Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter ini tercipta karena aku sadar kalau ApixYaya itu yang terbawah dari pairing favorit para reader. Sebagai writer tentu aja aku suka semua pairing di sini tanpa kecuali jadi aku nulis chapter ini karena kasihan sama Api *elus-elus Api

Oh ya, sebagai writer aku juga jarang banget respons pertanyaan di review. Maaf ya, karena terlalu banyak aku jadi nggak bisa merespons satu-satu. Biasanya, semua pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab seiring dengan cerita berjalan, jadi sabar aja.

Enjoy this chapter

---------------

Beberapa orang terlahir di dunia sebagai seorang yang freak control, diartikan sebagai orang yang ingin memegang kendali atas semua situasi yang terjadi di sekitarnya. Tapi, pada dasarnya manusia memang harus memegang kontrol tertentu dalam kehidupan mereka sendiri.

Terutama yang punya kondisi khusus.

Yaya tahu, suaminya adalah seseorang yang hampir bisa dikategorikan sebagai freak control (dan itu bagus mengingat jabatannya di perusahaan yang memegang kontrol bawahannya). Sampai sekarang, Yaya tidak bisa menebak waktu kapan suaminya akan berganti kontrol diri, sepertinya ia bisa bertanya kalau mau namun Yaya lebih memilih untuk menebaknya sendiri.

Tapi, meski terlihat random dan sulit ditebak, tampaknya Boboiboy punya kontrol tertentu untuk menetapkan siapa yang keluar pada jam berapa setiap harinya. Mengingat mereka berlima dalam satu tubuh, Yaya masih bingung bagaimana ia membagi waktu 24 jam setiap harinya selama ini. Tapi, untungnya sampai sekarang semuanya masih baik-baik saja.

"Pagi, Yaya!"

Suara yang ceria dan kekanakan itu membangunkannya. Yaya mengerjapkan matanya dan melihat Api tersenyum lebar di dekat tempat tidurnya. Sebenarnya Yaya sudah bangun dari tadi, tapi hanya terus berbaring sambil memikirkan banyak hal.

"Kamu udah baikan?" tanya Api, kali ini lebih terdengar khawatir. Yaya tersenyum tipis, perutnya masih agak berdenyut tapi ini bukan apa-apa.

"Nggak apa-apa," jawab Yaya. Api mengangguk, Yaya kemudian menoleh ke jam dinding dan bingung melihat Api masih pakai baju bebas, belum bersiap ke kantor.

"Kamu nggak kerja?" tanya Yaya lagi.

Api menggeleng. "Libur."

Yaya mengernyitkan dahi, sebenarnya tidak percaya. Terakhir ia cek, hari ini bukan tanggal merah dan mengingat bagaimana kemarin ia sakit sampai tidak bisa berjalan, Yaya menebak semua kembaran suaminya sepakat untuk tidak masuk kerja hari ini untuk menjaganya. Memikirkan hal itu membuat Yaya jadi tersenyum sendiri.

"Aku baik-baik aja. Jangan bolos hanya karena aku haid," tegur Yaya. Bukannya ia tidak suka perhatian suaminya, tapi Boboiboy punya tanggung jawab di perusahaannya. Sang istri tak mau mengganggu pekerjaan suaminya. Toh cuma sakit nyeri haid tidak akan membunuhnya.

"Nggak apa-apa, capek kerja terus," tepis Api. Yaya memutar matanya, tahu kalau percuma saja mencoba berdebat dengan Api. Logikanya seperti anak kecil, susah untuk diberi pengertian.

Mungkin itu sebabnya mereka semua sepakat Api muncul di pagi hari untuk menyapanya? Yaya jadi bertanya-tanya, apa semua kembaran suaminya itu punya semacam trik siapa yang harus keluar pada saat-saat tertentu untuk menghadapi Yaya agar dapat melakukan sesuai apa yang mereka inginkan.

"Kalau gitu aku bikin sarapan dulu," Yaya hendak bangun dari tempat tidur, namun Api segera menahannya.

"Jangan, biar aku yang siapin. Kamu kan baru sakit kemarin, semuanya khawatir banget," jelas Api lagi.

Yaya merasa agak tersentuh. Api biasanya cenderung self centered atau hanya memikirkan diri sendiri baru orang lain, namun ia bersedia merepotkan diri menyiapkan sarapan meski Yaya tahu seharusnya ia tidak berpengalaman sama sekali di dapur.

"Nggak apa-apa, aku udah sembuh kok," debat Yaya balik, entah kenapa ia tahu membiarkan Api melakukan sesuatu di dapur akan berakhir dengan bencana.

"Pokoknya, aku yang siapin sarapan, titik," Api melotot pada Yaya, kelihatan agak kesal. Yaya jadi sedikit bingung, bertanya-tanya apa mungkin selain karena khawatir padanya Api punya alasan lain untuk bersikeras menyiapkan sarapan.

"Ya udah, kalau gitu aku mandi dulu," Yaya mengalah. Api akhirnya tersenyum senang.

"Tunggu ya," katanya dengan senang, tampak puas ia menang argumen dengan Yaya.

Yaya hanya berharap tak akan terjadi sesuatu. Ok, coret hal itu, Yaya hanya berharap Api tidak terluka. Piring boleh pecah, dapur boleh terbakar, tapi ia hanya ingin Api tidak terluka karena hal bodoh di dapur.

IoI

Entah kenapa, Yaya tahu hal seperti ini akan terjadi.

Yaya tidak terkejut saat mendengar seruan amarah dari dapur, namun terkejut saat melihat dapur mendadak penuh tepung terigu. Dan Api berdiri dengan wajah, rambut dan baju yang terbalur tepung, sekilas seperti hantu.

"Kenapa?" mungkin itu pertanyaan bodoh, Yaya separuh bisa membayangkan apa yang terjadi, namun ia merasa tetap harus bertanya.

"Aku mau ambil kotak sereal, tapi terus tepungnya jatuh," gerutu Api, menepuk-nepuk rambutnya yang putih karena tepung.

Wajahnya tampak sangat kalut dan kecewa juga marah, namun bukan kepada siapapun lebih kepada diri sendiri.

"Ya udah nggak apa-apa, yang penting kamu nggak luka. Kamu mandi dulu aja, biar aku yang bersihin," saran Yaya, ia harus menggunakan penyedot debu dengan semua tepung ini.

Namun Api tidak bergerak, hanya diam di tempat. Dari wajahnya, Yaya bisa melihat betapa kesalnya dirinya. Tapi Yaya tidak mengerti kenapa. Selama ini, Api bukan tipe yang akan marah hanya karena tertimpa tepung.

"Kenapa, Api?" tanya Yaya khawatir, mungkin kembaran suaminya itu terluka di tempat yang tidak terlihat?

Api menggigit bibirnya. "Aku ... aku cuma mau siapin sarapan ...."

Suara yang keluar setengah seperti mau menangis tapi juga bergetar karena marah.

"Iya, aku ngerti, kamu nggak usah sedih. Aku nggak marah kok," hibur Yaya namun Api menggeleng kepalanya.

"Aku bukan anak kecil! Aku harusnya bisa siapin sarapan sendiri!" teriak Api tiba-tiba.

Yaya terperanjat, menatap Api dengan kaget.

"Padahal aku cuma main ke luar sama kamu hari ini! Tapi yang lain nggak setuju!"

Yaya mengerjapkan mata, agak bingung dengan perkataan yang terakhir. Gagal melihat hubungan dengan semua ini.

"Memangnya kenapa?" tanya Yaya dengan suara lembut agar amarah Api tidak semakin parah.

"Mereka semua sepakat, kalau aku seenggaknya bisa nyiapin sarapan dengan bener, aku boleh keluar dari apartemen ...," suara Api semakin kecil. Kedua tangannya bergetar di kedua sisi tubuhnya.

"Keluar dari apartemen?" Yaya masih bingung. Ia mulai mengerti kenapa Api marah, tapi seingatnya ia bisa keluar dari apartemen saat mereka berdua ke kebun binatang.

"Iya, aku nggak boleh keluar dari apartemen!" seru Api dengan kesal. Jelas, kali ini ditujukan untuk kembaran-kembarannya yang lain yang bisa mendengar namun tidak bisa mengatakakn apapun.

"Tapi, waktu di kebun binatang ...."

"Itu beda."

Yaya mulai paham situasinya. Meski agak kejam, ia bisa mengerti kenapa Api dilarang keluar dari apartemen kalau bukan dalam kondisi tertentu. Mental dan sikapnya seperti anak kecil (meski ia menolak dianggap anak kecil) yang hiperaktif dan sulit di atur. Boboiboy punya reputasi untuk dijaga dan rahasianya tidak boleh bocor. Api tampaknya tidak bisa membawa dirinya, tidak seperti kembaran-kembarannya yang lain.

"Kenapa cuma aku yang nggak boleh keluar? Air aja boleh keluar, sampe nyetir mobil lagi! Padahal dia belum pernah!" seru Api marah, Yaya tidak tahu harus berkata apa. Karena, ia yakin semua amarah itu bukan untuk dirinya tapi kembaran suaminya yang lain.

"Mereka semua nggak bermaksud begi-"

"MEREKA BENCI AKU!"

Yaya terkejut.

"Aku tahu kok semua orang benci aku!" seru Api, teriaknya agak pecah dan matanya berair, namun tidak menetes jatuh.

Yaya sedikit bingung kenapa Api begitu marah. Namun, kalau diingat, semua kembaran suaminya rutin keluar rumah setiap hari untuk bekerja. Bukan hanya Gempa, namun Taufan, Halilintar bahkan Air. Mereka tidak hanya keluar di dalam apartemen. Tapi, Api tidak begitu. Api cuma diperbolehkan muncul di dalam apartemen sementara kembarannya yang lain bisa keluar dengan bebas.

Dan ia hanya bisa menatap iri.

Dan Yaya sedikit agak kesal, karena para kembaran yang lain memberikan tantangan pada Api yang sudah jelas kemungkinan besar akan gagal. Mereka tahu Api akan gagal, jadi Api tidak akan keluar rumah.

Yaya tidak akan pernah bisa mengerti situasi suaminya, tapi ia setidaknya bisa membayangkannya.

"Api ...," Yaya menghampiri Api yang tampaknya sangat marah namun siap untuk menangis.

"Aku bukan anak kecil. Tapi aku nggak boleh kerja, nggak boleh keluar rumah, nggak boleh nyetir mobil ... Kalau bukan karena kita terikat dalam satu tubuh ... aku tahu mereka benci aku."

"Api ... kamu salah, aku yakin mereka nggak merasa begitu," Yaya mengelus pundak Api yang tegang.

"Terus kenapa cuma mau pergi ke taman aja nggak boleh?" balas Api dengan kesal. Yaya menutup mulutnya. Ia tidak punya jawaban untuk yang satu itu.

Api terlihat akan meledak, Yaya sedikit merasa takut karena ia tahu kembaran yang satu ini cukup temperamental namun Api hanya berlari menuju kamarnya dan membanting pintunya.

Yaya segera menyusul, namun tahu ia tidak bisa masuk ke dalam. Api ingin sendiri. Dan Yaya tidak bisa mengganggunya.

Hatinya merasa pilu saat ia mendengar suara isak tangis dari balik pintu.

IoI

Ekspektasi, keluarga biasanya cenderung memiliki ekspektasi tertentu pada anggota keluarga lain. Seperti seorang ayah ingin anaknya memiliki pekerjaan. Atau seorang adik ingin kakaknya bisa diandalkan. Ekspektasi kadang berat untuk dipikul.

Namun, Yaya merasa, tidak memiliki ekspektasi juga memilukan.

Dari semua kembaran, Gempa mungkin yang mendapat banyak ekspektasi dari orang lain bahkan kembarannya sendiri. Karena itu ia selalu memaksakan diri menjadi sempurna. Yaya yakin, pada poin tertentu, semua kembaran suaminya juga memiliki ekspektasi.

Tapi, Api?

Yaya tahu selama ini Api tidak pernah mendapatkan tanggung jawab apapun. Jelas kalau ia tidak dipercaya oleh kembaran yang lain untuk melakukan sesuatu yang sederhana sekalipun. Yaya jadi merasa kasihan dan mengerti kenapa Api marah dan sedih.

Mungkin selama ini, meskipun diperlakukan agak tidak adil oleh kembaran yang lain, Api bisa bertahan karena merasa ia masih lebih baik dari Air yang tidak pernah mau keluar.

Tapi, Air sudah mau keluar dan ternyata bisa lebih dipercaya daripada dirinya.

Yaya mendesah, selesai membersihkan dapur. Mungkin masih ada sisa tepung di sini dan di sana tapi ia tidak begitu peduli. Sekarang ia bingung harus apa, karena jelas ....

Sekarang sedang terjadi pertengkaran antara kembaran Boboiboy. Ironis mengingat mereka ada dalam satu tubuh.

"Maaf ya soal tadi."

Yaya terperanjat, menoleh melihat suaminya dan dari cara bicaranya yang tenang tahu kalau ia bukan Api. Senyuman yang diberikan padanya, sedikit tipis tapi tetapi tetap terlihat seperti seringai pada saat yang sama.

"Taufan, Api gimana?" tanya Yaya merasa khawatir. Jelas masih ada sisa bekas tangisan dari wajah suaminya. Kedua matanya merah dan kelopaknya agak bengkak.

"Itu udah biasa. Jujur, Api lebih parah dari ini sebelum kita nikah. Dia dulu ngamuk setiap hari sejak Tok Aba meninggal," jelas Taufan, ia duduk di meja. Yaya baru ingat mereka belum sarapan, sayangnya ia tak merasa lapar.

"Tapi ...."

Taufan mendengus tapi tetap tersenyum. "Nggak apa-apa, beberapa hari lagi dia bakal lupa kok."

Yaya menggeleng. "Aku ngerti kenapa kalian nggak memperbolehkan dia buat keluar rumah, tapi kasihan 'kan?"

Taufan terlihat sedang memikirkan sesuatu. Jujur, Yaya sedikit berharap ia bisa bicara dengan Gempa. Tapi, ternyata Taufan bisa diajak serius pada saat-saat tertentu. Banyak sisi dari kembaran-kembaran suaminya dan Yaya selalu menemukan sisi baru setiap harinya.

"Masalahnya, setiap Api keluar rumah ... heh, jangankan keluar rumah. Dia dulu ambil kontrol aja, pasti selalu terjadi masalah. Bukan berarti dia doang sih, tapi Api selalu gitu," jelas Taufan.

Yaya sebenarnya paham, Api sangat kekanakan dan tampaknya tidak bisa dipercayakan sendiri.

"Tapi ... dia seumur sama kalian. Aku tahu sikapnya seperti apa, tapi ia nggak mau diperlakukan berbeda."

Taufan mendengkus, seperti Halilintar.

"Jangan pikir selama ini kita nggak pernah kasih dia kesempatan. Setiap kesempatan yang kita kasih, akhirnya nggak pernah bagus. Kecuali kemarin pas di kebun binatang, yah ... soalnya cuma tiga jam sih."

"Tapi, dia merasa kalau kalian membencinya..."

Yaya tahu itu tidak benar. Melihat bagaimana wajah Taufan mengernyit dan sekilas tampak kecewa karena Api memikirkan hal seperti itu.

"Mungkin dia merasa, kalian semua terpaksa harus menerimanya karena nggak punya pilihan lain," tambah Yaya lagi.

Taufan menggulirkan matanya ke arah lain.

"Itu bodoh, tentu aja kita nggak pernah benci dia. Hek, kalau mau tahu, sebenarnya Gempa dan Halilintar punya sisi lembut ke Api yang nggak dikasih ke aku tahu."

Yaya tidak bisa menahan senyum mendengar candaan sarkartis Taufan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Oh ya?"

"Iya lah. Yah, semuanya kayak sepakat menganggap dia yang paling kecil. Tadinya aku pikir Air yang paling kecil, tapi karena dia lebih bisa dipercaya, jadi Api yang paling kecil."

Yaya baru tahu soal ini. "Jadi, kalian tahu urutan lahir kalian?"

Taufan menggeleng. "Nggak lah. Itu cuma perandaian aja. Semuanya memperlakukan Api seperti adik kecil, tapi kita nggak pernah benci sama dia. Malah, kita semua membatasi dia banyak hal karena nggak pengen dia kenapa-napa."

Yaya paham hal itu. Kadang Yaya merasa Api bisa terbunuh oleh kebodohannya sendiri. Jadi, mungkin kembarannya yang lain melakukan ini semua bukan untuk mengekang, namun cenderung over protective.

Yaya tahu, Api mendengar semua perkataan Taufan. Namun, 'mendengar' dan 'menerima' itu hal yang berbeda.

"Tapi, kalian nggak bisa begitu terus sama dia. Nggak bisa terus memperlakukan dia seperti anak kecil yang nggak boleh melakukan apapun. Anak kecil sekalipun, harus perlahan diajari cara memakai pisau," kata Yaya.

Wajah Taufan yang agak muram membuat Yaya sedikit menyesal sudah mengatakan hal itu. Mereka satu tubuh, tidak bisa mengajari kembaran yang lain sesuatu secara langsung dan sayangnya mereka selama ini selalu sendiri sejak Atok tercinta mereka meninggal.

Jadi, Api tidak bisa melakukan hal dengan benar karena tidak pernah diajari. Sementara kembaran yang lain pasti belajar sendiri dengan susah payah.

"Aku juga tahu sih ... tapi kupikir Api yang nggak pernah mau dewasa. Dia mau jadi anak kecil terus, cuma ..."

Taufan menatap Yaya, sang istri agak malu mendapat tatapan penuh arti. Sedikit langka Yaya bisa mendapatkan pandangan seperti itu dari Taufan tanpa suaminya itu mencoba menyentuhnya.

"Cuma sejak ada kamu, dia mau berubah. Dia mau belajar untuk jadi dewasa katanya. Cuma, kita semua ragu, apa Api bisa? Yah ... terus akhirnya kayak gini ...."

Taufan mengangkat bahunya, maksudnya merujuk pada insiden tepung bertaburan di dapur.

"Tenang, kan ada aku. Aku rasa Api bisa. Lagipula dia baik, seperti kalian semua. Kalaupun dia melakukan kesalahan, kurasa itu nggak sengaja."

Taufan mengangguk dan tersenyum pada Yaya. "Yah ... sebenarnya aku juga merasa nggak ada salahnya membiarkan Api pergi ke taman sama kamu hari ini. Sebenarnya separuh alasan kita nggak setuju, soalnya kan kamu baru sakit kemarin."

Yaya menggeleng sambil tersenyum. "Ya ampun, aku nggak apa-apa. Udah sembuh."

"Maaf ya, sebagai pengingat, aku nggak pernah, hek, kita semua nggak pernah ngalamin situasi kayak gitu. Semalam aja, Api bingung 'datang bulan' itu apa. Kalau aku bisa ketawa, aku pasti udah ketawa pas dia tanya itu."

Wajah Yaya jadi merona merah dan ia merasa malu. Ia sudah menduga suaminya tidak tahu hal seperti itu. Selama ini terisolir sendiri, bahkan masih banyak laki-laki di luar sana yang tidak tahu haid itu seperti apa dan bagaimana.

Wajar semua kembaran suaminya jadi khawatir. Mereka tidak pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Dan meski mencari referensi ke internet, nyeri saat haid berbeda-beda untuk setiap wanita jadi pasti mereka tetap bingung harus melakukan apa.

"Kalau cuma ke taman nggak masalah. Nggak usah terlalu khawatir. Aku cuma nyeri datang bulan pas hari pertama aja," jelas Yaya lagi.

Taufan tampaknya tidak memaksa. Ia tampaknya percaya meski sekilas masih terlihat khawatir.

"Kamu sayang juga sama Api," godanya untuk mengalihkan suasana. Wajah Yaya agak memerah sedikit.

"Aku sayang kalian semua," kata Yaya dengan tegas. Taufan tertawa dan Yaya hanya bisa merona merah.

"Oh ya, hati-hati. Api nggak sepolos kelihatannya, justru karena dia masih kayak bocah, jangan marah ya Api, makanya dia nggak tahu kapan saatnya buat 'berhenti'. Dia masih bingung batasan benar dan salah."

Yaya tidak menangkap perkataan Taufan barusan dan melihat kebingungan Yaya, Taufan tertawa lagi. Jarang Taufan mengatakan sesuatu berputar-putar seperti itu.

"Maksudnya, aku pengen aku yang pertama ngambil keperawanan kamu ...," Taufan menyeringai padanya.

Mata Yaya membelalak, yang itu terlalu lugas. Wajahnya memerah dan panas. Dan Taufan pasti sangat menikmati reaksinya.

Sang istri sama sekali tidak menyesal saat melempar kantung tepung yang masih ada isinya sedikit pada Taufan meski itu artinya ia harus membersihkan dapur lagi.

IoI

"Aku bilang setuju, tapi yang lain belum tentu. Jadi, kamu harus tanya yang lain, yah semacam voting lah."

Itu perkataan Taufan, setelah dia mandi, pada Yaya sebelum ia berganti kontrol.

Wajah yang tampak mengantuk dan tanpa ekspresi, sudah pasti Air.

"Aku nggak masalah kok. Dulu sebelum keluar, aku nggak pernah ikut voting. Tapi, aku sependapat sama kamu. Kasihan Api di rumah terus."

Yaya mengangguk. Air mengeringkan air di rambutnya dengan handuk yang ada di tangannya.

"Oh ya, aku sebenarnya nggak mau kalah dengan Taufan soal 'itu'-"

Yaya melotot pada Air dan berbeda dengan Taufan, Air langsung tutup mulut. Namun, senyumannya yang tipis membuat Yaya mengerti lanjutan dari perkataannya.

Setelah itu Air melepaskan kontrol.

"Bego."

Yaya memutar matanya. Ia harus membicarakan soal mulut kotor Halilintar lain kali. Meski di sini, Yaya tidak tahu 'bego' itu ditujukan untuk siapa.

"Aku nolak Api keluar rumah. Aku tahu dia bosen, tapi nggak harus ke luar rumah kalau cuma mau ngehabisin waktu sama kamu."

Yaya sedikit cemberut namun Halilintar jelas tidak peduli.

"Tapi Taufan bener, hati-hati sama Api ... ah, sebaiknya kamu hati-hati sama kita semua sebenernya. Mau gimana pun, kita semua laki-laki ...."

Perkataan ambigu itu hanya bisa membuat Yaya merasa semakin malu.

Sebelum ia bisa mengatakan apapun, Halilintar sudah melepaskan kontrol.

Dan senyuman lembut yang terlihat agak menyesal, Yaya tahu ia berhadapan dengan Gempa.

"Maaf soal 'itu'. Sebenarnya itu udah jadi debat sejak kita nikah... ah ok, sebaiknya kamu nggak perlu tahu."

Yaya sependapat dan bersyukur Gempa berhenti di situ karena ia memang tidak mau tahu.

"Aku pikir nggak masalah Api keluar rumah. Cuma, aku emang khawatir dia bakal terlibat masalah ... terus ujung-ujungnya ngerepotin kamu."

Yaya menggeleng kepalanya. Ia adalah istri mereka. Meski agak sinting, tapi Yaya harus bisa bertahan menghadapi semua keanehan kembaran-kembaran suaminya.

"Aku nggak masalah kok direpotin," jawab Yaya.

Gempa mengangguk, kali ini menghindari debat dengan Yaya.

"Jaga dia baik-baik. Aku juga titip pesen Api, jaga Yaya baik-baik."

Agak lucu mendengar Gempa bicara pada dirinya sendiri , hanya Taufan yang biasanya melakukan hal semacam itu. Tapi mungkin selama ini seperti itulah cara mereka berkomunikasi hanya saja tidak pernah memperlihatkannya secara langsung.

Dan saat Gempa melepas kontrol, Yaya langsung tersenyum pada Api.

Ia terlihat masih agak kesal, namun sudah lebih baik.

"Jadi, kita mau ke taman apa?" tanya Yaya.

IoI

"Kau sudah dengar 'kan tadi? Nggak ada yang benci kamu, Api."

Api mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah roti. Dari tampaknya, ia masih agak kesal. Ia pasti dengar penjelasan Taufan dan persetujuan (dan penolakan) semuanya. Tapi, seperti yang Yaya kira, 'mendengar' dan 'menerima' itu berbeda. Api mungkin masih mengira semua kembarannya benci, atau minimal, tak suka padanya, namun memilih untuk tidak berdebat.

Yaya memandang Api selesai menghabiskan sarapannya. Mulutnya belepotan selai roti, namun Yaya menahan diri untuk tidak melap bibirnya untuknya. Api bukan anak kecil dan marah kalau diperlakukan berbeda.

"Api, di bibirmu ada selai," tegur Yaya.

Api agak bingung awalnya, namun paham. Pertama, ia mau melap dengan punggung tangannya namun tampaknya cepat paham kalau itu tidak bagus. Jadi ia mengambil tisu di meja makan dan melap bibirnya.

Tindakan Api dan logikanya seperti anak kecil, tapi Yaya paham, Api selalu melihat dan merasakan bagaimana semua kembarannya bersikap selama ini. Ia bisa belajar jadi dewasa, asalkan ia punya keinginan.

"Bagaimana kalau kita ke taman buat piknik?" tanya Yaya, menghabiskan sarapannya.

Api mengangguk senang.

"Aku mau bekal."

Yaya agak sedikit berat mewujudkannya, awalnya ia ingin mengusulkan agar mereka beli saja. Tapi, Yaya memang harus belajar masak suka atau tidak suka.

"Masakanku nggak enak lho."

Api menggeleng. "Nggak apa-apa, aku mau."

Yaya tersenyum lembut padanya. "Kamu mau apa?"

"Hm... nugget... sosis... mi goreng..."

Yaya menahan diri untuk tidak tertawa. Selera makan Api memang seperti anak kecil. Tapi sisi bagusnya, tidak sulit menyiapkan semua itu. Dan Yaya bersyukur karenanya.

IoI

Yaya tidak pernah ke taman di tengah kota, karena rumahnya di pinggir kota dimana tempatnya masih cukup rindang berbeda dengan tengah kota yang hanya penuh gedung-gedung pencakar langit dan jalan layang.

Yaya dan Api naik taksi, karena meski terlihat kesal, Api tidak memaksakan diri naik mobil. Meski tidak terlihat, tampaknya ia sudah senang bisa keluar rumah, jadi ia tidak mau 'ngelunjak'.

"Yei... sampe!"

Yaya tersenyum melihat sikap ceria Api. Ia bersyukur mood-nya sudah jauh lebih baik. Api dan Yaya berjalan ke taman setelah taksi dibayar.

Karena hari ini hari kerja, taman tidak terlalu ramai. Hanya ada anak-anak kecil yang bermain di sana.

Yaya memilih sebuah pohon rindang yang cukup besar, dan meski Api tampaknya ingin bergabung bermain bersama anak-anak kecil itu, Yaya menariknya bersamanya.

Yaya menggelar sebuah kain yang berfungsi jadi tikar sementara mata Api masih terpaku dengan anak-anak yang sibuk bermain.

"Ayo duduk Api ..."

Awalnya Yaya berpikir Api akan benar-benar ikut main dengan anak-anak itu. Tidak ada salahnya, meski agak ganjil. Tapi, ternyata Api memilih duduk bersamanya.

"Aku bawa buah juga. Kamu mau?"

"Ngh... nggak suka..."

Yaya mendelik pada Api. "Kamu nggak bisa cuma makan makanan beku atau instan aja," tegur Yaya.

"Tapi kan Gempa selalu makan sayur sama buah..."

"Iya, tapi itu bukan karena dia suka. Itu terpaksa. Kalau kamu nggak mau diperlakukan kayak anak kecil, jangan membantah," omel Yaya.

Api cemberut namun tidak melawan balik.

"Aku bawa apel, kamu mau?" tawar Yaya. Api mengangguk.

"Kupasin."

Yaya menahan senyum, sulit menolak sifat manja Api.

Yaya tidak pandai menggunakan pisau, tapi meski hasil kupasannya mengerikan (banyak daging buah yang ikut terkupas bersama kulitnya) Api tidak mengatakan apapun. Berbeda dengan Taufan yang pasti sudah mengejeknya atau Halilintar yang akan menyindirnya.

Api memakan potongan buah yang disodorkan di piring kertas padanya. Wajahnya nampak tidak suka tapi ia mau mengunyah dan menelannya.

Yaya sadar sedari tadi pandangan Api masih terpaku pada anak-anak itu.

"Kamu mau main sama mereka?" tanya Yaya.

"Pengen sih... tapi terlalu mencolok, ntar yang lain marah..." gumam Api dengan wajah sendu.

Yaya memandang anak-anak kecil itu, yang sibuk bermain ayunan, seluncuran dan sebagainya. Ia kemudian bertanya-tanya bagaimana masa kecil suaminya itu. Dari yang ia pahami selama ini, tampaknya tidak begitu bahagia.

"Habis makan siang, kamu bisa main sama aku."

Api menoleh padanya.

"Yah, kita nggak bisa coba main itu semua sih," Yaya menunjuk wahana-wahana mainan di taman yang dimonopoli anak kecil.

"Tapi, kita bisa main kejar-kejaran atau petak umpet kalau kau mau."

Mata Api langsung berbinar, membuat Yaya tersenyum namun kemudian sedih kalau sadar mungkin selama ini ia tidak punya teman untuk bermain permainan sederhana seperti itu.

"Ok! Aku mau makan sekarang!"

Yaya menyingkirkan rasa simpatinya dan membuka bekal yang ia bawa.

"Habisin ya."

IoI

"Ketemu!"

Yaya hanya tersenyum pada Api yang tampak girang sudah menemukan tempat persembunyiannya. Tidak banyak permainan yang bisa dimainkan oleh dua orang dan meski Yaya agak malu, tapi ia tetap menikmatinya.

"Sekarang gantian," kata Yaya namun Api menggeleng.

"Main kejar-kejaran yuk," usul Api.

Yaya sebenarnya tidak terlalu ingin berlari, ia baru makan, dan masih agak tidak enak badan karena haid, tapi ia tak tega menolak Api yang tampak sudah ceria lagi.

"Ayo, kamu yang jaga," kata Yaya. Ia tidak bisa lari terlalu cepat, jadi ia lebih baik dikejar daripada harus mengejar Api yang pasti lebih cepat darinya.

Yaya segera berbalik dan berlari kecil. Taman kota yang mereka singgahi cukup luas dan rindang. Yaya berlari di antara sela-sela pohon dan mendengar Api mengejarnya.

Namun seperti yang Yaya kira, perutnya jadi sakit dan ia berhenti berlari.

"Kena... eh... Yaya?" Api yang tadinya senang bisa mengejar Yaya, jadi panik melihat Yaya agak pucat.

"Nggak apa-apa, cuma sakit perut."

Mungkin itu perkataan yang salah karena Api jadi makin panik.

"Kamu nggak apa-apa? Mau ke rumah? Atau ke dokter? Atau mau aku tukeran kontrol aja?"

Sikap Api membuat Yaya ingat bagaimana anak kecil sedih bila orang yang mereka sayangi sakit. Mereka tak tahu harus berbuat apa dan hanya bisa panik atau menangis.

"Nggak apa-apa Api. Jangan panik... husss tenang," Yaya mengelus-elus pundak Api. Suaminya terlihat ragu namun akhirnya mau diam.

"Aku cuma sakit perut karena lari, istirahat yuk."

Api mengangguk dan menuntun Yaya kembali ke tempat piknik mereka sebelumnya. Yaya tersenyum bagaimana Api menggenggam tangannya dan satu lengannya melingkar di pinggang Yaya.

Setelah duduk, Yaya merasa agak mendingan. Api masih memperhatikannya lekat-lekat, seakan takut Yaya akan pingsan mendadak. Yaya menepuk pipinya pelan karena tak tahan dengan pandangannya.

"Api, aku nggak apa-apa," tegurnya.

Api akhirnya mendesah dan berhenti memandangi Yaya. "Maaf, ya."

"Nggak apa-apa, bukan kamu yang salah. Harusnya aku yang bilang, aku nggak kuat lari."

Api masih tampak kecewa pada dirinya sendiri. Mungkin karena ia kesal tidak bisa melihat Yaya memaksakan diri. Yaya menarik dagunya agar mau mendongak sedikit dan kemudian mengecup pipinya.

"Udah, jangan sedih," bisik Yaya sambil tersenyum.

Tampaknya efeknya langsung berhasil.

"Aku cium kamu boleh ya?" tanya Api tampak senang.

Sebelum Yaya bisa mengatakan apapun, yang benar saja ini kan di tempat umum, Api sudah memegang pipinya dan mengecup bibirnya.

Namun, bukannya merasakan rasa lembut bibir, Yaya mengaduh karena gigi depannya bertubrukan dengan gigi depan Api.

"Ukh..."

Api mundur sedikit. Jelas ia tidak punya pengalaman soal berciuman (dan Yaya tidak tahu bagaimana pengalaman ciuman kembaran yang lain).

Tapi, Api tidak menyerah, dari wajahnya yang memandang Yaya seperti sebuah tantangan, akhirnya Yaya tidak bisa menolaknya dan memutuskan untuk diam.

Akhirnya Api bisa menemukan posisi yang tepat, memiringkan sedikit wajahnya dan mengecup bibir Yaya pelan.

Rasanya mirip dengan ciuman kecil dari Air.

Api mundur dan tersenyum padanya. Senyum yang kekanakan membuat Yaya tersenyum balik.

"Ternyata ciuman emang enak ya...," celetuknya. Yaya agak malu dan memukul pundaknya sedikit, Api agak bingung karena perkataan itu jujur bukan dalam maksud mengejek. Namun, ia tertawa pelan.

"Lagi ya," kata Api, mencium Yaya lagi.

Yaya menutup matanya, mulai lupa kalau mereka ada di tempat umum.

"Ih... ciuman..."

Suara-suara anak kecil yang cempreng membuat Yaya langsung membuka matanya dan mendorong Api sejauh mungkin. Wajahnya merah menatap anak-anak kecil yang sedang menonton mereka. Sejak kapan!?

"Hush! Ini bukan tontonan anak kecil tahu! Pergi sana!" usir Api, mengibaskan tangannya. Anak-anak kecil itu pun pergi, beberapa bergetar jijik atau memeletkan lidah mereka padanya. Yaya merunduk malu dan menutupi wajahnya.

Memang ia berciuman dengan suaminya sendiri, tapi ia tidak percaya membiarkan Api menciumnya di tempat umum seperti ini!

"Oh ya, sampai mana tadi?"

Yaya mendengkus dan menempeleng Api agar tidak menciumnya. Suaminya tampak bingung namun Yaya melipat kedua lengannya dan mendelik padanya.

"Ayo pulang."

Api masih bingung kenapa Yaya marah padanya, namun Yaya segera beres-beres dan bangkit.

Ia sudah paham sekarang. Tidak ada satupun dari kembaran suaminya yang innocent. Mereka semua tetap laki-laki... dasar! Bikin malu aja!

TBC
———————————————

Jujur awalnya aku mau buat adegan smutt jauh lebih dari ciuman, tapi sadar kalau ini kan rate T dan mayoritas pembaca antara SD-SMP.

Oh ya, aku bakalan lama update fanfic ini. Seminggu sekali mungkin. Sekarang lagi sibuk.

Chapter depan... mungkin fokus antara Air atau Taufan? Ya liat ntar deh...

Review! Review!

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Setuju kah Api paling kecil di antara kembaran lain?

2. Piknik seperti apa yang kamu impikan?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 8 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro