50. Tanggung Jawab

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kebenaran telah terungkap dan waktu yang mengungkapkan Semuanya.

-MIVI-

Semua telah berkumpul di ruang rawat inap Via. Perempuan yang sedang terbaring itu masih saja menangis karena merasa sakit di sekujur tubuhnya. Berkali-kali Rose mencoba menenangkan tetapi tetap saja masih ada tangis di sana. Ratna juga ikut duduk di sofa bersama Liona dan juga si Kecil Etlan. Hanya tinggal Mike yang sedari tadi belum menampakkan hidungnya.

Mika sudah beberapa kali menceritakan kronologi kejadian. Bahkan mungkin mulutnya sampai berbusa saking banyaknya dia bercerita. Sudah diceritakan tetapi yang satu belum dengar. Tanya lagi dan cerita lagi begitu terus sampai Mika bosan sendiri.

Tangan Via mengalami patah tulang sehingga harus di gips. Kakinya mendapat beberapa jahitan jadi dia harus menjalani rawat inap beberapa hari ke depan.

"Ma, sakit. Nanti aku enggak bisa makan, gimana?" rengek Via kesekian kalinya pada Rose yang masih setia memeluknya dari samping.

"Nanti Mama suapi. Kamu harus sembuh dulu, ya? Mama sedih liat kamu kayak gini."

"Ka-kakinya ... hiks ... sakit, Ma!" tangis Via pecah seperti bayi baru lahir. Air mata saling berlomba untuk keluar membasahi pipi.

"Udah, jangan nangis. Enggak malu sama Etlan? Itu dari tadi Adek liat kamu terus, lho," kata Rose sambil menghapus air mata di pipi anaknya menggunakan jari tangannya.

Liona sibuk mengupas apel permintaan anaknya. Sedari tadi dia merengek karena melihat apel merah yang berada di meja samping Via.

"Mike kok lama banget?" tanya Jenny pada Mika.

"Lagi cari plat mobilnya. Tadi gue dikirimi sama anak kampus yang kebetulan lagi di sana, enggak sengaja buat video."

"Mana? Liat dong."

Sebenarnya Mika enggan memperlihatkan itu karena terlihat jelas kalau kecelakaan itu adalah setingan. Apalagi tangan yang menyeret paksa tubuh Via. Pasti nanti mereka akan terkejut tidak percaya. Mereka tahunya ini murni serempetan biasa tidak tahu kalau ada campur tangan manusia. Mika bukannya tidak ingin memperlihatkan itu tetapi dia takut kalau orang tua Via malah syok dan banyak pikiran.

Mau bagaimana lagi, dengan terpaksa Mika membuka ponselnya dan menyerahkan kepada Jenny yang duduk di samping Liona. Karena merasa penasaran, mereka yang ada di ruang ikut mendekat. Kecuali Rose yang masih memeluk anaknya.

"Ini maksudnya apa?! Siapa dia?!"

"Anjing!"

"Bangsat!"

Masih banyak lagi umpatan yang keluar tanpa memperdulikan adanya orang tua di dalam sana. Karena merasa penasaran, Rose melepaskan pelukannya dan berjalan ingin ikut melihat video itu.

Tangannya membekap mulut tidak percaya. Jadi kecelakaan ini hanya rekayasa untuk mencelaki anaknya. Ibu mana yang terima anaknya diperlakukan seperti itu. Amarah sudah mengumpul dan menguasai Rose. Lydia berusaha menenangkan dengan mengatakan kalau Mike sudah mengurus semuanya.

Di tempat lain, Mike melaporkan itu ke pihak kepolisian dengan menyertakan video sebagai tanda bukti. Setelah cukup lama mencari pemilik plat nomor itu, akhirnya polisi menemukannya.

Bergegas mereka menuju ke tempat tinggal pelaku. Mike juga ikut serta, ingin tahu siapa orang yang sengaja mencelakai pacarnya.

Salah satu polisi mengetuk pintu rumah berlantai dua. Beberapa kali ketukan tidak ada tanda-tanda orang akan membukakan pintu. Hingga dengan terpaksa Mike ikut mengetuk dengan cara kasar. Baru setelah itu pintu terbuka dan keluarlah seorang wanita.

"Ada apa ini?" tanyanya heran.

"Apa benar ini kediaman Bapak Bagas?"

"Iya, benar." Ragu wanita itu menjawab. Pikirannya sudah berkelana tak tentu arah.

"Ada apa, Ma?" muncul pria paruh baya yang saat ini sedang dicari.

"Bapak kami tangkap atas dasar percobaan pembunuhan kepada saudari Via."

Tanpa banyak bicara, polis segera menangkapnya dan membawanya masuk ke mobil. Bagas terlihat meronta dan berteriak tidak terima. Wanita tadi yang diyakini adalah istrinya, sudah menangis dan memohon-mohon pada polisi.

"Bapak bisa jelaskan nanti di kantor polisi."

"Kalian tidak punya surat tangkap! Jangan asal tangkap suami saya!" teriak istrinya tidak terima.

Salah satu polisi yang berdiri di dekat pintu mobil langsung mengeluarkan selembar kertas dan membuka lipatannya. Dia memperlihatkan kertas itu lalu melipatnya kembali, memasukkan ke dalam saku dan segera menutup pintu mobil.

"Saya tidak bersalah! Saya hanya dijadikan alat balas dendam!"

Mike memperhatikan jalannya interogasi di dalam sana. Dia melihat melalui kaca yang membatasi ruangan dengan beberapa komputer dan alat suara yang merekam semua kegiatan interogasi.

Sekitar satu jam kemudian, polis di dalam sana keluar dan menemui Mike. Dia mengajak Mike untuk keluar dari ruangan itu.

"Dia cuma alat."

"Maksudnya?" tanya Mike tidak paham.

"Ada pelaku sesungguhnya. Dia hanya kaki tangan aja tapi tetap dijatuhi hukuman karena yang bertindak adalah dia."

"Boleh saya bicara dengan dia? Hanya empat mata saja." tanya Mike penuh harap. Ada sesuatu yang harus dia pastikan di sini.

Polisi di depannya mengangguk dan mempersilahkan Mike untuk masuk ke ruang interogasi. Sebelum duduk, dia menatap Bagas yang menunduk seakan sedang menyesali perbuatannya.

Mike duduk dengan tangan di atas meja saling bertautan. Matanya menatap tajam orang di depannya.

"Siapa?"

Bagas mendongak dan terkekeh setelah tahu siapa yang ada di hadapannya.

"Akhirnya bisa ketemu sama yang namanya Mike." Senyum sinis dia berikan untuk Mike.

"Siapa?" ulang Mike tidak terpancing sama sekali dengan perkataan Bagas. Baginya itu tidak berguna, tidak lebih dari sampah.

Bagas menaikkan alisnya dan menyender pada kursi.

"Kamu tanya siapa yang nyuruh saya? Jangan harap saya akan bilang."

"Sebegitu besarnya cinta Anda pada perempuan ular itu? Harusnya Anda ingat dengan istri dan anak Anda yang di rumah sedang khawatir."

Bagas menggebrak meja tidak terima, "Siapa yang kau sebut perempuan ular itu? Kamu anak masih bau kencur udah berani nantangin orang tua!"

"Kalau orang tuanya seperti Anda, kenapa saya harus takut?"

"Saya tahu siapa perempuan itu. Gladis?"

Bagas terdiam tidak dapat mengelak lagi. Dia hanya mampu menatap kukunya.

"Jangan bawa dia ke sini. Dia enggak salah sama sekali. Dari awal memang aku yang membuat dia menjadi perempuan menakutkan. Dia hanya sedang berusaha untuk mengembalikan keadaan."

"Mengembalikan keadaan dengan cara kotor? Itu sama sekali tidak akan berhasil. Anda harunya tidak membelanya sampai seperti ini. Saya kasih melihat istri dan anak Anda yang tidak tahu apa-apa tapi terkena imbasnya."

Mike bangkit dan tersenyum meremehkan ke arah Bagas yang hanya bisa menunduk. Dia sebenarnya merasa kasihan tetapi mengingat kejadian beberapa jam lalu membuat rasa kasihan itu langsung lenyap seketika.

"Kalau bisa bebas pakai jaminan, coba saja," saran Mike sebelum berlalu keluar ruangan.

Bagas mendongak menatap Mike yang sudah hilang ditelan pintu. Kini dia tahu kalau semua ini adalah kesalahannya. Sejak awal dia yang memulai dan hari ini pula dia yang mengakhiri. Dia sadar kalau Mike tidak tahu faktanya, hanya tahu apa yang dia lihat di hari itu.

Assalamualaikum

Gak rame ah. Gak asik.

Jangan lupa vote sama kasih bom komen yang banyak.

Mau update kemarin tapi kuota habis. Ini aja tetring adek wkwk.

Kata-kata itu selalu aku tulis tapi kalian yg cuma baca gak ngelakuin. Tega, ya. Thanks yg udah vote komen.

Jogja | 12 November 2020 | 06.40

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro