak Tok Aba meninggal ... kayaknya Air belum berenang lagi sampai sekarang," cerita Taufan. Yaya hanya diam mendengarnya.

Sang istri sebenarnya ingin tahu, hidup macam apa yang sudah suaminya jalani semenjak kepergian Tok Aba. Tapi, Yaya tak ingin membuat suasana yang menyenangkan dan damai ini terganggu, jadi mungkin ia akan menanyakannya lain kali.

Sampai tahap ini, Yaya mulai bisa mengikuti gerakan dansa Taufan tanpa dituntun. Dan jujur, ia menikmatinya. Kepalanya mulai bersandar di bahu suaminya, menikmati ritme dansa yang pelan.

"Terima kasih sudah mengajakku dansa," bisik Yaya pelan.

"Sama-sama, Tuan Putri," goda Taufan membuat Yaya memukul bahunya pelan namun kemudian teringat.

"Ada apa sih dengan kalian semua hari ini?" tanya Yaya, sadar kalau baik Gempa, Api maupun Taufan sepertinya ingin melakukan sesuatu untuknya, memanjakannya juga menyenangkannya.

Taufan tersenyum senang padanya, mungkin senang karena akhirnya Yaya sadar juga.

"Karena kami menetapkan hari ini sebagai Hari Apresiasi Yaya," jawab Taufan penuh canda. Yaya semakin bingung mendengarnya.

Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Taufan merunduk dan mengecupnya. Sementara tubuh mereka terus mengikuti alunan musik, bergerak bersama sesuai ritme. Yaya mendesah dan mencium balik. Ciuman yang dalam dan hangat, membuat pikiran Yaya melayang.

Kemudian, Taufan mendekapnya dengan erat.

"Kau senang?" tanyanya.

Yaya mengangguk di dalam pelukannya. "Ya, aku senang sekali."

Dan Taufan menciumnya lagi, namun kali ini berhenti berdansa, hanya alunan musik klasik sebagai latar mereka.

IoI

Setelah selesai berdansa, Taufan berganti kendali dengan Air. Membuat Yaya menebak, kalau pada akhirnya semua kembarannya akan muncul bergantian hari ini.

Hari sudah menjelang malam dan Yaya mencoba menebak apa yang Air rencanakan untuknya.

Sayangnya, ia sama sekali tidak menyangka saat Air menarik beberapa kotak kembang api, entah sejak kapan ada di apartemen, di hadapannya.

Dengan senyum simpul ia mengajak Yaya ke beranda. "Kamu suka kembang api?" tanyanya.

Yaya mengangguk, sama sekali tak menyangka dengan apa yang Air persiapkan untuknya. Tampaknya Air sendiri sadar dengan wajah kaget Yaya.

"Aku belum pernah main kembang api," tukas Air, menjelaskan semuanya.

Yaya mengerjapkan mata dengan kaget, belum pernah? Tapi kemudian ingat kalau Air dulu jarang keluar dan sempat mogok keluar beberapa tahun. Sepertinya banyak sekali hal yang belum pernah ia coba sendiri. Termasuk hal sederhana seperti bermain kembang api.

Mereka duduk di bangku di beranda, Air mengeluarkan korek yang sudah ia persiapkan dan menyalakan kembang api besar miliknya.

Kembang api pun menyala, memercikkan bunga api yang indah menyala. Yaya ikut menyalakan satu kembang api di tangannya dan tersenyum melihat kembang apinya menyala.

"Kukira, hal seperti ini kesukaannya Api," kilah Yaya.

"Ya, dia suka banget, tapi dia bisa ngabisin berkotak-kotak kembang api sampai dia puas," jelas Air, Yaya hanya tertawa kecil, tak sulit membayangkan hal itu.

Berbeda dengan Api tentu saja, Air melihat dan menikamti kembang apinya dengan sangat tenang. Hanya terpulas senyum kecil di bibirnya, namun ia terlihat senang. Yaya pun ikut senang melihatnya. Sudah lama ia tidak bermain kembang api, biasanya ia hanya bermain kembang api menemani adiknya.

"Tadinya aku mau siapin kembang api besar untuk kamu."

Yaya terkejut sedikit, kemudian sadar yang dimaksud kembang api besar adalah kembang api yang meledak di udara. Yang biasanya diluncurkan pada malam hari di acara-acara tertentu. Tentu saja mendengarnya Yaya membelalakan mata, karena meski ia tidak tahu harganya, kembang api besar semacam itu sama sekali tidak murah.

"Tapi terus aku ditegur Gempa, katanya daripada suka, Yaya pasti marah, gitu. Padahal Api juga udah setuju banget tuh," tandas Air dengan wajah polos.

"Itu terlalu berlebihan, yang begini saja sudah cukup kok," jelas Yaya, bersyukur Gempa sepertinya sudah belajar dari pengalamannya membeli terlalu banyak pot bunga.

"Tapi 'kan bagus, aku juga belum pernah lihat kembang api besar langsung," kata Air dengan wajah kosong menatap kembang api miliknya.

Mendengarnya, Yaya hanya tersenyum tipis. "Nanti kalau tahun baru, kita lihat ya," hiburnya.

"Di tengah banyak orang gitu? Aku nggak mau ... Nanti boleh ya, aku beli kembang api besar," pinta Air, kembang apinya sudah habis dan ia menarik lagi yang baru.

Yaya memutar matanya, namun tak bisa menahan diri melihat wajah memelas Air. Mereka memang memiliki terlalu banyak uang dan mengingat suaminya itu tidak memiliki masa kecil yang indah ...

"Yah, boleh deh," jawab Yaya menyerah, agak geli kenapa suaminya meminta izinnya untuk hal semacam ini. Tapi kalau dipikir, kalau tidak minta izin, pasti nantinya Yaya memang akan marah.

Air tersenyum senang dan menyalakan kembang apinya yang lain. "Terima kasih," katanya.

"Sama-sama ... tapi kalau bisa, jangan terlalu heboh dan mewah ya," tegur Yaya, Air mengangguk meski Yaya tetap merasa ragu.

"Oh ya aku punya petasan lho," Air mengeluarkan beberapa petasan dari plastik, membuat Yaya kaget, tidak menyangka Air suka yang seperti itu.

"Air! Aku nggak suka petasan!" omel Yaya. Air mengerjap dengan wajah polos.

"Ini cuma yang ngeluarin asap, sama yang satu lagi, yang kayak air mancur itu, nggak ada yang meledak," Air menunjukkan berbagai macam petasan miliknya. Yaya memandang Air sambil meragukan kewarasan kembaran yang satu itu. Kesambet apa dia hari ini?

Meskipun untungnya, semua petasa yang ia beli, semuanya yang tipe aman. Dari bungkusnya, tampaknya ia juga beli yang mahal, yang benar-benar terpercaya bukan yang murahan.

Dan lagi-lagi, Yaya paham kalau mereka semua memiliki masa kecil yang menyedihkan.

"Hati-hati lho ya," tegur Yaya, akhirnya menyerah.

"Tenang, apartemen ini kan ada sistem pemadam kebarakannya," Air menunjuk sebuah alat kecil di langit-langit yang Yaya lihat di film, bisa mengucurkan air bila tersulut asap.

"Kalau begitu, jendela balkon harus di tutup, jangan sampai ada hujan di dalam apartemen," tambah Yaya. Air mengangguk, dengan cepat ia menyingkirkan tiang jemuran ke dalam apartemen, kemudian menutup jendela beranda.

Dan Yaya pun ikut memperhatikan Air menyalakan petasannya satu persatu.

Petasan air mancur dinyalakan dan Yaya melihat bunga api yang menyembur indah seperti air mancur. Untuk sesaat, rasa khawatirnya terlupakan dan ia ikut menikmatinya bersama Air. Rasanya senang juga melihat wajah takjub dan polos Air.

Sementara petasan yang satu lagi, hanya mengeluarkan asap dengan bau belerang, asap yang dikeluarkan juga berwarna ungu. Air mengerjapkan mata dengan bingung menatapnya. "Ini untuk apaan ya? Jadi ninja?" tanyanya bingung.

Yaya hanya tertawa mendengarnya.

Pada akhirnya, mereka berdua cukup puas bermain dengan kembang api dan petasan air mancur, petasan asap hanya tergolek terlupakan karena Air dan Yaya tidak suka baunya.

"Jadi, sebenarnya, Hari Apresiasi Yaya itu apa?" tanya Yaya penuh senyum pada Air.

Air diam sebentar. "Hari untuk bikin kamu senang dan bahagia. Soalnya ... kamu bikin kita semua bahagia," jawab Air dengan senyum lembut. Wajah Yaya memerah mendengarnya.

"Tapi, untukmu, kami nggak bisa membahagiakanmu dengan uang, makanya ... harus cari cara lain," jelas Air lagi. Yaya memandang kembang api yang memercik di tangannya.

"Hanya dengan begini saja, aku sudah bahagia," jawab Yaya lembut. Air tersenyum padanya.

"Syukurlah. Awalnya kami semua bingung harus bagaimana," jelas Air lagi. Matanya menoleh menatap langit yang sudah menjadi gelap.

"Lagipula, tahu kalian berusaha membahagiakanku saja, aku sudah bahagia," tambah Yaya. Air menoleh padanya dan tersenyum lembut kemudian mengangguk.

Lalu, ia meraih dagu Yaya dan mengecup bibirnya. Yaya tersenyum dan menciumnya balik.

Baginya, ciumannya itu memercik seperti kembang api.

IoI

Yaya sedang bingung hendak menyiapkan makan malam ketika Air berganti posisi dengan Halilintar.

"Ya udah sih, masak yang simpel aja, mi instan gitu," komentarnya, membuat Yaya berhenti menatap isi kulkas.

"Serius?" tanya Yaya. Halilintar memutar matanya.

"Serius."

Dan mereka berdua pun makan malam dengan mi instan. Yaya mengulum senyum, membayangkan betapa konyolnya hari ini sebenarnya. Tapi anehnya, ia bahagia. Ia tidak memimpikan makan malam mewah, memakai gaun indah dan berdansa dengan suaminya seperti di film-film barat yang romantis. Baginya, hal-hal sederhana seperti ini pun membuatnya bahagia.

Selesai makan malam sangat sederhana, Halilintar menatapnya dengan wajah datar.

"Nggak seperti yang lain, cuma aku yang nggak siapin apa-apa. Jadi, kamu maunya apa, terserah."

Yaya mengerjapkan mata dengan terkejut. Lalu kemudian sadar kalau itu benar-benar khas Halilintar. Memang ia tak bisa membayangkan Halilintar sebagai tipe romantis. Ia terlalu kaku, serius dan frontal untuk hal itu.

"Seharin ini aku udah cukup senang kok," jawab Yaya, membereskan peralatan makan kotor. Kemudian, ia melihat di luar jendela, hujan mulai turun. Dalam hati bersyukur, ia sudah selesai bermain kembang api.

"Ah, begini saja," muncul ide bagus di kepala Yaya, meski ia agak ragu Halilintar mau menurutinya.

IoI

"Kamu orangnya sederhana banget."

"Itu maksudnya pujian atau sindiran sih?"

"Terserah kamu nganggepnya apa."

Yaya mendengkus, ia memperhatikan Halilintar yang selesai memanjangkan sofa untuk tempat menyelonjorkan kaki, bahkan bisa untuk tidur. Sofa mahal memang beda ...

Yaya sendiri sudah siap dengan selimut dan juga dua susu hangat. Ia meletakkan susu hangatnya di meja, kemudian segera duduk di samping Halilintar.

"Apa asiknya sih ngeliatin hujan?" tanya Halilintar dengan nada sarkartis yang kental. Yaya tidak mempedulikannya, ia menyamankan diri di samping Halilintar. Sang suami sendiri, tanpa ragu, mengalungkan satu tangannya ke belakang pinggang Yaya.

Sang istri juga menyelimuti mereka berdua, kemudian ia bersandar di bahu Halilintar.

"Aku suka aja ... Dari dulu aku suka ngeliat hujan," jelas Yaya, tidak menjelaskan apapun. Lagipula, melihat hujan bisa menjadi alasan untuknya untuk bermanja dan duduk dekat dengan Halilintar yang dalam keadaan normal, pasti sulit melakukannya.

Halilintar hanya mendengkus, namun tidak protes. Ia mengeluarkan handphone-nya, kemudian menarik earphone yang tersempil di sofa kemudian memasangnya di telinganya. Ia kemudian menoleh pada Yaya.

"Mau?" tanyanya, menawarkan salah satu earphone. Yaya tersenyum dan mengangguk. Ia memasang satu earphone tersebut di telinganya dan Halilintar memutar musik untuk mereka berdua.

Awalnya, Yaya pikir Halilintar suka musik rock, metal atau musik-musik beraliran keras. Tapi, ia tidak menyangka yang ia putar adalah lagu instrumental yang menenangkan.

"Ini lagu apa?" tanya Yaya penasaran.

"Kebanyakan lagu instrumen dari film yang suka ditonton Gempa, Tokusatsu yang suka ditonton Api, atau game yang dimainin Taufan," jelas Halilintar.

Yaya tertawa kecil mendengarnya.

"Kalau kamu? Nggak suka nonton atau main sesuatu?" tanya Yaya.

"Nggak terlalu, aku suka film action, tapi cuma sekedar nonton aja sih," jawab Halilintar, menyamankan dirinya di sofa dan kepalanya bersandar ke kepala Yaya.

"Kalau Air?" tanya Yaya lagi.

"Entah, aku belum tahu dia suka apa. Dia kan baru rutin keluar sejak kita nikah," tukas Halilintar lagi, dari nada bicaranya terkesan kalau ia tidak suka.

Jadi, Yaya memilih untuk diam dan menikmati musik yang mengalun di telinga mereka.

"Hari ini aku benar-benar senang," gumam Yaya, menutup matanya, menghirup aroma hujan serta aroma tubuh suaminya.

"Kamu sederhana banget," komentar Halilintar lagi. Yaya cemberut sedikit namun tersenyum.

"Hal-hal sederhana seperti ini yang membuatku senang. Sebenarnya, aku juga selalu senang bersama kalian setiap hari, nggak cuma hari ini," jelas Yaya. Ia senang suaminya hari ini berusaha menyenangkannya, namun Yaya perlu meluruskan hal itu.

"Oh ya? Meski kita nyusahin kamu?" tanya Halilintar, mengelus pergelangan tangan Yaya yang diperban dengan lembut.

Yaya mengangguk dan mendesah. "Itu semua proses untuk mengenal kalian, aku nggak keberatan ... Lagipula, tinggal bersama kalian, makan bersama, melakukan banyak hal bersama. Hal-hal seperti itu membuatku senang, membuatku makin mengenal kalian dan ... aku bahagia, seperti ini," jelas sang istri dengan senyum lembut.

Halilintar meraih pipi Yaya kemudian menciumnya dengan lembut. Berbeda dengan kemarin, kali ini, Yaya bisa merasakan rasa sayang yang terasa dari ciuman tersebut.

"Kau ini benar-benar...," gumam Halilintar kemudian mencium Yaya lagi.

Entah apa kelanjutan dari kata-kata tersebut, namun Yaya hanya tersenyum dan mencium Halilintar balik.

"Sebenarnya, mau berapa kali kalian menciumku hari ini?" tanya Yaya setelah Halilintar menciumnya. Bukannya ia tidak suka, tapi, setelah begitu banyak ciuman yang ia terima hari ini, ia jadi lelah juga. Lelah dengan jantung yang terus menerus berdebar kencang setiap kali ia dicium.

Mendengarnya, Halilintar justru menampilkan seringai, membuat Yaya bingung apa ia sudah mengatakan sesuatu yang salah.

"Kuanggap itu sebagai tantangan," katanya sebelum mencium Yaya lagi.

Yaya mengerjap kaget, panik kenapa Halilintar mengartikannya seperti itu. Tapi terlambat karena Halilintar sudah merunduk dan menciumnya lagi, kali ini lebih mesra.

"Tunggu! Halilintar- mmph... Halilintar!"

Dan baik hujan maupun musik yang mengalun di telinga mereka, segera terlupakan begitu saja.

Kebahagiaan untuk setiap orang berbeda-beda. Dan untuk Yaya sendiri, menghabiskan waktu bersama suaminya setiap hari, baginya itu sudah cukup membuatnya bahagia.

TBC
----------------

Fiuh... ini sebenarnya rada mirip dengan chapter 4 ya, tapi bedanya, event yang terjadi nggak begitu besar *ngomong ala dating sim game

Ok, maaf dengan chapter yang penuh fluff, ciuman dan romance ini, hahaha...

Silahkan review-nya ^^

----------
K O L O M N U T R I S I
----------

1. Manakah scene terfavoritmu di chapter ini?

2. Andaikan ada Hari Apresiasi untuk dirimu, siapakah yang kamu harapkan untuk mengapresiasi kamu?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 13 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro