10. Pribadi Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua tahun kemudian

Lima menit menjelang bel masuk berbunyi. Koridor SMP Sahwahita masih ramai oleh siswa-siswi yang berlalu-lalang. Pembicaraan khas remaja menyemarakkan suasana pagi, mulai dari topik boyband korea, sinetron SCTV, hingga trend fashion terkini. Dari arah lapangan terdengar teriakan dan suara bola di-dribble. Beberapa siswa laki-laki memang senang menunggu jam masuk sekolah dengan bermain bola basket.

Ana berjalan menyusuri koridor sekolah dengan senyuman melengkung di bibir. Rambut lurusnya diikat rapi ke belakang sejajar dengan telinga. Tubuh rampingnya dibalut busana kerja dengan kesan chic dan trendi. Sepatu berhak lima sentimeter dan tas merk Povilo menyempurnakan penampilannya hari itu. 

"Pagi, Bu Ana. Ibu cantik deh hari ini."

Ana berhenti sebentar untuk membalas sapaan tersebut. "Fendy, daripada kamu ngerayu saya mending belajar. Siang nanti kamu ada remidi fisika, kan? Pak Yanto sudah cerita tadi. Ini kesempatan terakhirmu untuk memperbaiki nilai, lho."

Sorakan dan gelak tawa dari kawan-kawannya sontak membuat Fendy, siswa kelas IX-C, nyengir menahan malu. Remaja itu menggaruk-garuk tengkuknya yang Ana yakini tidak terasa gatal.

Bel berbunyi. Ana memerintahkan agar para siswa masuk ke kelas. Setelahnya, Ana menuju ruang kelasnya sendiri. Kelas VII-A, di mana dia menjadi wali kelas di sana.

SMP Sahwahita menerapkan kegiatan 'Pagi Ceria' sebelum memulai pelajaran. Di sesi ini wali kelas mengajak murid-muridnya melakukan berbagai macam ice breaking untuk sebagai warming up---mempersiapkan siswa untuk belajar. Dan seperti biasa, sebelum memberi ice breaking, Ana memimpin doa pagi lalu mengabsen kehadiran siswa.

"Zizi Ilma Bagaskara?" ucap Ana menyebutkan nama salah satu siswanya.

"Nggak masuk, Bu," jawab Reni, teman sebangku Zizi.

"Nggak masuk lagi?" Ana mengernyit heran. Pasalnya, ini sudah ketiga kalinya Zizi tidak masuk sekolah dalam minggu ini. "Ada yang tahu alasan Zizi nggak masuk?" tanya Ana dan dijawab dengan gelengan kompak dari seisi kelas.

Ana mengambil buku rekap daftar hadir siswa. Sudah tiga bulan berlalu sejak tahun ajaran baru dimulai dan Zizi tercatat sudah sembilan kali tidak masuk sekolah. Enam kali yang pertama, Zizi menjelaskan alasannya tidak hadir di sekolah. Sakit, begitu katanya. Tidak ada yang mencurigakan sebab Zizi selalu memberikan surat keterangan dokter begitu dia masuk kembali ke sekolah. Pihak keluarganya juga menelepon ke sekolah dan mengabarkan hal yang sama.  Namun, untuk tiga hari terakhir ini, Zizi tak kunjung datang dan pihak keluarganya pun tidak memberikan kabar apapun.

Ana kini mengambil buku lainnya, daftar wali murid. Jemari lentiknya menelusuri nama siswa sesuai urutan alfabet dan saat sampai di bagian huruf Z, Ana menemukan informasi yang dicarinya. Segera dia mencatat alamat rumah Zizi ke dalam ponselnya. Pada kolom nomor telepon hanya tertera satu nomor di sana. Nomor ponsel ayah Zizi. Tidak ada nomor ponsel ibu Zizi. Walaupun akan lebih nyaman jika berbicara dengan sesama wanita, tampaknya Ana tidak punya pilihan lain selain menghubungi ayah Zizi. Disimpannya nomor telepon ayah Zizi ke dalam phone book-nya. Kalandra Bagaskara.

***
Andra berjalan setengah berlari menyusuri koridor sekolah yang telah sepi. Hanya terlihat beberapa siswa yang bermain ponsel sembari menunggu jemputan. Sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan, mata Andra terus mencari dan akhirnya menemukan ruangan bertuliskan VII-A. Andra menengok ke dalam ruang kelas. Hanya ada seorang perempuan muda duduk di kursi guru. Berdeham pelan, Andra mengetuk pintu untuk mengabarkan kedatangannya.

Perempuan muda itu menoleh ke arahnya, bangkit berdiri lalu mulai menghampirinya. Dia pastilah wali kelas putrinya, Zizi. Perempuan yang meneleponnya tadi. Yang meminta bertemu untuk memberbicarakan tentang Zizi.

Di usianya yang sudah mencapai angka 39. Andra tentu sudah banyak bertemu wanita. Segala jenis wanita. Wanita sholehah yang teguh mendudukkan pandangan, pernah. Wanita nakal penggoda, juga pernah. Wanita cerdas yang menganggap pria sebagai rival abadi, sering. Wanita cantik dengan tubuh bak seorang model tetapi berprofesi sebagai guru, baru kali ini.

Perempuan di hadapannya ini bukan hanya cantik, Andra mengakui, melainkan memesona. Rok pensilnya tidak ketat dan panjangnya pun sopan, tetapi tetap tidak bisa menyembunyikan lekuk bokongnya yang menggoda. Sama seperti kemeja bercorak monokrom wanita itu, yang menjanjikan keindahan payudara di baliknya. 34B, tebak Andra dalam hati. Astaga! Dia memang termasuk pria pengagum buah dada wanita, tetapi tak pernah sekali pun Andra berpikir ngeres tentang wanita yang baru pertama kali dia temui. Sepertinya Bu Guru Cantik ini punya pengaruh istimewa pada dirinya.

"Pak Kalandra?"

Sapaan berupa pertanyaan itu memutus khayalan Andra yang tidak pantas. "Ah, ya. Andra saja." Andra mengulurkan tangan.

Ana menjabat singkat uluran tangan Andra, menyebutkan namanya, lalu mempersilakan pria itu masuk. Andra menarik salah satu kursi dan meletakkannya di depan meja guru yang memisahkannya dengan kursi Ana.

"Sebenarnya ada apa dengan putri saya, Bu Ana?" Andra langsung bertanya to the point. Dia amati wajah cantik di hadapannya. Tulang pipi yang tinggi, dagu lancip yang terbentuk indah, dan bibir pink yang merekah. Ya Tuhan, sudah berapa lama sejak terakhir kalinya dia mengecup bibir seorang wanita?

"Begini, Pak Andra. Hari ini adalah hari ketiga Zizi tidak masuk sekolah dan sama sekali tidak ada kabar dari pihak keluarga. Biasanya Zizi selalu memberikan surat keterangan sakit dari dokter jika dia tidak masuk karena sakit. Atau pihak keluarganya ada yang mengabarkan ke sekolah perihal absennya Zizi. Tapi untuk yang kali ini, kok, sama sekali tidak ada kabar apa pun," papar Ana tentang masalah Zizi.

Andra mengerutkan dahi. Merasa sedikit bingung dengan informasi yang baru dia dengar. "Sebentar, Bu. Saya sedikit tidak paham di sini. Zizi selalu masuk sekolah. Sejak masuk SMP, dia tidak pernah sakit. Saya sendiri yang mengantarkannya ke sekolah setiap hari," sergahnya.

Giliran Ana yang mengerutkan kening. "Jadi tadi pagi Pak Andra juga mengantarkan Zizi ke sekolah?" Ana melihat Andra mengangguk mantap. "Tapi Zizi tidak hadir, Pak. Ini sudah hari yang ketiga Zizi absen dalam minggu ini." Ana menyodorkan buku rekap daftar hadir siswa. Menunjukkan kolom nama Zizi yang dihiasi sembilan tanda strip merah, menandakan jumlah ketidakhadirannya.

"Artinya, Zizi membolos?" Andra bertanya dengan nada tak percaya.

"Sepertinya begitu," ucap Ana seraya mengembuskan napas. "Dan kalau yang Anda katakan tadi benar, artinya sudah sejak dua bulan yang lalu Zizi memulai aksi membolosnya." Ana berhenti sebentar untuk berpikir. Biasanya siswa bermasalah akan memperlihatkan perilaku yang aneh, tetapi Zizi tampak biasa-biasa saja di sekolah. Sebatas pengamatan Ana, Zizi memang agak pendiam, tetapi bukan jenis pendiam yang mencurigakan.  "Maaf, apa Zizi tidak menunjukkan gelagat aneh ketika di rumah?" selidik Ana.

"Saya rasa tidak." Andra berucap tak yakin. Lalu setelah mengusap wajahnya kasar, pria itu menambahkan dengan nada menyesal, "Ah, entahlah. Akhir-akhir ini saya sangat sibuk di kantor." Andra berpikir, mempertimbangkan kemungkinan lain. "Apa mungkin Zizi di-bully di sekolah?" tanyanya kemudian.

Ana menggeleng. "Kenapa Bapak bisa berpikir seperti itu?"

"Jujur saja, saya memasukkan Zizi ke SMP ini karena ketua yayasan Sahwahita adalah saudara saya. Istilahnya, saya nitip supaya Zizi diterima. Saya tahu itu nepotisme. Tapi ini toh sekolah swasta dan saya pun membayar SPP dan uang gedung dalam jumlah yang cukup besar. Mungkin saja ada siswa yang mengetahui fakta itu dan menjadikan Zizi bulan-bulanan," terang Andra.

"Saya pastikan hal semacam itu tidak sampai bocor ke telinga siswa lain, Pak Andra. Saya melihat tidak ada alasan untuk mem-bully Zizi," ucap Ana tegas. Para pelaku perundungan lebih sering menyasar siswa miskin atau yang berpenampilan aneh. Zizi jelas tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut. "Dan saya jamin sekolah kami bebas dari aksi perundungan," imbuhnya.

Ana diam sebentar untuk berpikir. Dia yakin bahwa akar permasalahannya pasti ada di rumah. Tidak mungkin Zizi repot-repot menipu orangtuanya jika hubungan mereka baik-baik saja. Dengan hati-hati Ana menyuarakan pendapatnya, "Untuk kali ini, yang bisa kita lakukan hanya menunggu Zizi pulang dan menanyainya. Mungkin Pak Andra dan istri harus melakukan pendekatan ekstra pada Zizi agar dia mau membuka diri."

"Istri saya sudah meninggal. Saat Zizi kelas lima SD. Dia putri kami satu-satunya."

Ana menggumamkan kalimat maaf dengan tak enak hati. Mungkin kasus Zizi hanya seperti kasus-kasus siswa bermasalah yang umum terjadi, di mana si anak terpaksa berulah demi mendapatkan perhatian dari orangtua yang sibuk.

Andra mengetuk-ngetukkan jari ke meja, tampak berpikir keras. "Saya tahu ini akan merepotkan, tapi saya mohon bantuan Ibu untuk mendekati Zizi di sekolah. Saya benar-benar tidak bisa menebak alasan Zizi membolos, bahkan sampai mengelabui saya seperti ini. Ibaratnya kita sedang membagi tugas. Bagian saya di rumah, bagian Ibu di sekolah. Bagaimana?"

"Baik. Saya akan mencobanya. Tapi, tolong,  saat bertanya pada Zizi nanti, jangan dimarahi."

Andra menyanggupi. Saat bersalaman dengan Ana untuk berpamitan, Andra memperhatikan tak ada cincin kawin yang melingkar di jari manis wanita itu. Entah dia harus berterima kasih atau marah pada Zizi nanti,  sebab secara tak langsung putrinya telah membuatnya berkenalan dengan seorang wanita yang sangat memesona. Andra memastikan akan ada banyak momen dirinya bersama Ana di waktu-waktu mendatang, terlepas dari selesai atau tidaknya kasus Zizi.


-----------------

Tokoh baru sudah muncul. Semoga suka dengan Andra, ya. Jangan lupa follow, komen, dan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro