Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penduduk desa Cipuyang tahu hutan di utara punya penunggu, karena itu tidak ada yang berani mengganggu, apalagi di malam hari yang berkabut dan sepertinya mengundang hantu.

Sugeng bukan tidak tahu cerita seram yang beredar turun temurun. Dari kakek buyut, lalu ke kakek, sampai kepada bapaknya, semua bercerita bagaimana orang yang masuk hutan di tengah malam tidak pernah bisa pulang lagi.

Namun, sekarang Sugeng tidak boleh takut begitu.

Sebagai Kepala Desa Cipuyang yang baru terpilih dua bulan lalu, Sugeng bertanggung jawab atas semua yang terjadi di desanya. Termasuk masalah keamanan belakangan ini yang menimbulkan kehebohan besar. Sekarang, ia harus menantang maut untuk masuk ke hutan di tengah malam yang gelap.

Untungnya Sugeng tidak sendiri. Ia ditemani dua pemuda desa yang setengah sukarela membantunya menembus kegelapan hutan nan pekat. Setiap kali melangkah, Sugeng menggigil kedinginan.

"Beneran si Juned tadi bilang malingnya kabur ke sini, Kang?" tanya seorang pemuda berbadan gempal yang berdiri di sebelah kanan.

"Bisa aja dia bohong, Kus." Pemuda di sebelah kiri Sugeng yang bertubuh jangkung menimpali. "Dia kan biasa mabok kalo tengah malam, mungkin lagi ngelindur waktu itu."

"Nggak cuma si Juned," kata Sugeng. "Mpok Marni, Ceu Taty, sama si Juki juga bilang lihat malingnya kabur ke sini."

Kedua pemuda itu berjengit dan langsung berhenti. Sugeng baru sadar ia berjalan sendiri setelah beberapa langkah. Sugeng lalu menoleh ke belakang. "Eh Jombang, Kuskus, ngapain lu pada bengong begitu? Ayo jalan!"

"Ta-tapi, kang." Kuskus mencicit. "I-Ini hutan 'kan angker. Mbah saya bilang ada genderuwonya."

"Badan lu segede kebo, tapi nyali kayak upil," sembur Sugeng kepada Kuskus.

"Yah Kang, bukannya apa-apa." Jombang membela temannya, "kalo kita dimakan, gimana?"

"Genderuwonya kagak bakal makan situ, mbang," kata Sugeng. "Badan ceking kayak elu gitu mana ada dagingnya, paling lu cuma jadi tusuk gigi."

Awalnya, kedua pemuda itu tidak mau beranjak dari tempatnya. Namun, dengan pelototan Sugeng, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Langkah kaki mereka begemerisik ketika menginjak daun-daun kering di tanah. Sambil menyibak ranting pohon yang menghalangi jalan. Kuskus bergumam dengan sedih.

"Duuh Ucok,Meli. Kemana sih lu berdua?" Ratapan Kuskus terdengar merana. "Gue kangen sama elu berdua."

"Serius?" tanya Jombang dengan dahi berkerut. "Kambing lu dikasih nama Ucok sama Meli?"

"Emangnya kenapa?" Kuskus balik bertanya. "Daripada elu, kasih nama ikan cupang, si Mpin sama Sinyo. Nama apaan, tuh?"

"Paling nggak ikan cupang gue nggak bisa dimakan, jadi nggak ilang," kilah Jombang.

Kalah adu mulut, Kuskus menekuk wajah yang alhasil membuatnya jadi semakin mirip dengan anjing bulldog yang cemberut. Sambil berjalan, ia menahan isakan dan sesenggukan karena ingus yang hampir keluar dari hidung.

Sugeng memberikan sebungkus tisu ke Jontor. "Bukan elu doang yang kehilangan. Ayam Neng Mpit, kambing bang Atuy, sama sapi Haji Endo juga digondol itu maling sialan. Makanya kita ke sini buat cari itu maling. Kalo ketemu, terserah elu deh mau diapain. Tindih badannya sampai remuk, yak!"

Kuskus membersit hidung seperti terompet sumbang berbunyi nyaring dan mungkin terdengar sampai sepenjuru hutan. Sugeng berjengit, takut kalau suara itu membangunkan para penghuni hutan yang tak terlihat.

Jombang memutar-mutar bola mata melihat rekannya yang cengeng. Ia ingin berkomentar, tetapi Sugeng sudah memasang tampang galak untuk menyuruhnya tutup mulut dan terus berjalan.

Mereka bertiga semakin jauh masuk ke hutan, sementara suasananya juga semakin seram. Kabut yang turun membuat hampir segalanya berwarna kelabu dan sulit untuk melihat jauh ke depan. Pohon-pohon tumbuh dengan rapat membentuk barisan tiang penghalang berwarna hitam pekat. Beberapa kali mereka berhenti karena mendengar suara mencurigakan, untungnya itu hanya kelinci atau kodok yang melintas.

"Udah tahu banyak yang hilang, kenapa nggak lapor polisi aja?" tanya Jombang yang terus-terusan menggigil, napasnya sekarang mengeluarkan uap putih.

"Udah dilaporin dari tiga hari kemarin," jawab Sugeng, "janjinya mau ada polisi datang, tapi mana? Pada liat nggak ada polisi yang datang ke kampung?"

Jombang dan Jontor menggeleng. Desa mereka memang agak terpencil. Berada di tengah-tengah lembah. Satu-satunya jalan masuk tercepat ke desa itu adalah jalan setapak membelah hutan yang hanya bisa dilewati motor. Jalan itu juga belum mempunyai penerangan di malam hari.

"Pulang aja, yuk." Jombang memohon dengan suara memelas. "Malingnya mungkin juga udah kekenyangan terus tidur."

Sugeng menggeleng. Harga dirinya sebagai kepala desa sedang dipertaruhkan. Ia tidak mau dianggap gagal untuk melayani warga, apalagi Pak Haji Endo sudah memberi ancaman serius. Jika sapinya tidak ditemukan, ia akan menghentikan sumbangannya untuk kegiatan-kegiatan desa.

Sejauh ini pencarian mereka belum menemui tanda-tanda yang berarti. Sugeng sempat berpikir agar mereka berpencar, tetapi ia langsung mengurungkan niatnya. Sendirian di hutan pada malam hari lalu tersesat entah ke mana adalah hal terakhir yang ia inginkan.

"Eh, pada nyium bau nggak?" kata Kuskus membuyarkan lamunan Sugeng. "Kayak ada bau yang kebakar."

Sugeng mengendus-endus udara dan ia memang mencium jejak samar bau asap. Siapa yang membakar sesuatu tengah malam di dalam hutan begini?

Karena rasa ingin tahu, Sugeng memberi tanda kepada dua temannya untuk terus maju. Bau asap itu semakin tajam tercium seiring langkah mereka, sampai akhirnya ia melihat sebuah titik cahaya suram di ujung penglihatannya.

"Ada yang kemping di sini?" tanya Jombang yang ikut melihat cahaya itu. "Berani bener, nggak takut diculik jurig bakekok apa mereka?"

Jurig adalah sebutan untuk hantu penunggu sebuah tempat di desa. Menurut orang-orang tua dulu, para arwah itu suka menghuni pohon-pohon tinggi atau semak belukar.

Ketika mereka semakin dekat, Sugeng bisa melihat sebuah api unggun yang sudah padam. Tidak jauh dari api itu, ada sesosok tubuh kurus bersandar di batang pohon. Dari tempat Sugeng berdiri, sulit memastikan sosok itu laki-laki atau perempuan, masih hidup atau sudah tidak bernyawa lagi.

Sugeng berbisik kepada Kuskus dan Jombang. "Lu berdua tunggu di sini. Gue mau lihat keadaan dulu."

"Mending langsung serbu aja bertiga, kang," usul Jombang."Biar langsung kelar."

Sugeng menunjuk sosok di depan mereka dengan ibu jari. "Kalo itu orang beneran jurig, gimana? Bisa ga tidur lu nanti seminggu penuh."

Kedua pemuda itu langsung mengkerut. Sugeng lalu melanjutkan. "Lu berdua diem di sini, jangan bikin ribut. Kalau amit-amit nanti jadi rusuh, balik ke kampung terus cari Babah Ahsan, minta tolong dia ke sini. Ngerti?"

Babah Ahsan adalah ustadz di kampung mereka. Konon doa-doanya sering manjur, apalagi untuk berurusan dengan mahluk-mahluk halus. Kuskus dan Jombang mengangguk mantap.

Sugeng meninggalkan dua pemuda itu dan mendekati sisa-sisa api unggun di depannya dengan waspada. Ia mencengkeram senter lebih erat. Mulutnya berkomat-kamit membacakan doa apa saja yang ia ingat. Ketika senternya menyorot sosok di pohon, jantung Sugeng nyaris melompat keluar.

Untungnya, sosok itu bukan hantu, malah lebih mirip seorang pria tua yang berantakan. Ia kurus dan kemejanya acak-acakan. Matanya yang cekung tampak memyipit karena disinari cahaya senter. Pria itu otomatis mengangkat tangan untuk menutupi wajah.

Bagi Sugeng, pria itu tidak terlihat seperti hantu apalagi maling hewan ternak. lebih mirip orang tua yang sudah tersesat di hutan selama berhari-hari. Ia tampak padat dan hidup, bukan hantu yang tubuhnya transparan. Tanpa ragu, Sugeng mendekat untuk memeriksa keadaannya.

Si pria tua itu sebaliknya. Ia terlihat kaget dan ketakutan, berusaha beringsut mundur untuk menjauh setiap kali Sugeng mendekat,

"Nggak apa-apa, Pak." Sugeng berusaha menenangkan pria itu. "Saya mau nolong Bapak, boleh 'kan?"

"Ka-kamu bukan teman me-mereka?" Pria tua itu balik bertanya.

"Teman siapa?" Sugeng kebingungan. "Saya dari desa dekat sini."

Si pria tua melunak dan berhenti mundur sehingga Sugeng bisa mendekat. Ia membungkuk untuk menopang punggung si pria tua dengan tangannya, lalu memeriksa dengan lebih seksama. Salah satu lengan pria itu bengkok ke arah yang tidak wajar, mungkin patah. Di lengan yang lain, ada banyak luka lecet. Wajahnya juga bengkak dan lebam seakan habis dipukuli.

"Nak, dengerin saya," kata Pria tua itu. "Lapor Polisi."

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Di sana ... ada... ada ..." Pria tua itu terbata-bata. Ia menghirup napas dalam-dalam, "Setan ... bukan ... Monster!"

Sugeng ingin bertanya lagi, tetapi terlambat. Pria itu sudah tidak sadarkan diri di tangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro