Chapter 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry update lama karena mood mendadak ilang karena suatu masalah.

Yosh, just enjoy it.

---------------

Masa lalu adalah masa yang telah terlewati. Masa yang tidak bisa diarungi kembali oleh manusia kecuali melalui ingatan. Masa yang membentuk masa sekarang.

Banyak orang merisaukan masa lalu. Karena banyak hal terpendam, seperti rahasia, kesalahan, aib dan kenangan lainnya yang tidak diketahui orang lain. Ketakutan akan masa lalu yang kembali bangkit dan menghantui masa sekarang adalah ketakutan umum yang dimiliki seseorang dengan masa lalu kelam.

Yaya menatap dua boneka beruang yang kini menjadi penghuni tetap ruang tamu apartemennya. Ochobot dan Kokoa yang saling berdampingan. Boneka beruang berwarna kuning dan hitam sudah lusuh termakan waktu, seakan menyisakan banyak sekali cerita yang tak pernah Yaya tahu. Dari mata manik boneka ini, apa yang sudah ia lihat? Ia adalah saksi bisu dari masa lalu Boboiboy.

Selama ini Yaya terus merasa penasaran dengan masa lalu suaminya. Sebagian karena tak ada satupun kembarannya yang suka mengungkit masa lalu. Hanya sedikit cerita yang Yaya dapatkan dari semua potongan-potongan percakapan bersama suaminya selama ini.

Yang jelas, itu bukan masa lalu yang indah.

Cukup dengan melihat Ochobot, yang merupakan satu-satunya teman Boboiboy, sebenarnya Yaya bisa membayangkan sedikit masa lalu macam apa yang suaminya alami.

Dan itu sebenarnya sudah cukup.

Selebihnya Yaya ingin suaminya sendiri yang memberitahunya. Karena masa lalu yang kelam itu meninggalkan banyak luka untuk Boboiboy yang tak bisa Yaya obati jika tak mengetahui asal-usul luka itu.

Yaya tersentak dari lamunannya saat handphone-nya berdering. Buru-buru ia mengangkatnya dan bingung melihat nomor yang tak ia kenal tertera di layarnya.

"Assalamu'alaikum?" angkatnya, mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Wa'alaikumsalam. Ini Yaya?"

"Iya benar," jawab Yaya.

"Ini Bunda, Yaya."

Bunda ...

Yaya tidak memanggil ibunya dengan 'Bunda'. Dan ia tahu siapa yang sering menggunakan kata bunda untuk kata ganti ibu kandung.

Ibu Boboiboy.

"Oh ... Bunda ... ada apa mendadak telepon saya?" tanya Yaya dengan sopan. Ia merasa agak canggung karena tak begitu mengenal sosok orang tua Boboiboy. Dan suaminya tidak meninggalkan kesan bagus terhadap orangtua kandungnya sendiri.

"Begini, kamu bisa ke rumah sebentar sekarang? Bunda ada perlu sama kamu."

Yaya semakin canggung. Ia tidak tahu bagaimana berhadapan dengan mertuanya. Terutama karena hubungan mertuanya dengan suaminya pun tak begitu bagus.

"Uhm, saya minta izin Boboiboy dulu," jawab Yaya dengan jawaban paling aman.

"Oh baiklah kalau begitu, nanti kamu SMS Bunda ya. Biar Bunda minta supir jemput kamu ke sini."

Yaya hanya mengangguk canggung, lupa kalau di telepon tidak bisa melihat anggukan.

Telepon pun ditutup dan Yaya menatap handphone-nya. Tentu Boboiboy sedang pergi bekerja sekarang. Sang istri pun segera beralih menelepon suaminya itu.

Ia sebenarnya merasa berat untuk bertemu dengan mertuanya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tapi Yaya juga tahu ia tidak bisa selamanya menghindar. Mertuanya adalah orangtuanya juga.

"Assalamu'alaikum, ada apa Yaya?"

Yaya merasa agak lega mendengar suara suaminya di seberang telepon.

"Wa'alaikumsalam. Uhm ... nggak ada apa-apa ... cuma ... Bunda minta aku ke rumah sekarang," jelas Yaya dengan ragu. Ia tidak bisa menebak siapa yang sedang mengambil alih tubuh suaminya itu. Tapi ia harap suaminya tidak bereaksi berlebihan.

"Bunda? Memangnya ada apa?"

"Nggak tahu ... katanya cuma ada perlu gitu ...," jawab Yaya bingung. Dari nada bicara mertuanya, sepertinya ia tidak marah. Malahan terdengar senang.

"Uhm ... ya udah ... nggak apa-apa. Hati-hati ya di sana."

Hati Yaya agak mencelos, ia separuh berharap Boboiboy melarangnya.

"Baiklah ... Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dan telepon pun ditutup. Yaya mendesah panjang.

Ia berharap tidak akan terjadi masalah.

IoI

"Gimana? Cantik 'kan?"

Yaya sebenarnya sudah berusaha menebak urusan macam apa yang mertuanya ingin bicarakan dengannya sampai ia harus dipanggil ke rumah. Tapi sang menantu tidak menebak sama sekali ia dijemput hanya karena baju.

Ya, baju.

Mertuanya tampak gembira, seperti sedang membelikan baju untuk anaknya sendiri. Tapi, secara literal Yaya memang anaknya sekarang.

"Pas Bunda lagi jalan-jalan di mall kemarin, lihat baju-baju ini, terus Bunda pikir baju-baju ini pasti pas buat kamu. Maklum, Bunda sebenarnya mau punya anak perempuan juga."

Yaya tersenyum simpul.

Ia agak tersipu, meski merasa tak nyaman bila mencoba memikirkan harga baju yang diberikan padanya sekarang. Semua baju yang diberikan bundanya sangat cantik, kebanyakan terlalu formal untuk dipakai sehari-hari.

Tapi, hadiah adalah hadiah. Yaya paham kalau mertuanya sebenarnya adalah wanita paruh baya yang baik hati. Mungkin sinetron memberikan pengaruh buruk padanya, tidak semua mertua itu menyebalkan seperti nenek sihir.

"Coba kamu pakai dulu bajunya. Mudah-mudahan pas," saran mertuanya. Yaya mengangguk.

"Makasih, Bunda," katanya agak sungkan.

"Iya ... sama-sama. Nah ayo ... kamu bisa ganti di kamar Boboiboy. Ada di lantai atas, kamar paling ujung."

Yaya memeluk semua tumpukan baju yang dibelikan untuknya dan berjalan menaiki tangga sementara mertuanya sedang melihat-lihat banyaknya jilbab yang ia beli. Sepertinya mertuanya itu suka belanja.

Tapi memang pada umumnya semua wanita suka belanja. Entah itu belanja makanan atau belanja baju.

Yaya berdiri di depan sebuah kamar. Ini ketiga kalinya ia pergi ke rumah mertuanya. Tapi baru kali ini ia akan memasuki kamar suaminya di rumah ini.

Ia sebenarnya merasa agak tidak enak hati, tapi berusaha untuk berpikir logis kalau ia adalah istri Boboiboy jadi ia berhak masuk ke kamar ini.

Begitu kamar di buka, Yaya melihat sebuah kamar yang luas dengan sebuah balkon besar yang menghadap teras belakang rumah. Berbeda dengan apartemen Boboiboy yang modern dan minimalis, kamar ini sesuai dengan nuansa rumah, perabotannya terlihat antik. Ada sebuah kasur besar dengan rangka kayu jati. Sebuah lemari yang sangat besar dengan warna coklat tua dan ukiran-ukiran bagus dan tampak mahal. Ada sebuah rak buku hitam di sisi lainnya yang hampir kosong dan juga sebuah meja belajar di sampingnya.

Yaya menaruh baju-baju barunya dan berkeliling kamar.

Ia sedikit merasa penasaran dengan kamar yang ditinggali suaminya saat masih kecil.

Tak ada banyak barang yang bisa dilihat, mungkin karena sebagian besar sudah dipindahkan ke apartemen Boboiboy. Tapi, Yaya punya prasangka kalau memang kamar ini cukup kosong sejak awal.

Yaya melihat sebuah lemari kecil di samping meja belajar dan agak bingung dengan fungsinya. Sepertinya bukan rak buku maupun lemari baju. Jadi, ia membukanya.

Dan Yaya menemukan setumpuk piala di dalamnya.

Mata sang istri terbelalak dengan kagum.

Sayang lemari ini dalamnya berdebu, seakan tidak pernah dibersihkan. Yaya melihat piala-piala tersebut satu persatu.

Juara satu lomba satu pidato bahasa inggris.

Juara satu kejuaraan karate tingkat kota.

Juara satu olimpiade matematika tingkat provinsi.

Dan banyak yang lainnya.

Boboiboy tidak pernah cerita ia punya prestasi sebanyak ini. Yaya jadi merasa bangga dengan suaminya itu.

Tapi kemudian ia sadar sebuah keanehan.

Kenapa piala-piala ini ada di sini?

Lemari yang digunakan adalah lemari tertutup. Biasanya piala harusnya dipajang di sebuah lemari kaca atau bahkan dipajang di ruang tamu agar bisa dilihat banyak orang. Semua prestasi ini membanggakan. Yaya saja hanya punya dua piala dari lomba cerdas cermat dan lomba debat di sekolah tapi kedua piala itu menjadi pajangan di rumahnya.

Yaya mengambil satu piala dan menatapnya dengan bingung.

Piala-piala ini diselimuti debu dan tersembunyi. Padahal Yaya rasa tak mudah untuk mendapatkan semua prestasi ini.

Yaya bisa membayangkan suaminya di sekolah, berusaha keras untuk mendapatkan ini semua. Pastinya bukan perkara mudah, mungkin ada perjuangan dan pengorbanan tersendiri di balik setiap prestasi yang dia dapat. Tapi, prestasi itu tidak diapresiasi sebagaimana harusnya.

Dan di situ Yaya mulai sadar.

Banyaknya piala dengan berbagai kejuaraan atau perlombaan menggambarkan perjuangan Boboiboy untuk ...

... dicintai.

Mungkin yang ia harapkan dengan semua prestasi yang ia dapatkan, ia bisa diberi kalimat pujian dan dibanggakan oleh orangtuanya, seperti anak pada umumnya.

Tapi, piala-piala yang berdebu dan tersembunyi ini menjawab hasil dari semua prestasi itu.

Kurang lebih ada sepuluh piala, dengan beberapa medali dan plakat penghargaan, menggambarkan betapa kerasnya suaminya itu sudah berjuang.

Berjuang untuk dicintai ....

Yaya mendesah dan menaruh kembali piala di tangannya di tempatnya semula. Dan kemudian matanya melihat sesuatu.

Di balik semua piala yang berdebu, ada sebuah kotak.

Yaya mengambilnya dengan rasa penasaran. Kotak itu ternyata seperti kotak brankas berwara hitam dengan gembok terbuat dari logam.

Tapi yang aneh, gemboknya tidak terkunci.

Yaya pun membukanya.

Ia melihat kotak itu penuh dengan berbagai macam barang.

Terutama foto dan tumpukan kertas.

Ia mengambil satu foto dan melihat foto suaminya yang masih kecil sedang tersenyum bahagia bersama seorang kakek yang Yaya sangka sebagai Tok Aba.

Yaya tersenyum memandangnya tapi senyumnya menghilang saat ia melihat sebuah kertas paling atas dari tumpukan kertas.

JANGAN BUNUH DIRI!

Yaya mengerjapkan mata dengan bingung, menatap kertas putih yang ditulis dengan spidol marker warna biru dengan tulisan yang tampak berantakan. Ia pun mengambil kertas lainnya.

Kita masih harus hidup!

Aku sudah lelah ...

Aku tahu, tapi kamu tidak sendiri!

TOK ABA!

BERHENTI!

Yaya memandang tumpukan kertas di tangannya dengan penuh rasa panik dan tanda tanya.

Bunuh diri? Lelah? Hidup?

Apa maksudnya semua kertas-kertas ini? Yaya menggali di kotak itu, menyingkirkan semua kertas berisi tulisan yang mengerikan sekaligus membingungkan bercampur dengan foto-foto bahagia, ia akhirnya menemukan sebuah buku dan sebuah amplop.

"Yaya?"

Yaya tersentak saat mendengar panggilan mertuanya dari luar kamar. Secara refleks ia segera menutup kotak itu.

"Kamu sudah selesai gantinya?"

"Tunggu sebentar, Bunda," balas Yaya bersyukur mertuanya tidak masuk ke dalam kamar. Yaya menaruh kotak itu dan menghampiri tumpukan baju barunya di atas tempat tidur.

Sebenarnya apa kotak itu?

IoI

Yaya menatap kotak yang begitu misterius dan membingungkan dengan pandangan ragu tapi juga penasaran. Secara ajaib, ia bisa membawa kotak itu pulang. Mertuanya tidak bertanya apa-apa meski Yaya membawa kotak yang tidak ia bawa saat ia datang ke rumah.

Isi kotak ini sama sekali berbeda dengan ruang penyimpanan rahasia milik suaminya.

Yaya sebenarnya tidak ingin membukanya sembarangan, tapi ia sudah terlanjur melihat dan rasa ingin tahunya seperti mau meledak, tak bisa menanti sampai suaminya pulang.

Jadi Yaya membukanya kembali, kali ini ia lebih siap.

Yaya melihat begitu banyak foto, kertas, sebuah buku dan amplop.

Foto-foto itu adalah foto suaminya dengan kakeknya. Dari yang Yaya perkirakan, kemungkinan suaminya masih SD.

Ia terlihat bahagia.

Yaya bahkan bisa membedakan semua kembaran suaminya di foto-foto itu. Ada Gempa yang tersenyum malu. Taufan yang tersenyum riang. Api yang sedang tertawa. Air yang tersenyum dengan wajah mengantuk. Bahkan Halilintar yang tersenyum tipis.

Yaya merapikan semua foto itu, kemudian beralih ke tumpukan kertas.

Kertas-kertas itu penuh dengan tulisan tangan. Kebanyakan ditulis dengan spidol marker meski ada juga yang dengan krayon.

Entah kenapa bagian belakang kertas itu lengket dan Yaya melihat bekas double-tip di balik kertas-kertas tersebut. Apa itu tandanya kertas-kertas ini terpasang di dinding atau semacamnya sebelumnya?

Semua kertas itu berisi macam-macam tulisan, dengan berbagai gaya menulis dan juga warna.

Aku merindukan Tok Aba ...

Aku lelah ...

Aku tidak kuat lagi ...

Jangan menyerah!

Kita lakukan ini semua bersama!

Semua orang brengsek!

Yaya menutup matanya, ia tidak sanggup melihat lagi dan memilih untuk merapikan kertas-kertas itu saja.

Apa sebenarnya semua kertas itu, Yaya tidak mengerti.

Ia kemudian beralih ke buku dan surat yang tersisa di dalam kotak.

Buku tersebut adalah buku notes yang biasanya dimiliki anak sekolah. Yaya pun membukanya, entah apa lagi yang akan ia temukan.

Ia melihat sebuah catatan yang rapi, awalnya ia menyaka itu catatan sekolah sampai ia membaca isinya.

Namaku Gempa.

Yaya mengerjapkan matanya dan terus membacanya.

Aku tidak bisa menulis diary. Jujur aku tidak tahu bagaimana caranya. Tapi, aku sudah tidak tahu lagi bagaimana harus mengeluarkan semua keresahan ini. Aku sudah tidak kuat lagi.

Sebenarnya percuma juga, karena tetap saja kembaranku yang lain bisa langsung membaca apa yang aku tulis. Tapi sudahlah ...

Jujur ... Aku lelah sekali ...

Aku lelah dengan semua ini ...

Aku lelah dengan semuanya ...

Kata orang, manusia itu hidup untuk bahagia. Tapi, mungkin itu tidak berlaku untukku. Sebenarnya apa salahku? Aku sudah berjuang keras. Sejak Tok Aba meninggal aku terus berjuang. Aku cuma ingin mendapatkan senyuman tulus. Aku cuma ingin ... kepalaku dibelai. Aku cuma ingin ... mendapat pujian singkat.

Tidak apa-apa aku harus terus berobat. Tidak apa-apa meski aku muat dengan semua obat itu. Asalkan aku dicintai. Asalkan kedua orang tuaku berhenti memandangku seperti sosok makhluk abnormal. Tapi, pada akhirnya semua pengobatan itu tidak menghasilkan apa-apa. Semuanya tidak berubah, tetap sama. Aku tetap sendirian.

Aku harus bagaimana agar kedua orang tuaku mau memandang mataku?

Aku harus bagaimana lagi?

Seaneh itukah diriku?

Kenapa semua orang pergi?

Kenapa tidak ada yang mau berteman denganku?

Aku kesepian ...

Sampai kapan aku harus terus begini?

Rasanya aku ingin semuanya berhenti saja.

Aku ingin tidur, kemudian tidak bangun lagi untuk selamanya.

Apa itu artinya aku ingin bunuh diri?

Tapi tubuh ini bukan hanya milikku.

Apa aku bisa seperti Air, terus memendam diri dan tidak keluar lagi? Tapi, kalau aku begitu apa rasa sakitnya akan berhenti?

Yaya bisa melihat tulisan yang kabur karena bekas tetesan air. Yang mungkin, adalah tetesan air mata.

Aku cuma ingin rasa sakit ini berhenti. Aku ... aku tidak mengharapkan lagi ada orang yang mau menemaniku. Aku cuma ingin hidupku sedikit lebih mudah dari ini ... aku cuma ingin berhenti berjuang.

Aku sudah lelah.

Yaya mengerjapkan matanya dan berusaha menahan agar air matanya tidak menetes.

Ia membuka halaman berikutnya.

Gempa, maafkan aku. Ini salahku, kami semua salah. Kami membiarkanmu berjuang sendiri selama ini. Bukan berarti aku tidak peduli Gempa. Aku hanya berpikir, dengan semua kegiatan dan beban yang kau alami, kau tahu, kita berhak sedikit kesenangan. Aku tidak bermaksud menyusahkanmu. Aku hanya ingin bisa tertawa.

Aku mohon jangan menyerah. Aku tahu semua ini melelahkan. Aku mengalami apa yang kau alami, aku mendengar apa yang kau dengar dan aku bisa melihat semuanya. Kumohon Gempa... kau benar, manusia hidup untuk bahagia karena itu jangan bunuh dirimu sendiri sebelum kau bahagia...

Kami semua di sini, kau tidak sendiri kau tahu.

Kau bisa membagi bebanmu padaku. Kau bisa bergantian denganku jika kau merasa lelah. Aku janji aku akan berhenti mengerjai semua orang. Aku janji aku akan berhenti menyusahkanmu.

Karena itu, jangan bunuh diri kumohon ...

Yaya melihat ada tulisan lain dengan gaya tulisan yang berbeda.

Kau tidak sendirian. Kita semua bukan pengecut. Kita akan menghadapinya bersama. Aku tidak akan membiarkan ada orang lain lagi yang menyakiti kita. Dan aku janji akan berhenti menyusahkanmu, Gempa.

Yaya menutup buku itu kemudian memandangnya dengan pilu.

Ia tidak mengerti semua yang ia temukan. Rasanya seperti menemukan potongan-potongan masa lalu suaminya yang tak jelas.

Yaya mendesah dan melihat amplop yang tertutup rapi. Hanya ini yang ia tersisa. Sang istri akhinya membukanya dan didalamnya ia menemukan secarik kertas yang terlipat rapi.

Tahun 2007

Untuk diriku 10 tahun kemudian.

Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah semuanya sudah membaik atau sama seperti dulu? Apa kau masih sendirian atau sudah memiliki orang lain sekarang? Apa semuanya justru semakin memburuk?

Aku memendam semua kenangan yang kumiliki, yang pahit dan yang manis. Aku yakin kau masih bisa mengingat semuanya.

Inilah kehidupan yang kualami selama ini.

Setelah 10 tahun, dan kau membuka kotak ini, dan kemudian melihat kembali semua kenangan ini, dan memikirkan apa yang sudah kau jalan selama 10 tahun ini, dari sana semua pilihan ada padamu.

Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?

Yaya mengerjapkan mata.

Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?

Yaya melihat surat itu dengan bingung.

Ia memandang tumpukan foto, yang mungkin jadi wakil dari kenangan manis suaminya, dan tumpukan kertas juga buku yang jad wakil dari kenangan pahit.

Lalu surat ini untuk Boboiboy di tahun 2017.

Ini time capsule?

IoI

"Assalamu'aiakum! Yaya!"

Yaya menghampiri suaminya dengan senyum tipis. Dari pelukan manja juga kecupan manis di bibirnya, Yaya langsung tahu ia berhadapan dengan Taufan.

"Kenapa?"

Taufan langsung sadar ada sesuatu. Yaya memang tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sendu dengan baik.

Yaya hanya bisa menggeleng.

"Ada sesuatu dengan Bunda?" tanya Taufan dengan wajah lebih panik. Yaya kembali menggeleng.

"Aku cuma...," Yaya tak bisa menjelaskannya. Ia menatap Taufan dan matanya jadi berkaca-kaca. Melihatnya tentu, suaminya terlihat makin bingung.

Yaya akhirnya menarik tangan Taufan dan menunjuk kotak yang ia temukan siang ini.

Taufan memandangnya sebentar sebelum kemudian ia akhirnya mengenali kotak itu.

"Ini ...," gumamnya tampak kehabisan kata-kata.

"Maaf!"

Taufan menoleh pada Yaya.

"Aku sudah melihatnya. Aku tak sengaja menemukannya kemudian aku membukanya, aku ..."

Yaya berhenti saat Taufan membelai pipinya.

Ia mengajak Yaya duduk di sofa, di depan time capsule itu.

"Aku agak kaget, tapi ya sudahlah nggak apa-apa. Jujur aku sendiri hampir lupa sama kotak ini, tapi ...," Taufan mengambil kotak itu dan menaruhnya ke pangkuannya.

"Kau sudah melihat semuanya?" tanya Taufan.

Yaya mengangguk pelan. Ia merasa bersalah juga kalut.

Ia tahu masa lalu suaminya berat, tapi tak pernah menyangka suaminya pernah ingin bunuh diri.

Ia bisa membayangkan semua kertas berhenti permintaan agar menghentikan tindakan bunuh diri, pelampiasan kesal ataupun rasa lelah tertempel di dinding dengan tak beraturan.

Rasanya itu pemandangan yang mengerikan untuk Yaya.

Taufan memandang semua isi kotak dengan wajah pilu. Tapi ada senyum tipis di bibirnya. Senyum yang kelihatan getir dan pahit.

"Yah ... ini adalah masa lalu kami semua. Kenangan indah ... kenangan pahit ... terutama-" Taufan mengambil selembar kertas bertuliskan permohonan untuk berhenti bunuh diri.

"Mungkin itu titik terendah dalam hidup kami berlima. Gempa yang lelah harus menanggung semuanya dan kehabisan cara untuk ... bisa dicintai seseorang, aku yang hanya terus menerus mencari perhatian dan menyebabkan masalah, Halilintar yang membenci semua orang, Api yang sama sekali tak bisa diatur, dan Air yang tak pernah mau keluar lagi ..."

Taufan mendesah pelan.

"Kami semua sangat kesepian- kalau dibandingkan dengan sekarang, setelah ada kamu, aku sendiri baru sadar betapa kesepiannya kami saat itu."

Yaya membelai pundak Taufan dengan lembut dan suaminya itu tersenyum padanya.

"Sulit menghentikan Gempa yang mulai mencari cara untuk bunuh diri. Halilintar yang apatis dan sudah nggak mau peduli lagi. Api yang seperti terjebak dalam dunianya sendiri ... Tapi aku bisa, dengan kotak ini."

"Maksudnya?" tanya Yaya tidak mengerti. Taufan mengambil amplop berisi surat yang sudah Yaya baca apa isinya.

"Aku membujuk Gempa untuk mencoba bertahan. 10 tahun setidaknya. Untuk melihat apakah hidup kami berubah, semakin baik atau semakin buruk. Kalau hidup kami semakin memburuk setelah 10 tahun, terserah padanya ... aku sudah tidak bisa menghentikannya lagi."

"Karena itu kotak ini dibuat?" tanya Yaya. Taufan mengangguk. Yaya tak bisa membayangkan, apa jadinya bila mereka tak menikah dan hidup suaminya tidak berubah hingga waktu tenggat 10 tahun akhirnya datang. Apa nantinya Gempa akan membunuh dirinya sendiri dan tak ada kembaran yang bisa menghentikannya?

"Bukannya aku nggak mengerti apa yang Gempa alami. Orang tua kami, psikiater, efek samping obat, sekolah, kursus dan rasa kesepian itu ... hidup rasanya berat sekali. Tapi aku yakin, kalau kita hidup terus, pasti suatu saat kita akan bahagia. Makanya ... aku belum mau menyerah saat itu," terang Taufan lagi. Ia mendesah dan memasukkan kembali kertas yang ia pegang ke dalam kotak.

"Aku nggak menyangka kalau Gempa ...," Yaya sulit membayangkannya. Kembaran yang ia tahu paling penuh kontrol, sopan, ramah dan serba bisa itu? Memang Yaya akhirnya pernah melihat Gempa pecah, di mana ia menangis ketakutan memeluknya setelah mimpi buruk.

"Yah ... sebenarnya saat itu kami semua hancur ... cuma Gempa yang selalu berusaha untuk menjadi anak baik, agar bisa dicintai. Kami semua hanya mengikuti apa maunya, karena hanya Gempa yang mampu berhadapan dengan psikiater, dengan orang tua kami dan berperilaku normal di sekolah maupun di tempat kursus. Pada akhirnya, yang ia terima cuma beban, dan itu semua salahku, Halilintar, Api dan Air yang nggak sadar perlahan Gempa mulai hancur."

Yaya memandang Taufan dengan sendu. Sudut bibir Taufan naik dan ia tersenyum pahit pada Yaya. Istrinya menyentuh bibirnya dengan satu jarinya.

"Jangan tersenyum kalau kau nggak ingin tersenyum...," tegur Yaya. Senyuman Taufan segera turun.

"Maaf, refleks," balasnya.

"Tapi yah ... setelah SMA kami bisa pindah ke apartemen sendiri ... semuanya jadi sedikit lebih baik. Aku dan Gempa terbiasa untuk berbagi tugas, bahkan Halilintar perlahan berhenti jadi apatis dan menyebar pandangan membunuh, Api masih agak tidak terkendali saat itu tapi setidaknya di sini dia bisa mengamuk sesukanya," jelas Taufan dengan nada sedikit lebih ceria. Yaya hanya mampu tersenyum tipis.

Yang seperti itu saja sudah dianggap lebih baik oleh suaminya.

"Lalu kamu datang dan semuanya jadi lebih baik lagi sekarang, aku benar 'kan?" tanya Taufan dengan bangga. Yaya mengangguk.

"Aku sangat bersyukur kalian semua masih hidup."

Senyum bangga Taufan sedikit turun, membuat Yaya agak bingung. Pandangannya berkaca-kaca menatap Yaya tapi kemudian ia tersenyum kembali.

"Ya ... masa itu masa berat ... kita semua berhasil melaluinya. Menghitung hari demi hari, menjalaninya perlahan ... akhirnya ..."

Yaya mengangguk dan memeluk Taufan. Suaminya mendekapnya erat.

Suaminya dulu sangat kesepian.

Ia diperlakukan seperti orang aneh dan sakit jiwa. Seakan dengan keanehannya itu ia tidak merasakan sakit sehingga banyak orang menyakitinya.

Dan terlebih ia harus memaksakan diri untuk berpura-pura menjadi orang normal.

Dan ia selama ini ingin dicintai.

Yaya sulit mengerti kenapa suaminya dijauhi banyak orang, kenapa orangtuanya sendiri tak mau menerimanya, kondisi khusus suaminya memang aneh, tapi suaminya layak untuk dicintai.

Mereka semua manis dan baik.

Mereka sedikit susah dihadapi karena kondisi khusus mereka dan trauma akan masa lalu mereka.

Tapi, mereka semua sangat hebat.

Ya, mereka semua hebat.

"Oh, Gempa akan sangat marah padaku sekarang ..."

Yaya melepaskan pelukannya dan memandang Taufan dengan tatapan bingung.

"Aku sudah membongkar aibnya padamu ... hah~ Sudahlah, bagaimana lagi?" Taufan mengangkat kedua bahunya.

"Nanti biar kuberitahu dia," hibur Yaya. Taufan memutar matanya dan menutup kotak penuh kenangan itu.

"Entahlah, kadang dia keras kepala..."

IoI

Gempa membuka matanya, melihat Yaya yang tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum tipis namun perlahan bangkit dan berjalan ke luar kamar tanpa suara. Dalam gelapnya malam, ia tahu dimana kotak itu berada.

Gempa membukanya. Sinar rembulan yang masuk dari sela-sela tirai jendela hanya memberinya penerangan sedikit, tapi ia sudah tahu apa isinya.

Memalukan ...

Gempa tersenyum getir dengan dirinya sendiri.

Ia ingat bagaimana dulu ia berjuang terlalu keras, ia melewati batas kemampuannya sendiri dan berharap dengan semua kerja keras itu orang-orang akan sedikit menyukainya. Tapi, pada akhirnya ia tahu semua itu usaha yang sia-sia.

Saat itu ia tidak mengerti kenapa orang-orang terlihat begitu mudah bahagia, sementara dirinya yang berjuang begitu keras tidak mendapatkan kebahagiaan sedikitpun.

Kembarannya yang lain tidak ada yang bisa diajak bekerja sama, Taufan yang hanya membuat keributan, Halilintar yang sering melukai orang lain, Api yang hanya mengamuk dan menangis, Air yang tidak mau keluar.

Saat itu hidupnya berhenti memiliki arti dan ia sangat lelah.

Ia sangat lelah, ia bahkan lelah terus menerus bersembunyi di dalam lemari dan hanya bisa memeluk Ochobot untuk mendapatkan sedikit hiburan untuknya.

Sepuluh tahun ...

"Boboiboy?"

Gempa menoleh pada Yaya yang menyalakan lampu. Gempa segera menutup kotak itu.

"Maaf kau jadi bangun ...," balasnya. Yaya menggeleng.

"Kau baik-baik saja? Maaf ya, seharusnya aku tidak mengambil kotak ini-" Gempa hanya menggeleng dan mendesah.

"Nggak apa-apa ..., yang lain mungkin lupa, tapi aku selalu ingat dengan kotak ini. Janji sepuluh tahun itu," cerita Gempa. Yaya terdiam mendengarkannya.

"Aku menyedihkan ya?"

Yaya mengernyit saat memandang Gempa yang mengolok dirinya sendiri.

"Kamu bukan orang yang menyedihkan...," balas Yaya.

"Aku bahkan tidak berani untuk pergi dan lari dari rumah, meski Halilintar dulu pernah mengusulkannya. Karena kupikir, kemana pun aku pergi, pasti tetap sama saja," jelas Gempa.

Tetap sendirian. Tetap dianggap sebagai orang yang tidak waras. Semua itu tidak terucap dari mulutnya.

"Gempa...," Yaya menarik kepala Gempa ke pundaknya dan membelainya.

"Aku pikir, setelah sepuluh tahun, aku akan menyerah. Entahlah, aku tidak ingin bunuh diri, tapi aku ingin berhenti merasakan, seperti koma selamanya dan tidak bangun lagi ..."

Yaya bisa mengingat hari pertama mereka menikah. Gempa yang merasa bersalah bahkan ketika rahasianya terbongkar, ia menawarkan pilihan cerai untuk Yaya.

Taufan yang mencari perhatian. Api yang begitu ingin tidur bersama orang lain. Halilintar yang langsung mengancamnya. Semua itu terbentuk agar mereka bertahan hidup. Semua itu karena mereka begitu kesepian dan sering terluka oleh orang lain.

Dan hal-hal kecil yang bisa membuat mereka bahagia. Hanya dengan kata hiburan, pelukan atau belaian di kepala, mereka terlihat seperti akhirnya mendapatkan apa yang mereka impikan selama ini.

Dan sikap mereka yang selalu berusaha membahagiakan Yaya. Sikap mereka yang seakan takut Yaya akan meninggalkan mereka.

Mata mereka yang selalu memandang seakan Yaya adalah segalanya untuk mereka.

"Gempa ...," Yaya berkata dengan lembut.

"Menurutku kalian semua sangat hebat...," lanjutnya.

Gempa tidak bergeming, hanya diam sementara Yaya membelai kepalanya.

"Orang-orang bilang, 'aku rela mati untukmu' adalah sesuatu yang hebat. Tapi menurutku, hidup jauh lebih sulit. Sangat sulit ... dan kau tahu itu..."

Yaya mundur dan memberi jarak antara dia dan Gempa.

"Karena itu kalian hebat. Mungkin kau pernah ingin bunuh diri, tapi pada akhirnya kau tidak melakukannya. Kamu berhasil melewati ini semua." Yaya membelai pipi Gempa dengan penuh kasih sayang.

"Sekarang semuanya jauh lebih baik 'kan?" tanya Yaya penuh senyum. Gempa mengangguk dengan senyum tipis.

"Jauh lebih baik," balasnya.

Senyuman Yaya makin lebar mendengarnya.

"Aku akan jadi lebih kuat. Aku janji," tambah Gempa.

Yaya mendesah kecil.

Itu penyakit suaminya yang masih belum bisa berubah hingga sekarang.

Kapan ia bisa mengerti kalau ia tidak perlu berjuang untuk dicintai?

Kapan ia bisa paham kalau dengan dirinya apa adanya sekalipun, ia layak untuk dcintai?

Tapi Yaya tidak bisa mengatakannya. Kebiasaan itu, kebiasaan untuk berjuang itu, tidak akan pernah berubah sampai suaminya menyadarinya sendiri.

"Asalkan kau jangan memaksakan diri lagi," Yaya mengingatkan. Gempa mengangguk.

"Aku benar-benar bersyukur menikah denganmu Yaya ... aku janji akan berusaha untuk membahagiakanmu ..."

Yaya hanya tersenyum tipis. Ia menatap mata Gempa yang seakan menatapnya seperti ia lah segalanya di dunia ini.

"Aku mengerti...," balasnya.

Meski, suaminya tidak berusaha pun, jujur Yaya sudah merasa bahagia.

Tapi itu tidak terucap.

Apa suaminya masih berpikir Yaya menikahinya karena kasihan? Karena suaminya merasa dirinya begitu menyedihkan dan Yaya begitu hebat?

Tapi Yaya tahu.

Seperti itulah Boboiboy.

Karena ia sudah terbiasa sendirian dan dilukai. Mungkin di dalam hatinya tertanam sebuah paradigma kalau dirinya tidak layak dicintai meski ia sendiri tak sadar akan hal itu.

Dan Yaya berharap ia bisa mengubah paradigma itu, suatu saat nanti, sambil perlahan mengobati semua luka yang diderita suaminya selama ini.

TBC

--------------

Maaf kalau kurang nge-feels. Sulit untuk nulis dan menggambarkan kehidupan Boboiboy waktu kecil dan sebelum bertemu Yaya.

Sudahlah.

Silakan review-nya.

----------
K O L O M N U T R I S I
----------

1. Betapa kelamnya kehidupan kembaran. Siapa yang pertama meminta perhatian lebih?

2. Biasanya di buku diary kamu menulis apa?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 15 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro