Pt - 23 •Di Bawah Langit Yang Sama• (Ending)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

31 Desember 2022.

Sumber alarm yang berasal dari ponsel membuat mataku yang semula tertutup rapat menjadi setengah terbuka. Tanganku meraba-raba sisi tempat tidur, mencari benda yang sejak tadi mengusik. Refleks mataku menyipit kala cahaya terang dari ponsel menyorot ke arahku. Kulihat ada nama Fajri, rekan kerjaku, yang terpampang di layar ponsel sebelum aku menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih itu di depan telinga.

"Kenapa?" tanyaku begitu sambungan telepon terhubung.

"Jangan bilang lo baru bangun pas gue telepon." Suara Fajri di seberang sana terdengar was-was.

"Hm. Gue baru bangun," jawabku apa adanya. Merevisi dokumen sesuai perintah bos gemblung membuatku terpaksa terjaga hingga pukul tiga dini hari.

"Lo lupa atau gimana, Le? Astaga! Mending lo cepetan ke kantor. Busnya udah mau berangkat, Lele!" Suara Fajri yang cempreng membuatku terpaksa menjauhkan ponsel dari indra pendengaran. Rusak gendang telingaku nanti dibuatnya.

Sembari mengembuskan napas panjang, aku berkata, "Ingat, kok. Kalian duluan aja, nanti gue bisa nyusul ke sana. Sumpah, gue masih ngantuk banget." Tanpa mendengarkan balasan Fajri dari seberang sana, aku sudah memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Aku ingin kembali tidur. Namun, suara notifikasi yang kubuat khusus untuk bosku yang minta ditendang itu memaksaku kembali mengambil ponsel yang kulempar asal di kasur.

Bos Gemblung😈😈😈

Alea?

Aku mencoba menggulir layar, tapi tidak ada pesan lain yang ditemukan. Heh! Apa-apaan ini? Setelah membuatku begadang nyaris semalaman, keesokan paginya dia malah mengirimiku pesan hanya dengan mengetikkan namaku yang disertai tanda tanya?

"Zilian nyebelin! Kapan, sih, kamu balik ke jiwa Zilian yang ada di sini?" Sumpah demi apa pun, kepalaku selalu dibuat pusing tujuh keliling dengan sikap Zilian yang bikin aku ingin mencongkel matanya, menjahit mulut berisiknya, dan mematahkan telunjuknya yang suka memberiku titah ini itu tanpa bisa dibantah.

Niatku bekerja menjadi sekertaris laki-laki itu hanya agar mempermudah Zilian yang kucintai menemukanku. Namun, sikap Zilian yang berada di masa yang sama denganku ini benar-benar bikin aku nyaris mati berdiri.

Padahal dia tahu hari ini ada acara kantor, tapi laki-laki itu tidak hentinya menyuruhku bekerja bagai kuda. Niatnya mau rehat sejenak sebab libur akhir tahun telah tiba. Namun, bukannya rehat dengan benar, yang ada aku malah dibuat nyaris nyungsep ke liang lahat.

Dengan malas, aku membalas pesan Pak Bos dengan mengirimkan tanda tanya '?', lalu menunggu balasan dengan kening yang berkerut karena kesal. Namun, balasan yang dikirimkan Pak Bos membuat kekesalan dalam diriku meningkat.

Bos Gemblung😈😈😈

Kamu beneran Alea, 'kan?

Aku lantas mengetikkan balasan dengan cepat.

Bukan, Pak. Saya kuyang.

Bos Gemblung😈😈😈

Saya serius. Kamu beneran Alea atau bukan?

Aku menggaruk kepalaku. Heran. Ini bosku kenapa? Apakah dia tiba-tiba amnesia setelah menyuruhku ini itu di hari yang seharusnya aku bisa beristirahat dengan tenang? Aku terkekeh sinis. Menyebalkan sekali!

Menurut, Bapak, kalau saya bukan Alea, saya siapa? Kuyang? Mbak kunti penunggu pohon beringin?

Kenapa, sih, Pak? Pagi-pagi udah ganggu saya? Masih belum banyak kerjaan yang Bapak kasih? Mau nambahin lagi?

Boleh.

Bonusnya jangan lupa. Saya butuh healing buat lepas beban sebagai sekertaris Bapak.

Aku melempar ponselku ke sembarang arah usai mengirimkan segala bentuk kekesalanku lewat chat pada Bos Gemblung. Hilang sudah seleraku untuk tidur. Aku lantas bangkit dari tempat tidur, berniat untuk mandi lalu pergi ke acara gathering yang di adakan di pantai anyer.


Namun, baru tanganku terangkat mengambil handuk yang bergantung di depan kamar mandi, suara telepon membuat niatku urung. Aku lantas berbalik arah, mengambil ponsel lagi sebelum mengangkatnya usai melihat nama Fajri yang tertera di layar.

"Apa?" tanyaku malas.

"Lele! Lo udah berangkat atau belum? Kalau udah, lo harus putar balik!" Suara Fajri di seberang sana heboh sendiri. Anak ini ... selain slay, dia juga memiliki label anak mami.

"Maksudnya?"

"Pak Bos batalin rencana gathering di pantai, Le. Dia malah nyuruh kita kumpul di vila keluarga Abraham. Gila, sih, Le. Gue exited banget! Penasaran juga sama vilanya. Awww!" Jeritan Fajri yang terdengar menyebalkan di telinga kuabaikan. Aku lantas mengerutkan kening mendengar perubahan rencana yang terbilang sangat dadakan.

Pasalnya, aku sudah memboking resort untuk dua malam jauh-jauh hari setelah acara gathering fix diadakan di pantai anyer. Lantas mengapa tiba-tiba berpindah tempat menjadi ke vila keluarga?

"Pak Bos emang nggak pernah terduga." Aku melempar ponsel lagi lalu berlari ke kamar mandi sebelum gangguan berikutnya datang.

***

Sesuai informasi yang disampaikan oleh Fajri, aku datang ke vila keluarga Abraham lagi setelah sekian lama, setelah dua belas tahun berlalu usai Zilian yang berasal dari masa depan pergi setelah menyelesaikan misi. Meski aku ingat semua janji yang kami buat malam itu. Namun, aku sedikit merasa sangsi, takut kalau Zilian yang kurindukan belum kembali.

Aku memarkir mobil tepat di samping bus perusahaan yang mengangkut karyawan satu divisi ke tempat ini. Setelah sekian lama, vila ini tetap tidak banyak berubah. Hanya beberapa pohon yang ditanam yang tumbuh semakin besar dari terakhir kulihat.

Aku membuka pintu mobil usai mematikan mesin. Memakai kaca mata hitam saat merasa panas matahari di luar begitu terik dan alasan lain, agar kantung hitam di bawah mata tidak terlalu kentara meski sudah ditutup dengan concealer.

"Ya ampun, Bu Sekertaris baru aja keluar dari goa. Lama banget lo! Kita udah selesai tur vila, eh, lo nya baru nongol." Seperti biasa, Fajrilah yang selalu paling heboh. Kepribadiannya yang sedikit kemayu itu membuatku cukup nyaman berteman dengannya tanpa takut terlibat perasaan.

"Capek banget gue, Jri. BTW, kenapa dadakan pindah ke vila?" Aku mengambil tempat duduk yang tersedia di taman samping vila ini, tempat yang memang biasa dijadikan perkumpulan keluarga Abraham.

"Lo yang sekertarisnya, Lele! Ngapain nanya ke gue." Fajri menyahut sambil mengambil minuman yang tersedia. .

"Pak Bos nggak ada bilang apa-apa. Gue bahkan belum cancel resort karena mau mastiin dulu. Kita beneran nggak jadi ke anyer apa gimana?" Soalnya rencana gathering yang diadakan di pantai anyer ini sudah direncanakan sejak satu bulan lalu. Anak-anak juga sudah setuju sekali, jadi, aku hanya merasa tidak bisa langsung memutuskan untuk membatalkan pesanan resort di sana. Takut salah dan kena marah lagi.

"Lo tanya aja, deh. Noh, orangnya." Mulut Fajri memberi isyarat, menujuk ke arah belakang tubuhku hingga mau tidak mau aku menoleh ke belakang. Benar saja, Zilian ada di sana. Namun ... kenapa aku merasa gaya laki-laki itu sedikit berbeda, ya?

Tatapan biasanya yang penuh dengan amarah dan kebencian mendadak hilang digantikan dengan tatapan penuh kelembutan. Laki-laki itu berjalan santai sembari mengumbar senyum dengan pandangan yang hanya tertuju padaku.

"Alea, bisa ikut aku sebentar?" tanyanya saat tiba di hadapanku. Aku langsung menutup mulut dengan sebelah tangan dengan mata yang terbuka lebar. Speechless. Kenapa tiba-tiba sikap Zilian berubah seratus delapan puluh derajat, dari yang mode iblis menjadi mode malaikat manis?

Dia ... benar-benar bos gemblungku, 'kan?

"Bi-bisa, Pak, bisa." Aku gegas berdiri, menyimpan kacamata yang sudah kulepas ke dalam handbag. Lantas mengikuti langkah Zilian yang berjalan menuju parkiran. Di samping mobilku, ada motor ninja hitam miliknya dulu yang terparkir rapi.

Keningku berkerut dalam. Bukan apa-apa, sejak dua belas tahun lalu, sejak Zilian 'kembali', laki-laki itu tidak pernah lagi menggunakan motornya. Namun, mengapa setelah sekian lama dia mengeluarkannya kembali?

Aku melempar tatap ke arah Zilian yang hendak menaiki motornya. Namun, tidak jadi. Laki-laki itu memutar tubuhnya hingga menghadap ke arahku, lalu tanpa aba-aba langsung memakaikan helm yang tadi dipegangnya ke kepalaku.

Mataku mengerjap lambat, mencoba mencerna sikap aneh dari bos yang selalu memarahinya ini. Belum sempat tangan laki-laki itu mengunci helm yang ada di kepalaku, aku sudah lebih dulu menahannya sembari melempar tatap penuh tanya.

"Pak Zilian lagi kerasukan setan baik di mana, Pak? Kemarin-kemarin aja Bapak bentak saya, nyuruh lembur di hari libur saya. Dan sekarang, kenapa sikap Bapak jadi berubah? Aneh banget. Saya ngerasa kalo orang yang berdiri di depan saya ini bukan bos saya, tapi jelmaan malaikat." Akhirnya kukeluarkan juga semua kebingungan yang menyergapku sejak tadi. Namun, bukannya menjawab laki-laki itu justru mengubah air muka. Yang semula terlihat baik-baik saja mendadak sedih.

"Maafin aku, Alea. Maaf karena sudah membuat kamu menderita."

Belum sempat aku merespon ucapannya, Zilian sudah melanjutkan serangan berikutnya. Laki-laki itu merengkuhku ke dalam pelukan. Mataku membola diiringi dengan degupan jantung yang hebat di dalam dada.

Pelukan ini ... terasa familier. Ucapannya, tutur katanya, serta sikapnya seolah merujuk pada laki-laki yang setengah mati kurindukan. Mataku berkaca. Jujur aku takut berekspetasi, takut kalau semua harapan pupus seketika setelah ini. Namun, ucapan Zilian berikutnya berhasil membuat ketakutanku menguap.

"Alea, aku sudah pulang. Maaf sudah membuat kamu menunggu lama, Alea. Maaf juga diriku yang lain membuat kamu selama ini menderita." Pelukan Zilian semakin erat, seolah melepaskan segala kerinduan yang selama ini menyiksa.

Sementara aku justru mengeluarkan air mata, membiarkan buliran kristal itu jatuh membasahi kaos lengan panjang yang dikenakan Zilian basah olehnya. Akhirnya penantianku selama dua belas tahun membuahkan hasil. Orang yang kucintai sudah datang kembali hingga kami berada di ruang dan waktu yang sama.

Aku melonggarkan pelukan, menatap tepat di iris hitam milik Zilian sebelum berkata, "Zilian ... aku kangen kamu." Selanjutnya aku berjinjit sembari meraih sisi wajah laki-laki itu, lalu dengan berani menjatuhkan ciuman penuh kerinduan.

Meski kami selalu berada di tempat yang sama. Bertukar kata satu sama lain. Namun, aku tidak pernah merasakan cinta yang besar dari laki-laki itu hingga saat ini pun tiba. Setelah sekian lama aku cukup menerima tatapan kebencian, akhirnya Zilianku kembali dalam pelukan. Kami tidak akan lagi terpisahkan.

***

Zilian membawaku kembali ke tempat di mana karyawan berkumpul setelah dia membawaku berkeliling menggunakan motor lamanya. Aku duduk di dekat Fajri yang kini menyipitkan mata, melempar pandang curiga.

"Gue liat-liat muka lo kayak habis menang lotre. Kenapa tiba-tiba bahagia habis jalan sama Pak Bos?" Fajri melontarkan tanya penuh selidik. Sudah kubilang kan kalau sikap Fajri ini agak kemayu. Dia bertingkah laku seperti perempuan. Jadi, untuk ukuran bertanya seperti tadi termasuk wajar dalam kamus Fajri.

"Lebih dari lotre, Jri. Lo tau kan sama cowok yang pernah gue ceritakan?"

"Yang bikin lo nolak semua cowok yang nembak lo?" ujarnya tepat sasaran.

Aku mengangguk diiringi tarikan tipis di bibir, lalu berkata, "Dia datang. Dia ... sudah pulang. Gue ngerasa happy banget, Jri. Ngerasa kalo semua keberuntungan yang ada di dunia ini lagi berpihak sama gue."

Setelah Mas Juan ditangkap, dan mengalami depresi lalu bunuh diri saat masih berada di balik jeruji besi, hidupku sudah mulai damai. Ya, meski kadang direcoki dengan sikap menyebalkan Zilian yang lain, tapi tetap saja sekarang terasa impas karena Zilian yang kucintai telah kembali.

"Selamat, ya, gue doain semoga lo nggak ditinggalin lagi." Fajri menepuk pundakku lembut. Aku tersenyum menanggapi. Namun, kegaduhan mendadak terjadi kala seluruh lampu taman padam.

"Ini kenapa tiba-tiba mati lampunya? Nggak mungkin kan keluarga konglomerat nggak ngisi token listrik?" celetuk Fajri yang sukses memancing tawaku.

"Mungkin mereka khilaf, Jri. Jadinya nggak ngisi token." Aku menanggapi sembari terkekeh. Namun, tawaku seketika berhenti saat melihat lampu sorot di atas panggung yang berada di tengah-tengah taman menyala, menyorot seseorang yang sedang berdiri di sana.

"Pak Bos? Le, Pak Bos ngapain di sana? Mau sambutan?" Pertanyaan yang dilontarkan Fajri hanya kujawab dengan gelengan. Mataku terfokus ke arah Zilian yang berdiri di depan stand mic.

"Selamat malam, semuanya. Mungkin ini terkesan dadakan bagi kalian. Karena rencana yang semulanya kita akan pergi ke anyer malah batal gara-gara saya berubah pikiran. Alhasil, kita semua berkumpul di sini. Sebelumnya saya mau minta maaf karena acara gathering kali ini akan berbeda dari acara gathering yang sudah-sudah.

"Karena di malam ini, tepat malam tahun baru, saya ingin melamar seseorang. Mungkin kalian merasa ini terlalu mendadak. Namun, semua ini sudah saya rencana sejak lama." Suara riuh tepuk tangan serta sorak sorai menyambut ucapan Zilian yang memang terkesan sangat tiba-tiba. Aku bahkan dibuat terkejut oleh ucapan laki-laki itu.

"Buset! Nggak nyangka gue bos gila kerja kita ternyata bisa so sweet gini! Eh, Le, lo tau nggak siapa cewek yang mau dilamar bos kita?" Fajri histeris sendiri.

"Tunggu aja. Nanti lo juga tau." Aku menjawab seadanya. Karena jujur, sejujur-jujurnya aku sangat gugup! Aku bahkan berkali-kali membuang napas panjang, mengatur pernapasan, serta menyapu tangan yang berkeringat dingin pada dress yang kukenakan.

"Siapa, Pak, ceweknya!" Rupanya Fajri tidak sabar ingin tahu.

Zilian menarik dua sudut bibirnya ke atas membentuk lengkungan sabit. Lantas dia dengan perlahan menuruni panggung usai melepas mic dari stand, diiringi dengan lampu yang terus menyorot ke arahnya.

Jantungku semakin berdebar tidak karuan ketika langkah kaki Zilian semakin dekat denganku. Pun dengan pandangan laki-laki itu yang sedikit pun tidak mengarah kepada objek lain. Napasku tercekat kala Zilian membungkukkan badannya, lalu melipat sebelah kaki dan berjongkok tepat di hadapanku. Suasana seketika terasa hening. Seolah tidak ada yang berani mengeluarkan suara barang sepatah kata pun.

"Kamu tau, perjuangan kita untuk bersama enggak mudah. Banyak suka duka yang kita lewati. Banyak rintangan yang berusaha kita lalui, hingga pada akhirnya kita bisa sampai di titik ini. Maaf sudah membuat kamu menunggu begitu lama." Zilian merogoh saku jas putih yang laki-laki itu kenakan malam ini, lalu mengeluarkan kotak bludru biru sebelum menyodorkan ke hadapanku. Perlahan tangannya membuka kotak bludru, hingga menampilkan cincin berlian yang mirip dengan cincin yang diberikan Tante Fira dulu.

"Alea, will you marry me?"

***

TAMAT.

IYA TAMAT. BENER TAMAT. ENDING CUKUP SAMPAI DI SINI YGY. ADOHHHH SENENGNYAAAAAAAAAAAA. 


AKU TAU, MUNGKIN KALIAN MASIH DIBIKIN PENASARAN APA YANG TERJADI SAMA ZILIAN DAN JUAN. RENCANANYA MEMANG MAU KUBIKINKAN POV ZILIAN, TAPI UPDATENYA DI KARYA KARSA. HEHE. BUAT KALIAN YANG MAU BACA AJA, SIH.

NGOMONG-NGOMONG MAKASIH BANYAKK KARENA SUDAH SETIA NUNGGUIN DAN BACA CERITA INI. SAMPAI KETEMU DI EPILOG DAN SEDIKIT EKSTRA PART.

SEE U!!!

LUV, ZEA❤❤❤🔥🔥🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro