---7. Pengantin Baru---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ina tercenung di depan meja rias. Ponselnya telah mati dan tergeletak di depannya. Beberapa hari yang lalu, bayangan dan perasaan pada Dika telah memudar. Mengapa kini saat berdua di kamar dengan Irham otaknya malah terisi cowok itu?

Ina seperti berada dalam dunia mimpi. Ia masih merasa seperti dulu, namun dunia sekitarnya berubah dengan cepat, menjadi sesuatu yang terasa absurd.

"In, aku udah. Gantian kamu." Suara Irham terdengar dari arah belakang.

Ina terjingkat kaget. Saat menoleh, matanya melebar seketika. Seumur-umur, ia belum pernah melihat Irham telanjang, hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuh. Sisa-sisa air menetes dari ujung rambut ke bahu dan dada yang ternyata bersih tanpa bulu. Pemandangan itu sangat ... seksi!

Dengan tenang, lelaki itu berjalan menuju tempat koper mereka diletakkan, lalu mengambil baju ganti. Ah, koper. Ina masih ingat betapa kalut ia saat meletakkan pakaian dalamnya di samping pakaian dalam Irham di koper itu.

Cepat-cepat Ina menyusul Irham, lalu mengambil baju ganti dan pakaian dalam. Dua tubuh saling berimpit. Dua tangan terjulur ke dalam koper. Tiba-tiba Irham menggenggam tangannya, lalu mengelusnya dengan lembut. Seketika Ina merinding dan membeku di tempat. Belum pulih kesadaran Ina, Irham melingkarkan lengan di pinggang, lalu menariknya merapat. Tubuh mungil itu segera tenggelam dalam rengkuhan.

Ina memejamkan mata. Kedekatan ini terasa sangat asing. Ia belum pernah merasakan pelukan selain dari ayah dan ibunya, dan tidak sekalipun langsung ke kulit seperti ini.

Irham sendiri, yang kesepian selama lima tahun, tidak memikirkan hal lain selain hasrat yang meletup tiba-tiba gara-gara berdiri bersisian dan bersentuhan lengan tadi. Ina sudah sah menjadi istrinya. Langsung saja, tangannya punya kemauan sendiri, menarik gadis itu. Sekarang tangan kesepian itu merayapi punggung Ina, menarik ritslesting ke bawah dengan cepat, sehingga bahu mungil berkulit kuning terang terpampang. Kalau tidak tertahan pelukan, baju itu pasti terjatuh ke lantai. Irham tidak menunggu lagi, bibirnya kini menyusuri leher dan bahu, menyerap aroma feminin Ina.

Hmmm! Seperti sudah berabad lamanya ia tidak merasakan ini. Bahkan sebelum bercerai dulu, ia sudah puasa belasan purnama. Ia baru sadar saat mengangkat wajah. Ina mematung dan menatapnya dengan bengong.

Astaga! Anak kecil ini pasti bingung!

Kalau begini, ia harus pelan-pelan. Ina baru keluar dari rumah sakit dan belum lama kehilangan ayah. Proses pernikahan tadi pun memakan tenaga. Mana badan istrinya kecil. Irham merasa bak beruang yang menyergap kelinci. Irham menarik ritsleting baju Ina ke atas, hingga bahu mungil itu tertutup kembali. Setelah itu ia melepaskan pelukan, lalu menjauh sambil membawa pakaian ganti.

Sementara itu, Ina yang juga sudah sadar, segera kabur ke kamar mandi. Di tempat itu, ia duduk terengah di closet dengan jantung berpacu. Itu tadi apa? Asing dan aneh, tapi tubuhnya bereaksi. Ada yang menggulung dan mendesak kuat di bawah sana.

Ina segera melepas pakaian, lalu mengguyur diri dengan air hangat dari shower. Terpaan air yang menyapa kulit itu mengingatkannya pada sentuhan Irham.

❦❦❦

Ina keluar telah mengenakan baju lengkap. Ia masih canggung membuka tubuh di depan Irham. Suaminya sudah mengenakan baju santai, celana pendek selutut dan kaus tanpa kerah. Ia duduk di kasur sembari memilih saluran televisi dengan remote. Saat tahu Ina telah keluar dari kamar mandi, Irham menoleh. Untuk beberapa detik pandangan mereka beradu. Irham tersenyum, Ina juga membalasnya. Memang begitu interaksi mereka selama masih kakak-adik, saling pandang dan senyum. Dulu mereka santai. Sekarang malah terasa serba kaku.

Ina melewati Irham begitu saja, langsung ke meja rias untuk menyisir dan mengeringkan rambut.

"Nggak usah dikeringin, In," ujar Irham.

Ina memutar tubuh. "Gitu? Nggak bikin geli? Kalau basah ntar airnya netes-netes. Bajuku ikut basah juga. Risih." Ina mencuit sekenanya.

Irham mengangguk. Tangan kanannya menepuk kasur di sebelah. "Udah, sini!"

Ina menurut. Dengan berdebar, ia merayap ke samping Irham.

"Kamu masih lemes, ya? Capek?" tanya Irham.

Ina mengangguk. Ia menurut saja saat lengan Irham melingkar di pinggangnya. Aroma harum lelaki itu segera memenuhi indra penghidu. Ina merapat, hingga kehangatan tubuh suaminya merayap padanya.

"Kita pelan-pelan aja. Nggak usah takut. Aku nggak akan maksa kamu, kok. Nanti kalau tidur taruh bantal di tengah."

Ina cuma mengangguk saja.

"Kita mau makan di luar atau pesan dari resto hotel aja?" tanya Irham.

Ina berpikir sebentar. "Kayaknya aku males keluar, Mas."

"Oh, iya. Kamu masih capek, ya. Ya udah, coba lihat di buku menu itu, ada yang kamu suka apa enggak. Kalau nggak ada, kita pesan lewat ojol aja."

Ina mengambil buku menu dari nakas, lalu membukanya di pangkuan. Irham mengelus bahunya sementara sebelah tangan lelaki itu membuka-buka buku. Berdekatan beberapa menit begitu, ada yang mengembang dalam dada Ina.

"Kamu mau makan apa?" bisik Irham sembari melihat-lihat gambar makanan. Embusan napasnya menerpa pipi Ina. Ia mulai menikmati kedekatan itu.

"Mmm, Mas mau makan apa?" Ina tergagap dan susah berkonsentrasi pada buku. Memangnya siapa yang memikirkan isi buku dan isi perut kalau sedang dipeluk lelaki untuk pertama kali?

"Hmm, steak ini kayaknya enak," ujar Irham sembari menunjuk daging sapi panggang yang kelihatan kinyus-kinyus.

Sekali lagi, suara bariton itu membuat Ina merinding. Jantungnya kembali memantul-mantul tidak karuan. Lalu sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Ina. Lengkaplah kegalauan yang nagih ini.

"Pilih ini aja gimana?" bisik Irham lagi. Kini dagu lelaki itu bersandar di pundak Ina.

Duh! Ina tidak mau makan! Ia mau sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.

"Mau nggak?" Irham mengulang pertanyaan karena Ina diam saja.

"Iya, ini aja," jawab Ina dengan cepat.

Irham tiba-tiba melepas pelukan dan bergeser menjauh untuk menghubungi petugas hotel dari pesawat telepon di atas nakas.

Cuma ditinggal beberapa senti saja Ina kehilangan. Parahnya, setelah selesai menelepon, Irham malah mengambil ponsel, lalu sibuk mengetik. Ina tidak tahu apa yang diketik dan untuk siapa.

"Tunggu aja, In. Janjinya paling lama setengah jam udah diantar," ucap Irham tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. "Bentar, ya. Aku harus jawab pertanyaan staf procurement[1]. Kalau tembus, mayan. Bisa buat hidup setahun."

Ina melongo. Tubuhnya masih ingin pelukan hangat itu, tapi sudah ditinggal. Ia mengambil remote televisi, lalu asal-asalan memencet-mencet berbagai saluran. Sebentar-sebentar ia melirik suaminya. Apa yang dikerjakan Irham sampai sibuk sekali dengan ponsel?

Tak lama kemudian, steak yang mereka pesan datang. Rupanya pesanan khusus. Petugas hotel menyiapkan meja makan dengan hiasan bunga dan lilin. Lilin itu mengeluarkan aroma harum. Dua set perangkat makan diletakkan dengan rapi. Serbetnya saja dilipat dengan indah seperti kipas dan diberi cincin anyaman rotan berhias pita. Yang terakhir diletakkan tentu saja minuman dan makanan mereka. Selain steak, ternyata ada pula kue berhias es krim dan cokelat.

Ina baru sekali ini makan dengan candle light. Cantik sekali meja makan itu. Romantis juga. Dengan semangat delapan enam, ia duduk dan menunggu Irham.

"Tunggu, ya. Aku mau nelpon bentar," ujar Irham, lalu keluar ke balkon.

Ina melongo untuk kedua kali. Ternyata sebentarnya Irham itu bermenit-menit. Ia sampai bosan menunggu. Setelah beberapa waktu, kepala Irham muncul di ambang pintu balkon.

"In, kamu makan duluan aja. Masih ruwet nih urusannya."

__________________

[1]Petugas procurement adalah pegawai yang bertugas menyediakan barang dan jasa bagi perusahaan

---Bersambung---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro