15. Can Not Ignore Our Feelings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Love you to death...

###

Part 15

Can Not Ignore Our Feelings

###

"Apa kau sudah tahu?" Suara Frian memecah kesunyian di antara mereka.

"Tahu apa?" Fiona balik bertanya. Tanpa mendongakkan wajahnya pada Frian.

Frian terdiam sejenak, "Tentang Brian."

Jawaban Frian sempat membuat Fiona terpaku. Namun, ia segera tersadar dan mendongak menatap wajah Frian dengan sikap dingin. Mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin membahas hal tersebut.

Tidak cukupkah pernikahan mereka untuk tidak lagi membuat pria itu mengusiknya tentang Brian? batin Fiona kesal.

Tanpa kata Fiona memilih melanjutkan berkemas, tapi keheningan itu tak bertahan lama. Ketika tiba-tiba kalimat Frian membuatnya membeku.

"Dia akan menikah dua minggu lagi."

Deg...

Fiona mendadak menghentikan kegiatannya. Duduk terpaku menatap baju biru tua Frian yang akan ia masukkan ke dalam koper. Ia terkejut. Tubuhnya serasa mati rasa. Pastilah dia salah dengar. Atau Frian yang berbohong.

Bagaimana mungkin Brian bisa menikah secepat ini?

"Be... benarkah?" gumam Fiona. Berusaha terdengar sedatar mungkin sekalipun tidak bisa menghilangkan suaranya yang serak menahan keterkejutan.

Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya.Tidak mungkin dia mengatakan perasaan yang sebenarnya pada Frian.

Lagi pula, bukankah dia yang memilih menolak Brian dan memilih menikah dengan Frian? Lalu berharap Brian bisa hidup bahagia dengan wanita lain. Namun, ia tidak menyangka kehilangan Brian bisa terasa sesakit ini.

"Apa kau tidak tahu?" Frian mengamati wajah Fiona dengan dingin. Kesabarannya habis tapi ia bisa terlihat begitu tenang. Ia bangga terhadap keahliannya mengendalian diri. Sekalipun hatinya hancur melihat reaksi Fiona. Dengan jelas ia bisa melihat kesedihan yang tersirat dari mata wanita itu. Wanita yang sudah menyerahkan tubuh kepadanya. Harga diri Frian terusik.

Fiona terdiam. Menguasai diri sebelum berkata, "Kami belum pernah bertemu atau pun berhubungan sejak dia tahu aku akan menikah denganmu."

"Benarkah? Kau menikah denganku. Brian menikah dengan wanita lain. Aku ragu masalah kalian akan selesai secepat itu."

Fiona mendongak merasa tersinggung dengan nada mencemooh Frian. "Apa maksudmu masalah?"

"Aku ragu kalian akan bisa secepat itu untuk saling melupakan. Terutama Brian."

"Hubungan kami baik baik saja."

"Kau bahkan tidak tahu kapan dia akan menikah," sinis Frian.

Seketika bibir Fiona terkatup rapat. Tak mampu membalas kalimat Frian dan memilih memasukkan baju yang dipegangnya ke dalam koper.

"Tidak mungkin secepat ini dia melupakanmu lalu menikahi wanita lain."

"Tidak bisakah kau berhenti mengurusi urusannya?" ketus Fiona.

"Aku hanya khawatir ia menjadikan calon istrinya sebagai pelariannya."

"Dan sejak kapan kau mengkhawatirkan orang lain."

"Aku khawatir terhadapmu," jawab Frian ringan, "Terhadap perasaan istriku yang kecewa pada kekasih yang ternyata tak sesetiaseperti yang dia pikir. Pada cinta yang tak sebesar kau kira. Bahkan langsung menyambar wanita lain sebagai pelampiasan terhadap wanita yang sudah mencampakkannya."

"Brian bukan pria seperti itu," sahut Fiona.

Frian sempat terpaku oleh kalimat Fiona. Membela pria lain di hadapannya bukanlah hal yang bisa diterima hatinya.

Sialan. Frian mengumpat dalam hati.

Jika saja ia tak bisa mengendalikan emosinya dengan baik, ia akan langsung menghampiri Fiona, istrinya. Menciumnya. Menidurinya. Menunjukkan pada Fiona bahwa dirinya adalah miliknya. Seutuhnya.

Tapi ia harus bisa menahan gejolak itu jika tidak ingin melukai Fiona. Memilih cara lain untuk melampiaskan amarahnya. Dengan sikap dingin, ia memicingkan matake arah  Fiona lekat-lekat sebelum bertanya, "Benarkah? Kenapa kau seyakin itu? Apa yang membuatmu seyakin itu padanya?"

Fiona terdiam kembali kehilangan kata-kata. Jujur ia juga tak bisa menjawab pertanyaan Frian.

Dengan berita yang diberikan Frian terhadapnya, tiba-tiba membuatnya merasa tidak mengenal Brian. Brian bukanlah pria yang suka melarikan diri dari masalah. Tetapi ...

Entah kenapa ia merasa ....

Meragu?

Entahlah.

Frian tersenyum tipis melihat keraguan di wajah Fiona. Dan ia semakin gencar mengusik istrinya. "Apakah karena kau sangat mencintainya? Apa yang membuatmu sangat mencintainya?"

"Dan apa kau sangat perlu ingin tahu tentang semua itu?" balas Fiona lebih dingin.

"Aku hanya penasaran." Frian diam sejenak. "Apa yang ada pada dirinya yang membuatmu sangat sulit untuk melupakannya?"

Fiona akan membuka mulutnya untuk mengatakan pada Frian bahwa perasaannya pada Brian tidak pernah seperti yang di pikirkan oleh Frian. Tetapi mulutnya tertahan, itu bukan urusan Frian.

"Kita sudah menikah. Apa masih perlu membahas hal itu?"

Senyum di bibir Frian semakin tertarik ke atas. "Aahh ... kau benar. Kita bahkan akan pergi berbulan madu. Menghabiskan waktu berdua seharian. Bersenang-senang. Tanpa ada orang lain."

Fiona sempat tercenung oleh kalimat terakhir Frian yang ditekan nadanya. Menyindirnya. Namun, ia mengabaikan dan kembali mengemas baju serta barang-barang Frian yang lainnya.

###

Dan liburan itu pun hanyalah seperti berpindah tempat tidur ke tempat lain. Menghabiskan waktu di dalam kamar hotel. Makan tiga kali sehari. Tidak ada yang spesial seperti bulan madu seharusnya.

Enam hari kemudian mereka berdua sudah kembali tidur di kamar Frian lagi. Saling bersikap datar. Pulang empat hari lebih cepat rencana mereka.

"Frian!" panggil seorang wanita berambut lurus sebahu yang berjalan menghampiri Frian dan Fiona.

"Calista?" Frian memasang wajah heran melihat wanita itu ada di rumahnya. "Kapan kau datang?"

"Sudah dua hari," jawab Calista. Sambil merangkul dan menempelkan pipinya di pipi Frian. "Tante Fania bilang empat hari lagi kau pulang."

Frian hanya tersenyum tipis. "Tadi malam kami baru pulang. Ada sesuatu yang harus segera kami urus."

"Memang kau selalu sibuk," cibir Calista. "Maaf, aku tidak bisa datang di acara pernikahan kalian. Pernikahanmu yang mendadak dan..." Calista melirik ke arah Fiona yang sedari tadi hanya diam.

Frian menoleh. Mengikuti arah pandangan Calista, lalu merangkulkan lengannya di pinggang Fiona. "Ini istriku. Fiona."

Calista mengulurkan tangannya. "Calista."

Fiona pun membalas uluran tangan tersebut. "Fiona."

"Kalian sudah pulang?" Suara Fania tiba-tiba membuat ketiga sosok itu menoleh ke samping kanan.

Frian tersenyum tipis. "Tadi malam kami sampai rumah."

Fania mengerutkan keningnya. Merasa heran dengan kepulangan Frian yang empat hari lebih cepat dari rencananya.

"Frian tidak tenang meninggalkan urusan perusahaan pada Papa terlalu lama. Fiona juga harus segera mengurus kuliahnya."

Fania diam mengiyakan. "Kalian pergilah menyapa Papa di ruang kerja. Calista, ikut tante menyiapkan meja makan."

###

"Kalian sudah pulang?" tanya Arya yang langsung bangkit dari duduknya ketika melihat Frian dan Fiona memasuki ruang kerjanya.

"Sepertinya pekerjaan Papa terlalu menumpuk," jawab Frian sambil melihat tumpukan-tumpukan dokumen yang menggunung di atas meja kerja papanya. Sambil melangkah menuju sofa di tengah ruangan diikuti oleh Fiona.

"Ya. Papa harus beradaptasi kehilangan sekretaris andalan Papa. Dan sekertaris Papa yang lain juga tidak sehandal Fiona. Yang baru belum terbiasa dengan semuanya."

"Itulah sebabnya Fiona mengajak pulang lebih cepat dari seharusnya. Karena mengkhawatirkan keadaan Papa." Frian sejenak melirik Fiona yang duduk di sampingnya. Mengabaikan tatapan protes tanpa suara yang dilemparkan wanita itu padanya.

Mendengar itu Arya menatap Fiona penuh perasaan bersalah. "Papa minta maaf membuat kalian harus menanggung beban ini di saat kalian seharusnya bersenang-senang."

"Tidak, Om." Ekspresi Arya benar-benar membuat Fiona gelagapan.

Frian sialan...

Kenapa dia harus membuat Papanya sendiri merasa tidak enak.

"Om?" Kening Arya berkerut.

"Maksud Fiona Papa." Fiona memang belum terbiasa memanggil pria paruh baya itu dengan sebutan Papa. "Kami tidak merasa repot sama sekali. Lagi pula, Fiona juga harus segera mengurus urusan kuliah sebelum masuk."

"Tenang saja, Pa. Sekalipun hanya seminggu, kami sangat menikmati liburannya. Jadi tidak ada yang perlu Papa khawatirkan," tambah Frian sebagai penjelasan pada papanya. Lalu menoleh ke arah Fiona sambil bertanya memastikan. "Benar, bukan?"

Fiona tersenyum. Mengangguk untuk meyakinkan Arya."Benar, Pa. Kita juga bisa pergi liburan lain kali."

Arya menghembuskan napas lega, "Syukurlah jika kalian menikmatinya. Papa senang untuk kalian berdua."

###

"Apa itu untuk Frian, bik?" tanya Fiona ketika ia berpapasan dengan bik Inah yang membawa jus kiwi di atas nampan akan menginjakkan kaki ke anak tangga pertama.

Ia baru saja selesai berbicara dengan Fania membicarakan masalah mata kuliah yang akan ia ambil di ruang kerja Arya Sagara.

Inah berhenti sambil mengangguk. "Iya, Non. Den Frian bilang disuruh bawa ke ruang kerjanya."

"Aku akan membawanya." Fiona mengulurkan tangan mengambil nampan itu.

"Makasih ya, Non."

Fiona hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebelum mulai menaiki anak tangga.

Di atas ia melihat pintu ruang kerja Frian yang sedikit terbuka. Ia akan membuka pintu tersebut ketika suara seorang wanita yang tidak asing bagi telinganya menghentikan niatnya.

"Apa kau masih minum jus kiwi atau strawberry setiap selesai sarapan?" tanya Calista yang duduk di sofa. Memusatkan perhatiannya pada sosok yang duduk di balik meja kerja.

Frian hanya tersenyum kecil. Menggerak-gerakkan mouse untuk memeriksa email-email yang masuk. "Kau masih ingat?"

"Tentu. Aku yang selalu membuatkan untukmu. Dan perlu dua bulan bagiku untuk tidak melakukan kebiasaan itu."

"Benarkah? Mungkin kau bisa mengikuti kebiasaanku itu," jawab Frian ringan. Masih memusatkan mata pada layar laptop.

Calista hanya mendengkus.

Selama beberap menit keduanya hanya saling diam. Sampai kemudian pertanyaan Calista mengalihkan perhatian Frian.

"Bagaimana perasaanmu?"

Frian menatap melewati laptop dengan alis terangkat.

"Bagaimana perasaanmu setelah menikah?" Calista menjabarkan maksud pertanyaannya. "Apa kau bahagia?"

"Pertanyaan macam apa itu, Calista?" Frian terkekeh geli. "Kau tahu kami baru saja pulang dari bulan madu. Hubungan kami tentu masih hangat-hangatnya, bukan?"

"Aku hanya ingin tahu saja." Calista mengedikkan bahu.

"Kami menikah karena saling mencintai. Bagaimana mungkin kami tidak bahagia."

"Apakah tidak ada lagi kesempatan bagiku?"

"Menurutmu?"

Calista mengerutkan kening. Mengamati lekat-lekat dengan saksama wajah Frian. Wajah itu dingin dan datar seperti biasa. Namun, ....

Ada yang berbeda dari sorot mata pria itu. Entah apa tapi ia tahu harapannya tidak akan pernah terwujud.

"Kau bahagia," simpul Calista.

"Tentu." Frian mengangkat bahunya ringan. Lalu kembali menatap layar laptopnya.

"Apa kelebihan dia dariku?"

"Kenapa?" Frian balik bertanya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari email yang belum selesai ia baca.

"Baru beberapa bulan aku tidak di sisimu, tiba-tiba sudah ada seseorang melenyapkan kesempatanku yang sudah bertahun-tahun di sisimu," cibir Calista.

"Jadi ...?"

"Jadi aku perlu tahu. Apa kelebihan yang dimiliki wanita itu sampai bisa mengalahkanku."

"Apakah harus?"

"Aku penasaran," tegas Calista, "dan aku bersikeras."

Frian menarik sudut bibirnya. Perpaduan rasa penasaran dan bersikeras sahabatnya itu bukanlah hal baik untuknya. Wanita itu tidak akan menyerah hanya untuk sekedar memuaskan rasa penasarannya. "Tidakkah kau melihatnya?"

Calista diam sejenak. Tampak memikirkan sesuatu sebelum kemudian mengaku, "Ku akui dia cantik. Tubuhnya juga seksi. Sangat tipemu. Tapi... di saat yang bersamaan dia juga bukan tipemu."

"Kau sangat mengenalku, ya?" Frian terkekeh mendengar jawaban Calista.

"Juga..." Calista dia sejenak. "...dia sangat dingin padamu. Apa kau yakin dia juga mencintaimu?"

Frian menghentikan kekehannya. Lalu menoleh ke arah Calista. Dan sempat membeku saat tanpa sengaja menangkap sosok lain di balik pintu ruang kerjanya. "Tentu saja aku sangat yakin. Kau pikir apa yg telah di lakukannya untukku sampai berhasil membuat Mama menyetujui pernikahan kami. Dia sangat mencintaiku."

Calista mengangguk angguk mencerna kalimat Frian. "Kirasa dia sangat tangguh hingga bisa membujuk Mamamu."

Frian melepas mousenya. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menggeliat, "Ngomong ngomong, kenapa bik Inah lama sekali?"

Di balik pintu Fiona tercengang ketika Frian mengungkit tentang bik Inah.

Sialan...

Jusnya. Fiona menatap nampan yg di pegangnya. Membuatnya semakin bingung harus berbuat apa.

Mencoba berpikir cepat.

Berjalan ke kamar dan pura pura tidak tahu kalau Frian di ruang kerja?

Atau...

Kembali ke bawah dan meminta bik Inah yg mengantarnya saja?

Itu bahkan lebih konyol.

Tapi ia harus segera mengambil keputusan sebelum Frian dan Calista memergokinya mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Tidak mungkin di antar ke kamarmu, bukan?" Tanya Calista, "Tadi kau sudah menyuruh bik Inah ke ruang kerjamu."

Frian hanya mengangguk. Lalu berdiri dari duduknya.

Calista ikut berdiri, "Akan aku ambilkan."

Frian menggeleng, "Tidak perlu. Mungkin sebentar lagi..."

Tok... tok... tok...

Belum sempat Frian menyelesaikan kalimatnya, Fiona mengetuk pintu lalu membukanya dan melangkah masuk. Berusaha terlihat senormal mungkin ketika melihat Calista yg berdiri di samping sofa dan Frian yg berjalan menuju sofa. Melemparkan senyumnya pada istrinya ketika pandangan mereka bertemu.

"Kau sudah datang?"

Fiona hanya mengangguk. "Tadi aku sempat berpapasan dengan bik Inahmembawakan jusmu."

Frian mengambil koran yg ada di meja sambil melihat Fiona yg meletakkan jusnya di meja.

"Kau di sini?" Tanya Fiona melihat Calista.

"Ya. Hanya mengobrol sedikit. Kurasa aku harus pergi." Jawab Calista dengan senyum manis dan anggunnya.

"Kalian bisa melanjutkannya. Aku hanya mengantar..."

"Tidak. Kita sudah selesai berbicara dan memang aku akan keluar." Calista melangkah menuju pintu.

Fionapun hanya diam melihat punggung Calista yg menjauhinya dan Frian sebelum kemudian menghilang di balik pintu. Dan diapun mengambil tempat duduk di samping Frian.

Membentuk keheningan yg cukup lama ketika Frian sibuk dengan korannya dan Fiona sibuk dengan berbagai macam pertanyaan tentang pembicaraan Frian dan Calista yg di dengarnya.

Dan ia tak mungkin menanyakan semua pertanyaan itu padan Frian. Sama saja ia mengakui pada pria itu kalau dia mencuri dengan pembicaraan mereka.

Sial... Fiona mengumpat dalam hati.

"Kenapa terlihat gelisah? Apa kau ingin mengatakan sesuatu?" Pertanyaan Frian membuyarkan lamunan Fiona.

"Tidak. Aku tidak terlihat gelisah." Bantah Fiona

Frian mengangkat alisnya. "Kalau begitu, apa ada yg ingin kau katakan?"

Fiona terdiam. Ya. Memang ada yg ingin di katakan pada Frian. Tapi...

"Iya." Fiona tiba tiba teringat pertanyaan yg ingin di tanyakannya pada Frian, "Kenapa kau menjadikanku sebagai alasan kita pulang lebih awal?"

"Kenapa? Apa kau keberatan?" Tanya Frian ringan.

"Tentu saja. Apa kau tidak melihat ekspresi Papamu saat kau mengatakan bahwa Papamu merasa bersalah karna membuatku khawatir?"

Frian mendengus, "Kau memang selalu peka jika berurusan dengan Papaku."

"Bukan itu yg ku tanyakan padamu." Sahut Fiona. "Kau sendiri yang minta pulang cepat karna bosan berlama lama di sana."

"Lalu? Apa aku harus mengatakan pada Mama atau Papa bahwa aku bosan melihatmu begitu menderita di sana. Tubuhmu di sana tapi entah pikiranmu ada di mana. Kau membuatku merasa buruk."

"Apa kau memprovokasiku?"

"Aku hanya mengatakan yg sebenarnya." Frian meletakkan korannya di meja. Menggeser duduknya menghadap Fiona, "Apa begitu besarnya pengaruh berita itu sampai kau tidak bisa menikmati liburan kita? Membuatku benar benar merasa buruk ketika kau mengabaikanku sementara aku menyentuhmu."

"Jadi karna itu kau minta pulang lebih awal?" Tanya Fiona tak percaya.

Frian hanya diam. Membuang mukanya dari Fiona.

"Jangan jadikan perasaan sebagai alasan."

Rahang Frian seketika menegang. Ia kembali menoleh ke arah Fiona dengan tatapan tajamnya. "Apa kau benar benar bisa mengabaikan perasaan kita?"

"Bukankah kita harus?" Seketika kalimat itu selesai, bersamaan penyesalan yg tak di mengertinya muncul merayap di dadanya. Bahkan ia menanyakan pertanyaan itu dengan suara penuh keraguan.

Dan belum sempat ia menyadari keraguannya, Frian menarik tengkuknya. Membawanya ke wajahnya sebelum mencium bibir Fiona. Melumat bibirnya dengan ciuman yg keras sekaligus lembut. Dorongan Fiona di dadanya tak berarti apapun buat pria itu. Hingga Frian merasa Fiona kesulitan untuk bernafas, yg membuatnya menarik dirinya menjauh. Menatap Fiona yg juga tak kalah terengah engahnya dengannya berusaha bernafas.

"Apa yg kau lakukan?" Sengit Fiona kesal.

"Kenapa?" Dengus Frian. "Apa kau keberatan aku menciummu? Kita bahkan sudah melakukan yg lebih dari ini."

Fiona terdiam.

"Apa kau marah?"

'Ya. Aku marah.' Jawab Fiona hanya bisa dalam hati.

"Hatimu mencintai Brian tapi tubuhmu menjadi milikku. Apa kau masih bisa mengabaikan perasaanmu saat aku menciummu? Saat aku menyentuhmu? Menguasai tubuhmu?"

Fiona membeku.

"Sekarang apa kau masih bisa megabaikan perasaan kita? Kau bahkan tidak seyakin saat mengatakan padaku untuk mengabaikan perasaan kita sebelum berita pernikahan pria itu kau ketahui."

Fiona kehilangan kata katanya. Iapun hanya bisa membuang mukanya dari tatapan tajam Frian.

"Sampai kapan kau akan menyimpannya dalam hatimu? Sejauh apa kau akan bertahan dengan perasaan itu? Apakah kau benar benar baik baik saja seperti ini?"

Tak ada kata yg keluar dari mulut Fiona. Merasa bingung dan kesal tak bisa menjawab pertanyaan pertanyaan Frian padanya.

"Kau bilang tidak akan menyesali apapun. Tentu saja kau harus tidak akan menyesal telah mencampakkannya. Jadi, buang jauh jauh dia dari hatimu jika kau tidak bisa mengabaikan berita itu."

Kini perasaan Fiona menjadi semakin tak karuan. Selama beberapa hari liburan, ia berusaha melupakan pikirannya yg berkelut tentang Brian dan mencoba untuk tulus pada Frian. Banyak alasan yg membuatnya harus melakukan itu selain posisinya saat ini sebagai istrinya Frian.

Dan walaupun kesepakatan yg mereka buat awalnya tidak melibatkan perasaan masing masing. Nyatanya ia tak bisa mengabaikan semua itu begitu saja saat Frian menyentuhnya. Sekalipun ia tidak mencintainya Brian.

Ia merasa ucapan Frian benar. Jika ia terus berkelut pada apa yg sudah terjadi dan apa yg sudah ia tinggalkan, hanya akan membuatnya semakin tersiksa lebih dari ini.

###


Thursday, 13 October 2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro