38. Bicara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setahun kemudian

"Ka, kamu nggak makan siang?" Sundari menguak pintu kamar Rafka dan mendapati sang putra sedang bekerja dengan laptop. 

"Ya, Ma. Sebentar lagi pekerjaanku selesai."

Sundari menarik kursi ke samping Rafka lalu duduk. Ia melirik apa yang sedang diketik putranya. Semacam laporan pertanggungjawaban. "Kamu jadi mau mundur dari posisi ketua yayasan?" tanyanya. Ya, beberapa waktu lalu Rafka pernah menyampaikan bahwa dia akan segera mundur dari posisi ketua Yayasan Sahwahita.

"Jadi, Ma. Aku udah mantep. SD dan SMP Sahwahita udah berjalan on track. Aku juga udah ninggalin blue print untuk ke depannya gimana. Insyaallah Pak Iskandar yang akan naik jadi Ketua kalau semua anggota setuju. Aku kepengin fokus ngurus bimbel, Ma. Mau ngembangin aplikasi bimbel juga."

Sundari tersenyum. Wanita itu senang karena Rafka tak lagi sering bermuram durja. Sebagai ibu, ia tahu bahwa putranya ini dihantui perasaan bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Santoso. Namun, hukuman penjara yang dijatuhkan pada pengendara mini bus yang menabrak Santoso dan Rafka, sedikit banyak telah membantu mengikis rasa bersalah Rafka. Kejadian itu murni musibah, sekaligus cara Tuhan menjemput Santoso menemui keabadian.

Rafka mengeklik tombol save lalu menutup jendela Microsoft Word. "Yuk, makan, Ma. Mama masak apa?" Rafka berdiri dan merangkul ibunya. 

"Mama masak sambel krecek. Kemarin waktu Mama di rumah Mbak Mita, kamu makan apa?"

Rafka nyengir. "Biasa, Ma. Makan di angkringan."

"Ka, kamu itu lho… Wong zaman sudah maju, beli makanan tinggal pencet hape saja kok, masih ngandalin angkringan terus. Maem sego kucing ki ora wareg!"

[Makan nasi kucing itu nggak kenyang.
*nasi kucing: nasi porsi kecil yang dijual di angkringan]

"Kenyang kok, Ma. Kan aku beli sepuluh."

Sundari menyendokkan dua centong nasi ke piring Rafka, lalu diberi lauk-pauk. "Cepetan kamu cari istri. Biar Mama itu tenang kalau ninggal kamu. Kamu ada yang ngurus." Semenjak kepergian sang suami, Sundari kerap menginap di rumah kakak perempuan Rafka, Paramita, yang tinggal di Gunung Kidul. Di rumah Paramita, ada hiburan yang mengalihkan Sundari dari dukanya. Hiburan berupa bayi menggemaskan, anak pertama Paramita dari pernikahannya dengan seorang ASN guru SMP. 

"Sejak putus waktu kuliah S1 dulu kamu itu nggak pernah pacaran lagi. Mama kira kamu bakal jadian sama Freya, tapi ternyata kalian cuma sahabatan."

"Aku belum nemu yang cocok, Ma."

"Nggak ketemu, lha wong kamu nggak nyari, Ka."

"Ma, katanya jodoh itu cerminan diri kita. Kalau kita baik, dapat orang baik juga. Nah, aku maunya dapat istri yang baik, Ma. Jadi sekarang aku memperbaiki diri dulu. Supaya pantas saat bertemu wanita baik yang jadi jodohku."

Sundari berdecak. "Kamu itu, paling bisa kalau berargumen," ungkapnya setengah gemas, setengah kesal. "Ya sudah, makannya dihabiskan," titah Sundari. "Oya, nanti sore anterin Mama ke Panti Rapih."

"Lho, siapa yang sakit?"

"Budhe  Kartini, ibunya Mas Andra, opname karena gula darahnya tinggi."

Rafka membuang napas dengan berat. Sejak Ana resign, Rafka jarang sekali bertemu dengan Andra. Hanya beberapa kali saja, saat acara peringatan 100 hari kematian Santoso juga halal bihalal keluarga besar selepas Idul Fitri. Hubungan mereka kini diliputi kecanggungan. Sama seperti hubungannya dengan Freya yang tak lagi seakrab dulu. 

Kekasih, sahabat, saudara. Rafka menyadari dia telah kehilangan ketiga hal tersebut. 

***

Kartini tidak sendirian saat Rafka dan Sundari datang menjenguk. Ada Andra yang menemani. Pria yang mengenakan kaus turtle-neck putih itu duduk di sofa menghadap laptop yang menyala di meja. Andra berdiri dan menyalami Sundari serta Rafka. Kemudian, perhatian semua orang tertuju pada sang pasien yang terbaring di bed. 

"Mbakyu, sudah enakan belum? Yang dirasakan apa?"

"Cuma lemes aja kok, Dek. Sudah biasa."

"Nggih ampun ngaten. Dijaga makanannya, Mbakyu. Masa gula darah sampe 300. Tinggi sekali," ujar Sundari dengan nada prihatin.

[Ya jangan begitu]

"Mama susah banget diminta untuk mengurangi karbo, Tante. Minumnya juga nggak mau ninggalin gula."

Kartini berdecak. "Wis tuwo, kok malah ora entuk mangan sing enak-enak." Wanita tua itu mengembuskan napas panjang. "Sakjane iki dudu mergo panganan, Dek Ndari. Gula darahku tinggi gara-gara Andra ini lho..."

[Sudah tua, kok malah nggak boleh makan yang enak]
[Sebenarnya ini bukan karena makanan]

"Kok aku, Ma?" protes Andra. 

"Kamu itu mau jadi duda sampai kapan? Mama jadi kepikiran," sembur Kartini telak. "Dikenalin sama anaknya teman Mama, nolak terus. Padahal dia itu perempuan dewasa yang sudah sangat cukup umur. Kowe kok ora mesakke, nanti kalau dia jadi perawan tua gimana?"

[Kamu kok nggak kasihan]

"Ma, aku nggak mau menjalin hubungan apalagi pernikahan hanya karena rasa iba." Andra menukas dengan tegas. 

"Tapi Mama ingin lihat kamu menikah lagi, Ndra." Kartini tak mau kalah. Wanita tua itu menoleh pada Sundari, mencari dukungan. "Ya kan, Dek Ndari? Pasti sampeyan juga kepikiran tho karena Rafka belum kunjung menikah, padahal sudah cukup umur, sudah mapan?"

"Lha kok saya ikut dibawa-bawa, Budhe?" Rafka yang sedari tadi hanya diam kini mengangkat wajah, protes. 

"Ngene yo, Le. Tak kandani… Orangtua itu nggak akan tentrem atine kalau anak-anaknya belum menemukan pasangan. Kita manusia itu fitrahnya berpasangan."

[Begini ya, Nak. Saya beritahu... ]

"Tapi orang yang menikah juga nggak semuanya bahagia, Ma." Andra mencoba beropini. 

"Ya sama, orang yang melajang juga nggak semuanya bahagia," bantah Kartini tak mau kalah. 

Andra berdecak keras. Ibunya memang berwatak keras. Sifat yang sedikit banyak menurun padanya.  Andra menoleh pada Rafka. "Ka, aku mau cari kopi. Kamu mau di sini atau ikut? Kalau di sini ya siap-siap aja di-roasting sama Mama."

Rafka tentu memilih menemani Andra. Setidaknya dia punya waktu untuk mempersiapkan diri jika nanti di rumah, Sundari akan kembali mendesaknya untuk mencari calon istri.

"Jadi… ceritanya dijodohin nih, Mas?" canda Rafka, memulai obrolan sembari mereka berjalan menuju kantin rumah sakit. 

"Nggak usah ngece kamu!"

"Ampun, Mas. Nggak berani aku... " kekeh Rafka, sambil membuat gestur tangan menjura di depan dada. Lucu saja melihat Andra diperlakukan seperti anak remaja oleh sang mama. 

"Mungkin sebentar lagi Tante Ndari bakal terinspirasi oleh Mama dan ngejodohin kamu."

"Kalau itu terjadi, aku kabur S3 ajalah. Ke Jakarta."

"Nggak kepengin ke Semarang?"

"Ngapain?"

"S3, sekaligus ketemu Ana."

Langkah Rafka sontak terhenti. Dia sama sekali tidak menyangka Andra akan membawa nama Ana dalam pembicaraan mereka. 

"Untuk apa, Mas? Sudah setahun. Ana bisa saja sudah ketemu jodoh."

"Aku rasa Ana bukan tipikal cewek yang gampang jatuh cinta," simpul Andra, lalu ia menyunggingkan senyum miring. "Buktinya dia nggak jatuh cinta sama aku kan?"

Rafka kembali melangkah. Kantin sudah terlihat. "Tapi bukan berarti dia masih mencintaiku, Mas."

Rafka teringat cerita Freya bahwa dia pernah memohon pada Ana agar kembali pada Rafka. Namun, Ana menolak. 

Mereka memasuki kantin dan Andra memesan secangkir kopi hitam, sedangkan Rafka hanya membeli sebotol air mineral. Menempati salah satu meja yang kosong, kedua pria itu kembali melanjutkan obrolan. 

"Kamu sendiri gimana? Masih belum move on dari Ana, kan?" tanya Andra sembari menyesap kopi.

"Lebih tepatnya, aku belum move on dari perasaan bersalahku pada Ana. Dulu kupikir aku ini cowok baik-baik, tapi ternyata aku nggak lebih dari seorang cowok brengsek yang tega menyakiti perempuan yang aku sayangi."

Andra tersenyum miris mendengar pengakuan Rafka yang sama sekali tidak membantah bahwa dia masih mencintai Ana. 

"Yaaah, intinya kita memang nggak boleh overestimate pada diri sendiri. Karena kita merasa baik, lantas menganggap orang lain buruk."

Rafka hanya mengangguk, membenarkan ucapan Andra dalam hati. "Meski Ana sudah memaafkanku, aku masih dihantui oleh bayangan perbuatan burukku padanya, Mas." Rafka mengusap wajah. "Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu dan menghajar diriku sendiri sampai babak belur."

"Apa kamu pernah berpikir untuk menebus kesalahanmu dengan membahagiakan Ana sepanjang sisa usiamu?"

"Maksud Mas Andra?"

Andra meneguk kopinya yang mulai dingin, lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. "Ini saran aja. Terserah kamu, mau diikuti atau enggak. Menurutku, belum terlambat kalau kamu mau memperbaiki segalanya. Kejar Ana, buktikan bahwa kamu sudah berubah, yakinkan dia. Sisanya, pasrahkan pada Gusti Allah."

Rafka tertegun. "Apa aku layak dapat kesempatan kedua, Mas?"

"Semua orang berhak diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Hanya saja, mencintai Ana berarti kamu harus siap menerima tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab untuk mendampingi proses pemulihannya. Untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi di masa depan, terkait dengan masa lalu Ana." Andra menepuk bahu Rafka. "Kalau kamu siap, then go for it."

Ada jeda lama yang Rafka gunakan untuk menimbang saran Andra. Hal yang sebenarnya sudah berkali-kali terlintas di benak Rafka sendiri, tetapi selalu dia tepis karena merasa tak pantas 'mengganggu' hidup Ana lagi. 

"Lalu Mas Andra gimana?"

Andra terkekeh. Dagu belahnya terlihat jelas. "Urusan cinta jangan pakai prinsip ewuh pekewuh, Ka," nasihatnya. 

[ewuh-pekewuh=sikap merasa nggak enakan pada orang lain]

Tawa Andra berhenti, kemudian pria itu mengerutkan kening, tampak merenung sejenak. "Dulu itu aku sepertinya terlalu terburu-buru karena aku nggak ingin kalah darimu. Tanpa sadar, aku jadi terlalu memaksa Ana. Memaksanya terapi di psikolog, memaksanya agar mau menerimaku."

"Takut kalah dariku?" ulang Rafka tak percaya. "Mas Andra jauh lebih baik daripada aku."

Dari sudut pandang mana pun, Andra memang mengungguli Rafka. Terlebih lagi, kemampuan Andra mendeteksi ada yang salah dengan cara Ana merespon pria membuktikan secara telak keunggulan duda satu anak itu dibanding Rafka. 

Andra mengangkat bahu. "Aku rasa nggak ada orang yang bisa tenang saat tahu pasangannya ketemu lagi dengan mantan. Apalagi saat itu, aku tahu Ana belum bisa membalas perasaanku."

Andra mengembuskan napas dan mencondongkan tubuh untuk menghabiskan kopinya. "Bilang sama Ana bahwa dia bukan lagi gurunya Zizi, circle pergaulanku dan kamu juga cukup berbeda, kita nggak sering ketemu. Yang artinya, Ana nggak akan sering ketemu aku, seandainya nanti dia balikan sama kamu."

"Tapi—"

"Aku dan Ana sudah selesai, Ka. Aku sudah ditolak Ana. Tadi kamu dengar kan bahwa aku nggak mau menjalin hubungan dengan landasan rasa iba. Aku nggak butuh dikasihani, Ka. Oleh Ana atau kamu."



===========

Mulai menulis bab-bab baru yang tidak ada di draft lama saat cerita ini masih berjudul Only You. So, it will take time. Sabar ya... Aku memang penulis siput alias slow apdet.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro