10 | And boy, got me walkin' side to side

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I've been here all day
And boy, got me walkin' side to side

Side to Side, Ariana Grande ft. Nicki Minaj

"Gimana hubungan kalian?" tanya Shiki seraya mengisap jus alpukat di dekat lengannya. Cowok itu melirik Agesa yang menyantap bakso setelah puas menghabiskan seporsi nasi goreng hangat. "Itu lapar apa doyan? Saingan sama porsi kuli." Shiki geleng-geleng.

"Dua-duanya." Agesa mengangkat wajah, menyengir lucu. Cowok itu meraih teh es di hadapannya, menyeruput langsung dari bibir gelas. "Baik. Minggu depan tim basket tanding buat meriahin NuGa Competition," kata Agesa lagi.

Shiki terdiam untuk beberapa saat, membiarkan hiruk pikuk kantin mengisi kekosongan selama jeda berlangsung. Cowok itu menghela napas. Jemarinya bergerak lincah mengetuk-ngetuk meja kantin dengan irama stabil. "Adrian sama sekali nggak nyinggung soal kejadian itu?" tanya Shiki lagi.

Gerakan Agesa menyuap bakso terhenti. Cowok dengan tone kulit cokelat terang bersih itu mengangkat wajah, balas menatap Shiki yang menunggu jawaban darinya. Agesa menghela napas, melirik keadaan sekitar. Ramai. Kantin memang tidak pernah sepi peminat. Meskipun mereka berdua memilih meja yang agak memojok jauh dari keramaian, tetap saja, topik yang dilempar Shiki rasanya sensitif. "Waktu itu dia tidur. Aku sudah cerita berulang kali, kan? Dia nggak tau soal kejadian malam itu. Oke?"

"Kenapa kamu bisa seyakin itu kalau Adrian nggak sadar waktu itu?" Shiki melipat kedua belah tangan di depan dada, bersedekap. Cowok imut itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Ekspresinya tampak kaku, menunjukkan kalau ia sedang serius. "Gimana kalau ternyata Adrian sadar soal kejadian malam itu?" Shiki bertanya dengan suara agak keras, membuat beberapa siswa di sekitar mereka terusik. Namun, Shiki tampak tak terpengaruh.

Agesa langsung gelagapan, meletakkan telunjuk di depan bibir, memberi isyarat agar suara Shiki jangan sampai terlalu keras dan mengundang perhatian. Cowok itu mengaduk-aduk sisa bakso di dalam mangkok tanpa minat, tiba-tiba kehilangan selera makan. "Dia nggak tau, kok." Agesa berucap lirih, menunduk, enggan balas menatap Shiki. "Kalau dia sadar, harusnya dia nggak bakal biarin aku ngelakuin itu. Bisa aja dia bangun terus hajar aku di tempat. Minimal bangun, lah."

Agesa ingat benar kejadian malam itu. Kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali, akhirnya berhasil didapat. Salah satu fantasi tentang Adrian di kepalanya berhasil terwujud. Setelah menegakkan badan dengan jantung yang masih berdegup tak karuan, sebuah tangan mendarat di bahu, mencengkeram lembut. Agesa terkesiap, hampir saja berteriak sebelum tangan lain membekap mulutnya. Agesa berontak, berusaha melepaskan bekapan itu sebelum si pelaku menunjukkan identitasnya: Shiki.

"Ini aku." Shiki berbisik di telinga Agesa. Cowok imut itu celangak-celinguk, memeriksa keadaan sekitar. Gelap. Belum ada tanda-tanda peserta jurit malam akan kemari. Diliriknya Adrian yang masih tertidur pulas dengan pipi kiri ditumpukan pada meja. Rambutnya acak-acakan, dengan bibir setengah terbuka dan agak terlihat lebih merah. Seperti bengkak. Oh, memang bengkak itu, mah! Shiki mendengkus, menatap tajam Agesa yang menoleh padanya dengan tatapan menuntut agar Shiki melepas bekapan di mulutnya. Shiki justru memelotot. "Ikut aku!" Cowok itu menarik Agesa menjauh dari posko menuju balik tembok yang tidak jauh dari posisi mereka.

"What are you doing?" Agesa memelotot kesal setelah Shiki melepas sekapan tersebut dari mulutnya. Hanya ada cahaya remang dari lampu yang tergantung di tiang tinggi dekat mereka. Agesa mengusap bibirnya, lantas melemparkan tatapan sebal pada Shiki yang seenak udel menyeretnya ke sini.

"Harusnya aku yang tanya." Shiki mendesis geram. Terdengar jelas penekanan dalam setiap katanya. "What are you doin'?"

Agesa membuka muka ke arah lain, enggan balas menatap Shiki yang tampaknya benar-benar sudah masuk mode gahar. "Nothing."

"Liar!" bentak Shiki. Cowok itu mencengkram kedua belah bahu Agesa cepat, membuat Agesa meringis kecil karenanya. Biar pun kurus begitu, tenaga Shiki tidak bisa dianggap enteng. Lumayan juga kalau sudah main fisik. Seperti sekarang ini. Bahu Agesa bahkan terasa cenat-cenut karenanya. "Aku liat semuanya. Jangan coba-coba bohong sama aku." Telunjuk Shiki terulur, menyentuh pipi kanan Agesa, memaksa sahabatnya itu balas menatapnya.

Dari jarak sedekat ini, Agesa bisa melihat kilat kekecewaan terpancar dari kedua belah mata Shiki. "Sorry," lirih Agesa pelan sekali.

Shiki berdecak keras. Cowok itu melepas cengkeramannya dari bahu Agesa, mengacak rambut dengan gemas. Ingin rasanya Shiki berteriak untuk meluapkan kekesalan yang berkumpul di dalam dada, tapi itu sia-sia saja. Terlebih, dengan ekspresi Agesa yang seperti ingin menangis, Shiki luluh juga akhirnya. Cowok itu memijat keningnya yang terasa berdenyut tak karuan. Oke, tarik napas. Shiki mencoba mengatur dadanya yang naik turun, kesal setengah mati. Embuskan perlahan. "Dengar." Shiki menyentuh bahu Agesa setelah merasa lebih tenang. "Bersikap senormal mungkin. Oke? Jangan tunjukkin gerak-gerik mencurigakan. Santai aja. Bicara kayak biasa. Jangan sampai Adrian curiga sama kamu." Shiki menghela napas panjang, berlalu tanpa berpamitan setelah Agesa mengangguk kecil.

Setelahnya, Agesa limbung. Jantungnya berdegup tak karuan, dengan rasa cemas yang tiba-tiba saja menyerang. Bagaimana kalau ada orang lain selain Shiki yang melihat perbuatannya? Shiki tentu bisa dipercaya, tapi orang lain tidak semudah itu. Lebih-lebih, yang lebih buruk, bagaimana kalau Adrian ternyata merasakannya dan hanya berpura-pura tidur saja? Pikiran-pikiran itu menggelayut tanpa bisa dicegah, membuat Agesa meremas rambut frustrasi. Ah, bisa-bisanya ia sampai lupa diri tadi! Agesa merutuki kebodohannya. Ia bahkan takut. Takut kalau ada orang lain yang ternyata memergoki, dan juga takut untuk kembali ke posko.

Beruntung, ketika cowok itu kembali setelah menguatkan hati dan mengulang-ulang nasihat dari Shiki, semuanya tampak normal. Dilihatnya Adrian mengucek mata, dengan mulut menguap lebar. Rambutnya berantakan, tapi itu justru memberikan kesan menggemaskan bagi Agesa. Bibirnya terlihat agak kemerahan, sedikit bengkak. Agesa tak bisa untuk tidak khawatir.

"Hei," sapa Adrian begitu dilihatnya Agesa kembali. Wajahnya terlihat mengantuk, tapi tidak sebantal sebelum tidur. "Dari mana? Gue ketinggalan sesuatu?" tanya Adrian seraya meregangkan badan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa selama ia tidur.

Semoga saja begitu.

"Dari belakang." Agesa menyahut pendek. Cowok itu menggigit bibir bawahnya, gugup. Oke, tenang. Ingat kata-kata Shiki. Bersikap biasa saja. Agesa menarik napas, mengembuskan perlahan sebelum tersenyum. "Nope! Belum ada peserta jurit malam yang ke sini. Kayaknya baru mulai," katanya lagi seraya membuka ponsel di tangan, melihat jam berapa sekarang. Satu dini hari. Harusnya para anggota baru pramuka yang dikukuhkan baru mulai menjelajah ke posko-posko.

Setelahnya, seperti tidak terjadi apa-apa. Adrian mengajaknya berbicara santai, sesekali melempar candaan, membuat Agesa tergelak geli. Cowok itu tampaknya tidak sadar dengan apa yang Agesa lakukan sewaktu dirinya tidur. Namun, tetap saja, itu adalah malam paling sport bagi jantung Agesa. Antara senang, dan juga khawatir. Seperti yang ia bayangkan selama ini, bibir Adrian benar-benar terasa seperti candu.

Seminggu berlalu sejak kejadian itu, rasanya, hal itu masih melekat kuat dalam ingatannya, selain kekhawatiran yang sesekali ikut mampir. Berkali-kali Agesa meyakinkan diri kalau saat itu Adrian tertidur pulas dan tidak menyadari apa yang dilakukan Agesa padanya. Seperti sekarang ini, di mana Shiki kembali mengingatkan Agesa pada rasa cemas itu. Cowok itu menyambar gelas berisi teh es di depannya, menghabiskan isinya dengan hati setengah dongkol karena Shiki memasang wajah seolah minta ditabok.

"What?" Agesa merengut karena Shiki tidak mengatakan apa pun setelah Agesa meyakinkan sahabatnya itu. Shiki hanya diam, dengan tangan terlipat di depan dada dan ekspresi wajah menghakimi, seakan-akan mengisyaratkan I watch you.

"Jangan lakuin hal kayak gitu lagi." Shiki berujar tegas. Raut wajahnya berubah menjadi serius, dengan bibir membentuk garis lurus dan mata memicing tajam. "Aku tau gimana terobsesinya kamu sama Adrian, tapi nggak kayak gitu juga. Kamu nggak mau kena masalah, kan, nantinya?" Shiki mengusap kedua belah pipinya. Suaranya bergetar, seolah ada yang mengganjal di tenggorokannya. Persis seperti orang ... yang ingin menangis.

"Eh?" Agesa mencondongkan badan, menyentuh pipi Shiki lembut. "Kamu nangis?" tanya Agesa.

"Nangis dari Hongkong!" Shiki menepis tangan Agesa dari pipinya, memberi isyarat agar sahabatnya itu kembali duduk. "Jangan sentuh-sentuh! Ini bukan kelas di mana kamu bisa seenaknya main skinship. Bisa-bisa gosip itu naik lagi, ntar," ingat Shiki.

Baru saja Agesa ingin bicara lagi, ponsel di saku celananya bergetar halus. Dengan gesit, Agesa mengeluarkan benda tersebut dari sana. Terpampang nama Shahila di preview pesan yang tertampil di layar. Agesa melirik Shiki yang berdiri untuk membayar makanan, memastikan sahabatnya itu benar-benar sudah menjauh. Cepat-cepat Agesa mengklik preview pesan yang ada, menampilkan room chat Whatsapp antara dirinya dan Shahila.

"Kalian di mana? Semuanya udah siap. Bu Teno Heika juga udah nunggu."

Agesa tersenyum lebar. Akhirnya. Dengan senyum yang masih mengembang, Agesa membalas pesan dari Shahila, mengatakan kalau ia dan Shiki sedang on the way. Balasan berupa emoticon jempol dari Shahila tiba kurang dari semenit. Agesa mengangguk puas, menyimpan kembali ponselnya ke saku celana. Cowok itu mengangkat wajah, mendapati Shiki menghampirinya seraya bersungut-sungut tak jelas.

"Ada apa?" tanya Agesa heran. Ya, tidak terlalu juga, sih. Pemandangan Shiki mendumel tidak jelas sudah menjadi hal biasa bagi Agesa.

"Nggak apa-apa," sahut Shiki pendek, tapi wajahnya berkata lain. Cowok itu mencebik kesal, entah kenapa. "Kamu ngeledek, ya? Senyam-senyum gitu." Shiki memelotot kesal, tidak peduli dengan tatapan siswa dari kelas lain ketika mereka berjalan menuju kelas.

"Astaga!" Agesa menepuk dahi, menyejajarkan langkah dengan Shiki. "Suuzan gitu coba, kan? Nggak, lah." Cowok itu merengut.

"Terus?"

Agesa cengengesan. "Kamu imut soalnya."

"Dasar kerdus!" Shiki mendengkus. Cowok itu celangak-celinguk ketika mereka sudah sampai di depan pintu kelas yang tertutup. Aneh. Biasanya pintu kelas dibiarkan terbuka, kecuali kalau sedang tidak ada orang di dalamnya. Dari dalam sana justru terdengar heboh, entah apa. Shiki menjulurkan leher, mencoba melihat keadaan di dalam melalui jendela. Semua orang tampak mengerubungi satu tempat. "Ada apaan, sih? Rame banget kayaknya." Bahkan ia menemukan Bu Teno Heika di sana. Padahal jam istirahat masih tersisa sepuluh menit sebelum wali kelas mereka masuk untuk mengajar.

Agesa mengedikkan bahu. "Entah. Masuk aja, lah."

Shiki mengangguk, membuka pintu kelas dengan santai. Baru saja cowok itu hendak bertanya apa yang sedang terjadi, tiba-tiba, confetti disemprotkan ke arahnya dari sisi kiri dan kanan tepat saat Shiki memasuki kelas. Shiki menjengit kaget, mencerna apa yang sedang terjadi. Shiki menoleh, mendapati Agesa tersenyum lebar padanya ketika satu kelas menyerukan ucapan selamat ulang tahun padanya. Beberapa cowok termasuk Arga dengan senang hati mengalungkan lengan ke leher Shiki, mengacak-acak rambut cowok itu dengan gemas.

"Happy birthday, Bro!" Arga tertawa-tawa saat Shiki memberontak, melepaskan diri dari kungkungan Arga. "Selamat mengurus KTP, juga SIM."

"Selamat ulang tahun, Shiki!" Giliran Shahila memeluk sepupunya itu, tersenyum riang. "Wish you all the best! Semoga makin ganteng. Imutnya dikondisikan, please. Aku kadang merasa gagal jadi cewek tiap kali jalan sama kamu." Shahila menyengir, membuat yang lain tergelak geli. Cewek itu lantas menyerahkan kado di tangan pada Shiki, tersenyum lagi. "Semoga suka."

"Astaga!" Shiki menatap haru pada tumpukan kado di mejanya. Bahkan Bu Teno Heika tak absen memberinya hadiah. "Thank you, Guys! Makasih juga buat doanya. Doa yang sama buat kalian. Duh, harusnya kalian jangan repot-repot. Kan perayaannya besok malam. Thank you sekali lagi," ucap Shiki setelah meniup lilin pada kue yang sudah disiapkan oleh satu kelas.

"Ah, besok lain lagi ceritanya." Agesa yang dari awal hanya menyaksikan kejutan tersebut memeluk bahu Shiki seraya menyerahkan hadiah. Cowok itu tersenyum manis, mengusap bahu Shiki dengan akrab. "Happy birthday, Bro!" ucap Agesa setelah Shiki menerima hadiah darinya.

Shiki tersenyum, mengambil kartu ucapan yang menempel manis di atas kado dari Agesa. Kata-katanya singkat, tetapi entah kenapa membacanya membuat Shiki berdebar-debar. Rasa hangat menelisik tanpa bisa dicegah, menjalar dari dada menuju kedua belah pipi putihnya.

Happy birthday, my lil brother. Wish you all the best! Aku sayang kamu. Semoga suka dengan hadiahnya.

Acara kejutan dilanjutkan dengan pemotongan kue. Semua mengajukan diri untuk menjadi yang menerima potongan pertama. Shiki terkekeh. Tentu saja 'kehormatan' itu ia berikan pada Agesa yang berdiri di sebelahnya, membuat yang lain mengeluh dengan nada bercanda. Shiki pilih kasih, ah! Shiki hanya tertawa. Di tengah-tengah acara menikmati kue, tiba-tiba, ponsel di saku celana bergetar halus, menandakan ada pesan yang masuk. Shiki undur diri sebentar, keluar dari kelas untuk memeriksa siapa yang mengirimkan pesan.

Adrian. Nama cowok itu tertera di layar. Shiki menoleh ke dalam kelas, dilihat semua orang masih asyik dengan kue dan juga mulai berbenah membersihkan kertas confetti yang berhamburan di lantai. Dengan cepat, Shiki menekan preview pesan di layar, menampilkan Adrian me-reply foto yang ia kirim tadi malam. Di bawahnya, Adrian menyertakan pesan pendek, tapi cukup membuat Shiki menyeringai puas.

"Kita harus bicara. Habis pulang sekolah. Di ruang ekskul pramuka."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro