40. Menerima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keresahan Sundari seolah tak berkesudahan. Wanita itu tidak tahu lagi harus bercerita pada siapa, setelah tidak mendapat dukungan dari Freya. Sundari tidak setuju dengan fitnah yang dibuat Freya untuk menjauhkan Ana dari Rafka, tetapi dia juga tidak suka Rafka jatuh cinta pada Ana. Seandainya Santoso masih hidup, suaminya itu pasti bisa memutuskan dengan bijak. Sundari sengaja tinggal lebih lama bersama Rafka, hanya untuk memastikan bahwa Rafka tidak nekat pergi ke Semarang, atau tiba-tiba datang membawa gadis pilihan yang belum direstuinya.

Namun, keengganan Sundari memberi restu berakibat pada renggangnya hubungan ibu dan anak. Seumur hidup, belum pernah dia merasa sangat jauh dari Rafka padahal mereka tinggal satu atap.

"Mama kenapa kok murung terus? Mita perhatikan sejak kemarin Mama datang, Mama sering ngelamun sambil mengerutkan dahi. Ada yang dipikir?"

Mita, putri sulung Sundari, menegur sambil duduk di sofa, di sebelah sang ibu. 

"Leo mana?" Sundari menanyakan cucunya, putra pertama Mita.

"Tidur di kamar. Habis minum susu, kenyang."

"Oh…"

"Jadi, Mama kenapa? Ingat Papa?"

Sundari menggeleng, galau. Mungkin tak apa jika dia bercerita pada putrinya, mengingat Sundari tak mungkin berbagi keresahan dengan orang lain lagi. Mana bisa dia curhat dengan saudara dari keluarga besarnya atau tetangga di lingkup RT? Mau ditaruh mana muka dan martabatnya jika orang-orang tahu bahwa Rafka menjalin hubungan dengan korban perkosaan. 

"Mit, menurutmu Mama harus gimana?" buka Sundari. "Rafka itu minta izin untuk menikah..."

"Alhamdulillah. Itu kan kabar bagus, Ma." Wajah Paramita semringah.

"Tapi, perempuan yang disenengi adikmu itu..." Sundari terdiam, tidak tahu cara melanjutkan. "Dia bermasalah."

"Bermasalah gimana, Ma?"

"Dia itu pernah diperkosa."

Jeda sejenak, lalu kalimat istighfar terucap dari lisan Mita. "Astaghfirullah. Innalilahi wa innailaihi rojiun."

"Nah, kan!" Sundari berseru, merasa lega akhirnya ada yang sependapat dengannya. "Kamu juga pasti nggak setuju kan, Nduk, kalau cewek itu menikah dengan adikmu?"

Paramita mengerutkan kening, tampak bingung. "Kok Mama bilang gitu? Mita kan belum bilang apa-apa."

"Lha itu tadi kamu istighfar dan bilang innalilahi."

Mita menggeleng pelan. "Kita mengucap innalilahi wa innailaihi rojiun itu karena mendengar kabar musibah, Ma. Bukan untuk mengutuk sesuatu. Pemerkosaan itu kan musibah bagi korban, Ma."

Mendengar penjelasan itu, membuat dada Sundari seketika bergemuruh. "Jangan-jangan kamu mau dukung Rafka untuk menikahi perempuan itu?"

"Kalau Rafka memang mencintainya dan berniat baik, kenapa harus ditentang?"

Sundari frustrasi, mengapa orang-orang terdekat tidak ada yang memahami sudut pandangnya? "Tapi, Nduk, korban perkosaan itu artinya dia perempuan kotor."

"Astaghfirullah!" seru Mita sambil mengelus dada. "Mama kenapa bisa berpikir seperti itu? Dia ini korban, Ma. Korban. Jangan disamakan dengan wanita simpanan yang jual diri untuk dapat duit buat foya-foya."

"Kamu harusnya dukung Mama, Mit. Masa keluarga kita mau punya menantu seperti itu? Perempuan lain kan masih banyak. Yang dari keluarga baik-baik, yang masa lalunya nggak bermasalah."

Mita mengulurkan lengan, merangkul bahu ibunya. "Please, jangan marah dulu, Ma. Mita hanya ingin Mama nggak berpikiran sempit. Coba Mama renungkan ini. Misalnya saja, Mita yang diperkosa—--"

"Hush! Kamu jangan ngomong begitu!"

"Ini hanya pengandaian, Ma. Misalnya Mita yang jadi korban pemerkosaan, lalu Mita berjuang sekuat tenaga untuk pulih dari trauma itu, tapi nggak ada keluarga yang mau menerima Mita jadi menantu karena menganggap Mita sebagai wanita kotor, bagaimana perasaan Mama?"

Sundari terdiam lama. Ibu mana yang sanggup membayangkan skenario sekejam itu untuk putrinya? Tetapi, Sundari juga tahu bahwa beberapa ibu mengalaminya di dunia nyata, berjuang mendapatkan keadilan untuk anak perempuannya yang dilecehkan.

"Ma, sebagai sesama perempuan, seharusnya kita bersimpati pada perempuan-perempuan korban kekerasan seksual," lanjut Mita dengan lemah lembut. "Kalau nggak ada yang bisa kita lakukan untuk membantunya, setidaknya jangan menghujat. Korban perkosaan itu pasti tertekan, Ma. Dia trauma. Seharusnya kita melindungi dia, menunjukkan bahwa di dunia ini masih ada orang baik yang penuh cinta. Mita mendukung pilihan Rafka kalau memang niat Rafka itu tulus. Menikah untuk saling menjaga, saling menyayangi. Jangan melabeli orang dengan kata kotor, nggak suci, atau kata-kata negatif lainnya. Kita ini bukan Tuhan, Ma. Kita cuma manusia biasa, tempatnya salah dan dosa."

Sundari tiba-tiba tersedu-sedu. Disandarkan kepalanya di bahu sang anak. "Mama harus gimana, Mit?"

"Mita paham, Mama sebagai ibu hanya ingin yang terbaik untuk Rafka. Sebaiknya Mama banyak-banyak berdoa, minta ketetapan hati dalam memutuskan. Mama bisa salat istikharah jika Mama merasa perlu."

***

Rafka mencocol ayam bakar ke dalam mangkuk sambal tanpa minat. Perutnya lapar, tubuhnya lelah, tetapi makanan apa pun tampaknya tidak bisa benar-benar menggugah seleranya. Sudah tiga bulan berlalu sejak dia meminta restu Sundari dan sampai sekarang ibunya masih belum menunjukkan sinyal positif.

Bayu, kawan Rafka, mengangkat wajah dari makanan di meja dan menatapnya dengan sorot bingung. "Kenapa, Mas? Nggak cocok sama lidah Mas Rafka? Padahal ini enak banget, lho. Sambal petenya mantap."

"Enak, kok. Mungkin aku kurang lapar aja," kilah Rafka.

"Oh, kirain sedang galau kayak Bang Gian tuh. Galau ditinggal cewek pujaan hati."

Rafka menoleh pada sepupu Bayu. Mereka baru berkenalan hari ini saat Bayu mengajaknya bermain futsal. Kalau dengan Bayu sendiri, Rafka sudah kenal sejak masih kuliah S2 di Jakarta. Siapa sangka Bayu kini bekerja di Yogyakarta sebagai dosen.

"Asem! Sial banget aku punya sepupu kayak kamu. Harusnya kamu kerja di Jakarta aja, ngapain sih kerja di Jogja?" sungut Gian. "Aku kuatir kamu malah bakal menyesatkan mahasiswa."

"Nggak, dong. Gini-gini aku dapat nilai A waktu micro teaching dulu."

"Tapi beneran kamu ditinggal cewekmu?" tanya Rafka masih ingin tahu lebih banyak tentang Gian. Jangan-jangan mereka kawan senasib.

Tentu saja bukan Gian yang menjawab, tapi Bayu yang merasa berhak mewakili kakak sepupunya. "Beuh, kisah cintanya Bang Gian udah kayak sinetron, Mas. Apa ya judulnya?" Bayu tampak berpikir. "Cintaku Kepentok Restu," cetusnya kemudian tanpa rasa iba dan jelas dia dihadiahi pelototan tajam oleh Gian.

"Nggak direstui siapa? Orangtuamu atau orangtua cewekmu?" Rafka semakin penasaran.

"Orangtuaku," jawab Gian.

Kok sama, batin Rafka.

"Udah, Bang. Orangtua tu kadang cuma butuh waktu aja untuk berpikir. Jangan dilawan. Jangan dikerasin," timpal Bayu sok bijak.

Gian masih manyun. Bayu melanjutkan. "Aku yakin Bang Gian juga nggak akan bahagia kalau sampai menyakiti hati Budhe. Jadi, usaha terbaik memang diam, banyakin sedekah, banyakin traktiran buat saudara yang anak kos.dan jangan lupa berdoa, minta supaya Allah mengabulkan hajat kita. Nanti pasti ada jalannya kalau emang jodoh dengan Mbak Adisti."

Diam, renung Rafka. Dia sudah diam dan tidak pernah lagi menyinggung topik tentang Ana di depan Sundari, tetapi bagaimana jika Sundari tidak akan merestui sampai kapan pun. Apakah itu artinya Ana tidak berjodoh dengannya?

Pertanyaan itu masih menghuni ruang pikiran Rafka sepanjang perjalanan pulang dan setibanya di rumah. Dari teras, Rafka melihat lampu ruang tamu tiba-tiba menyala, yang menandakan Sundari belum tidur dan sedang menunggu kedatangannya.

"Assalamualaikum," ucap Rafka saat membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam."

"Mama kok belum tidur?" Rafka meletakkan tas selempang berisi pakaian futsal di lantai dan duduk untuk melepas sepatu.

"Nungguin kamu. Kok baru pulang jam segini, Ka? Ini udah setengah sepuluh, lho." 

"Iya, Ma. Tadi aku main futsal habis selesai rapat di bimbel. Udah janjian sama teman."

Sundari mengembuskan napas panjang. "Kamu sudah makan?"

"Sudah, Ma."

"Makan apa? Sego kucing?"

Rafka tertawa. "Bukan, Ma. Tadi ditraktir teman futsalku makan ayam bakar sambal pete. Nih, Mama cium deh mulut aku, pasti masih bau pete," jawabnya sambil mencondongkan tubuh.

Sundari mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung, seolah aroma petai menguar tajam dari mulut Rafka. "Wis, wis… sana mandi, gosok gigi. Lalu istirahat." 

Rafka terkekeh lagi. "Siap, Mama. Aku ke kamar dulu, ya."

Rafka mandi dan mencuci rambutnya yang basah karena keringat setelah bermain futsal. Selesai membersihkan tubuh, ia keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, lalu meletakkan handuk itu di atas kasur begitu saja dan memakai baju. Ia menarik kursi di sebelah meja kerja dan duduk. Tangannya bergerak membuka laci, mengambil sebuah foto berukuran 4R yang kertasnya sudah hampir lusuh karena terlalu sering dipegang. Foto Ana yang dulu diam-diam dia ambil saat pesta ulang tahun Freya. Saat pertama kali Rafka berbicara dengan Ana dan mungkin saja saat ia mulai jatuh cinta pada gadis itu.

"Apa kabarmu, Na? Semoga kamu sehat dan bahagia, ya, Na." Rafka bermonolog dengan foto Ana. Ibu jarinya mengelus kucir ekor kuda Ana di foto itu. Apa rambut Ana masih panjang sampai setengah punggung? Atau wanita itu sudah mengganti gaya rambut? Apa Ana masih sendiri? Atau sudah menemukan tambatan hati? "I miss you…."

Suara ketukan di pintu kamar membuat Rafka tersentak. Butuh beberapa detik baginya untuk tersadar dari lamunan. 

"Ka, kamu sudah tidur?"

Itu suara Sundari. Rafka bergegas bangkit dari kursi dan membuka pintu. Tidak biasanya Sundari mendatangi kamarnya selarut ini. Apa mungkin ibunya sakit dan butuh bantuannya untuk mengantar ke dokter?

"Ada apa, Ma?" Rafka meneliti tubuh Sundari dari atas ke bawah. "Mama nggak enak badan?"

"Mama boleh masuk, Ka? Mama ingin bicara."

Rafka masih tidak bisa menebak apa yang ingin dibicarakan Sundari, tetapi dia tetap membuka pintu lebih lebar agar ibunya bisa masuk.

Sundari mengedarkan pandang ke sekeliling kamar putranya. Matanya menumbuk handuk basah yang tergeletak di atas kasur.  "Ka, handuk basah jangan ditaruh di kasur. Kasurmu kan jadi ikut basah," ucapnya sambil mengambil handuk itu.

"Tadi itu aku belum sempat naroh di jemuran, Ma." Rafka menoleh ke arah meja. Sial. Dia lupa belum menyimpan lagi foto Ana. Rafka bergerak senatural mungkin, bersikap seolah sedang membereskan meja. Tak ingin ibunya menaruh curiga.

Sundari memperhatikan setiap gerakan Rafka dan melihat tangan sang putra mengambil selembar foto dari atas meja  

"Foto siapa itu, Ka?" tanyanya sembari duduk di tepi tempat tidur.

"Bukan foto kok, Ma. Cuma kertas."

Cara Rafka berbohong justru membenarkan kecurigaan Sundari. "Mama lihat jelas itu foto. Kenapa disembunyikan? Mama nggak boleh lihat?"

"Bukan begitu, Ma."

"Coba sini. Mama mau lihat." Sundari menggerakkan tangan, meminta foto itu tanpa dibantah lagi.

Rafka tidak punya pilihan lain. Pelan-pelan, dia sodorkan foto Ana ke hadapan Sundari.

"Apa ini Ana?" 

"Ya."

Sundari mengamati wanita muda di foto itu. Masih belia, tetapi sudah harus menghadapi kejamnya dunia. Bukankah wanita tangguh seperti Ana pantas mendampingi Rafka? Ucapan Freya terngiang kembali.

Ya, Ana pasti sangat tangguh, aku Sundari dalam hati. "Dia cantik," pujinya.

Rafka hanya tersenyum. Sundari menatap mata anak lelakinya lekat-lekat.

"Ka, kalau Mama tetap tidak menyetujui pilihanmu, apa kamu akan membenci Mama?"

Rafka teringat ucapan Bayu saat makan malam tadi. Dia lalu berlutut di depan Sundari, meraih tangan sang ibu, menciumnya takzim.  "Aku akan sedih dan kecewa, tapi aku nggak mungkin bisa membenci Mama. Mama adalah perempuan pertama yang mencintaiku dengan tulus. Aku mencintai Ana dan aku ingin meraih bahagia bersamanya dalam hidup berumah tangga. Tapi, jika Mama hanya akan tersakiti oleh pilihanku, aku lebih baik nggak melakukannya."

Air mata Sundari menetes. Diusapnya puncak kepala Rafka dengan sayang. "Kalau memang kamu mantap memilih Ana dan tujuanmu baik, Mama merestui, Nak. Mama merestui."



-----

Hahaha, ada Bayu dong. Rafka kan pernah muncul di Tiga Sisi ya. Jadi, aku munculin sekilas Bayu di sini.

Buat yang ingin baca cerita Gian, ada di Calon Istri Pilihan Hati. Yang mau kenal sama Bayu, bisa baca Tuga Sisi dan Di Sisimu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro