37. Promise Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Love you to death...

###

Part 37

Promise Me

###

"Sementara ini, kami akan tinggal di apertemen." Frian membungkuk, mengangkat cangkir tehnya dan menyesapnya pelan. Keduanya berada di ruang kerja Frian setelah makan malam karena Frian meminta untuk berbicara sebentar dengan kakak tertuanya. Ia tahu mamanya pasti belum kembali setelah ia meninggalkan rumah ini. Jadi lebih baik ia memberitahu yang paling tertua di rumah ini untuk menjelaskan kepada yang lainnya.

"Apa?!" Farsa mendongak, matanya membelalak sambil meletakkan kembali cangkir teh miliknya karena informasi yang dituturkan adiknya itu. "Kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan kepergian mama?"

"Sejak awal hubungan mama dan Fiona memburuk. Dan sampai sekarang juga masih belum membaik." Hanya itu yang bisa dikatakan pada pada kakaknya untuk mengemukakan alasannya. Tidak mungkin ia menceritakan awal mula pernikahannya dengan Fiona. Dan tidak mungkin pula ia mengatakan tentang alasan mamanya yang belum bisa menerima Fiona hingga saat ini.

"Tapi kau tidak mungkin meninggalkan rumah ini sebelum mama kembali." sangkal Farsa. Tiba-tiba kehilangan minatnya untuk menyesap teh hangatnya di cuaca yang dingin ini. "Bagaimana kalau nanti mama kembali dan kau malah tidak ada di rumah?"

"Kemarin pagi Frian sudah berbicara dengan mama."

"Benarkah?" sekali lagi Farsa terlonjak mendengar pemberitahuan Frian. "Bagaimana keadaannya? Apakah mama baik-baik saja?"

Frian mengangguk, sejenak melirik cangkir tehnya yang sudah tinggal setengah isinya. "Mama baik-baik saja dan beberapa hari sebelum papa pulang mama akan kembali."

Farsa menghela nafas lega, "Untunglah. Akhirnya kita bisa bernafas lega."  

Frian hanya tersenyum kecil.  Senyum muram yang menyedihkan ketika mengingat pembicaraannya dengan mamanya kemarin.

"Apakah mama menyetujui keputusanmu untuk pindah?"

"Paling tidak mama mengetahui alasan Frian untuk pindah."

"Apakah tidak ada pilihan lain?" desak Farsa, "Kau tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara menghindarinya seperti ini."

Frian diam sesaat. Mengatur nafasnya. Sebelum kemudian mengangguk dengan mendesah ringan.

Farsa hanya diam tidak mengiyakan maupun membantah keputusan yang telah diambil adiknya itu. Ia tahu tak akan bisa merubah keputusan bulat dengan raut wajah penuh keyakinan yang tak akan goyah itu. Bahkan mamanya tak bisa merubah keputusan Frian.

Frian meletakkan cangkir tehnya, dan seperti kakaknya itu harus tehu tentang kabar gembiranya. "Fiona hamil!"

"Apa?!" sekali lagi berita dari Frian mengejutkan Farsa. Namun kali ini ada sinar kecerahan yang otomatis menghiasi wajahnya dan segurat senyum yang muncul di sudut bibirnya. "Hamil?" tanyanya lagi memastikan. Masih tak percaya dengan keponakan barunya yang lain. Sejujurnya ia memang tipe wanita yang sedikit kaku dan dingin pada siapa saja. Tapi jika menyangkut anak kecil, entah kenapa mampu meluluhkan hatinya. Mungkin karena vonis dokter kalau dia tidak akan bisa memberi adik untuk Fio.

Dan ia tak mungkin iri terhadap kebahagiaan saudaranya sendiri, bukan. Jika perasaan iri itu ada, tentu sudah amat sangat jauh terlambat. Dia anak pertama, tapi semua limpahan kasih sayang mama mereka selalu ditujukan pada Frian. Semua sudah terbiasa dengan hal itu, mungkin karena mereka terlahir sebagai wanita yang tak bisa meneruskan kerajaan bisnis orang tua mereka. Tapi, kasih sayang yang orang tua mereka berikan juga tak bisa dibilang kurang. Bahkan sampai mereka sudah menikah, mamanya itu tak membiarkan satu anaknyapun yang meninggalkan rumah ini. Karena tak ingin kehilangan satupun anak mereka. Jika mamanya membiarkan satu saja anaknya di bawa suaminya, mamanya takut hanya Frian yang akan tinggal di rumah ini.

Dan sekarang yang terjadi malah anak kesayangan mamanya yang harus pergi meninggalkan rumah ini.

Frian mengangguk. Mendesah berat teringat akan semua yang dialami Fiona karena kehamilannya.

Kening Farsa berkerut, merasa aneh dengan sikap Frian. Bukankah ini kabar gembira, tapi kenapa wajah Frian malah tampak datar. Dan muram?

"Seharusnya ini menjadi kabar gembira untukmu. Tapi kenapa wajahmu seperti itu? Apa ada masalah?" tanya Farsa dengan nada kekhawatiran yang terselip di antara suara dan kalimatnya.

Frian hanya diam. Menatap wajah kakaknya dan tak tahu harus menjawab apa.

"Apa mama tahu tentang kabar ini?"

"Ya." jawab Frian singkat.

"Apa ini juga ada hubungannya dengan kepergian mama?" Farsa melupakan fakta satu itu. Dan tahu betul bahwa kabar kehamilan itu tentunya tidak akan menjadi kabar gembira untuk mamanya. Bahkan mamanya meminta pil kontrasepsi agar Fiona tidak hamil dulu sebelum hubungan mereka membaik. Tapi, kalau sudah seperti ini, tidak mungkin bukan mereka akan menolak kehadiran anggota baru dalam keluarga ini.

Frian sekali lagi hanya bisa membungkam dengan pertanyaan kakaknya.Ia tidak akan membantah, tapi juga tidak akan membenarkan mengingat mamanya yang cukup terpengaruh dengan kabar ini."Kandungan Fiona lemah. Hubungan mama dan Fiona yang seperti itu, sedikit banyak hal itu membuat Fiona  merasa tertekan. Frian takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."

Farsa terdiam, mencerna kata-kata Frian. Tak perlu dijelaskan dengan mendetail bagaimana hubungan mamanya dan adik iparnya tersebut. Keduanya sama-sama dingin dan kaku. Tak mau saling membuka pintu di dadanya untuk satu sama lainnya. Jadi, ia berpikir keputusan Frian adalah satu-satunya jalan yang terbaik untuk sementara memisahkan mereka berdua.

"Belum lagi urusan kuliah yang menyita banyak tenaga dan pikirannya. Setidaknya dengan pindah ke aparteman, semoga hal itu sedikit mengurangi bebannya." tambah Frian.

"Ya." Farsa menghembuskan nafasnya keras. Membenarkan kalimat Frian. "Mungkin kau ada benarnya." lalu terdiam, tak tahu harus mengucapkan apa lagi pada adiknya tersebut. Ia hanya bisa mendukung keputusan Frian. Bagaimanapun, mamanya terkadang memang terlalu egois. Kenyataan Frian adalah anak yang paling disayang oleh mamanya. Yang berarti akan membuat Frian paling tertekan dibanding anak-anaknya yang lain.

"Kakak harap tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pada kalian berdua. Dan... kakak ucapkan selamat untuk kalian berdua. Karena ini adalah kabar gembira."

Frian tersenyum membalas ucapan selamat dari kakaknya. Dan mengangguk kecil. Sedikit membuat perasaannya membaik dan lebih bahagia. Ini ucapan selamat pertama kalinya yang ia dengar. Ternyata seperti ini rasanya ketika orang lain ikut merasakan kebahagiaannya.

***

Fiona baru saja memasuki pintu gerbang kediaman Sagara, keningnya  mengerut heran saat melihat mobil Frian yang terparkir di halaman depan pintu utama. Dan tidak di carport keluarga mereka.

Apa Frian di rumah?

Bukankah ini masih jam kerja?

Jam makan siang juga sudah lewat, batin Fiona dalam hati sambil masih melanjutkan langkahnya. Sejenak berhenti ketika melewati mobil yang sepertinya terparkir sembarangan karena pintu mobilnya yang masih terbuka sedikit.

Segera ia melangkahkan kakinya lagi untuk masuk kedalam rumah. Sebuah senyum yang tanpa disadarinnya tercetak jelas di wajahnya. Menemaninya sampai langkah kakinya berhenti ketika ia baru saja menginjak lantai dua dan melihat Bik Inah yang menutup pintu kamarnya.

Dan senyum itu seketika hilang ketika melihat nampan yang dibawa Bik Inah digantikan tatapan penuh kekawatiran. Matanya membelalak dan otomatis menghampiri Bik Inah untuk melihat lebih jelas apa yang ada di dalam nampan tersebut. Sebuah kotak P3K dan beberapa kapas yang sudah kotor oleh noda darah. 'Tapi darah siapa itu?'

"Non Fiona sudah pulang?" tanyak Bik Inah dengan senyum yang dipaksakan terlihat sebagus mungkin.

"Apa ini Bik?" Fiona menunduk, mengabaikan pertanyaan Bik Inah yang basa-basi itu.

"Dan darah siapa ini, Bik?" nada panik itu tak bisa ditahannya. Hampir tercekik.

Sejenak Bik Inah tampak meragu untuk menjawab pertanyaan dari Fiona. Ia sudah tahu kalau majikannya tersebut sudah tahu bahwa darah ini milik suaminya. Membuatnya kesulitan membayangkan reaksi yang semakin membuat wanita itu panik ketika ia harus membenarkan prasangkanya. Tak baik memberikan kabar burukk untuk wanita yang sedang hamil. Takut juga kejadian Fabriana terulang ketika mendengar kabar mamanya yang tiba-tiba pergi dari rumah. "Ehmm...anu, Non. Den Frian ta..."

Belum sempat Bik Inah melanjutkan kalimatnya, segera Fiona melangkah melewati Bik Inah dan memasuki kamarnya. Dan ia terpaku melihat Frian yang duduk di sofa memunggunginya. Kepalanya bersandar di punggung sofa dan tangan kanannya memegang kompres di bibir sebelah kanan.

Fiona melangkah semakin dekat, dan semakin jelas lebam yang menghiasi pinggir mata kiri pria itu, "Kau kenapa?"

Frian menoleh, meringis ketika nyeri itu kembali menyengat karena gerakannya. "Kau sudah pulang?"

Fiona meletakkan tasnya di sofa dan duduk di sisi Frian. Tampak ngeri dengan luka dan lebam yang hampir membiru di wajah suaminya itu.

Apakah suaminya itu habis berkelahi?

Ia tahu Frian adalah pribadi yang dingin, dan tak pernah mempedulikan perasaan orang lain. Tapi ia tahu Frian tak suka dengan tidak kekerasan sekecil apapun. Alih-alih menggunakan ototnya untuk melawan musuhnya, pria itu lebih memilih menggunakan otaknya. Atau menguras emosi musuhnya.

"Bukankah kau bilang ada kuliah sore?" tanya Frian hanya menggumam. Bibirnya masih terasa nyeri ketika berbicara. Tapi ia tak bisa menampakkan kesakitan itu pada Fiona. Tak mau membuat kekhawatiran untuk wanita itu. Ia bahkan berniat untuk tak kembali ke rumah dan mengabari Fiona lewat ponsel karena harus mengurusi pekerjaannya. Agar Fiona tak melihat keadaannya yang kacau seperti ini karena pria sialan itu.

"Dosennya tiba-tiba ada urusan mendadak." jawab Fiona sekenanya saja. "Dan apakah itu penting sekarang?"

Frian hanya mengalihkan wajahnya ke depan. Membenarkan letak kompres di bibirnya sedikit ke atas. Rasa sakitnya sudah berkurang. Sedikit.

Hahh... pria itu cukup ahli juga merusak wajah tampannya.

"Siapa yang melakukan ini?" tanya Fiona, melongokkan wajahnya melihat lagi wajah Frian.

"Hanya seseorang." Frian mengedikkan bahunya sekali, "Aku mengambil miliknya dan sepertinya ia belum rela kehilangan dan meluapkan amarahnya padaku."

"Apakah kau berbisnis dengan mafia?" suara Fiona menaik, mengangkat tangannya dan menggantikan Frian memegang kompres tersebut, "Kenapa harus main tangan seperti ini?" gerutunya.

Frian diam. Gelenyar aneh itu kembali merayapi dadanya melihat kekhawatiran di mata Fiona. Istrinya itu peduli padanya. Dan itu seperti obat penghilang rasa sakit untuk lukanya.

"Apa kau tersenyum?" dengus Fiona menangkap sekilas senyum di sudut bibir Frian. "Apa kau masih bisa tersenyum dengan wajahmu yang seperti ini?"

"Setidaknya luka ini cukup setimpal dengan apa yang dilepaskan." gumam Frian pelan.

"Apakah sebegitu berharganya proyek itu dibanding wajahmu yang hancur begini?"

Frian mengangguk, "Ya. Sangat setimpal."

Sekali lagi Fiona mendengus.

"Sesekali pria harus mempunyai tanda." lanjut Frian, "Toh wajahku masih tetap tampan."

Fiona menekan sedikit kompres yang dipegangnya, sengaja membuat Frian merintih, "Apakah kau masih merasa cukup tampan sekarang?"

Frian hanya nyengir kecil. Tangannya terangkat mengambil kompres itu dari tangan Fiona.

"Kenapa?" tiba-tiba wajah Fiona dipenuhi perasaan bersalah, "Apakah aku menekannya terlalu keras?"

Frian menegakkan punggungnya dan meletakkan kompres itu di atas meja. Kepalanya menggeleng sebelum menarik tubuh Fiona semakin mendekat.

"Apa... apa yang kau lakukan?" gugup Fiona. Jantungnya tiba-tiba berdetak dengan irama yang lebih kencang ketika Frian bukan hanya sekedar menarik tubuhnya mendekat. Melainkan mendaratkan pantatnya di atas pangkuan pria itu.

"Mendapatkan perawatanku." jawab Frian. Menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Fiona.

"Tapi lukamu?"

"Membaik." Hidung Frian menghirup aroma Fiona di sana. Ya, lukanya tiba-tiba membaik. Obat paling ampuh yang dimilikinya.

"Jangan bercanda, Frian." Fiona mendorong bahu Frian menjauh. Tak cukup keras karena takut menyakiti pria itu. Bahkan pria itu terluka dan dia malah berpangku di sana. Jika wajahnya saja lukanya separah ini, tak menutup kemungkinan tubuh Frian yang lain juga ada lebam-lebamnya juga, kan.

Frian semakin mengetatkan pelukannya. Memejamkan matanya menikmati perasaan hangat yang selalu memenuhi hatinya ketika ia memeluk Fiona.

"Frian?" panggil Fiona ketika pria itu sama sekali tak menggubris kata-katanya.

"Biarkan seperti ini sebentar saja." gumam Frian pelan, "Aku ingin beristirahat."

Fiona memutar matanya, bukan istirahat yang akan didapatkan pria itu jika seperti ini. Yang ada tubuh Frian yang akan semakin sakit karena dirinya. "Kalau begitu, bisakah kau hanya memelukku saja?" tawarnya. Menghembuskan nafasnya berat mengusir detak yang semakin tak tertahankan menyerbunya. Perasaan itu datang lagi, perasaan yang selalu menyergapnya ketika Frian memeluknya dan membutuhkannya.

"Tidak." dan jawaban itu membungkam mulut Fiona.

Lama keduanya terdiam. Memejamkan mata dan saling mengeratkan pelukan. Menikmati momen kebersamaan mereka ini. Segala macam kecamuk yang memenuhi kepala mereka tiba-tiba lenyap entah kemana. Dan sekarang bukan saatnya untuk mencari tahunya.

"Fiona?" suara Frian memecah keheningan mereka. Tapi pelukan itu masih mengetat dan tak berubah sedikitpun.

Fiona membuka matanya, lalu bergumam menjawab, "Ya?"

"Maukah kau berjanji padaku?"

Fiona terdiam. Melirik cincin nikahnya yang tersemat di jari manisnya. Teringat janji pernikahan yang telah mereka buat beberapa bulan yang lalu.

"Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku." lanjut Frian. Nadanya meminta dan penuh permohonan. "Apapun yang terjadi."

Fiona masih membungkam. Memikirkan setiap momen di pernikahan mereka. Ya, walaupun semua berawal dengan kesepakatan gila mereka. Dendam mereka. Dan kemudian baru diketahuinya semua ini karena dendamnya sendiri dan perasaan Frian padanya yang selama ini pria itu pendam. Yang mengejutkannya.  Sangat.

Tapi ia tak pernah menyesali keputusannya. Sekalipun dendam itu tak cukup memuaskannya. Karena jika ia dan Frian tak terjebak dengan kesepakatan gila mereka, bukankah mereka berdua tidak akan saling berpelukan seperti ini? di kamar mereka, sebagai suami dan istri.

Dan dengan anak yang sedang bertumbuh di perutnya saat ini.

Ia tak pernah menyesali keputusannya itu. Tidak akan pernah dengan semua harapan yang dimilikinya saat ini. Harapan akan kehidupan bahagianya dengan Frian dan anak mereka nantinya.

"Aku mohon padamu." gumam Frian lagi. Menarik kebungkama Fiona, "Berjanjilah kalian tidak akan meninggalkanku."

Sejenak mulut Fiona masih terkatup rapat, namun, tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan rumahnya. Tidak ada alasan untuk meninggalkan rumah yang sudah ia temukan. Frian dan anaknya. "Ya, Frian. Aku tidak akan meninggalkanmu."

Kelegaan itu memenuhi dadanya yang terasa terhimpit. Menghilangkan sesak dan ketakutan yang menghimpitnya tanpa ampun, "Apapun yang terjadi, jangan meninggalkanku." desaknya lagi.

Fiona mengangguk.

Frianlah rumahnya. Bukankah apapun yang terjadi, seseorang selalu kembali ke rumahnya.

###

Boleh juga kasih comment tentang keseluruhan part ini. Soalnya, tahu sendiri kalau author ga terlalu pintar bikin adegan romantis.

Biar ga semua comment author balas, tapi author baca semua kok.

Semoga ini juga cukup memuaskan buat para readers.

Kurang beberapa part lagi end ya.

Vote dan commentnya yang memuaskan ya. Biar next partnya semakin cepat dipostingnya.

Thursday, 20 April 2017




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro