5. Really Love You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Love you to death...

###

Part 5

Really Love You

###

Jam di dinding menunjukkan tengah malam lewat 45 menit  ketika Frian memasuki pintu utama kediaman keluarga Sagara. Dengan wajah kusut dan jas yang sudah tersampir di bahu, ia melangkah melewati ruang tamu menuju ruang tengah.

Tepat ketika kaki kiri Frian menginjak anak tangga pertama menaiki tangga spiral menuju kamarnya di lantai dua, tiba-tiba Fania Sagara keluar dari pintu kamar yang hanya berjarak beberapa meter dari tangga.

"Darimana saja kau?" tanya Fania sambil berjalan mendekati Frian dengan pandangan dingin dan penuh selidik.

Frian hanya menatap sekilas wajah mamanya, lalu berjalan menaiki tangga tanpa menjawab pertanyaan Fania. Wajahnya yang letih cukup memberikan jawaban pada mamanya bahwa ia sangat lelah dan tak butuh pembicaraan lebih.

"Mama belum selesai bicara." Fania menatap marah karena sikap acuh Frian.

"Frian lelah," jawab Frian ringan tanpa membalikkan badan dan masih menaiki satu persatu anak tangga.

"Berhenti!" pintah Fania dengan nada yang mulai meninggi.

Frian berhenti. matanya terpejam sejenak sebelum membalikkan badan menghadap Fania. Ia tahu mamanya tidak akan berhenti mengejar untuk membicarakan kekacauan yang ia lakukan tadi sore. Dan ia sangat yakin mamanya belum merebahkan badan di atas kasur karena menunggu kepulangannya.

"Apa kau tahu, kau telah mempermalukan mama?" tanya Fania dengan tenang setelah emosi yang sedikit menggugahnya baru saja. Ya, Fania memang paling pintar dalam hal pengendalian diri yang menurun pada Frian, satu satunya putra yang sangat ia sayangi melebihi ketiga putrinya. Bahkan wajah tampan dan sikap dingin membeku yang dimiliki Frian juga menurun darinya.

"Frian tidak bilang akan datang."Jawaban Frian datar dan setenang mungkin. Berbalik dengan suasana hati dan pikiran yang masih berkecamuk memikirkan Fiona.

Fania mengacuhkan jawaban Frian. "Tapi kau pasti datang di pesta peringatan perusahaan kita, bukan?"

Frian mengerutkan kening tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan Fania. Tentu saja ia pasti akan datang di pesta itu karena dirinyalah yang akan memberikan sambutan di pesta itu setelah sambutan dari papanya. Dan mamanya juga pasti dengan sangat baik mengetahui jawaban dari pertanyaan yang baru saja meluncur dari mulutnya.

Lalu, yang membuatnya terheran adalah kenapa mamanya masih mempertanyakan hal itu?

"Di pesta itu kau akan bertunangan dengan Alra," jelas Fania.

Bertepatan saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruang tengah. Fania berbalik dan melihat Arya, suaminya dan Revan menantunya yang kelihatan kusut sehabis perjalanan dari luar kota. Fania segera mendekati Arya dan mengambil tas serta jas yang di pegang suaminya.

"Kau sudah datang?" tanya Fania lembut. Kemarahannya lenyap begitu saja.

"Apa maksud Mama?" Frian turun dari tangga dan berjalan mendekati Fania dengan wajah yang tidak menunjukkan ketenangan lagi dan menuntut penjelasan dari mamanya dengan keras kepala.

"Kau mendengarnya dengan sangat baik." Fania mengabaikan perubahan ekspresi Frian.

"Apa maksud Mama menentukan acara pertunangan tanpa persetujuan dari Frian?" Suara Frian terdengar sedikit tinggi dan tertahan.

"Kenapa kau terkejut?Kau tahu pertemuan tadi sore memang untuk membahas acara pertunangan kalian, bukan?"

"Seharusnya Mama tahu maksud Frian tidak datang di pertemuan itu, karna pertunangan itu tidak akan pernah terjadi." Rahang Frian mengeras dengan sikap acuh Fania. Penolakan yang ditunjukkan Frian secara halus dengan tidak menghadiri pertemuan tadi sore, ia sangat yakin Fania Sagara menangkap maksud kekacauan yang ia buat.

"Apa?" Fania menatap Frian dengan wajah yang tampak mulai menggelap. "Tidak akan pernah terjadi?"

"Frian?" Panggil Arya berusaha mencairkan suasana mencekam yang tiba-tiba tercipta di antara anak dan istrinya.

"Frian sudah mengatakan sebelumnya pada mama kalau hubungan Frian dengan Alra hanya sebatas kencan buta yang Mama atur. Tidak lebih!"

"Apa kau sudah gila menganggap hubungan kalian hanya sebatas itu? Kau tahu Alra sangat menyukaimu, bukan?"

"Dan Frian sama sekali tidak tertarik dengannya."

"Apa itu alasanmu menolak pertunangan ini?"

Frian diam.

"Kau adalah penerus Sagara Group. Dan pernikahanmu adalah pernikahan bisnis, jadi kau tidak punya alasan untuk menolak pertunangan ini."

"Tidak!!" Tegas Frian. "Ini semua bukan urusan bisnis, tapi kemauan Mama yang Mama paksakan pada Frian."

"Lalu? Apa itu alasanmu menolak pertunangan ini?"

"Mama tahu dengan sangat jelas kenapa Frian menolak pertunangan ini." Frian menatap tajam mata Fania. Ya, ia tahu kalau mamanya mengetahui perasaannya pada Fiona. Itulah sebabnya kali ini mamanya bersikeras dengan perjodohannya dengan Alra.

"Kau adalah anakku. Kau tidak berhak menolak keinginan atau pun pilihan yang telah mama tentukan untukmu." Fania tidak bisa lagi mengontrol emosinya saat mendengar ucapan Frian yang secara terang-terangan menolak pertunangan itu. Ia tidak mempedulikan usapan lembut suaminya di punggung yang dimaksudkan untuk  menenangkan. Bahkan ia menyerahkan kembali tas dan jas pada Arya sebelum melangkah mendekati Frian.

"Kenapa Frian masih tidak punya hak atas diri Frian sendiri?"

"Karena kau tidak bisa mendapatkan pilihan yang terbaik untuk dirimu sendiri."

"Yang terbaik bagi Mama belum tentu yang terbaik bagi Frian." Frian diam sejenak, tatpannya melembut, lebih banyak melemah. "Frian tidak bisa hidup hanya dengan selalu menuruti hal-hal yang Mama katakan dan inginkan. Apakah Mama belum puas selama ini selalu memenuhi jalan hidup Frian? Setidaknya untuk masalah pernikahan biarkan Frian yang menentukan sendiri. Frian sudah dua puluh sembilan tahun. Tidak bisakah sekali ini saja Mama membiarkan menentukan pilihan untuk diri Frian sendiri."

Fania diam. Mengembuskan napas perlahan, mencoba mengontrol emosi.

"Baiklah," Nada Fania mulai sedikit melunak. "Tapi setidaknya gadis itu harus berpendidikan, dari keluarga terpandang, terhormat, dan sederajat dari kita. Tidak cukup jika hanya mengandalkan kecantikan dan ... "

"Mama!!!!" teriak Frian dengan luapan emosi. Menatap manik Fania dengan tajam dan penuh ancaman.

"Kenapa? Apa kau masih tidak bisa dengan syarat yang mama berikan padamu?" Fania mengangguk-anggukkan kepala pelan dan memberikan tatapan mencemooh sambil berdecak. "Ya, itu sudah pasti karena pilihanmu sangat terlalu buruk. Kau masih belum bisa membedakan apa yang salah dan benar. Kau masih tidak sadar siapa dirimu dan dia. Apa kau tidak punya harga diri sampai menyukai gadis rendahan se ..."

"MAMA!!"

"JANGAN BERTERIAK PADA MAMA!!" balas Fania lebih keras.

Frian terkejut. Namun tak bereaksi apa-apa.

"Sekarang, begitukah caramu berbicara dengan mama?" Fania mendesis dengan mata yang tampak mulai menggelap dipenuhi badai.

"APA YAnG TELAH GADIS ITU LAKUKAN PADAMU SAMPAI MEMENGARUHIMU SEPERTI INI? DAN APA HEBATNYA GADIS ITU SAMPAI DEMI DIA KAU BERANI MEMBENTAK MAMA? APA KAU LEBIH MEMILIH GADIS ITU DI BANDINGKAN MAMA? KAU SUNGGUH DIBUTAKAN OLEH FIONA!!!" Teriakan Fania kali ini benar-benar telah kehilangan kontrol dirinya. Napasnya terengah-engah karena baru saja meneriakkan kata-kata penuh emosi yang meluap-luap.

"Fiona?" Arya mengulangi kata terakhir yang keluar dari mulut istrinya, lalu menatap Fania dan Frian secara bergantian dengan tatapan tidak mengerti dan meminta penjelasan.

"Benar," jawab Fania ketus. "Sekretarismu itu. Sekarang kau sudah tahu gadis itu bukan gadis baik-baik seperti dugaanmu, bukan? Dia merayu anakmu hanya untuk ..."

"MAMA!!!" Sekali lagi Frian berteriak pada mamanya. Ia benar-benar tidak tahan mendengar segala caci maki yang dilontarkan oleh Fania tentang Fiona.

Arya terdiam, tak menduga sekaligus syok mendengar penjelasan istrinya. Sedangkan Revan yang sejak tadi hanya jadi penonton bingung harus melakukan atau pun mengatakan apa karena sama sekali tidak tahu menahu tentang masalah perdebatan ibu mertua dan adik iparnya tersebut.

"Kau lihat anakmu sekarang?" Fania menatap Arya bermaksud meminta bantuan.

"APAKAH TIDAK CUKUP BAGI MAMA MENENTUKAN SEKOLAH, TEMAN, JURUSAN, KULIAH, PERUSAHAAN, DAN SEMUA HAL UNTUK FRIAN SELAMA INI? APAKAH ALASAN MAMA TIDAK MENYUKAINYA KARENA LATAR BELAKANG YANG DIA MILIKI? SAAT INI, DIA JUGA BAGIAN DARI NOSCA JIKA MAMA SUDAH MELUPAKANNYA."

"KAU TAHU BENAR BEDA ANTARA DIA DAN ALRA."

"BAGI FRIAN BEDANYA HANYALAH KARENA FRIAN MENCINTAINYA DAN MENGINGINKANNYA ..."

PLAAKKK ....

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Frian dan memaksa mulut pria itu membungkam seketika. Fania benar-benar tak tahan mendengar jawaban putranya. Gerahamnya menggeretak, matanya melotot marah dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuh. Kemudian tangan kanannya terangkat dan menunjuk tepat ke wajah Frian yang kini sudah kembali terangkat. Tampak warna merah menghiasi pipi kiri Frian. "KAU BERANI MENGATAKAN HAL MENJIJIKKAN ITU DI HADAPAN MAMA?"

"HENTIKAN!!" Teriak Arya melerai pertengkaran anak dan istrinya yang sudah semakin memuncak. Dia pun menarik tangan Fania bermaksud mengajaknya menuju kamar untuk melerai perkelahian ini, akan tetapi Fania bersikeras tetap di tempat.

"Frian, ayo kita naik dulu," ajak Revan menarik tangan Frian setelah mendapat perintah yang tak terucapkan melalui tatapan papa mertuanya. Tetapi Frian juga sama sekali tidak merubah posisi di hadapan Fania .

Dengan tatapan nanar dan penuh keputus asaan Frian menatap Fania, ini adalah tamparan pertama yang ia dapatkan dari wanita yang telah melahirkannya itu. Terasa sangat menyakitkan, tapi setidaknya rasa sakit ini tidak sesakit dengan rasa sakit yang akan ia dapatkan jika ia membiarkan wanita yang dicintainya dimiliki oleh orang lain.

'Aku benar-benar tidak bisa lagi membiarkan wanita itu lepas dariku sekali lagi karena mama. Setidaknya aku benar-benar mencintainya saat ini' batin Frian dalam hati seperti bius yang membuatnya melupakan rasa perih di pipi dan hatinya. "Apakah tamparan ini cukup untuk Mama menerima pilihan Frian?"

"Apa?" dengkus Fania tak percaya dengan ucapan Frian. "APA YANG MEMBUATMU BERPIKIR MAMA AKAN MEMBATALKAN PERTUNANGANMU?"

"Cukup sampai di sini Frian melakukan semua hal yang Mama inginkan. Jangan mencoba membuat jalan Mama semua di jalan Frian dan bertindak seperti yang Mama inginkan. Frian sudah dewasa dan bisa menentukan hidup Frian sendiri. Frian punya rencana  dan pikiran Frian sendiri. Mulai sekarang ..." Frian menghentikan kalimat hanya untuk menunjukkan pada mamanya ekspresi keras kepala dan tetap pada pendiriannya. "... Frian akan mengurus urusan Frian sendiri. Jadi Mama hanya perlu keluar dari jalan Frian dan menerima pilihan Frian. Jika Mama tidak bisa menerimanya, maka Mama hanya perlu membiarkan Frian." Frian menghempaskan tangan Revan dengan keras, lalu berjalan menuju ruang tamu dengan langkah kaki gontai.

Fania terpaku mendengar semua kalimat yang diucapkan Frian penuh ketenangan tapi mampu membuat Fania kehilangan kata-kata. Suaranya tertahan di tenggorokan sehingga ia hanya bisa membuka mulut tak percaya karena saking syoknya dengan kata-kata yang meluncur dari mulut putranya dengan sangat lancar tanpa keraguan sedikit pun.

"Frian, mau ke mana kau? MAMA BELUM SELESAI BERBICARA. BERHENTI!!!"

Fania membalikkan badan, mengurai pelukan Arya, dan mengayunkan kakinya bermaksud mengejar Frian, akan tetapi pegangan di lengan tangannya menghentikan niat dan membuatnya menoleh pada Arya.

"Hentikan, Fania. Masalah ini tidak akan selesai dengan emosi yang meluap-luap seperti ini," cegah Arya.

"Frian, kau mau kemana?" tanya Revan sambil melangkahkan kaki mengikuti langkah Frian. mencoba berbicara.

"Revan, biarkan dia pergi dan kau pergilah ke kamarmu," pintah Arya dengan tegas.

"Apa maksudmu? Dia tidak boleh ..." ucap Fania tampak jengkel suaminya malah membiarkan Frian keluar.

"Biarkan dia sendiri dulu, dia hanya butuh waktu..." potong Arya.

"Kemana dia akan pergi malam-malam begini?" Fania balik memotong ucapan Arya dengan wajah yang tiba-tiba berubah penuh kekhawatiran akan putra satu-satunya itu.

"Dia sudah dewasa. Dia bisa menginap di rumah temannya atau di hotel," jawab Arya denga tegas. "Besok kita akan membahasnya dan berbicara baik-baik. Sia-sia jika membicarakan masalah dengan emosi seperti ini,hanya akan membuat semuanya memburuk."

"Tidak bisa."

"Revan, kembali ke kamarmu," pintah Arya pada Revan yang kini hanya berdiri di antara ruang tengah dan ruang tamu. Revan pun mengangguk patuh dan segera melangkah menuju pintu kamar yang berada di dekat ruang keluarga.

Pandangan Arya kembali kepada Fania yang masih tidak terima dengan perintahnya walaupun sudah tidak memberontak seperti tadi. "Apa kau tidak meihat wajah Frian? Aku belum pernah melihatnya selemah dan seputus asa itu. Jadi, berilah dia waktu untuk sendiri."

Fania pun terdiam. Menyadari kebenaran kalimat Arya. Putranya itu belum pernah membantah dan berteriak padanya. Belum pernah terlihat selemah dan seputus asa tadi. Memikirkan penyebab perubahan Frian yang begitu drastis hanya semakin membuat kepalanya berdenyut. Ia butuh istirahat dan menenangkan pikirannya.

###

Rasanya baru saja Fiona membaringkan badan di tempat tidur, dia sudah terbangun karena mendengar suara getar dan deringan ponselnya di nakas. Kontan membuat tangan Fiona bergerak meraba-raba mencari keberadaan benda itu dalam keremangan dan kantuk yang pekat.

Dengan mata setengah terpejam, ia mengangkat panggilan tersebut tanpa melirik siapa yang telah menghubunginya malam-malam begini.

"Hallo ..." jawab Fiona dengan suara malas karena kesadarannya belum kembali sepenuhnya.

"Apa kau tidur?" tanya Frian dari seberang.

Kontan Fiona langsung tersadar dan bangkit terduduk dari tidurnya karena terperanjat kaget mendengar suara Frian dari speaker ponsel. Kepalanya terdongak berusaha  melihat jam dinding yang menunjukkan jam satu lewat.

"Frian?"

"Apa aku mengganggumu?"

"Apa kau masih perlu jawabannya?" Dengkus Fiona mendengar pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut anak bosnya tersebut. "Bukankah sudah sangat jelas?"

"Kalau begitu, biarkan aku sekalian mengganggumu untuk malam ini saja."

"Apa kau sudah gila?"

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."

"Apa kau tahu jam berapa ini?"

"Aku bilang aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Suara Frian terdengar mulai menuntut.

"Kenapa kau ini?" Fiona memejamkan matanya frustasi. Ia tidak habis pikir dengan semua perbuatan gila Frian. Sebenarnya apa yang manusia satu itu makan sampai jadi begitu menyebalkan seperti ini, dan sayangnya manusia satu itu bukan hanya menyebalkan tapi sudah mulai mendekati gila.

"Apa kau benar-benar sudah gila? Berhenti menggangguku! Kau tahu ini sudah lewat tengah mal ..."

"Aku di depan rumahmu," sela Frian.

"Apa?" Fiona melotot tak percaya dengan yg di dengarnya.

Mengerang frustasi.

'Tidak cukupkah ia mengganggu tidurku yang nyenyak setelah mati-matian aku berusaha tidur juga karena memikirkan dirinya?' teriak batin Fiona frustasi.

"Apa yang kauinginkan hingga menelfonku dini hari di depan rumahku? Tidak cukupkah hal gila yang te ..."

"Turunlah," pintah Frian memotong kalimat Fiona lagi.

"Dan kenapa aku harus menuruti perintah konyolmu itu? Sebaiknya kau segera pergi dan melakukan aktifitas yang biasa orang normal lakukan ..."

"Karena aku akan membuat keributan dan membangunkan semua penghuni di rumahmu jika kau tidak turun dalam waktu lima menit." Frian memutus panggilannya sedetik setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

"Apa? Frian ... Frian ..." Panggilan Fiona tidak mendapatkan sahutan apa pun.

"Hallo...?" Fiona pun melempar ponselnya ke tempat kosong di sebelahnya setelah melihat ponselnya yang benar-benar sudah tidak terhubung dengan ponsel milik Frian.

Pria itu tak pernah main-main dengan ancamannya. Yang membuatnya segera beranjak turun. Membuka lemari pakaian, mengganti piama dengan kaos panjang dan celana jeans yang tepat berada di hadapannya. Tanpa melirik bayangan di cermin, Fiona menyambar jaket dan berjalan keluar kamarnya sambil mengenakannya.

"Aku benar-benar sudah gila mengikuti semua kemauannya," gumamnya pada diri sendiri.

Fiona mengendap-endap menuruni tangga, melewati ruang tengah, dapur, dan keluar lewat pintu belakang. Beberapa saat kemudian ia sudah berada di luar pagar rumah, menengok kanan dan kiri jalanan untuk mencari keberadaan Frian. Tak lama ia  melihat mobil Frian yang terparkir diseberang jalan sekitar 15 meter dari tempatnya berdiri.

Ya, tidak sulit menemukan satu-satunya mobil yang terparkir di jalanan lengang begini.

Fiona pun menyeberangi jalan mendekati Frian yang menundukkan kepala dan bersandar di kap mobil.

"Apa yang terjadi padamu? Apa kau sedang mabuk?" maki Fiona ketika sudah sampai di hadapan Frian. Lelaki itu pun mendongak menyadari keberadaan Fiona dengan gerakan santai dna penuh ketenangan.

"Masuklah," pintah Frian sambil mengedikkan dagu mengarah ke kursi penumpang di mobilnya.

Fiona hanya menatap Frian dengan tatapan 'Kegilaan apa lagi ini?'

"Masuklah kedalam," ulang Frian lagi, mengacuhkan tatapan penuh pertanyaan di wajah Fiona. Dan karena Fiona hanya diam tidak bergeming, Frian pun memegang pergelangan tangan Fiona dan menarik wanita itu menuju pintu depan mobilnya.

"Kita mau kemana? Kau tahu aakk..." Fiona belum sempat melanjutkan kalimatnya karena terpekik kaget saat Frian mendorongnya untuk duduk di kursi penumpang dan memasangkan setbelt padanya. Kata-kata yang siap meluncur dari mulutnya, tiba-tiba tercekat di tenggorokan saat menatap mata Frian yang tampak lebih menggelap daripada biasanya. Tatapannya tampak lebih tajam, lebih dingin, dan ia tahu ini bukan main-main seperti yang biasa pria itu lakukan padanya.

Fiona mengerutkan keningnya heran.

'Apa yang terjadi pada Frian?'

'Apa pria itu mabuk?'

'Itu tidak mungkin.'

'Ia sama sekali tidak mencium bau alkohol di dekatnya," batin Fiona ketika Frian menutup pintu dan berjalan mengelilingi mobil menuju pintu pengemudi.

'Dan kemana Frian akan membawanya pergi tengah malam begini?'

###


Repost


Wednesday, 18 September 2019



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro