---28. Korsleting (2)---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ngeselin! Ngeselin!

Ina memukul-mukul bantal dengan emosi. Bagaimana mungkin ia ditinggal di rumah sedangkan Adel menyusul ke Blitar? Mana bisa hidup tenang kalau begini?

Irham menyusul naik tak lama kemudian. Rupanya lelaki itu sempat terpikir pembicaraan Adel dan Ina tadi. Ia tahu Ina kesal, tapi tidak menyangka efeknya parah. Ia kaget menemukan wajah mungil yang bersimbah air mata.

"Loh, kenapa nangis?" tanyanya sembari merayap ke samping Ina.

"Enggak!" Ina sengaja memutar badan supaya memunggungi Irham. Namun, ia membiarkan tangan Irham menyentuh bahunya.

"Kamu marah soal Adel?" tanya Irham. Ia sekarang pusing. Di bawah, setumpuk pekerjaan menuntut diselesaikan. Di atas, Ina menambah beban dengan merajuk. Padahal sebagai adik dulu, Ina tahan banting, tidak sensitif, dan selalu ceria. Mungkin sifat itulah yang membuatnya nyaman bersama gadis ini dan tidak ragu menikahinya.

Bahu Ina masih berguncang karena tangis dan tetap melancarkan aksi bungkam. Irham melirik jam dinding. Sebentar lagi waktunya bertemu klien untuk membahas salah satu proyek. Urusan domestik ini harus diselesaikan secepat mungkin.

"In, Adel mau liburan sendiri ke sana, masa aku larang? Emang aku siapanya dia? Aku ke sana buat kerja kok, bukan mau liburan sama dia."

Ina menoleh. "Tapi Mas Ir pasti ketemuan, kan?"

"Hmm, karena Pak Edi itu kenalnya dari Adel, kemungkinan iya, kami bakal ketemu. Paling banter makan bareng."

"Tuuuh, kaaaan! Ketemuan juga!"

"Aku kan nggak ketemu berduaan. Aku bawa Alfan, Bimo, dan Roy, loh."

Ina masih sesenggukan. "Kalau Mbak Adel nekat mepet-mepet gimana? Tadi aja udah begitu di lantai dua!"

Irham meneguk liur diam-diam. Lombok sebakul tergambar nyata dalam benak. Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan. Diraihnya badan Ina mendekat, lalu diputar dengan lembut hingga mereka berhadapan.

"Adel tadi tahu-tahu naik. Aku juga nggak tahu dia mau datang. Makanya aku ajak ke bawah, biar nggak cuma berduaan aja."

Tangis Ina mereda. Tapi ia masih kesal. "Terus kenapa Mas mau pergi ke Blitar nggak bilang-bilang dulu? Kalau Mbak Adel nggak ngomong tadi, Mas Ir bakal tetep diem terus, nggak kasih tahu aku, kan?"

Alis Irham terangkat. Senyumnya mengembang. "Masa? Aku kan udah bilang, lusa mau ke luar kota buat ngantar barang dan setting. Kamu mainan hape trus, sih, diajak ngomong nggak perhatian."

Ina kontan mengerutkan kening. "Masa? Kapan?"

"Kemarin malam. Kamu chattingan sambil cengar-cengir. Ngobrol sama siapa itu, Dini?"

Wajah Ina memerah. Ia segera melengos agar Irham tidak membahas soal Dini. "Enggak! Siapa yang chatting sambil cengar-cengir? Mas Ir ngarang!"

Irham meraih tangan Ina, lalu menggenggamnya erat. "In," ujarnya lembut. "Aku pernah ngalami sakitnya dikhianati. Aku nggak akan melakukan itu ke kamu."

Ina tertunduk dengan perasaan campur aduk. Ia ingin percaya, namun melihat agresifnya Adel, ia tidak yakin.

Telepon Irham berdering. "Ya, Ton, kenapa? ... Oh, udah datang? Oke, aku turun."

Irham mengecup dahi Ina dengan singkat, lalu bergerak turun dari ranjang.

"Mas mau ke mana?" Ina menahan pergelangan tangan Irham agar lelaki itu tidak pergi.

"Klien datang, mau minta demo software."


---Bersambung---

Irham kentang banget ya?
Komen please ... 😊😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro