25. Gossip

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Love you to death...

###

Part 25

Gossip

###

Fiona beranjak berdiri dari duduknya ketika melihat Frian keluar dari kamar mandi dan bergantian masuk ke dalam.

"Apa bik Inah sudah datang?" Tanya Frian. Mengusap usapkan handuk ke rambutnya sambil berjalan ke arah meja belajar Fiona.

"Ya." Fiona menunjuk ke arah nakas sebelum menutup pintu kamar mandi.

Frian mengangguk kecil. Melirik ke arah nakas sejenak sambil mengambil tas laptopnya yg ada di atas meja Fiona.

Braakkk....

Frian menunduk. Melihat sebagian isi dompet Fiona yg terjatuh dan berhamburan di lantai. Segera ia membungkukkan badannya dan mulai memunguti isinya.

"65 ribu?" Gumam Frian ketika membaca lembar penarikan dari mesin atm milik Fiona, sisa rekening wanita itu membuatnya geli, "Apakah kau begitu miskin?"

"Kau memang tak pernah pandai berbohong." Gumamnya lirih sekali lagi. Teringat tadi siang ketika ia menjemput Fiona dan berniat mengantarkan wanita itu untuk membeli buku. Tapi tiba tiba wanita itu membatalkan niatnya karna tiba tiba saja ia lelah dan ingin pulang.

Sehari setelah pernikahannya dan Fiona, ia memang  menyuruh asistennya untuk mengirim uang belanja ke rekening Fiona. Sepertinya istrinya itu menghabiskannya ketika berbelanja barang barang yg tidak jelas di malam ketika ia mabuk dan mendatangi rumah orang tuanya. Dan ia lupa untuk mengirimnya lagi. Karna rencananya ia memang akan mengurus beberapa tabungan dan kartu untuk wanita itu.

###

Fiona sedang membaca buku tebalnya di perpustakaan ketika ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan singkat masuk. Matanya melotot mendapati sms banking tersebut.

Bibirnya menggumam pelan menyebutkan jumlah uang yg masuk ke dalam rekeningnya. Jumlah terbesar yg pernah masuk ke dalam sana. Dan ia yakin itu dari Frian.

Terkadang ia merasa Frian selalu ada di saat ia membutuhkannya. Walaupun lebih banyak membuatnya kesal dan lelah oleh derita batin yg di berikan pria itu padanya. Hubungan mereka memang membaik akhir akhir ini. Tapi masih begitu canggung sekalipun Frian adalah suaminya.

Itulah yg membuatnya agak malu untuk meminta uang pada pria itu ketika menyadari uang belanja yg di berikan pria itu bulan kemarin habis dan tak bersisa. Apalagi ia membelanjakan uang itu dengan sia sia dalam satu hari. Uang yg biasanya ia bisa gunakan dalam beberapa bulan ke depan untuk memenuhi kebutuhannya.

Drrttt... drrrtttt...

Getaran di dalam genggaman tangannya membuatnya menunduk dan melihat panggilan masuk dari obyek lamunannya baru saja.

"Hallo?"

"Kau di mana?" Suara Frian dari seberang.

Kening Fiona berkerut, tapi ia tetap menjawabnya, "Perpustakaan."

"Apa kau ada kuliah siang?"

"Tidak."

"Sebelum pulang, bisakah kau ke kantorku sebentar?"

"Ee...? Kenapa?"

"Tadi aku sudah mengambil baju untuk makan malam besok. Ku pikir kau harus mencobanya dulu. Tapi aku tidak bisa keluar. Sebentar lagi ada meeting dadakan."

"Baju?" Fiona menggumam pelan dengan kening berkerut sekali lagi. Dan segera mengingat ucapan Frian tadi pagi tentang beberapa baju yg di pesan pria itu untuknya. "Baiklah. Nanti siang aku akan ke sana."

"Kau langsung saja ke ruanganku. Mungkin urusanku belum selesai."

"Ya."

"Ok. See you." Frian memutuskan panggilannya tepat ketika Fiona akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu.

'Terimakasih'

###

Fiona tertegun. Menatap gedung Sagara Group sejenak sebelum menghela nafasnya perlahan di depan tangga pintu masuk. Dengan langkah kaki yg sedikit canggung, ia menaiki beberapa anak tangga sebelum masuk ke pintu putar. Jelas saja ia merasa canggung dan aneh, terakhir kalinya ia datang ke kantor ini hanyalah sebagai sekretaris pemilik perusahaan. Dan setelah lebih dari dua bulan ia tidak menginjakkan kakinya di sini, tiba tiba dia harus datang kembali sebagai Nyonya Sagara. Jabatan baru yg membuatnya sangat tak nyaman dengan posisinya di hadapan wajah wajah yg sudah tak asing baginya. Belum lagi sapaan 'Nyonya' yg di lontarkan mereka membuatnya semakin merasa aneh. Sekali lagi ia hanya bisa menghela nafasnya dengan dalam dan berat. Mengabaikan keinginan hatinya yg akan menggerutu. Lagipula, semua ini akibat dari keputusan yg telah ia ambil. Tapi ia tak pernah memikirkan konsekuensi seperti ini. Semua orang menyapanya dengan penuh hormat.

Di depannya.

Karna entah kenapa ia merasa ganjil dengan senyum para pegawai wanita yg di lontarkan kepadanya. Dan perasaan ganjil itu segera terjawabkan ketika ia berjalan melewati mereka. Fiona langsung menyadari mereka saling berbisik bisik membicarakan sesuatu yg tidak bisa di jangkau oleh indera pendengarannya. Tapi ia hanya perlu mengabaikannya saja.

Sedikit lega saat ia memasuki lift hanya dirinya seorang yg ada di dalam sana. Membuatnya sedikit lega untuk menghindari orang orang. Dan hal itu tak berlangsung lama. Karna sekretaris Frian tidak berubah dan selalu bersikap menyebalkan seperti bosnya. Walaupun sekarang Frian sudah tak semenyebalkan dulu, paling tidak.

"Apa Frian ada?" Tanyanya pada wanita yg duduk di belakang meja.

Stella, si sekretaris berpaling dari layar komputernya ke arah Fiona yg berdiri di seberang mejanya. Sejenak ia menatap dingin pada Fiona sebelum memasang seringai kecilnya, tak bersusah payah memasang senyum sopan dan manis pada tamu bosnya. "Kau sudah datang."

Fiona hanya menatapnya datar. Ia sudah terbiasa dengan sikap merendahkan dan tatapan sinis Stella padanya. Bahkan lebih menyebalkan dari saat ini juga pernah dan tidak hanya sekali. Jadi ia hanya perlu mengabaikannya saja. "Apa Frian ada di dalam?"

"Aku merasa sedikit aneh dengan pesan bosku yg mengatakan 'Istriku..." Stella menggantung kalimatnya. Matanya mengamati Fiona dari atas sampai ke bawah sebelum melanjutkan kalimatnya lagi, "...akan datang. Jika aku masih meeting, suruh dia menungguku di dalam."

Fiona hanya terdiam. Masih menatap sekretaris itu dengan sikap dingin dan datarnya.

"Aku masih agak terkejut sampai kau benar benar datang sebagai... istri bosku." Stella tertawa hambar.

Fiona hanya mendengus. Memasang wajah kasihannya yg palsu, "Maaf kalau aku membuatmu terkejut. Tapi jujur saja, aku sama sekali tidak menyesal."

Stella hanya tertegun. Menatap punggung Fiona yg menjauh menuju pintu ruangan bosnya. Mencemooh dalam hati keangkuhan wanita itu. Tak pernah berubah. Dan sekalipun wanita itu sudah menjadi bosnya, ia tetap tak mau menjilatnya dan berpura pura menghormatinya. Sejak awal hubungannya dan Fiona tak pernah baik dan tidak akan membaik.

###

Fiona melirik jam tangannya. Sudah lima belas menit tapi Frian tak juga muncul di ruangannya. Ia meletakkan buku tebal yg di bacanya sembari menunggu Frian di atas meja. Beranjak dari duduknya untuk ke kamar mandi.

Ia membungkuk untuk mengambil tasnya ketika mendengar suara pintu terbuka. Membuatnya menoleh ke arah pintu dan mengira Frian yg datang. Tapi ternyata Stella yg muncul. Membawa nampan berisi 2 toples kecil camilan dan 2 gelas minuman. Satu berisi jus jeruk dan satunya air putih.

Fiona hanya mengabaikannya saja. Menegakkan punggungnya dan meletakkan tali tasnya di pundaknya.

"Aku hanya melakukan tugasku sebagai sekretaris." Kata Stella dingin sambil menunjukkan nampan yg di bawanya. Berjalan melewati Fiona dan meletakkan semua itu di samping buku Fiona.

Fiona hanya diam. Dia tak bertanya jadi dia juga tak membutuhkan jawaban. Dan hanya perlu membuang mukanya sebelum melangkah menuju pintu.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa kau begitu membenciku?"

Pertanyaan Stella membuat Fiona terdiam. Ia tak terpengaruh oleh kalimat yg di pertanyakan oleh Stella. Ia menghentikan langkahnya hanya karna wanita itu sepertinya sengaja ingin mengusiknya. Dan ia ingin memberi wanita itu peringatan sebagai balasannya. Sudah cukup masalah kehamilannya dan Frian yg membuatnya resah sepanjang hari. Ia tak butuh siapapun yg menginginkan perhatiannya.

"Apa kau begitu takut?" Gumam Stella penuh senyum kepuasan.

Fiona menoleh. Menatap Stella yg kini melangkah mendekatinya dengan seluruh sikap menyebalkannya yg penuh kelicikan.

"Apa kau begitu takut aku akan melakukan sesuatu selain tugasku? Seperti..." Stella menghentikan langkahnya tepat di hadapan Fiona. Seringainya semakin melebar ketika ia melanjutkannya, "... seperti yg kau lakukan."

Wajah Fiona berubah pucat, namun mengendalikan amarahnya dengan penuh ketenangan. Bibirnya menipis ketika mendesis, "Apa maksudmu?"

"Oopss... maaf." Stella menutup mulutnya dengan jemarinya. Cat kuku merahnya tampak mengkilat menutupi tawa menghinanya. "Sepertinya aku tidak perlu mengucapkannya. Bukankah kau cukup pintar untuk memikirkan sendiri apa yg ada di pikiranku mengenai caramu merayu bosmu untuk di jadikan menantunya."

Dengan susah payah, Fiona menahan dirinya untuk menampar mulut wanita itu. Namun ia tahu perbuatannya itu hanya akan menunjukkan bahwa ia tidak lebih baik dari pada Stella. Tak habis pikir kenapa Frian masih juga mempertahankan sekretaris macam ini.

"Kau tak perlu mengkhawatirkannya, Fiona. Aku tidak akan..."

"Bukankah kau juga cukup pintar untuk menebaknya, Stella?" Fiona memotong kalimat Stella. Salah satu sudut bibirnya terangkat menyeringai dengan angkuhnya. "Bahwa dengan kau masih bekerja di sini, itu menunjukkan kalau kekhawatiran yg kau bilang itu sama sekali tidak perlu. Karna jika aku punya kekhawatiran seperti itu, aku hanya perlu meminta pada suamiku untuk memecatmu."

Senyum di bibir Stella seketika langsung lenyap. Matanya melebar di antara wajahnya yg memerah padam, "Apa kau bilang?"

"Kalau suamiku sudah datang. Bisakah kau memberitahunya aku ke toilet sebentar." Fiona membalikkan badanya. Mengabaikan Stella yg masih terpaku dan melangkah menuju pintu.

Dan sebelum ia benar benar menghilang di balik pintu, ia berkata lagi, "Cobalah untuk menghormatiku. Karna sekarang aku adalah istri dari bosmu."

###

"Fiona?"

Fiona menghentikan niatnya untuk keluar dari bilik toilet ketika mendengar suara kasak kusuk menyebutkan namanya dan langkah kaki yg memasuki toilet.

"Ya. Apa kau melihatnya tadi?"

"Tentu saja. Apa kau juga melihatnya?"

"Bagaimana mungkin ia datang ke kantor ini tanpa rasa malu sedikitpun?"

"Kau benar."

"Benar benar tidak bisa di percaya. Hanya karna dia punya wajah dan tubuh yg cantik. Bukan berarti dia bisa merayu pria tampan dan kaya manapun yg dia mau. Apalagi calon tunangan adik tirinya."

"Apa kau bilang?" Suara lain itu terpekik kaget, "Calon tunangan adik tirinya?"

"Ya. Alra. Apa kau tahu? Anak pemilik NOSCA?"

"Alra Wardhana?"

"Ya. Dia calon tunangan Pak Frian. Juga adik tirinya Fiona."

"Jadi Fiona adalah anak tiri Toni Wardhana? Pemilik NOSCA Contruction?"

"Ya. Kasihan sekali dia. Acara pertunangannya batal dalam sekejab. Dan tiba tiba saja Pak Frian menikah dengan kakak tirinya. Menurutmu bagaimana hancurnya perasaan wanita itu?"

"Ya. Kau benar. Fiona memang licik. Bagaimana mungkin penerus perusahaan ini bisa begitu tergila gila dengan wanita semacam itu."

###

Sebelumnya, Fiona tak pernah peduli dengan gosip gosip yg beredar di kantor mengenai Papa Frian yg begitu menganak emaskan dirinya. Tapi entah kenapa semua yg di dengarnya tadi tiba tiba saja menohok dadanya. Membuatnya begitu sensitif dan sakit hati. Beruntungnya ia masih bisa menahan air matanya untuk tak terjatuh.

Sekalipun ia sudah menjadi seorang Sagara, semua orang masih juga tak berhenti merendahkannya di belakangnya. Dan lagi, ia merasa tak enak diri jika Frian di katakan gila oleh bawahannya. Bagaimana perasaan pria itu jika mendengar gosip yg beredar di kantornya sendiri? Seberapa banyak rasa malu yg akan pria itu tanggung karna dirinya?

"Apa yg kau lakukan di sana?" Tanya Frian yg sejak tadi mengamati wanita itu hanya bersandar di pintu sejak masuk ke dalam. Bahkan istrinya itu tak menyadari kalau dirinya sudah ada di dalam sana.

Fiona tersentak bangun dari lamunannya. Menoleh ke samping asal suara sambil menegakkan punggungnya. "Kau..."

"Kenapa dengan wajahmu?"

Fiona terdiam sejenak. Tampak salah tingkah karna ketahuan memikirkan pria itu. "Kau... hanya mengagetkanku."

Frian beranjak dari kursi kerjanya sambil memungut sesuatu di balik mejanya. "Stella bilang kau ke toilet. Bukankah ada toilet di ruangan ini?"

Fiona mendesah pelan sambil melangkah menuju sofa tempatnya duduk tadi. Merutuki kebodohannya. Kenapa tadi ia bersusah payah pergi ke toilet jika ada toilet pribadi Frian di ruangan ini? Seharusnya ia tak perlu mendengarkan gosip gosip itu tadi.

Hahh...

"Apa rapatnya sudah selesai?" Tanya Fiona basa basi.

Frian hanya mengangguk. Mengambil tempat duduk di samping wanita itu dan meletakkan tiga buah anting berwarna merah mengkilat di meja di sebelah nampan.

Fiona menatap anting itu sejenak. Lalu menoleh ke samping untuk melihat Frian yg meminum minumannya.

"Apa kau ingin minum?" Tanya Frian menunjukkan gelas jus jeruk yg hanya tersisa setengah.

Fiona menggeleng. Sekalipun dalam hati ia mencibir, bukankah minuman itu untuknya?

"Aku meminumnya karna tahu kau tidak menyukainya."

Ya. Jus jeruk memang salah satu dari sekian banyak jus yg ia tidak sukai. Dan Frian sangat tahu itu. Entah darimana pria itu tahu. Tak mau memikirkan itu, ia teringat sesuatu. "Oh ya. Apakah kau yg mengirimkan uang ke rekeningku?"

Tentu saja Frian yg mengirimnya. Siapa lagi.

Kenapa harus pertanyaan itu yg keluar dari mulutnya. Ratap Fiona dalam hati. Saat seharusnya ia mengatakan kata 'terima kasih'

Frian mengangguk sambil membungkuk untuk meletakkan gelasnya di meja.

"Kenapa kau mengirimnya lagi? Bukankah yg kemarin..."

"Sudah habis." Potong Frian.

Mata Fiona melebar. Salah tingkah ketika Frian tiba tiba mengetahui kebohongannya. Hanya saja, "Dari mana kau tahu?" Seketika itu juga Fiona menyesali pertanyaannya. Membuang wajahnya ke samping tak tahan dengan penyudutan Frian. "Maksud aku..."

Frian hanya tersenyun geli dengan sikap Fiona yg salah tingkah. Sebelumnya ia tak pernah melihat Fiona malu dan salah tingk
Tingkah seperti ini. Karna wanita itu selalu bersikap dingin, datar dan angkuh. "Kau memang tidak pernah pandai membohongiku."

Fiona hanya terdiam. Menggigit bibir dalamnya karna malu. Ia tak pernah bergantung pada siapapun. Dan sekarang masalah keuangan ia harus bergantung pada Frian. Membuatnya malu setelah mengingat semua sikap yg selalu di tunjukkannya pada Frian selama ini.

"Kalaupun aku tidak tahu, apa kau kira kau benar benar bisa hidup hanya dengan uang 65 rb yg tersisa di atmmu?" Dengus Frian.

"Dari mana kau tahu uangku hanya tersisa 65rb?" Fiona mendongak dan menoleh menatap Frian dengan kerutan di keningnya yg menekuk tajam.

"Dari nota penarikanmu kemarin." Jawab Frian ringan.

"Apa?" Mata Fiona melotot tak percaya dengan jawaban Frian. 'Dari nota penarikan kemarin?' Itu berarti, "Apa kau membongkar dompetku? Tanpa seijinku?"

"Kenapa?"

Fiona menghembuskan nafasnya keras. Tak bisa percaya dengan pertanyaan yg terlontar dari mulut Frian. Apa masih juga hal itu perlu di pertanyakan?

"Apa kau benar benar melakukan hal itu padaku?" Kata Fiona jengkel.

"Apa kau keberatan?"

"Ya. Tentu saja aku keberatan. Bukankah itu privasi buatku? Lagipula aku juga tidak pernah membongkar dompetmu sesukaku."

"Apa kau kesal karna tidak pernah membongkar dompetku?"

"Bukan itu maksudku."

"Kalau kau mau, kau bisa melakukannya sesukamu."

"Bukan itu yg membuatku kesal. Aku hanya tidak suka ada orang lain membongkar dompetku."

"Aku suamimu."

Fiona terdiam. Ya. Frian memang bukan orang lain. Pria ini suaminya, "Aku... aku hanya belum terbiasa sebebas ini dengan hubungan kita." Jawabnya lirih kemudian.

Frian terdiam. Mengamati rasa bersalah yg terpampang bercampur kekesalan yg masih tersisa di wajah Fiona. "Aku tidak sengaja melakukan itu."

"Bagaimana mungkin kau tidak sengaja membongkar dompetku? Apa kau hanya membuat alasan?" Gumam Fiona lirih sambil membuang mukanya.

Frian berdecak kecil, "Aku menjatuhkannya ketika mengambil laptopku di mejamu. Isinya berhamburan di lantai karna sepertinya kau tidak menutupnya dengan benar."

Fiona hanya terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Kemarin ia memang terburu buru memasukkannya ke dalam tas. Dan mengeluarkannya di mejanya ketika membongkar tasnya untuk mencari ponselnya.

"Lagipula..." Frian menggantung kalimatnya, "...kenapa kau begitu kesal aku membuka dompetmu? Apa ada yg kau sembunyikan dariku?"

"Bukan begitu." Jawab Fiona lirih, "Aku hanya merasa itu satu satunya privasi yg kumiliki."

"Sudahlah. Lupakan." Frian menunjuk tas yg ada di meja, "Lebih baik kau mencobanya. Aku ingin melihat mana yg lebih baik untuk acara makan malam besok." Pintah Frian mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak mau membahas sesuatu yg membuat dadanya kembali terasa sesak seperti saat tadi malam ia menemukan foto Brian yg masih tersimpan di dompet istrinya.

Sialan...

Apa Fiona masih juga memandangi foto Brian di dalam dompetnya secara diam diam?

"Sebenarnya kita mau makan malam dengan siapa?"

"Dengan klien VVIP. Sekaligus teman dekat Papa. Jadi Papa minta kita yg mewakilinya."

"Tidak bisakah aku tidak ikut? Aku tidak mau gosip yg beredar di kantor membuat klienmu..."

"Apa kau sudah mendengarnya?" Frian memotong kalimat Fiona. "Di toilet?"

Fiona tak menjawab. Mengalihkan pandanganya menatap tas merah mengkilat yg ada di meja untuk menghindari interogasi Frian. Lagipula, pria itu juga sudah terbiasa dengan gosip tentang dirinya. Tapi tidak mengenai dirinya sendiri.

"Kalau kau sudah mendengarnya, bukankah yg paling tau kebenarannya adalah dirimu sendiri? Kenapa kau perlu memikirkan hal yg tidak perlu di pikirkan seperti itu?"

Fiona tertegun. Ya. Pernikahannya dan Frian karna mereka sama sama saling menginginkan pernikahan ini. Frian yg memintanya untuk menikah dengannya. Dan ia yg berlari pada Frian. Ia tidak merebut Frian dari Alra. Bahkan pria itu sama sekali tak tertarik dengan pertunangannya dengan Alra.

"Lagipula, sejak kapan kau begitu peduli dengan gosip gosip beredar?" Tanya Frian lagi.

Fiona masih terdiam. Ya. Sejak kapan ia peduli dengan gosip gosip itu. Frian juga bukan tipe orang yg peduli dengan rumor tak jelas seperti itu. Jika pria itu terlalu peduli, mungkin tidak ada lagi karyawan wanita yg bekerja di perusahaan ini. Sepertinya pria itu menanggapi rumor rumor tersebut lebih baik dari yg di perkirakannya.

"Lebih baik kau cepat mencoba bajunya. Aku ingin melihatnya?"

Fiona menoleh ke arah anting yg kini sudah ada di pangkuannya. "Apa aku harus mencobanya di sini? Sekarang?"

"Kenapa?"

"Tapikan ini ruang kerjamu?"

"Kenapa? Apa kau malu? Kau tahu aku sudah pernah melihat tubuhmu telan..."

"Tetap saja itu hal yg berbeda." Potong Fiona tak ingin mendengar kelanjutan kalimat Frian yg membuat wajahnya memanas karena malu.

Frian mengamati wajah Fiona yg memerah menahan malu. Menahan senyum gelinya. Wanita ini selalu saja mampu membuatnya tak bisa berhenti menikmati kecantikannya. Gugup, malu, dan salah tingkah bukanlah salah satu sikap yg pernah di miliki seorang Fiona. Dan ternyata wanita itu memilikinya. "Baiklah, kau bisa mencobanya di rumah. Tanya Finar mana yg paling baik."

"Apa aku tidak boleh memilihnya sendiri?"

"Terserah kau saja. Toh semuanya bagiku tampak bagus." Jawab Frian.

Ya. Apapun yg di kenakan Fiona selalu bagus di tubuh wanita itu. Karna wajah dan bentuk tubuh istrinya itu lebih dari cukup untuk hanya sekedar di bilang cantik dan seksi.

###

Part ini agak ringan.

Ga terlalu menguras emosi. Tapi pasti banyak yg bilang kenapa Fiona kok ga bilang bilang ke Frian mengenai kehamilannya???

Sabar ya...

Belum waktunya.

Jangan lupa vote sama commentnya.

Thursday, 2 March 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro