1 | Just keep breathin' and breathin'

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Just keep breathin' and breathin'
And oh, I gotta keep, I keep on breathin'

- breathin, Ariana Grande

"Hei! Maaf nggak ngasih kabar. Aku lagi sakit, kayaknya gejala tifus. Surat keterangan dokter kalau aku harus absen udah sampai, kan?"

"Iya, sudah. Get well soon!" Agesa mengetikkan balasan dengan cepat sambil sesekali melirik Miss Mala yang tengah menjelaskan beberapa rumus di depan kelas. "Kapan balik ke sekolah?"

Balasan dari Shiki tiba kurang dari semenit. "Mana kutahu. Namanya juga sakit. Datang tiba-tiba, pergi seenaknya."

Agesa meringis. Jemarinya menari lincah di atas touch screen. "Sorry. Gimana keadaanmu?"

Balasan lainnya muncul dengan cepat. "Buruk. Aku nggak dibolehin megang hape buat beberapa hari ke depan. Jangan tanya kenapa aku bisa WA-an sama kamu sekarang. Pokoknya kalau sampai ketahuan, aku minta traktir bakso Kang Maman segerobak. Bubur tawar rasanya nggak enak, serius."

Agesa tersenyum, menahan gelak tawa. Bahaya kalau sampai tawanya pecah di saat Miss Mala sedang mengajar. "Kita ngobrol lagi nanti." Setelahnya, Agesa mematikan ponsel, memasukkan benda tersebut ke saku jas biru mudanya yang tergantung di sandaran kursi.

Satu senggolan mendarat di rusuk sampingnya. Agesa menoleh, mendapati Arga yang menatapnya dengan kedua belah alis terangkat. "Shiki?" tanya Arga yang dibalas dengan anggukan singkat. "Gimana keadaannya?"

"Gejala tifus katanya." Agesa balas berbisik, takut-takut kalau tertangkap basah berbicara saat pelajaran berlangsung oleh Miss Mala.

Benar saja. Baru Agesa ingin meluruskan pandangan ke depan, di depan sana, Miss Mala sudah berdeham keras. Matanya menatap nyalak ke arah Agesa dan Arga. Kedua belah tangannya bersedekap. Bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan ketidaksukaan yang terlihat jelas. "Agesa Nadrawinata, Argario Andana, saya dengan senang hati mempersilakan kalian berbagi cerita di depan kelas menggantikan saya sekarang juga."

Aduh! Agesa menunduk, meringis kecil. Miss Mala bahkan sampai menyebut nama lengkapnya. Konon, guru cantik dan awet muda meski sudah menginjak kepala empat itu hanya mengingat nama lengkap siswa yang memiliki track record khusus dalam catatan pribadinya, entah itu catatan baik atau buruk. Berarti, Agesa sudah ditandai dalam catatan tersebut, entah masuk ke kategori yang mana di antara dua itu.

Semoga saja bukan yang buruk.

Agesa segera meminta maaf, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tenggorokannya tercekat saat mengucapkan kalimat maaf tersebut, seolah-olah ada yang mengganjal di sana. Ada sirat kekhawatiran yang tersimpan di sana. Ah, Shiki! Agesa jadi uring-uringan sendiri karenanya. Kenapa harus sakit di saat Agesa sedang butuh teman curhat. Ada sebersit niat untuk membesuk sohib kentalnya itu sepulang sekolah nanti. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, rasanya itu kurang etis. Shiki tentunya harus banyak beristirahat untuk pemulihan, dan ini baru hari pertama.

Rencana untuk menyambangi sahabatnya itu langsung Agesa coret. Kasihan juga kalau Shiki harus mendengarkan curhat Agesa yang dibalut sambat dengan keadaan sakit seperti itu.

Agesa menghela napas panjang, mengalihkan pikiran dengan mencatat rumus dan beberapa tugas di papan tulis. Mata pelajaran terakhir hari ini. Beberapa temannya mulai terkantuk-kantuk. Bukan salah mereka juga sebenarnya. Fisika diletakkan pada jam terakhir itu agaknya menjadi momok bagi sebagian orang. Kalau mau menyalahkan Miss Mala, juga tidak bijak rasanya. Cara mengajarnya efektif. Tidak ada pembahasan yang terbuang sia-sia. Semua tetap dijalur dan dengan porsi sesuai. Setidaknya, bagi Agesa. Toh, Miss Mala sepertinya juga tidak mempermasalahkan dengan beberapa siswanya yang mulai menguap kecil. Asalkan tidak mengganggu yang lain. Ini, sih, enaknya kelas Miss Mala. Tidak ada kesalahan yang dicari-cari atau dibuat-buat meski guru dengan rambut sebahu itu selalu memasang ekspresi andalannya: judes.

"Ada yang kurang jelas? Bisa ditanyakan sekarang." Miss Mala melirik jam di pergelangan tangan. Agesa refleks melakukan hal yang sama. Jam dua lewat lima puluh. Ah, sepuluh menit lagi. Agesa bersorak dalam hati. "Tidak ada?" Miss Mala memastikan setelah tidak menjumpai satu pun siswanya yang mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan selama jeda yang diberikan. "Oke, kalau begitu, kita bagi kelompok untuk tugas."

Seperti biasa, Miss Mala dengan cekatan menuliskan pembagian kelompok di papan tulis. Sorakan kedua dalam hati. Agesa mengepalkan tangan, melakukan gerakan yes. Wajahnya semringah ketika menemukan nama Shiki tepat di bawah namanya. Kelompok lima. Tinggal menunggu satu lagi siapa yang akan sekelompok dengan mereka. Ah, pupus harapannya agar Arga sekelompok dengan mereka. Kawan sebangkunya itu masuk ke kelompok empat, melengkapi personil sebagai orang ketiga. Hampir. Agesa merutuk kecil, menebak-nebak siapa yang akan sekelompok dengannya dan Shiki. Miss Mala bergeser ke samping, menuliskan nama anggota ketiga kelompok lima dengan cepat.

Shahila.

Agesa refleks mengarahkan pandangannya pada Shahila yang duduk di urutan kedua dari depan di barisannya. Kawan sebangku Shiki, sekaligus sepupu sahabatnya itu. Cewek dengan nilai akademik pas-pasan. Ketua konseling siswa. Langganan remedial setiap kali ada ulangan, entah harian atau semester. Agak berbanding terbalik dengan Shiki yang menurut Agesa cukup cerdas dalam mata pelajaran wajib jurusan.

Ya, sudahlah. Agesa mengembuskan napas, membereskan buku-buku yang berserakan di meja dan memasukkannya ke tas setelah Miss Mala keluar usai menjelaskan secara singkat tugas kelompok yang harus dikumpulkan minggu depan. Agesa meraih tas, menyampirkannya di bahu kanan disusul jas biru muda di bahu yang sama. Baru saja Agesa ingin melangkah keluar, satu towelan mendarat di bahu kirinya.

Shahila.

Agesa menoleh, memasukkan tangan kiri ke saku celana, dengan tangan kanan memegang ujung jas biru muda di bahu. "Ya?"

"Jadi." Shahila tersenyum, menampilkan sepasang dekik di kedua belah pipinya. Manis. Sisi lain di dalam diri Agesa mengakui. "Kapan kita mulai ngerjain tugasnya?"

"Nanti gue bikinin grup di WA. Kita bahas di situ bareng Shiki." Agesa menyahut cepat. "Ada lagi yang pengin lo tanyain?"

Shahila menggeleng. "Makin cepat, makin bagus."

Agesa menghela napas. "Iya, gue tau. Makanya gue bilang nanti kita bahas bareng Shiki. Oke? Gue, sih, maunya mulai ngerjain hari ini. Tapi lo tau sendiri Shiki lagi sakit." Cowok itu melirik Shahila dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Gue harap kerja samanya aja. Lo mungkin nggak peduli, tapi gue termasuk orang yang care sama nilai. Lo pasti paham maksud gue."

Shahila mengangguk kalem. Tidak ada ekspresi tersinggung hinggap di wajahnya. Malah, senyum itu kian melembut, memberikan aura tersendiri. Terasa ... menenangkan. "Iya, ngerti. Nanti aku coba pahami lagi materi yang dikasih Miss Mala."

"Terserah lo, deh." Agesa mengangkat bahu, sedang malas basa-basi terlalu lama. Ia hanya ingin pulang sekarang juga. Beristirahat. Menenangkan pikiran yang sedang kalut-kalutnya. Agesa memijat pangkal hidungnya, menatap Shahila lekat-lekat. "Ada lagi?"

Shahila menggeleng. "Mohon kerja samanya."

"Bilang itu ke diri lo sendiri."

Setelahnya, Agesa berbalik dan melangkah keluar dari kelas dengan perasaan campur aduk. Kesal, khawatir, tertekan, dan down yang menjadi satu, entah karena apa.

Malam itu, ada rasa cemas yang tersirat di wajah Agesa. Sepulang sekolah, yang ia lakukan hanya melepas sepatu dan melemparkan asal tas ke ujung ruangan saat sampai di kamar. Agesa langsung mengempaskan diri ke ranjang, tertidur pulas sampai malam. Kalau saja Mama tidak menggedor pintu kamarnya keras-keras, Agesa mungkin akan tertidur sampai keesokan harinya.

Bangun malas-malasan, mandi dilewatkan, salat asal dikerjakan, makan tidak beraturan. Sebentar-sebentar, berhenti untuk menghela napas, seolah makanan yang tersaji terasa berat untuk dihabiskan. Ingin rasanya Agesa untuk beranjak dari tempat duduknya dan kembali ke kamar. Tidak berselera sama sekali meski ada rendang kesukaannya, beberapa potong tahu isi, dan dessert dingin favoritnya. Semuanya terasa hambar di mulut. Dengan setengah dipaksakan, Agesa menghabiskan hidangan utama. Namun, tidak dengan makanan penutup.

"Lho?" Mama agak kaget melihat Agesa mendorong dessert dingin yang hanya dimakan seperempatnya. "Habiskan dong, Sayang."

Agesa menggeleng. "Kenyang, Ma," sahutnya pendek. Cowok itu beranjak dari tempat duduk, meletakkan sendiri dessert yang tersisa ke dalam freezer.

"Kamu ada masalah?" Mama menghampiri putra semata wayangnya itu. Tangannya terulur, mencengkeram lembut bahu Agesa yang membuang muka ke arah lain. "Wajahmu pucat, Sayang. Kamu sakit?" tanya Mama memastikan. Ada sirat kekhawatiran yang terpancar di wajahnya.

"Cuma pusing. Paling besok udah reda." Agesa tersenyum, menenangkan. Dengan perlahan, dilepasnya cengkeraman Mama dari kedua belah pundaknya. "Gesa ke kamar dulu."

Tepat saat Agesa akan keluar dari ruang makan, suara bariton Papa terdengar memanggilnya. Agesa menoleh, tidak berminat untuk duduk lagi meski Papa sudah menyuruhnya. Agesa keukeuh berdiri di ambang pintu ruang makan, menunggu Papa mengatakan sesuatu.

"Gesa," panggil Papa. "Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama Mama atau Papa. Kami nggak keberatan kalau kamu mau cerita sesuatu."

Sama seperti dirinya, Papa tidak terlalu pandai berbasa-basi. Hanya mengatakan sesuatu yang dirasa perlu. Papa mungkin sadar terjadi sesuatu, tapi merasa tidak perlu repot-repot untuk bertanya ada apa. Agesa hanya tersenyum, mengatakan semua baik-baik saja dan berlalu dengan cepat menuju kamarnya di lantai dua.

Kalau saja masalah yang Agesa sedang hadapi sesimpel yang Mama-Papa duga, tanpa perlu diminta, Agesa mungkin akan bercerita dengan sendirinya. Bayangan percakapan Lalita, Nadia, dan Mita di UKS kembali terbayang. Agesa tidak terlalu kenal meski nama mereka cukup sering disebut oleh cowok di kelasnya. Dua di antaranya anggota cheerleader. Hanya Lalita yang pernah berkenalan langsung dengannya, itu pun karena usut punya usut, Lalita ternyata memiliki tali kekeluargaan dengan Shiki. Sepupu jauh, kata Lalita saat memperkenalkan diri. Awalnya, sih, Agesa tidak percaya. Namun, setelah dikonfirmasi, Shiki membenarkan.

Sedangkan Nadia ... ia bahkan tidak pernah berkenalan sama sekali dengan kakak kelasnya yang satu itu. Hanya tahu nama dan wajah sebagai bentuk formalitas, itu pun karena Nadia adalah salah satu anggota tim cheerleader dan, yah, tim basket dan cheerleader itu bisa dibilang sepaket jika sedang ada pertandingan. Otomatis, mereka sering bertemu. Hanya bertukar sapa, dengan Nadia sesekali memberikan semangat pada Agesa tiap akan bertanding, membuat anggota basket yang lain kerap meledek. Tidak lebih.

Maka dari itu, saat Nadia menyatakan rasa suka padanya, Agesa jelas langsung menolaknya, sama seperti cewek-cewek lain sebelum Nadia. Harus Agesa akui, Nadia itu memang cantik, tapi tidak menarik baginya. Karena itu, tanpa banyak bicara, Agesa langsung meninggalkan Nadia yang terpaku di taman begitu sadar ia sudah ditolak Agesa. Agesa memijat kening, merasakan denyutan tak mengenakkan di sana. Merasa lelah dan pusing, Agesa memilih UKS selama istirahat jam pertama. Lima menit pertama berbaring semuanya tenang-tenang saja. Namun, keheningan UKS tiba-tiba pecah ketika Agesa mendengar suara Lalita memasuki UKS, diikuti jeritan Nadia dan sindiran tajam dari Mita.

Agesa beranjak dari tempat tidur, berniat untuk keluar dari UKS. Baru ingin menyentuh tirai yang memisahkan ruang istirahat siswa dan ruang utama UKS, jeritan Nadia tentang penolakan Agesa sontak membuat gerakan cowok itu berhenti. Buru-buru Agesa masuk ke kolong ranjang begitu didengarnya ada derap langkah yang mendekat dan membuka tirai pemisah. Mungkin Lalita. Agesa menghela napas kecil karena siapa pun yang melakukan pengecekan tidak sampai melongok memastikan ke kolong ranjang.

Awalnya percakapan itu biasa saja. Keluhan Nadia, decakan gemas Lalita, dan sesekali sindiran Mita terdengar. Semuanya tentang Agesa. Lama kelamaan, barulah percakapan itu agak meruncing ke topik yang Agesa sendiri tidak harus bereaksi apa.

"Gue nggak ngerti, Lit. Apa rumor itu bener, ya?"

Rumor? Agesa mengernyitkan dahi, menajamkan telinga. Pembicaraan tiga cewek itu selanjutnya terasa berputar-putar. Tidak jelas juntrungannya. Barulah setelah kata belok diucapkan oleh salah satu di antara mereka, Agesa sadar apa rumor yang dimaksud Nadia. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi Agesa, sejak kapan hal itu menjadi rumor? Ia bahkan tidak pernah me-reveal hal tersebut selain pada Shiki, dan setahunya, Shiki itu tidak pernah ember.

Karena itulah Agesa menjadi agak blank selama sisa jam pelajaran. Ia bahkan sempat kena tegur Bu Najma karena tidak bisa menjawab pertanyaan tentang struktur ceramah. Agesa sama sekali tidak berminat ke kantin usai salat zuhur berjamaah pada istirahat kedua meski Arga sudah menarik-nariknya untuk ke kantin. Agesa hanya bengong di kelas, persis seperti orang linglung. Tidak menyahut saat disapa. Kadang tersentak kecil saat ada yang menyentuh bahunya untuk memastikan kalau Agesa baik-baik saja. Barulah setelah Shiki mengirimkan pesan singkat saat pelajaran terakhir, Agesa menjadi sedikit tenang.

Namun, sekarang, pikiran itu kembali hinggap di kepalanya. Agesa menutup pintu kamar, menguncinya rapat-rapat. Dengan lunglai, Agesa merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamar dengan perasaan tidak menentu. Cowok itu mengembuskan napas, menutup mata dengan lengan. Agesa meremas rambutnya kasar, tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak akan seperti ini kalau saja rumor yang Nadia maksud itu tidak benar.

Sayangnya, rumor itu memang benar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro