10. Alessio Rocco

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 10 Alessio Rocco

Tubuh Selena membeku. Entah apa yang dimaksud dengan permainan kejar-kejaran yang pria itu ucapkan. Ia yang mencoba melarikan diri dari pria itu atau dari kejaran sang paman. Pandangannya yang bergerak ke arah meja membuat tubuhnya semakin menegang. Dengan sabuk dan dasi yang diletakkan di sana.

Mata Selena mengerjap, menelan ludah teringat kedua tangannya yang diikat di kepala ranjang dan mulutnya disumpal. Ketidak berdayaannya menghadapi keberengsekan Lucca pada tubuhnya. Bayangan tersebut berhasil menciptakan ketakutan teramat sangat yang menggerogoti dadanya.

"A-aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," jawab Selena. Dengan suaranya yang berhasil keluar tanpa getaran sedikit pun.

Lucca terdiam sejenak dengan jawaban tersebut. "Kau sudah mendapatkannya?"

Selena tak punya pilihan selain berbohong dan mengangguk pelan. Di balik ketenangan yang ditampilkan oleh Lucca, ia tahu ada ancaman yang cukup serius dari pria itu.

"Dan apa keputusanmu?"

Selena menelan ludahnya. Mencoba memutar otak, mencari jawaban yang diinginkan oleh Lucca. "Kau tahu aku tak punya pilihan, kan?"

Mata Lucca menyipit. Dengan jarak di antara mereka yang cukup jauh, ia tetap bisa menangkap kejujuran dalam jawaban tersebut. Yang membawa kepuasan di senyumnya. "Baguslah jika kau sudah menyadari posisimu. Sekarang kemarilah." Lucca menurunkan salah satu kaki dan menepuknya.

Selena menatap pangkuan tersebut sambil menggigit bibir bagian dalamnya. Sejenak melirik sabuk dan dasi yang masih tetap berada di tempatnya. Dan kepatuhannyalah yang akan membuat kedua benda itu tetap berada di sana.

Perlahan, kakinya melangkah mendekat. Menyeberangi ruangan dan berhenti tepat di depan pria itu. Lucca dengan tak sabaran menarik lengan dan mendudukkannya di pangkuan pria itu dengan kedua kaki yang terbuka.

Selena sempat memekik dengan sentakan tersebut. Dan tak sempat mencerna keterkejutannya ketika bibir Lucca menangkap bibirnya. Memaksa lumatan yang panjang dengan lengan yang semakin merapatkan tubuh mereka sementara tangan lain pria itu sibuk menanggalkan pakaian yang ia kenakan.

Entah berapa kali ia dibuat terkejut dengan setiap gerakan, sentuhan, dan cumbuan Lucca terhadapnya. Ketika pria itu berhasil merobek celana dalamnya, ketika cumbuan pria itu yang bergerak turun ke dadanya, juga sentuhan pria itu di pusat tubuhnya yang sukses membuatnya kehilangan ritme bernapas.

Semakin lama, napas Lucca semakin memberat. Sentuhan dan cumbuan pria itu semakin kuat dan dalam. Hingga akhirnya pria itu berhasil menyatuhkan tubuh mereka, bersama dengan keringat yang semakin membuat tubuh keduanya licin.

Selena tersentak pelan dengan penyatuan tersebut. Membuat Lucca berhenti sejenak, melepaskan gigitannya di antara cekungan leher gadis itu dan bergerak menangkap bibirnya. Untuk beberapa detik, keduanya berhenti.

"Rileks. Kali ini kita akan lebih baik," bisik Lucca dengan bibir yang masih menempel. Telapak tangannya mengelus pinggang Selena dengan lembut, sebelum kemudian memegang di kedua sisi tubuh gadis itu. Menggerakkan naik turun dengan pelan dan perlahan.

Selena tak punya pilihan selain menuruti keinginan Lucca. Membiarkan tubuhnya bergerak seperti yang diinginkan Lucca. Membiarkan pria itu mengambil semua kenikmatan dari tubuhnya hingga di titik di mana Selena benar-benar tak berdaya. Menerima dan merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Erang kepuasan Lucca mengakhiri permainan panas tersebut. Tubuh Selena jatuh ke pelukan Lucca yang bersandar di punggung sofa. Keduanya tak lagi bergerak, dan ruangan hanya dipenuhi suara napas mereka yang terengah.

***

Selena terbangun dengan tubuh telanjang dan tulang yang seperti remuk redam. Mengerang pelan, ia menyingkap selimut. Dan baru menyadari lengan yang melingkari pinggangnya. Kepalanya berputar ke samping. Menemukan Lucca yang masih berbaring di ranjang.

Ya, semalam ia terlalu lelah melayani hasrat pria itu yang seolah tiada habisnya. Setelah lewat tengah malam, baru pria itu membiarkannya tidur. Dan ia sudah benar-benar tertidur tanpa menunggu pria itu pergi. Seperti yang dilakukan Lucca di malam sebelumnya. Meninggalkannya sendirian setelah menuntaskan hasrat.

Gerakan tangannya tersebut berhasil membangunkan Lucca. Yang seketika mengencangkan lilitan di tubuhnya.

"Mau ke mana?" Suara Lucca tajam, dengan mata yang masih terpejam.

"Ini sudah siang, Lucca. Aku ingin ke kamar mandi." Selena menggeliatkan tubuh, berusaha membebaskan diri dari lengan Lucca dengan sia. Tetapi tekanan yang begitu kuat di perut berhasil memancing gejolak yang membuatnya mual. Selena lekas membekap mulut dengan tangannya, menyingkirkan pegangan Lucca yang akhirnya melonggar.

Lucca bangun terduduk, melihat Selena yang berlari ke arah kamar mandi, menyusul suara muntahan yang begitu keras. Ia pun meraih celana karetnya dan menghampiri gadis itu yang sudah bersimpuh di depan lubang toilet. Dengan keringat membasahi seluruh permukaan wajah.

"Lebih baik?" Lucca membungkuk di belakang Selena. Menguncir rambut panjang Selena dengan tangan kiri dan tangan kanannya bergerak mengusap punggung gadis itu dengan lembut.

Napas Selena masih terengah. Gejolak di perutnya sudah mereda dan mualnya pun sudah berhenti. Kepalanya yang masih sedikit pusing bergerak mengangguk. Dan dengan bantuan Lucca, ia duduk di tepi bath up. Membiarkan Lucca membersihkan sisa muntahan di sekitar bibir dengan tisu.

Ketika napasnya kembali normal, barulah ia menyadari tubuhnya yang masih telanjang. Yang membuat wajahnya seketika berubah merah padam, menggunakan kedua lengan untuk menutup bagian dadanya.

Lucca yang menangkap keterkejutan tersebut pun hanya terkekeh pelan. Meski pemandangan polos tersebut membuat perutnya menggeliat oleh kebutuhan yang tak ada hubungannya dengan makanan, tetap saja ia tahu kapan harus menuruti maupun menahan hasratnya tersebut. Ia pun meraih jubah mandi yang ada di gantungan dan menyelimutkan kain lembut tersebut di tubuh Selena.

"Kembalilah ke tempat tidur," pintahnya kemudian.

Selena terheran dengan pintah tersebut, tetapi tak membuang kesempatan tersebut untuk menjauh dari Lucca. Ia gegas beranjak menuju pintu kamar mandi, kembali berbaring di tempat tidur. Jam di nakas masih menunjukkan jam enam pagi. Setidaknya ia masih memiliki satu jam sebelum bersiap pergi bekerja. Dan mungkin Lucca sudah pergi saat ia bangun.

Namun, semua itu hanyalah harapan yang tak pernah menjadi kenyataan. Saat Selena bangun satu jam kemudian, Lucca duduk di tepi ranjang. Membantunya bangun terduduk dengan nampan berisi makan pagi di atas nakas.

"Makanlah. Minum vitamin dan obat pencegah mualmu. Itu akan membuatmu merasa lebih baik."

Selena tak mengatakan apa pun. Perutnya yang kosong memaksanya melahap makanan yang ditawarkan oleh Lucca. Begitu pun vitamin dan obat pencegah mualnya. Kepalanya juga tak pusing lagi.

"Mulai hari ini kau tidak perlu pergi bekerja." Lucca memulai pembicaraan dengan titah tersebut. Mengusap sisa air putih di ujung bibir Selena sekaligus memindahkan nampan dari pangkuan Selena kembali ke meja nakas.

"A-apa?"

"Dokter bilang kandunganmu masih lemah dan tidak mengijinkanmu untuk melakukan pekerjaan yang berat. Demi ..."

Kepala Selena menggeleng dengan cepat. Menurunkan kedua kakinya dan berdiri di hadapan Lucca. "Kau bilang aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan, kan? Melakukan semua hal yang biasa kukerjakan."

"Sekarang keadaan sudah berubah."

"Tidak." Selena menggelang lagi. "Sejak awal kau tahu aku melakukan inseminasi buatan itu. Tak ada yang berubah."

Lucca terdiam. Menatap lekat kedua mata Selena. Dan untuk pertama kalinya, argument gadis itu cukup masuk akal dan ia pun menuruti apa yang diinginkan Selena. "Kalau begitu aku yang akan mengantarmu." Lucca bangkit berdiri. Menangkap ujung dagu Selena dan mendaratkan satu lumatan untuk membungkam protes yang akan keluar dari mulut gadis itu. "Tak ada bantahan."

***

Selena turun dari mobil Lucca di tepi jalan yang cukup jauh dari area restoran. Tak berhenti mengedarkan pandangan ke sekeliling demi memastikan tidak ada yang melihatnya turun dari mobil mewah Lucca. Berjalan mengendap-endap menuju halaman restoran yang masih sunyi.

"Apakah pria itu masih mengincarmu?" Suara Alessio yang tiba-tiba muncul di depan Selena membuat gadis itu terkejut karena nyaris menabrak dada bidangnya.

"T-tuan Alessio?" Selena melangkah mundur. Menciptakan jarak yang cukup sopan untuk seorang pelayan yang berhadapan dengan bosnya. "T-tidak," ucapnya menjawab pertanyaan sang bos.

Alessio ikut mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Tapi tak menemukan apa pun yang mencurigakan. "Bagaimana lukamu?" Tangan Alessio terulur, menangkap ujung dagu Selena memeriksa luka yang sudah sembuh dengan baik. Tetapi kemudian perhatiannya teralih pada memar di pergelangan tangan Selena yang berusaha menurunkan pegangan dari wajah gadis itu.

"Saya baik-baik saja, Tuan." Selena memundurkan tubuhnya, menganggukkan kepala dan berpamit. "Terima kasih untuk semuanya."

Alessio tetap bergeming di tempatnya, menatap punggung Selena yang buru-buru melangkah masuk ke dalam restoran. Cukup lama ia berdiri dengan kerut keheranan. Dan ketika hendak menyusul masuk, pandangannya menangkap mobil hitam mengkilat yang menjauh dari area restoran. Mobil yang cukup familiar di ingatannya.

"Lucca?" gumamnya lirih dengan kerutan yang semakin menukik tajam. "Kenapa Selena turun dari mobil Lucca?"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro