23. Menagih Jawaban

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Andra memperhatikan Zizi yang sedang fokus memotong oyong. Potongan oyong yang Zizi hasilkan tidak semuanya sama ketebalannya. Beberapa bahkan memiliki sisi yang miring. Saat memasak bersama, Andra selalu memberi tugas-tugas sederhana pada putrinya, seperti mencuci dan memotong sayuran atau mengulek bumbu. Prinsip Andra, bagaimanapun juga, Zizi perlu mengusai kemampuan dasar memasak agar kelak bisa memasak untuk suami dan anaknya.

"Kok tumben kita nggak makan malam bareng Bu Ana, Yah? Apalagi sekarang hari Minggu," tanya Zizi ketika menyerahkan oyong yang sudah dipotong pada Andra.

Andra memasukkan potongan oyong ke dalam panci yang sudah berisi air mendidih dan fillet dada ayam. Mereka akan memasak sup. "Nggak apa-apa. Ayah pengin quality time berdua sama kamu."

"Oh," respon Zizi. "Ayah nggak lagi marahan sama Bu Ana, kan?" Zizi merangsek ke dekat kompor, mengendus-endus aroma sup yang mulai keluar.

"Nggak," jawab Andra singkat seraya memasukkan irisan daun jeruk ke dalam panci.

Mereka memang bukan sedang bertengkar. Andra hanya memberikan waktu pada Ana untuk memikirkan lamarannya kemarin. Lamaran spontan yang terlontar begitu saja akibat dorongan rasa cemburu melihat perhatian yang Rafka berikan saat Ana muntah karena mengunyah kentang. 

"Eh, Zi, kamu tahu kalau Bu Ana nggak suka kentang?" selidik Andra. Sekalian saja dia mencari tahu kebenaran ucapan Rafka kemarin. Benarkah Zizi yang menginformasikan hal itu pada sepupunya?

"Masa sih, Yah? Aku kira cewek cantik seperti Bu Ana malah doyan kentang. Makan kentang kan nggak bikin gemuk. Badan jadi singset, langsing. Terus bisa buat masker jerawat juga. Aku pernah baca di majalah ..."

Andra tersenyum kecut, tak lagi menyimak penjelasan Zizi tentang berbagai manfaat kentang. Jelas sudah Rafka berbohong. Kecurigaannya benar. Ana dan Rafka pasti memiliki hubungan di masa lalu.

***

Sudah dua minggu dan Ana masih belum bisa memberi jawaban atas lamaran Andra. Jika boleh jujur, hatinya condong pada pilihan untuk menolak Andra. Empat bulan berpacaran ternyata belum juga bisa menumbuhkan rasa cintanya untuk pria itu.

Andra pria yang baik, Ana sadar akan hal itu. Ayah Zizi itu menerimanya dengan tulus meski Ana bukanlah gadis suci lagi. Karenanya, menolak Andra terasa seperti tindakan yang bodoh dan tak masuk akal.

Hati Ana seolah sudah disetel dalam mode bebal, tak mau mendengarkan logika. Masih ada nama Rafka bertahan di sana. Dan itu membuat kebodohannya jadi berlipat-lipat. Namun, entah bagaimana, di balik semua sakit yang Rafka timpakan padanya, Ana bisa merasakan kepahitan pria itu. Mulut Rafka bisa saja mendesiskan kebencian, tetapi pada saat yang sama matanya memancarkan sorot terluka. Seolah Rafka pun ikut terluka saat tengah menyakitinya secara verbal. 

Ana sedang melakukan rutinitas berkebun ketika terdengar suara mesin mobil Pajero milik Andra memasuki halaman kos. Kening Ana berkerut. Tak biasanya Andra berkunjung tanpa memberi kabar terlebih dahulu.

"Mas, pulang kerja? Tumben langsung ke sini sore-sore?"

Andra memang tidak pernah langsung menemui Ana sepulang kerja. Prioritasnya tetap Zizi. Biasanya Andra akan menelepon Ana lalu mereka akan pergi makan malam berdua atau bertiga dengan Zizi.

"Pengin mampir aja." Andra melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemejanya sampai siku. "Udah selesai berkebun? Perlu kubantu?" tanyanya.

Ana tahu itu hanya pertanyaan basa-basi. Andra tidak pernah menunjukkan minat pada proses menanam bunga. Lelaki itu memang senang menikmati hasilnya berupa tanaman bunga yang cantik, tetapi dia memilih untuk membiarkan Ana saja yang mengurusi proses menanam dan merawatnya.

"Aku sedang mengaduk kompos. Nanti kemeja Mas kotor," ujar Ana seraya menunjukkan kedua tangannya belepotan tanah. "Tunggu saja di teras, Mas. Aku beberes sebentar."

Andra mengangguk dan berjalan menuju teras. Sedangkan Ana kembali ke taman kecilnya, menutup rapat ember cat yang dia gunakan sebagai wadah 'memasak' kompos dan menyimpan sekop. Perempuan itu lalu mencuci tangannya dan segera menyusul Andra ke teras.

"Ada apa, Mas? Ada yang mau diomongin?" Ana mempersilakan Andra duduk di bangku panjang di teras karena rupanya sedari tadi pria itu tidak juga duduk.

Andra menggeleng dan memilih tetap berdiri. "Sudah dua minggu, Na. Apa kamu masih belum bisa memberi jawaban?" tanyanya.

Ana mengembuskan napas berat lalu memandang cakrawala. "Aku masih butuh waktu, Mas," jawab perempuan itu, tak enak hati. Bagaimanapun juga, pernikahan bukan sesuatu yang bisa diputuskan dengan gegabah.

"Ada pria lain, benar, kan?" tuduh Andra.

Ana sedikit tersentak mendengar tuduhan Andra. Apa Andra juga berpikir bahwa Ana perempuan gampangan yang memiliki banyak kekasih?  "Saat ini aku hanya menjalin hubungan denganmu, Mas. Tidak ada pria lain," jawabnya sedikit ketus. Ana tersinggung.

"Pria dari masa lalumu." Andra mempertegas maksudnya.  "Rafka?"

Kali ini Ana sepenuhnya terkejut. Dari mana Andra mengetahui informasi tentang Rafka? "Aku nggak ngerti maksud pertanyaanmu, Mas," kilahnya.

"Tolong jujur, Na. Kamu dan Rafka punya hubungan di masa lalu, kan? Aku tahu Zizi nggak pernah bercerita tentang kamu yang nggak suka kentang. Rafka tahu itu karena dia mantan pacarmu. Benar bukan?" desak Andra.

Berbohong memang tak pernah menjadi pilihan Ana. "Oke, aku nggak akan bohong sama kamu, Mas. Aku dan Pak Rafka memang pernah berpacaran sewaktu kami masih mahasiswa dulu," akunya. Lalu, Ana menambahkan dengan getir, "Hanya sebentar. Pak Rafka memutuskanku begitu saja setelah aku mengaku sudah tidak perawan."

Andra memandang Ana lekat-lekat. Perempuan ini pemberani. Tak banyak wanita yang berani berterus-terang tentang kondisi mereka yang sudah tidak suci. Dan itu membuat Andra semakin jatuh hati.  "Itu alasanmu belum menerima lamaranku? Karena kamu masih cinta Rafka?"

"Aku nggak akan kembali pada Pak Rafka jika itu yang kamu takutkan, Mas," bantah Ana. Andra memperhatikan Ana tidak menjawab pertanyaannya. Perempuan itu sedang berkelit.

"Tapi kita juga nggak perlu buru-buru menikah, kan?" lanjut Ana,  "hubungan kita belum lama. Pernikahan butuh dasar yang kuat. Tidak cukup hanya ..."

"Tidak cukup hanya mengandalkan cinta dari satu pihak? Begitu, kan?" potong Andra kasar. "Kapan kamu akan bisa mencintaiku, Na?"

Ana memejamkan mata sebentar, berusaha menghimpun keyakinan bahwa saat itu akan tiba lambat-laun. "Aku sedang berproses untuk itu, Mas. Beri aku waktu."

------------

Pendek aja ya. Terima kasih sudah baca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro