12. Perubahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ana sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada acara pengenalan Rafka sebagai ketua yayasan yang baru. Benaknya sibuk memutar kembali kejadian dua tahun lalu. Saat Rafka masih menjadi kekasihnya. Saat Rafka menghinanya setelah tahu kenyataan tentang dirinya yang sudah ternoda.

Sekarang dan dulu pun sama. Tahu apa Rafka tentang dirinya? Mereka belum saling mengenal terlalu jauh ketika tiba-tiba Rafka melamarnya. Dan hari ini, lelaki itu kembali menghakiminya hanya karena penampilan Ana telah jauh berbeda.

Ana merasakan bahunya disenggol. Ia menoleh. Ternyata Cindy memberikan kode untuk bertepuk tangan. Di atas panggung, Rafka sedang diminta untuk memaparkan visi misi baru Yayasan Sahwahita. Dengan malas Ana ikut bertepuk tangan. Tak sepatah kata pun dari pemaparan Rafka yang terserap ke dalam otak Ana. Sekilas dia melihat kata 'unggul dan peduli' pada slide show power point yang ditampilkan melalui LCD projector, tetapi Ana sama sekali tak ambil peduli.

Jalang. Satu kata itu terus bergaung di telinganya. Kapan dia bisa lepas dari label itu? Apakah wanita lajang tanpa selaput dara otomatis terlempar dari kasta perempuan baik-baik? Apakah hanya keperawanan yang menjadi parameter moral seorang perempuan?

Tanpa sadar, Ana tersenyum sinis. Mungkin jika sekarang dia masih berpakaian serba panjang, bahkan berhijab, Rafka baru akan memikirkan kembali penilaiannya tentang karakter Ana.

Apa Rafka tahu jatuh bangun yang dialami Ana dalam menata hatinya? Saat Ana mencoba mengenyahkan segala tetek bengek perasaan yang bernama cinta untuk pria itu. Apa Rafka tahu bahwa Ana harus mengeraskan hati ketika teman-teman kuliahnya mengerutkan kening, kemudian berbisik-bisik sewaktu Ana muncul di kampus dengan penampilan berbeda untuk pertama kalinya?

Ana masih mengingat jelas komentar keberatan dari Rara di hari Ana memutuskan untuk mengubah penampilan.

"Na, aku senang kamu mau mengubah cara berpakaianmu tapi aku nggak setuju kalau terlalu ekstrim," protes Rara sambil mengerutkan kening sembari memungut satu rok pendek dari atas tempat tidur di kamar indekost Ana. "Kapan kamu beli rok ini?" tanyanya.

"Kemarin di Beringharjo," jawab Ana singkat. Gadis berkucir kuda itu terus saja mematut diri di depan cermin. Menempelkan sebuah blus model sabrina ke tubuh bagian depannya, tanpa melepas kaus putih longgar yang dia pakai.

Rara mengerutkan kening dalam. "Kamu yakin sanggup berpakaian seperti ini? Setengah pahamu bakal terekspos kalau pakai rok ini? Dan baju model sabrina itu bakal mamerin bahumu."

"Di luar sana banyak cewek pakai hotpants yang yang panjangnya cuma lima senti dari bokong mereka." Ana tak ingin tekadnya digoyahkan.

"Tapi kamu bukan mereka," Rara kini memijit-mijit pelipisnya, "sebenarnya Mas Rafka bilang apa sama kamu?"

Ana melemparkan blus sabrina ke sembarang arah lalu berbalik menghadap Rara. Dadanya naik turun menahan geram. "Kamu nggak ngerti rasanya jadi aku, Ra. Pakai baju pendek, salah. Pakai baju panjang, juga salah. Laki-laki yang nggak bisa menahan nafsunya tapi aku yang dikatai jalang," ucap Ana dengan suara bergetar menahan tangis.

"Astagfirullah." Rara berdiri, menyentuh bahu Ana dengan lembut. Perlahan dituntunnya Ana duduk di atas dipan.  "Coba deh kamu cerita dulu sama aku," bujuknya.

Sontak Ana memeluk Rara dan tangisnya pun pecah. Sungguh, dia bukan menangis karena patah hati. Ini adalah tangisan sakit hati dari seorang perempuan yang mendapat perlakuan tak adil. Di sela-sela isakannya, Ana menceritakan semuanya. Tentang masa lalu yang menyebabkannya kehilangan kesucian, tentang penghakiman orang lain atas kecatatannya.

"Aku sudah memutuskan untuk kembali jadi Ana yang dulu, sebelum peristiwa itu terjadi. Aku ingin kembali punya rasa percaya diri seperti waktu SMA dulu, karena nggak ada salah dalam diriku. Iya kan, Ra?" Ana tidak benar-benar membutuhkan jawaban Rara. Terlebih lagi teman baiknya itu kini sedang menangis tersedu-sedu.

Ya, kesalahan Ana hanya satu. Dan bodohnya dia jatuh pada lubang yang sama. Jatuh cinta. Itulah kesalahan terbesar dalam hidup seorang Audreana Rarasati.

***

Acara akhirnya usai. Ana dan Cindy masih mengobrol dengan beberapa teman guru yang sedang menunggu dijemput pasangan atau armada transportasi online. Ana dan Cindy memutuskan untuk naik bus trans Jogja. Cindy meminta agar Ana menemaninya mencari hadiah ulang tahun untuk pacarnya. Ana tak kuasa menolak. Setidaknya berjalan-jalan di mall akan bagus untuk memperbaiki suasana hatinya yang dikacaukan oleh kehadiran Rafka.

"Di mana-mana cowok cakep emang jadi magnet buat cewek-cewek. Lihat deh, Pak Rafka langsung dikerubungi cewek jojokuba," ucap Cindy setelah mereka hanya tinggal berdua.

"Kok jojokuba? Bukannya jojoba?" tanya Ana tak mengerti.

"Jojoba, jomblo-jomblo bahagia itu kan sebutan untuk mereka yang masih single tapi bahagia dan nggak merasa tertekan dengan status jomblo mereka. Nah, kalau jojokuba itu jomblo-jomblo kurang bahagia. Mereka frustrasi ingin segera melepas status single. Sampai rela mempermalukan diri dengan bersikap kecentilan di depan cowok demi menarik perhatian."

Ana hanya mengangkat alis mendengar penjelasan Cindy. Namun, sepertinya kawannya itu masih belum selesai menjelaskan.

"Kalau kamu, Na, termasuk jojoba. Walau aku heran kenapa cewek secantik kamu masih jomblo. Tapi kalau Bu Lulu yang sekarang sedang tepe-tepe di depan Pak Rafka itu jelas masuk kategori jojokuba." Cindy menyelesaikan penjelasannya dan menunjuk dua orang yang sedang berdiri di lahan parkir, di dekat sebuah mobil Daihatsu Ayla warna hitam.

Ana melihat ke arah yang ditunjuk Cindy. Tampak Rafka sedang mengobrol dengan Lulu, guru mata pelajaran kesenian yang memang masih lajang. Lulu adalah wanita yang menarik, supel dalam bergaul, terutama dengan para guru laki-laki.

Ana mencermati pakaian Lulu. Rok sepannya panjang selutut tetapi sedikit ketat, tidak bisa menyembunyikan lekuk menggoda bokong wanita itu. Dan Lulu juga sudah melepas blazernya. Membuat Ana mau tak mau berpikiran buruk bahwa Lulu ingin memamerkan bentuk dadanya yang membayang di balik blus putih.

Dan apa-apaan itu? Mengapa Rafka tak henti-hentinya tersenyum pada Lulu. Sorot matanya juga tampak ramah dan penuh minat. Mengapa Rafka tidak mencela penampilan Lulu yang lebih mirip sekretaris penggoda daripada guru? Ana tahu pasti jika dirinya yang berpakaian seperti itu, Rafka pasti akan menghinanya. Hidup memang tak adil padanya.

Semakin lama Ana melihat interaksi Rafka dan Lulu, semakin ia merasa kesal. Rasa kesal yang merupakan campuran dari kebenciannya pada standar ganda Rafka dan suatu perasaan aneh yang tidak Ana kenali. Lulu saat ini sedang mencondongkan tubuh ke arah Rafka, tangan perempuan itu tanpa canggung menyentuh lengan kokoh Rafka. Rasanya Ana ingin berlari ke tempat mereka berdiri dan menyingkirkan tangan Lulu dari tubuh Rafka.

Lalu Ana tertegun. Mengapa ia harus merasa marah seperti ini? Seolah dia adalah seorang kekasih yang tengah cemburu.

Apa? Cemburu? Ana segera menepis pikiran konyolnya. Jika sudah tak cinta, tidak mungkin ada cemburu, bukan?


---------------

Pendek aja ya, gaes. Ntar malam update lagi. Tapi follow, komen dan vote dulu ya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro