6 | All of them tears gon' come and go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baby, don't you know?
All of them tears gon' come and go

Be Alright, Ariana Grande

"Tumben," komentar Shiki seraya menyerahkan formulir terakhir pada Shahila. "Biasanya kamu paling anti kalau diajak kegiatan kayak gini." Cowok itu menatap lekat-lekat sepupunya itu dengan heran.

Shahila menghela napas, menarik formulir yang diberikan Shiki. "Kenapa? Nggak boleh, ya? Harus aktif di setiap kegiatan pramuka baru boleh ikut?"

"Ya, nggak, sih. Yang emang aktif banget di pramuka ada formulir sendiri." Shiki mengeluarkan ponsel yang terselip di antara buku dalam laci. "Kalau ada yang kurang jelas bisa nanya. Pasfotonya kamu bawa, kan?" tanya Shiki memastikan.

Shahila mengangguk tanpa perlu repot-repot menoleh. Matanya fokus pada formulir di hadapan. Cewek itu mendesah, mulai mengisi satu per satu data yang diminta. Formulirnya, sih, tidak terlalu rinci. Cenderung mudah untuk diisi sebenarnya. Namun, dengan pikiran yang terasa kalut seperti ini, rasanya semua pertanyaan yang tertera begitu sulit untuk dipahami dan dijawab. Beberapa kali Shahila menggaruk tengkuknya selama mengisi formulir. Shiki bahkan sampai bertanya apa ada masalah dengan ekspresi bingung. Shahila tersenyum tipis, menggeleng sebelum kembali fokus pada formulir di depannya.

Benar kata Shiki. Shahila paling anti jika diajak mengikuti kegiatan seperti ini. Terlebih pengukuhan akan lebih banyak dilakukan di luar ruangan. Shahila sudah bisa membayangkan ia akan remuk begitu pengukuhan selesai. Ia yang terbiasa bekerja di dalam ruangan, tentunya memerlukan energi ekstra ketika menghadapi kegiatan outdoor. Lagi-lagi Shahila menghela napas panjang. Coba saja tidak ada perubahan rencana tentang study tour, Shahila tentu akan memilih untuk pergi bersama teman-teman sekelas ke museum. Harusnya begitu. Namun, tadi malam, tidak ada hujan, tidak ada angin, ketua kelas mengirim chat ke grup kelas, memberitahu kalau ada sedikit perubahan. Jadwal mereka akan digabung dengan kelas sebelas IPS satu.

Sebagian protes. Mengganggu proses belajar saja. Begitu kata mereka. Semua tahu kalau sebelas IPS satu adalah kelas paling heboh dalam angkatan mereka. Bertolak belakang dengan sebelas IPA satu yang cenderung kalem. Apa boleh buat. Bu Najma sendiri yang memutuskan. Untuk menghemat waktu, begitu kata Bu Najwa dalam screenshot chat yang di-share oleh ketua kelas pada mereka. Chat di grup masih berlanjut. Rata-rata mengeluh tentang sikap Bu Najma. Sebagian lagi berusaha menenangkan satu sama lain.

Shahila termasuk kelompok yang protes, meskipun ia tidak menunjukkan hal tersebut secara terang-terangan. Bencana! Sontak, Shahila langsung kalang kabut saat itu juga. Adrian. Sebelas IPS satu itu kelasnya Adrian. Shahila bahkan bisa membayangkan apa yang akan terjadi selama study tour nantinya. Adrian pasti tidak akan membiarkannya tenang selama study tour berlangsung.

Anggap saja Shahila ke-ge-er-an, tapi kelakuan Adrian yang kerap menunjukkan perhatian tanpa ingat waktu dan tempat cukup membuat Shahila waspada. Seperti beberapa waktu yang lalu contohnya. Ketika Shahila berulang tahun tepat pada hari Senin. Usai upacara selesai, belum selesai para siswa dan guru bubar, sekonyong-konyong Adrian menyerahkan sebuah teddy bear raksasa padanya. Di depan umum. Di lapangan sekolah. Semua mata menatap mereka. Adrian, sih, tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengucap selamat ulang tahun lalu pergi setelah mengusap pucuk kepalanya. Tanpa perlu ditanya lagi, Shahila malu setengah mati. Terlebih, kejadian itu menjadi topik panas di antara siswa SMA Nusa Garuda sampai seminggu lamanya. Beberapa guru bahkan selalu memberi senyum geli tiap kali Shahila mencari Miss Mala ke kantor untuk urusan konseling.

Karena itulah, ketika mengetahui kalau study tour kelasnya akan digabung dengan sebelas IPS satu, Shahila langsung menghubungi Shiki, menanyakan apakah formulir perekrutan panitia pengukuhan yang sepupunya tawarkan siang tadi masih ada atau tidak. Begitu Shiki bilang masih, Shahila langsung mem-booking-nya tanpa pikir panjang. Cewek itu lantas menghubungi Bu Najma, meminta izin tidak bisa ikut study tour karena harus mengurus pengukuhan pramuka di tanggal yang sama. Bu Najma langsung mengiakan tanpa banyak bertanya, membuat Shahila mengembuskan napas lega.

Oke, tinggal menempelkan pasfoto dan selesai. Shahila membaca kembali formulir yang sudah diisi, memastikan tidak ada kesalahan. Semua sudah benar. Cewek itu mengangguk puas, menggeser formulir tersebut pada Shiki yang duduk di sebelahnya. "Sudah."

Tidak ada respons. Shahila mengenyit. Shiki seperti tidak mendengarnya. Cowok itu malah asyik menatap layar ponsel yang diatur sedemikian rupa hingga Shahila tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilihat Shiki di sana. Shahila memicingkan mata, mencoba menangkap lebih jelas apa yang dilihat Shiki. Pencahayaannya bahkan diset ke paling kecil. Itu Agesa? Shahila menangkap siluet foto Agesa yang tersenyum manis di layar ponsel Shiki.

"Hei!" Shahila menepuk ringan bahu Shiki. Cewek itu semakin heran ketika dilihatnya Shiki menjengit kaget, seolah-olah Shahila memukul bahunya keras-keras. "Ini formulirnya." Shahila menyerahkan lembar kertas di tangannya Pada Shiki. Sepupunya itu terlihat gugup, seakan-akan ada sesuatu yang sedang disembunyikannya. "What's wrong?" tanya Shahila penasaran.

"Nothing," kilah Shiki pendek.

"Kamu ngeliatin apa, sih? Sampai segitunya. Aku manggil dari jarak sedekat ini kamu nggak nyahut." Shahila melongok, berusaha melihat apa yang ada di layar ponsel Shiki. Sia-sia. Sepupunya itu dengan gesit mematikan ponselnya, menyimpannya ke laci meja. Hal yang membuat Shahila semakin penasaran. "Apaan, sih?" Shahila manyun.

"Jangan kepo!" Shiki memelotot kesal.

Ah, apa dia salah lihat? Tidak pernah dilihatnya raut wajah Shiki sekesal itu. Ah, ia hampir melanggar batas privasi orang lain. Shahila menunduk, tiba-tiba merasa bersalah. Tidak enak hati Pada Shiki. "Sorry," lirih Shahila. "Aku ng—"

"Hei, Shiki!"

Shahila mendongak, disusul oleh Shiki. Di depan pintu, Agesa melambaikan tangan ke arah mereka. Ralat. Pada Shiki. Begitu mereka berdua mendekati cowok itu, Agesa memberi tatapan sekilas pada Shahila sebelum melemparkan tatapan ke arah lain. Shahila menggigit bibir bagian bawah, merasa bersalah untuk kedua kalinya. Tadi kepada Shiki, sekarang pada Agesa. Shahila tidak memungkiri kalau ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi Agesa ketika memergokinya bersama Adrian kemarin. Tatapan matanya menunjukkan kekecewaan. Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama. Agesa tersadar. Cowok itu memungut tasnya yang terjatuh, lantas berbalik.

Begitu mendapat kesempatan melepaskan diri, Shahila langsung mengentakkan tangannya yang dicengkeram oleh Adrian. Shahila memungut tasnya yang terbuka, menutup risletingnya dengan cepat, berniat untuk mengejar Agesa. Entah angin apa yang menuntun Shahila keluar dengan gerakan tergesa dari ruang loker. Matanya melirik sekitar, mencari keberadaan Agesa. Tidak ada. Agesa seperti hilang tanpa bekas. Hilangnya cepat sekali. Shahila memijat keningnya yang berdenyut tak karuan. Kalau sampai Agesa melaporkan apa yang ia lihat pada Miss Mala, bisa habis riwayat Shahila. Sudahlah. Cewek itu mengembuskan napas pasrah.

Sampai sekarang, keduanya tidak bertegur sapa atau saling bicara satu sama lain. Agesa mendiamkannya, dan Shahila segan untuk sekadar menyapa. Toh, kalau dipikir-pikir, hubungan mereka selama ini memang begitu. Tidak terlalu akrab meski satu kelas. Memang apa yang bisa diharap dari hubungan seperti itu?

Shahila melirik Shiki yang tengah berbincang dengan Ruwi, salah satu cewek sebelas IPS satu. Ruwi menjulurkan dua lembar formulir pada Shiki, membuat Shahila heran. Bukannya setiap kelas mendapat tiga formulir? Itu yang Shiki bilang padanya.

"Satunya menyusul. Lagi diisi sama yang bersangkutan," jawab Ruwi ringan ketika Shiki menanyakan hal yang sama dengan di pikiran Shahila. "Susah nyari relawan yang mau ngorbanin study tour. Untung Adrian mau berpartisipasi. Ah, itu dia!" Ruwi menunjuk Adrian yang berjalan santai dengan formulir di tangan kiri.

Sontak, Shahila yang sebelumnya berniat kembali ke kursinya langsung membeku di tempat. Adrian? Belum hilang rasa kagetnya, terdengar suara dalam Adrian menyapanya dengan panggilan 'istimewa'. Kali ini kata Honey meluncur ringan dari bibir pemuda tersebut, membuat beberapa teman yang ada di kelas langsung menggoda Shahila. Shahila menoleh, melemparkan tatapan sebal pada Adrian yang menyengir padanya, seolah-olah tidak bersalah. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Shahila langsung mengambil langkah lebar-lebar, kembali ke tempat duduknya dengan gusar.

Tentu saja! Niat untuk menghindari Adrian justru menjadi bumerang baginya. Mana Shahila tahu kalau cowok itu ternyata lebih memilih untuk berpartisipasi dalam pengukuhan pramuka ketimbang ikut study tour. Celaka! Shahila langsung lemas. Cewek itu menelungkupkan wajahnya ke meja, merutuk sembarang dalam hati. Kacau! Shahila menyesali keputusannya untuk ikut andil dalam pengukuhan pramuka. Kalau tahu begini, mending ikut study tour saja walaupun kegiatan itu pastinya akan super membosankan dengan cara menjelaskan Bu Najma yang datar. Setidaknya, Adrian tidak akan ada di sana. Apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Shiki sudah memperingatkan agar Shahila tidak plin-plan. Mengisi formulir artinya ikut. Dengan bersedia ikut serta dalam perekrutan, artinya tidak boleh ada pembatalan. Mati aku! Shahila sudah bisa membayangkan bagaimana dirinya nanti harus berhadapan dengan para anggota baru pramuka.

Terdengar getar halus dari laci meja. Shahila mengangkat wajah, mengambil ponsel di bawah sana dengan tidak berselera. Tuh, kan! Shahila langsung sewot ketika dilihatnya nama Adrian terpampang di layar. Abaikan saja, lah. Shahila memasukkan lagi ponselnya ke laci sebelum getar halus tersebut kian intens, berulang-ulang. Ada yang spam chat. Shahila berdecak, membuka layar kunci seraya menekan preview pesan yang ada. Adrian.

"Gue baru tau lo daftar jadi panitia pengukuhan. Kebetulan yang nggak terduga."

Shahila tidak ingin repot-repot bertanya dari mana Adrian mengetahui hal tersebut. Cowok itu mungkin bertanya pada Shiki. Shahila men-scroll layar ponselnya tanpa minat, membaca sekilas pesan yang dikirim Adrian. Namun, pesan terakhir yang dikirimkan cowok itu membuat Sahila semakin kalut.

"Gue tunggu jawaban lo. Batas akhir sampai pengukuhan nanti."

Memangnya tugas laporan sampai ada tenggat waktu segala? Shahila geleng-geleng, mematikan ponselnya dengan cepat, lantas memasukkan benda tersebut ke dalam tas. Sudahlah. Tidak perlu dipikirkan. Shahila beranjak, berniat untuk pergi ke ruang konseling daripada mati gaya berdiam diri dalam kelas. Tepat saat cewek itu berdiri, terdengar getar halus berulang-ulang dari laci meja Shiki, menandakan ada panggilan masuk. Shahila menunduk lebih rendah, meraih ponsel Shiki yang terletak di ujung laci. Kaa-san. Shahila celangak-celinguk, memeriksa keadaan sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Bisa saja ini telepon darurat, sementara Shiki hilang entah ke mana sekarang ini. Ragu, Shahila menggeser opsi terima.

Shahila mendekatkan ponsel tersebut ke telinga. "Halo?"

"Lho? Sha?" Terdengar nada heran dari suara Tante Misaki—ibu Shiki di ujung sana. "Shiki mana?"

"Kurang tau, Tan. Ponselnya ketinggalan di laci meja. Ada yang bisa Sha kasih tau ke Shiki, ntar?"

"Oh, cuma mau ngasih tau, Tante mau ke luar kota. Uang yang diminta Shiki ada di tempat biasa. Katanya buat keperluan pengukuhan apalah itu."

Shahila ber-oh pelan. "Nanti Sha kasih tau sama Shiki."

Setelahnya sambungan telepon terputus. Shahila menghela napas, berniat meletakkan kembali ponsel Shiki ke tempat semula sebelum ia menyadari ada sesuatu yang janggal. Ditariknya lagi ponsel sepupunya itu keluar. Shahila melirik sekitar. Tidak ada tanda-tanda seseorang akan masuk ke kelas. Perlahan, cewek itu menghidupkan kembali ponsel di tangan. Shiki tidak pernah me-lock ponsel seperti kebanyakan teman-teman mereka. Hanya slide sederhana sebelum masuk ke tampilan utama. Layar kunci menampilkan foto pemandangan sebagai wallpaper. Sejauh ini normal. Namun, begitu tampilan utama ditampilkan, Shahila terhenyak beberapa saat.

Di sana, terpampang foto Agesa yang terlihat manis dengan senyum menggoda dan sebelah mata mengedip ketika foto tersebut diambil sebagai wallpaper. Tanpa sadar, jemari Shahila mengklik ikon galeri yang terletak di dekat jempol kirinya. Normal. Namun, ada satu album tanpa nama yang menarik perhatiannya. Terdapat foto Agesa dengan raut wajah cool sebagai thumbnail.

Begitu Shahila mengklik folder tersebut dengan rasa penasaran mengubun-ubun, semua foto dalam album tersebut adalah foto Agesa dalam berbagai pose dan pakaian berbeda-beda. Ada swafoto, juga beberapa yang tampaknya di-shoot dari jauh tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Beberapa di antaranya agak kurang fokus. Sepertinya diambil dengan tergesa-gesa, menampilkan Agesa yang tengah berganti pakaian basket di ruang ganti. Shahila bisa mengenali postur tubuh cowok itu meski shoot fotonya diambil saat Agesa berbalik, tidak menghadap ke kamera.

Sebelum Shahila bisa berpikir dan menyambungkan apa yang sebenarnya terjadi, terdengar seseorang menegurnya. Shahila terperanjat, hampir menjatuhkan ponsel Shiki di tangan. Cepat-cepat Shahila menekan fitur clear all recent, lantas dengan gesit mematikan ponsel Shiki. Shahila memejamkan mata, berharap orang tersebut tidak mengintrogasi apa yang sedang Shahila lakukan dengan ponsel sahabatnya. Cewek itu menjerit saat sebuah tepukan ringan mendarat di bahu. Shahila menoleh, mendapati cowok tersebut menatapnya dengan tatapan heran.

Agesa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro