29. Pengakuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sometimes your friends can hurt you worse than any of your enemies could.

Sebuah kalimat bijak yang pernah melintas di timeline media sosialnya memang benar adanya. Pengakuan Freya barusan telah menyakiti Rafka begitu dalam. Bagaimana bisa seorang sahabat bisa menggoreskan rasa sakit yang lebih buruk daripada yang bisa diberikan oleh seorang musuh? Freya adalah teman baiknya, tetapi satu tindakan yang dilakukan gadis itu telah berakibat fatal pada seluruh hidup Rafka.

Karena satu ulah Freya, Rafka telah menyakiti Ana. Menyakiti dengan teramat dalam. Padahal Ana adalah wanita yang menjadi poros dunianya.

"Kenapa kamu ngelakuin itu, Frey? Apa pentingnya merekayasa sebuah foto demi memfitnah Ana?" tanya Rafka lunglai. Bahkan energi untuk marah pun sudah tak ada.

"Kenapa kamu setega itu, Frey? Ya Tuhan... Fitnahmu kelewatan, Frey." Rafka meratap.

Berkebalikan dengan Rafka yang tampak lemas, Freya justru terlihat berapi-api saat menjawab, "Kamu tanya kenapa? Apa kamu benar-benar nggak bisa memikirkan jawabannya, Ka? Aku melakukan semua itu untuk menjauhkan Ana darimu karena aku cemburu."

Samar-samar Rafka teringat akan perkataan Ana dua tahun yang lalu, selepas acara makan siang bertiga dengan Freya.

"Mbak Freya cemburu."

Jadi rupanya Ana benar.

"Kamu nggak perlu bertindak sampai sejauh itu, kan, Frey. Aku sudah tegaskan bahwa persahabatan kita nggak akan terganggu oleh kehadiran Ana," balas Rafka.

Freya mendengkus. Segala hal tentang Ana telah membuat otak Rafka bebal. "Aku nggak mau terus menjadi sahabatmu. Aku ingin lebih dari itu," ucapnya.

Sudah kepalang tanggung, Freya pun meneruskan,  "Aku... aku suka kamu, Ka. Aku jatuh cinta padamu. Sejak dulu. Sejak kita masuk kuliah. Saat kamu nolongin aku waktu kita ospek."

Akhirnya kalimat keramat itu terucap juga. Masih segar dalam ingatan Freya hari di saat dia jatuh cinta pada Rafka.  Kala itu, mereka sedang mengikuti kegiatan ospek fakultas dan Freya yang gagal membawa kacamata hitam mainan bergambar Hello Kitty dihukum berdiri dengan satu kaki di tengah lapangan di bawah terik matahari. Karena melewatkan sarapan, Freya nyaris pingsan. Tubuhnya mulai limbung dan hampir jatuh membentur tanah, jika tidak ada Rafka yang menangkapnya. Pemuda itu berlari dari barisannya dan langsung membopong Freya ke tempat paramedis.

Di mata Freya tindakan Rafka tersebut sangat heroik dan romantis. Dan sejak saat itu, nama Rafka resmi merajai hatinya, sampai detik ini, meski Rafka sedang menatapnya dengan tatapan terluka, alih-alih gembira.

"Sudah selama itu aku mencintaimu, Ka. Bisa kamu bayangkan betapa kesalnya aku karena tiba-tiba ada perempuan lain yang masuk dalam kehidupanmu? Everything is fair in love and war. Aku melakukan apa yang aku bisa untuk membuatmu memandangku, Ka."

Rafka menggeleng. Matanya panas karena mengingat semua perlakuannya pada Ana. Semua kata-kata jahat yang tidak sepantasnya terlontar untuk gadis itu.

Dirinya dan Freya sama saja, pikir Rafka. Dibutakan cemburu, hingga tak bisa membedakan kebaikan dan kebathilan. Berpikiran pendek.

"Jadi semua ceritamu tentang Ana itu bohong?" tanya Rafka pahit.

"Ya, semua hanya cerita karanganku saja. Aku nggak pernah lihat Ana di Exotic Cafe. Aku bahkan nggak pernah ke sana."

Selesai. Freya sudah mengakui semua kebohongannya. Akan tetapi, dia belum kalah. Masih ada satu senjata terakhir. "Tapi apa pentingnya itu, Ka? Dengan atau tanpa cerita karanganku pun nggak akan mengubah kenyataan bahwa Ana udah nggak perawan. Dia tetap perempuan nakal, tukang zina. Bekasan cowok lain. Dan siapa yang tahu berapa banyak cowok yang pernah make dia. Bitch!" tandasnya.

Tangan kanan Rafka terangkat dalam gestur yang memberi perintah diam bagi Freya. "Jangan pakai kata itu lagi untuk menyebut Ana," ujarnya tegas.

"Dia memang seperti itu, kan, Ka?" bantah Freya.  "Kamu pikir aja sendiri. Dia udah nggak perawan. Pasti dulu dia terlibat free sex semasa SMA."

"Ana bukan perempuan seperti itu, Frey. Ya Tuhan!" Rafka beristighfar panjang. "Apa yang sudah kuperbuat?"

Rafka tampak kalut. Dia menyugar rambutnya resah. Kedua sikunya ditumpukan di atas paha, badannya condong ke depan, dan wajahnya ditutupi oleh kedua tangan.  Freya belum pernah melihat Rafka semengenaskan ini.

Foto palsu. Ana yang begitu menjaga diri. Histerisnya Ana di mobil tempo hari. Semuanya bagaikan kepingan puzzle yang perlahan berjejer, membentuk gambaran utuh. Dugaan Andra pastilah benar.

"Ana pasti kehilangan kegadisannya karena sebuah pemaksaan. Dan aku nyaris melakukan hal yang sama kemarin."

Pernyataan lirih dari Rafka sukses membuat Freya membelalak. Otak cerdasnya dengan cepat menangkap eufimisme dalam kalimat Rafka. Pemaksaan. Pemerkosaan.

"Apa maksudmu, Ka?" tanya Freya takut-takut. "Nggak mungkin kan Ana itu diperkosa?"

Rafka mengembuskan napas berat dan mulai bercerita.  "Aku terbakar cemburu setelah Mas Andra bilang dia akan menikahi Ana. Aku memaksa Ana pergi denganku. Aku ingat ceritamu tentang Ana dan jadi marah. Aku hampir saja melecehkannya." Rafka menjeda lalu tersenyum miris, mengutuk dirinya sendiri.  "Bahkan mungkin aku memang sudah melecehkannya.  Dan Ana bereaksi seperti seseorang yang trauma," lanjutnya.

Napas Freya tersekat. Sebagai seorang perempuan dia sangat memahami bahwa tidak ada yang lebih buruk daripada kehilangan keperawanan lewat sebuah tindakan pemerkosaan. Tidak ada seorang wanita pun yang pantas mengalami kekejian semacam itu.

"Aku..  aku sama sekali nggak pernah memikirkan kemungkinan itu, Ka." Freya menggeleng. Kedua netranya mulai digenangi air mata. "Aku cuma asal mengarang cerita. Aku sendiri juga kaget ketika ceritaku ternyata cocok dengan kondisi Ana yang udah nggak virgin."

"Ceritamu bikin aku bias dalam menilai Ana, Frey."

Jika Freya tidak berbohong, Rafka pasti bisa memandang pengakuan Ana dengan lebih objektif. Tidak serta-merta mengambil kesimpulan yang salah.  Ana yang berpakaian tertutup. Ana yang tidak mau pergi ke luar di malam hari. Ana yang tidak mau bersentuhan intim selama pacaran. Fakta-fakta itu seharusnya cukup untuk membuat Rafka memberikan kesempatan pada Ana untuk menjelaskan karena ada banyak hal yang bisa menyebabkan selaput dara seorang gadis koyak.

Di sebelah Rafka , Freya mulai terisak. "Aku begitu karena aku cinta kamu, Ka."

"Kita sama-sama berdosa pada Ana, Frey."

Rafka memutar tubuh, menghadap Freya. Digenggamnya kedua tangan gadis itu erat. Biasanya Rafka akan marah. Namun, mengingat tindakannya sendiri pada Ana yang seperti seorang bajingan, membuat Rafka merasa tak pantas mengecam perbuatan Freya.

"Frey, aku kenal kamu udah lama. Kamu punya kualitas yang lebih baik daripada ini. Gadis picik yang menghalalkan segala cara sama sekali nggak cocok untukmu. Freya, teman baikku, adalah gadis terhormat yang menjunjung tinggi prinsip fair play."

"Aku cinta kamu, Ka. So much. Apa kamu nggak bisa membuka hatimu untuk aku?" pinta Freya terakhir kali. Air mata masih mengalir di pipi chubby-nya.

Rafka menggeleng tegas. "Maaf, kalau selama ini aku nggak pernah peka terhadap perasaanmu, Frey. Aku tahu aku udah bikin kamu terluka. Tapi, aku masih mencintai Ana."

Rafka melepaskan satu tangan Freya, lalu menunjuk dadanya sendiri. "Sama seperti kamu yang selama bertahun-tahun nggak bisa melihat laki-laki lain, aku juga hanya bisa melihat Ana. Di sini, cuma ada nama Ana. Mungkin selamanya hanya akan ada dia di hatiku, Frey. Jadi berhentilah mengharapkanku."

Rafka membiarkan Freya meluapkan semua emosinya. Gadis itu tergugu dalam sedu sedan. Menangisi cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Menyadari pupusnya impian indah untuk bisa memiliki Rafka. Selamanya.


---------

Kita doakan Freya dapat hidayah, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro