44. Just Married

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

44. Just Married

"Saya terima nikah dan kawinnya Audreana Rarasati binti almarhum Rosyid Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas seberat 22,2 gram dibayar tunai."

Irsyad tersenyum tatkala tangannya dijabat dengan mantap oleh Rafka selagi pria muda itu mengucapkan kalimat qobul. 

"Bagaimana saksi?" Penghulu yang memimpin jalannya ijab qobul bertanya pada dua orang laki-laki yang duduk di sisi kanan dan kirinya. 

"Sah."

"Alhamdulillah." Penghulu lalu mengangkat kedua telapak tangan dan mengucap doa. "Bârakallâhu laka wa bâraka ‘alaika wa jama‘a bainakumâ fî khairin. Semoga Allah memberkahimu dalam suka dan duka dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.”

"Amin." Rafka mengusap wajah dengan kedua tangan.

MC kemudian mempersilakan agar mempelai wanita duduk di sebelah pengantin pria. Rafka sontak menoleh ke arah pintu. Ijab kabul dilaksanakan di teras rumah Ana yang sudah disulap sedemikian rupa hingga tampak seperti pelataran gedung mewah dengan nuansa warna putih dan emas. Dari dalam rumah, Ana muncul dengan gaun pengantin putih dan Rafka bersumpah bahwa Ana adalah wanita paling cantik di dunia.

Rambut Ana tidak disanggul, tetapi dibiarkan tergerai dan dihiasi bando dengan ornamen mutiara dan bunga kristal. Baju pengantin Ana juga bukan berupa kebaya, melainkan gaun putih lengan panjang berbahan sifon dan renda. Bagian rok gaun tidak didesain mengembang lebar, tetapi jatuh menjuntai hingga mata kaki. Sebuah sepatu putih berpayet melengkapi keanggunan wanita itu. 

Dengan dituntun Sofia, Ana menghampiri meja ijab kabul dan Rafka pun berdiri. Pria itu secara seremonial menyerahkan mas kawin dan Ana menerimanya. Keduanya lalu duduk di depan penghulu untuk menandatangani buku nikah, kemudian Rafka membacakan sighat taklik. 

Administrasi beres. Ana dan Rafka telah sah sebagai suami istri di mata hukum negara dan agama.

MC mengarahkan agar mereka menaiki pelaminan bersama orangtua, untuk melakukan sungkeman, memohon doa restu. Setelahnya, para tamu dipersilakan untuk bergantian memberi selamat kepada pasangan pengantin baru.

Seorang wanita cantik berambut bob yang mengenakan kebaya modern naik untuk menyalami Rafka dan Ana. Wanita itu menjabat tangan Rafka dan menepuknya sambil menunduk. "Selamat ya, Ka. Aku senang lihat kamu bahagia bersama perempuan yang kamu cintai. Maafkan aku sekali lagi."

Rafka tersenyum dan balas menepuk pelan punggung tangan Freya. "Sudah berlalu, Frey."

Freya mengangkat wajah, Ana bisa melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Freya lalu bergeser ke hadapan Ana dan memeluknya. "Selamat ya, Ana. Semoga bahagia bersama Rafka. Doaku menyertai kalian."

"Mbak Freya, terimakasih sudah datang dan mendoakan kami," ucap Ana. Mereka lalu saling menempelkan pipi kanan dan kiri.

Orang berikutnya yang naik ke pelaminan juga merupakan kenalan lama Ana. Andra dan Zizi. Ana melihat mantan muridnya itu sudah tumbuh lebih tinggi dan menjadi remaja perempuan yang menawan. Sedangkan Andra, tampak masih sama gagahnya seperti yang diingat Ana dari pertemuan terakhir mereka. 

Zizi menyalami Rafka terlebih dahulu, tanpa berkata apa-apa. Namun, saat bergeser menyalami Ana, Zizi memasang raut cemberut. "Jadi Bu Ana nolak Ayah karena suka sama Om Rafka?"

"Zi…" Andra yang berdiri di sebelahnya menegur. "Ayah udah jelasin duduk persoalannya kan?"

Zizi mengembuskan napas berat. "Yaaah, setidaknya Bu Ana jadi Tanteku sekarang," ucapnya.

Ana memeluk Zizi erat. "Maafin Bu Ana ya, Zi." Ana terkejut saat Zizi menepuk lembut punggungnya. "Ayah udah cerita kalau Bu Ana ternyata mantannya Om Rafka. Aku ngerti kok kalau perasaan nggak bisa dipaksa."

Ana mengurai pelukan. "Makasih sudah datang, Zi. Semoga kita bisa bersahabat, ya." 

Gadis remaja itu mengangguk lalu menoleh pada Andra yang sedang bersalaman dengan Rafka lalu menepuk bahu pengantin pria itu. Andra bergeser ke depan Ana dan mereka pun berjabat tangan. "Semoga sakinah ya, Ana. Aku ikut berbahagia untuk kalian berdua," kata Andra.

"Amin. Terima kasih, Mas." Ana menatap punggung Andra hingga lelaki itu turun dari pelaminan dan menggandeng tangan Zizi.

Saat dia kembali menoleh ke arah Rafka, ternyata suami barunya itu sedang mengamatinya. Ana memasang senyum kikuk. "Kenapa, Mas?"

Rafka menggeleng. "Nggak papa. Mas Andra sangat dewasa, ya."

"Dia pria yang baik."

"Kamu nggak menyesal melepaskannya?"

"Dia akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku," jawab Ana tanpa memberi kata ya atau tidak atas pertanyaan Rafka.

Ya, lelaki sempurna seperti Andra tentu tidak akan kesulitan mencari pasangan. Banyak perempuan yang akan berbaris mengantre di depan pintu rumahnya. Andra mungkin hanya perlu memilih dengan satu jentikan jari. Pemikiran itu membuat rasa bersalah Ana sedikit berkurang. Dia kembali memasang senyum dan siap menyambut tamu berikutnya.

***

Mata Ana membelalak melihat interior kamarnya yang telah diubah menjadi kamar pengantin. Kasur queen size-nya dipasangi rangkaian bunga berwarna pink dan putih di kepala ranjang. Seprei putih licin ditaburi kelopak mawar di bagian tengah. Tetapi, yang terburuk adalah balon-balon berwarna pink dan putih yang melayang di atas kasur.

Ana menoleh pada Rafka yang berdiri di sebelahnya. "Mas, aku nggak tahu kalau kamarnya dihias begini. Tadi aku di-make up di kamar Ibu dan belum ke sini lagi sejak saat itu."

"Nggak apa-apa. Masih untung kita nggak dipaksa fotografer untuk berpose di kamar pengantin. Ada temanku yang menikah dan diminta fotografer untuk pose di atas kasur."

"Pose apa?" tanya Ana ngeri.

"Ya cuma duduk sambil pandang-pandangan gitu."

Ana mengembuskan napas lega. "Terus, balon-balon ini diapakan, Mas?"

Rafka menutup pintu kamar dan berjalan menghampiri ranjang. Dia mendongak mengamati belasan balon yang mengambang sampai batas langit-langit. Ada pita-pita yang diikatkan pada masing-masing balon. 

Ana pun melakukan hal yang sama. Sambil mendongak Ana berpikir, jika dia berdiri di atas kasur, sepertinya dia bisa meraih ujung pita.

"Apa kita ambil saja, lalu kita keluarkan, Mas?"

"Dan, seluruh keluargamu akan tahu bahwa aku takut balon."

Ana menahan senyum. Fobia suaminya terhadap balon memang lucu. "Eh, tapi, sekarang kok Mas nggak takut sama balon?"

"Selama balonnya nggak meletus, aku akan baik-baik saja," kata Rafka sambil mendongak lagi, menatap cemas ke arah kumpulan balon. Akhirnya, Rafka memutuskan untuk mengabaikannya. 

"Sebenarnya, kenapa kamu takut sama balon sih, Mas?"

"Waktu itu aku masih TK. Aku sedang  sepedaan. Baru banget bisa naik sepeda roda dua. Tiba-tiba ada temanku datang dengan sepeda lain. Dia membonceng saudaranya yang lebih besar. Nah dia itu bawa balon dan paku, lalu balonnya sengaja diletusin pas melintas di depanku. Aku kaget, sepedaku goyah, dan akhirnya nyemplung ke empang. Aku hampir tenggelam. Untung cepat ditolong orang," papar Rafka. "Untuk sekarang, biarkan saja balon-balon ini, Na. Aku ingin mandi."

Mereka bergantian menggunakan kamar mand dan membersihkan diri, menanggalkan semua atribut pakaian resepsi. Saat keluar dari kamar mandi, Ana mendapati Rafka sudah duduk di atas kasur dengan setelan piyama lengan panjang. Ana memperhatikan Rafka masih sering mendongak memandangi balon-balon itu. 

"Balon-balon itu mending kita keluarkan saja, Mas. Dari tadi, kamu itu kelihatan banget kalau terganggu. Kalau sampai ada yang meletus, gimana?" kata Ana sambil menggosok rambutnya yang basah setelah keramas. Hairspray yang digunakan seharian membuat rambutnya kaku. 

"Daripada ngurusin balon, lebih baik kita ngobrol. Duduk sini." Rafka menepuk kasur Dengan hati-hati Rafka meraih kedua tangan Ana dan menggenggamnya.

"Apa kamu takut kalau aku pegang seperti ini?" tanya Rafka.

Ana menggeleng. "Aku nggak takut, tapi aku deg-degan, Mas."

Rafka tersenyum. Ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan Ana. "Kita sudah menikah," ujar Rafka memulai. "Makasih karena kamu mau menerima aku."

Ana tidak tahu harus merespons seperti apa, jadi dia hanya tersenyum. Namun, tak ayal, ucapan terima kasih dari Rafka membuat hatinya menghangat. Seolah dirinya adalah perempuan paling berharga di muka bumi.

"Aku kepengin punya panggilan sayang untuk kamu," cetus Rafka sekonyong-konyong.

"Eh?"

"Iya, misalnya apa ya? Baby, honey, atau apa gitu, kamu tentuin aja." 

Ana mengerutkan kening, berpikir. Semasa pacaran dulu, mereka bahkan tidak sempat menciptakan panggilan sayang untuk satu sama lain. "Mas kan lebih tua dari aku, ya sudah panggil saja aku Adek."

"Kok Adek sih? Kayak anak kecil."

"Justru panggilan Adek itu malah menunjukkan rasa sayang yang tulus dan lebih fleksibel juga, Mas. Misalnya kita sedang di depan Ibu atau Bude, kan malu kalau Mas Rafka keceplosan panggil aku baby atau honey."

"Iya juga ya." Kening Rafka berkerut. "Dek Ana," ucapnya mencoba. 

"Dalem, Mas Rafka," balas Ana. 

Mereka berdua terkekeh. Secara refleks, Rafka membawa tangan Ana ke bibir dan mengecup punggung tangannya. Ana terdiam selama beberapa detik, tetapi dia tidak menarik tangannya. 

Rafka menyadari ketegangan istrinya. "Apa kamu merasa nggak nyaman dengan sentuhan spontan seperti tadi?"

Ana menggeleng pelan. "Aku kaget." Ana memang terkejut, tetapi dia tidak merasakan ketidaknyamanan. Mungkinkah ini awal yang baik?

"Mas, apa … apa kita perlu latihan?"

"Latihan apa?"

"Ber … bersentuhan."

"Aku masih menyentuhmu kan?"

"Maksudku, yang lebih … intim." Ana melihat tangannya yang masih digenggam Rafka. Kenapa dia bisa senekat ini? Meminta Rafka menyentuhnya dengan lebih intim. Tetapi, sungguh, Ana penasaran. Sampai batas mana ketakutannya? Apakah dia bisa melawan ketakutan itu? Jantung Ana berdegub kencang lantaran gugup. Apakah Rafka akan menyambar kesempatan ini?

"Dek, nggak perlu memaksakan diri. Aku nggak buru-buru, kok. Bukan berarti aku menolak, tapi aku tahu kamu sendiri belum siap."

Ana mengangkat wajah, menatap Rafka. Ya, suaminya benar. Mengapa harus terburu-buru dan malah berakhir buruk? Akhirnya, Ana mengangguk dan kegugupannya seketika sirna digantikan rasa lega. "Kalau begitu, aku turun sebentar untuk ambil makan malam kita. Mas pasti lapar."

Rafka memegang perut. "Hehehe, iya," ucapnya sambil menyengir.

Ana bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu. Embusan udara yang masuk melalui celah pintu yang terbuka, membuat balon-balon sedikit bergeser. Salah satu balon yang di tepi bersentuhan dengan lampu yang menyala, kemudian meletus.

Seolah belum cukup buruk, balon kedua ikut meletus.

Ana berbalik dengan panik dan mendapati suaminya tengah meringkuk di atas kasur sambil menutupi wajah dengan bantal.

"Tolong, tolong! Empang. Kelelep." Teriakan Rafka teredam oleh bantal.

Ana naik ke atas kasur dan meraih pita-pita yang diikatkan pada balon dan mengeluarkannya dari kamar. Namun, sial, balon ketiga meletus. 

Rafka semakin merapatkan bantal ke kepala. "Allahu akbar," serunya.

Ana bekerja secepat mungkin. Dia butuh tiga kali bolak-balik sampai semua balon keluar dari kamar. Setelah langit-langit kamar bersih dari balon melayang, Ana menepuk lengan suaminya dengan lembut. "Mas, udah. Balonnya udah aku keluarkan."

Rafka membuka bantal, melihat langit-langit yang bersih, lalu memandang istrinya yang kini sedang mengusap-usap lengannya dengan tujuan untuk menenangkan.

Rafka menarik napas dalam dan mengembuskannya. "Aku konyol sekali ya?" lirihnya.

"Enggak. Takut pada sesuatu itu manusiawi kok, Mas."

Pelan-pelan Rafka bangkit dan duduk. "Kalau kita punya anak, dibeliin boneka atau gundam aja ya. Mahal nggak apa-apa. Yang penting, jangan balon."

"Aku bakal sedia balon di rumah. Kalau kamu bersikap nyebelin, aku bakal tiup balon sampai meletus di kupingmu," kelakar Ana.

"Ampun, Dek. Aku janji bakal bucin sama kamu seumur hidup. Asalkan kamu setuju bahwa balon adalah benda terlarang di rumah kita."

Ana terkekeh geli. Kemudian, entah mendapat keberanian dari mana, Ana mengecup pipi Rafka, sampai lelaki itu tercengang. 

Sepertinya pernikahan mereka akan bahagia. Benar, bukan?

The End

*****

Hwuaaaa, maafkan aku yang baru berhasil menamatkan cerita ini sekarang. Sibuk campur stres berat ternyata bikin aku jadi lambreta dalam menulis.

Makasih untuk kalian yang sudah membaca, yang memberi vote, yang nulis komen. Makasih banyak.

Versi wattpad memang hanya sampai di sini ya. Untuk extra parts, aku publish di karyakarsa dan KBM. Harga Rp 10.000 saja untuk Karyakarsa. Kalau di KBM, silakan unlock mulai bab 45, ya.

Silakan kalian pilih mau baca di mana.

Kalau mau baca di Karyakarsa aku sarankan lewat web/browser saja karena kalau lewat aplikasi harga koinnya mahal. Sedangkan kalau lewat web, bisa dibeli dengan berbagai metode pembayaran. Link karyakarsa ada di halaman bio wattpadku ya... As usual.

Cuplikan extra parts bakal aku taroh di highlight Instagram. Makanya follow Instagramku: kristinuha_85

Akhir kata, aku siap ngelanjutin cerita Kinan dan Yudis. Siapa yang udah nungguin?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro