14. Si Duda Keren

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andra ternyata kaya raya.

Setidaknya itulah yang bisa Ana simpulkan dari rumah besar dan mewah di hadapannya. Sekali lagi Ana memeriksa alamat rumah Andra yang dia catat di ponsel, mencocokkannya dengan ancer-ancer yang Andra kirimkan via chat. Tidak salah lagi, ini memang rumah Zizi dan Andra.

Kediaman Andra berupa rumah dua lantai yang memadukan gaya minimalis dan Eropa. Bangunannya berbentuk geometris tanpa dekorasi, tetapi atapnya tidak datar seperti selayaknya rumah minimalis, melainkan miring dan tinggi. Ada dua buah pilar di sisi kanan dan kiri akses masuk ke dalam rumah, yang biasanya menjadi ciri rumah bergaya Eropa. Hanya saja di sini pilar tersebut tidak berbentuk silinder, melainkan balok panjang. Ana dibuat terkagum-kagum melihat jendela di sisi timur rumah yang menjulang tinggi dari lantai bawah ke lantai atas. Dan yang paling menarik perhatian Ana adalah balkon dengan taman dalam planter box permanen yang menyatu dengan dinding pembatas balkon. Rasanya Ana ingin secepatnya naik ke atas untuk melihat bunga apa saja yang tumbuh di sana.

Ana melangkah ke teras dan mengetuk pintu besar yang terbuat dari kayu jati. Tak ada jawaban. Ana mengetuk lagi, hampir tergoda untuk mengintip melalui jendela persegi empat di sebelah pintu. Masih tidak ada jawaban. Perempuan itu lalu menyenderkan punggung ke dinding berlapis marmer di belakangnya, menempelkan ponsel ke telinga, bermaksud hendak menelepon Andra tepat saat pintu dibuka.

Kepala Andra menyembul dari balik pintu, lalu setelah melihat Ana-lah yang datang, pria itu membuka pintu lebar-lebar, selebar senyumnya. "Silahkan masuk," katanya.

Desain bagian dalam rumah jelas mengadopsi konsep simplicity. Dengan dinding warna putih dan abu-abu, keseluruhan rumah menonjolkan ruang terbuka yang fokus pada fungsi, tanpa dinding penyekat antarruang. Ana duduk di sofa tunggal warna putih, sementara Andra memilih duduk di sofa yang lebih panjang.

Pria itu tampak segar. Sepertinya Andra baru saja mandi sebab masih tersisa titik-titik air di pelipisnya dan rambut cepaknya pun lembap. Polo shirt hitamnya terlihat kontras dengan kulitnya yang putih dan makin menonjolkan otot lengannya yang terbentuk sempurna. Ana membayangkan Cindy pasti meneteskan liur jika melihat penampilan Andra sekarang.

"Terima kasih sudah datang, Bu Ana. Sebelumnya saya minta maaf karena tidak mengabari ibu sama sekali beberapa hari terakhir. Saya mendadak harus pergi ke Wonosobo," ucap Andra sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi brewok tipis. Ana baru menyadari bahwa pria itu ternyata memiliki dagu belah yang menawan.

"Pihak sekolah terpaksa memberi Zizi surat peringatan pertama, Pak." Ana menyodorkan amplop putih yang langsung diterima Andra. Pria itu membaca isinya sekilas lalu meletakkannya di atas meja.  "Maaf, apa Pak Andra sering pergi keluar kota seperti kemarin?" tanya Ana.

"Tidak juga. Hanya saja kemarin ada masalah dengan proyek di Wonosobo, dan arsitek pratama yang saya tempatkan di sana tidak bisa mengatasinya dengan baik, hingga saya harus turun tangan langsung."

Ana mengangguk meski tak paham benar yang dimaksud dengan arsitek pratama. "Bisa saya bertemu Zizi? Dia ada di rumah, kan?"

"Zizi ada di kamarnya. Oh ya, Bu Ana, saya belum bicara apa pun dengan Zizi tentang masalah ini. Jadi dia belum tahu kalau aksi membolosnya sudah saya ketahui."

Ana mahfum. Lalu, setelah dipersilahkan, Ana mengikuti Andra naik ke kamar Zizi di lantai dua.

"Zi, ada yang mau ketemu kamu, nih. Ayah masuk, ya?" ucap Andra sambil mengetuk pintu kamar Zizi. Terdengar jawaban 'ya' dari dalam kamar.

"Siapa, Yah?" Mata Zizi terbelalak seketika saat melihat Ana di belakang tubuh Andra. "B-Bu Ana?" ucap Zizi terbata, "Ibu kenapa di sini?"

"Ibu mau ngobrol sama kamu, Zi," jawab Ana santai. Ana dan Andra bertukar pandang dan mencapai kesepakatan tanpa kata bahwa lebih baik Andra menyingkir dulu dan membiarkan Ana bicara berdua dengan Zizi.

Setelah Andra menutup pintu dari luar kamar, Ana duduk di tepi ranjang queen-size milik Zizi. "Kamu sehat, kan, Zi?" Ana membuka obrolan.

Zizi menunduk diam. Anak itu duduk di atas karpet sambil memeluk lutut. Rambut sebahunya jatuh menutupi wajah, mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Seolah menolak menjawab pertanyaan apa pun dari Ana.

Ana mengamati seluruh isi kamar itu. Tak ada yang aneh. Kamar Zizi selayaknya kamar seorang anak perempuan kaya. Furnitur mahal, koleksi komik dalam dua rak besar, walk-in closet, laptop dan printer-scanner tercanggih. "Kenapa kamu membolos, Zi?" tanya Ana lagi.

Zizi masih tetap diam. Ana lalu berpindah duduk di sebelah Zizi. "Ayahmu udah tahu kalau kamu membolos. Sekolah ngeluarin surat peringatan pertama buat kamu."

Zizi mendongak, menatap Ana. "Saya dikeluarkan, Bu?"

"Diberi peringatan," koreksi Ana, "tapi kalau kamu bolos lagi, bisa jadi kamu beneran dikeluarkan."

"Saya punya alasan, Bu." Zizi membela diri. Matanya menatap Ana dengan berani. Saat itu Ana merasa Zizi sangat mirip dengan Andra. Bahkan remaja putri itu pun memiliki dagu belah, meski tak sejelas milik ayahnya.

"Boleh Ibu tahu alasannya?" tanya Ana lemah lembut dan dijawab Zizi dengan gelengan. Karena tidak ingin mendesak lebih jauh, Ana memutuskan untuk membiarkan Zizi seperti itu. "Zi, Ibu kasih kamu tantangan. Mau nggak?"

"Tantangan?"

"Iya. Sebulan ini Ibu tantang kamu untuk nggak bolos. Kalau kamu berhasil, kamu boleh minta apa saja dari Ibu. Tapi kalau kamu gagal, kamu harus menuruti apa pun perintah Ibu selama sebulan berikutnya, termasuk mengatakan alasanmu membolos selama ini."

Jujur, Ana sendiri tak yakin dengan tawaran yang dia berikan. Zizi berasal dari keluarga kaya, pasti dia bisa membeli barang apa pun yang diinginkannya. Namun, tetap saja ada kemungkinan bahwa Zizi mengharapkan sesuatu yang bersifat non-material. Sesuatu yang bisa diberikan oleh Ana.

Zizi tampak sedang berpikir. Perlahan-lahan mulai tampak binar ketertarikan di mata remaja itu. "Saya boleh minta apa saja, Bu? Benar?"

"Suer!" Ana mengangkat dua jarinya membentuk tanda V.

"Kalau begitu, deal!" ucap Zizi.

Mereka menandai kesepakatan itu dengan saling menautkan jari kelingking. "Omong-omong, Ibu pengin tahu gimana caranya kamu bisa bawa surat keterangan dokter waktu kamu bolos dua bulan yang lalu?" tanya Ana penasaran.

"Saya pinjam punya teman. Lalu saya scan dan ganti tanggalnya," terang Zizi sambil menunjuk pada printer-scanner di meja belajarnya.

Mulut Ana ternganga sekejab sebelum mengeluarkan pertanyaan lagi, "Lalu pihak keluarga yang menelepon ke sekolah, siapa?"

"Saya bayar tukang becak di depan sekolah, untuk pura-pura sebagai Ayah dan menelepon sekolah. Cukup bicara dalam krama inggil dan pihak sekolah pasti percaya," papar Zizi.

Astaga, kids zaman now! Ada saja idenya.

***

Andra merasa lega ketika melihat Ana menuruni tangga. Sedari tadi dia berjalan mondar-mandir dengan hati gelisah. Takut membayangkan kemungkinan terburuk dari alasan Zizi membolos. Bagaimana jika putrinya itu terlibat pergaulan bebas? Atau geng anak nakal? Andra menepis semua dugaan itu dan berdoa semoga Zizi masih berada di jalan yang lurus.

"Apa kata Zizi?"

Ana berjalan kembali ke ruang tamu dan duduk lagi di sofa yang tadi dia duduki. Di meja sudah terhidang dua cangkir teh dan beberapa camilan.  "Dia belum mau bercerita. Tapi Bapak tidak perlu cemas. Zizi sudah berjanji tidak akan membolos lagi. Setidaknya selama satu bulan ke depan. Jangan terlalu didesak, Pak Andra. Nanti Zizi malah semakin memberontak," ujarnya.

Andra mengangguk paham. Dalam hati merasa bersyukur karena Zizi mendapat wali kelas yang penyabar seperti Ana. Penyabar dan sangat cantik. Dan seksi.

Hei, Andra hanya pria normal yang tentu akan bereaksi terhadap wanita cantik. Selain itu, penampilan Ana memang akan membuat pria manapun menoleh dua kali padanya. Rok A-line panjangnya terlihat indah disandingkan dengan kaus V neck yang menonjolkan lehernya yang jenjang. Untuk sesaat Andra sempat berpikir ingin melabuhkan kecupan di leher putih itu. Oh, salahkan saja hormon dopamin yang tiba-tiba menggelegak dalam tubuhnya. Tiga tahun menduda tampaknya sudah membuatnya sedikit tidak terkendali.

"Kalau Pak Andra pergi keluar kota. Zizi di rumah dengan siapa?" tanya Ana, membuyarkan pikiran mesum Andra.

"Sebenarnya tugas sebagai arsitek tidak mengharuskan saya banyak bepergian. Kalau terpaksa harus pergi seperti kemarin, biasanya saya akan meminta tolong orangtua atau kakak perempuan saya untuk mengurus Zizi."

Obrolan mereka berlanjut dengan topik seputar kegiatan Zizi sehari-hari. Tidak ada kegiatan yang aneh. Andra lalu bercerita bahwa Zizi sudah dia daftarkan pada sebuah bimbel karena pria itu ingin agar Zizi masuk dalam peringkat lima besar siswa di kelasnya. Ana menyimak sembari menyesap tehnya.

"Bimbel apa?" tanya Ana penasaran. Di sini, dia merasa Andra sedikit terlalu memaksa Zizi untuk berprestasi di bidang akademik.

"Bimbel Scientia. Belum terkenal, memang." Andra tersenyum saat melihat Ana mengerutkan kening. "Masih dirintis, tapi saya amati bimbel itu dikelola dengan baik. Tinggal menunggu waktu saja untuk jadi besar dan terkenal. Kebetulan pemilik bimbel itu saudara saya. Itu lho, ketua Yayasan Sahwahita yang kemarin saya ceritakan. Rafka."

Ana hampir tersedak teh yang dia minum saat mendengar nama Rafka disebutkan. "Jadi Pak Andra bersaudara dengan Pak Rafka?" tanyanya gugup, sedikit terbatuk.

"Iya. Rafka itu sepupu jauh saya. Ibunya adalah sepupu ibu saya. Bu Ana sudah bertemu dengan Rafka?"

"Sudah. Pak Rafka datang ke SMP kemarin."

"Dia itu ulet dan berbakat jadi pengusaha. Seharusnya dulu dia kuliah bisnis saja bukan PGSD," puji Andra.

Ana tersenyum miris. Jadi Rafka berhasil mewujudkan rencananya membangun bisnis bimbel, Ana terkenang malam saat Rafka mengutarakan hal tersebut saat melamarnya di taman. Malam saat Rafka mencampakkannya dengan tidak adil.

Tak ingin membicarakan Rafka lebih lanjut, Ana mencoba membawa topik percakapan mereka kembali pada masalah Zizi. "Maaf, Pak Andra. Saya mohon Bapak jangan terlalu memforsir Zizi. Ada delapan jenis kecerdasan, Pak. Tidak perlu kecewa jika nilai Matematika atau Bahasa Inggris Zizi tidak bagus. Anak itu pasti dianugerahi kecerdasan di bidang yang lain."

Andra memasang senyum setuju dan Ana memperhatikan dekik di dagu Andra tampak lebih jelas saat pria itu tersenyum.

---------------------------

Arsitek pratama adalah arsitek junior.

Btw, anyway, si Andra ini punya dagu belah kayak Yudis ya. Hahaha, otornya gak kreatif.

Sini, sini, aku ceritain sedikit. Love Will Find A Way ini kan brojolanku yang pertama. Dulu judulnya Only You. Waktu bikin draft, aku mikir Andra pokoknya harus cakep maksimal. Aku bayangin Ben Barnes waktu menciptakan tokoh Andra ini. Dia gans banget, dagu belahnya bikin meleleh. Lalu lama setelah naskah ini kelar, aku kepikiran pengin bikin cerita tentang Andra. Kemudian, aku coba susun ide cerita Cinta Tak Terganti. Pas banget komunitas menulisku, Romance The WWG, bikin project age gap. Lalu aku coba utak-atik plot CTT dengan Andra sebagai tokoh utamanya, tapi kok ternyata gak cocok dengan latar belakang Andra yang sudah brojol duluan di Only You. Ya udah, aku ganti nama tokohnya jadi Yudistira. Dan dia udah terlanjur aku bikin punya dagu belah. Biar beda dengan Andra, aku tambahin lesung pipi aja buat si Yudis. Hahaha...

Sekian ketidak-kreatifan dari saya. Jangan lupa follow, komen dan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro