06| Langgar Garis Edar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Aku habis dari kantin, bareng Kalea."

Tanpa bisa menyembunyikan cengiran lebarnya lebih lama lagi, Kiano menyugar rambut, tampak cerah sekali. Bel sudah berbunyi di setiap penjuru Persatas sejak satu menit lalu, jam pelajaran hari ini pun berakhir. Di jam pulang inilah, Mat baru punya kesempatan untuk menanyakan alasan ketiadaan eksistensi Kiano selama jam istirahat kedua itu. Bahkan Kiano baru selesai mengganti seragam olahraganya persis ketika Miss Syarah sudah muncul di lorong-lorong kelas untuk memulai pembelajaran Kimia, tadi. Mat kembali mengonfirmasi, "Habis olahraga dipanggil Bu Enden, masuk tim kimia. Tapi kau mendadak raib ditelan bumi. Aku sudah mengirimkan kontakmu pada Kak Zafran."

Dengan tangan kecil yang susah payah mendekap helm cokelat kebesaran di depan perutnya, Bintang menceletuk, "Kiki? Kiki ke kantin Mang Dod, enggak ajak-ajak Bintang? Enggak belikan batagor atau mi ayam pangsit, gitu? Kok, kejam!"

Demi mendengar panggilan manis itu, Kiano merotasikan kedua bola matanya, malas. "Kiki, Kiki. Hentikan sebutan konyol itu. Aku tahu aku unyu, tapi fakta menyatakan bahwa kau hanya akan melakukannya di saat kepalamu sedang diisi hasrat traktiran dan ada maunya. I know it so well, Bi."

Mereka mulai melanjutkan pembicaraan selagi berjalan menuju tempat parkir. Akan tetapi, langkah ketiganya terhenti begitu menyadari Kiano masih bergeming di posisinya berdiri. Bintang membalikkan badan, kembali menghadap Kiano. "Apa lagi yang kau tunggu? Ayo, sekarang jadwalnya POM BENSIN, Pembekalan Olimpiade MaFiKiBi Society Bersiap Sampai Nasional. Aku tak sabar! Tante Hera, Bintang kangen camilannya! Eh, eh, sekarang Tante Hera stok makanan baru, dong, ya, harusnya?"

Tak peduli dengan kehebohan Bintang, Kiano justru meletakkan kedua telapak tangannya di belakang leher, menyangga kepala dengan santai dan sok estetik. "Uhm, maafkan. Aku tidak bisa ikut kegiatan MS, kali ini. Sekarang hari Kamis, jadwal latihan rutin klub basket."

Alfis menyerobot, "Wait, what? Ini sudah memasuki semester kedua, Lima bulan sejak pertama kali kita mendaftarkan diri di ekstrakurikuler masing-masing, dan kini kau baru punya keinginan untuk sok ikut berpartisipasi? Tiba-tiba begini? Oh, Dude. Kau bahkan bilang bahwa basket itu hanya kau jadikan sebagai penghuni kolom kegiatan ekstrakurikuler siswa di rapormu. Kau sedang akting drama macam apa lagi?"

"Eh, sungguhan! Semalaman, aku mulai berpikir soal keaktifan siswa yang menjadi salah satu faktor berpengaruh dalam nilai dan peringkat di sekolah. Lagi pula, rasanya sangat memalukan jika pria tampan sepertiku tak mengenal tanggung jawab, bukan? Hm, apa boleh buat. Lagi-lagi, seorang Kiano Aldebaran memang tak pernah gagal sebagai seorang gentleman yang budiman."

Bintang menyela, "Okay, enough. Bicara narsismu sudah teramat sangat basi dan overload! Latihan basket, kemungkinannya sampai jam berapa? Kau masih sempat menyusul ke basecamp, 'kan?"

"Kisaran jam lima sore. Dan sehabis itu, aku ada janji untuk makan sekaligus berburu diskonan di Kedai DoDi, bareng Kalea."

Mendapati mesem-mesem Kiano yang minta ditabok warga sekampung itu membuat kedua mata Bintang membulat sempurna. Mulutnya menganga lebar, menyembulkan sepasang gigi kelinci di balik bibir tipisnya. Netra cokelat madu Bintang menatap Kiano, sarat akan ketidakpercayaan. "Hold on. Ada apa? Kau mulai berpaling dari waifu 2D, dan beralih pada manusia nyata untuk dijadikan gandengan? Kalea? Anak basket di kelas kita itu ... mau-maunya menerima makhluk tak jelas asal-usulnya sepertimu ini, Ki? You must be kidding."

"Hei, seriously!" Kiano menghentikan gaya tengilnya, sesaat. "Bahkan Kalea yang memancingku menembaknya, Bi! Oh, come on! Bisakah kau menanggapi kenyataan hebat yang ada padaku ini dengan baik dan benar? Setiap kali aku mengalami suatu hal menyenangkan, kau selalu saja menganggap hal itu tidak seharusnya terjadi. Aku tahu statusmu sebagai penggemar beratku yang menilai seluruh pesonaku ini terlalu indah untuk dicap 'possible' eksistensinya di muka bumi ini. Tapi ada banyak cara lain untuk membahasakan rasa kekaguman yang jauh lebih mengasyikkan, Bi."

Tidak, tidak. Semua ini terasa salah. Alfis lekas kembali berbicara, "Makan ke Kedai DoDi? Kau bisa melakukannya di setiap hari Senin, bukankah sebelumnya, kita sudah sepakat untuk menjadwalkan Senin sebagai satu-satunya hari libur dari program MS? Kita juga sering menggunakan waktu Senin untuk beli mi ayam pangsit, 'kan? Aku merasa, skala prioritasmu mulai melenceng, Kiano. Apa Kalea jauh lebih penting dari Kimia? Kau mau selingkuh begitu saja?"

Kiano mengalihkan pandangannya pada lelaki yang mengenakan wind-breaker abu-abu itu, lalu mengedikkan kedua bahunya singkat. "Ow, Alfis! Bagaimana bisa kau jadi terdengar seperti emak-emak rusuh yang hobinya menawar daster diskonan di pasar malam? Tentu saja tidak. Ini bukan perselingkuhan. Berbeda konteks. Cara bicaramu bisa membuat orang-orang salah paham, Fis. Oke, aku sudah terlambat. Pemanasan mau dimulai. Intinya, aku izin hari ini, dan sampai jumpa di sekolah, esok hari! Bye!"

🏅   🏅   🏅

"Apa-apaan, sih, anak itu?" Baru saja membanting tas ke atas karpet, sesampainya mereka di markas depan rumah Mat, Alfis sudah duduk bersila dengan kedua tangan menyilang, mengisyaratkan kontradiksi. Kedua alis tebalnya beradu, mengernyit tidak senang. "Dia memang selalu bermain-main. Tapi baru kali ini aku melihatnya seolah membuang kesempatan untuk ber-PDKT dengan Kimia, begitu saja."

Mat meletakkan semangkuk jumbo somay berlumur saus kacang dan baluran kecap yang menggugah selera. Kali ini, Tante Hera menyiapkan makanan dalam waktu yang terbilang awal sekali. Mereka belum mulai membuka buku, bahkan belum sampai satu menit sejak menginjakkan kaki di sini.

Katanya, sih, Tante Hera habis membuat satu panci besar somay untuk merayakan acara kondangan anak sulung Bu Haji Amir, tetangga yang selalu berbaik hati mengirim mangga ke sana-sini kalau pohon di halamannya berbuah. Makanya, langsung saja Hera suguhkan ke anak-anak MS, mumpung masih ada hangat-hangatnya.

Bintang langsung memasang posisi di hadapan mangkuk somay. Supaya pergerakannya tidak terlalu mencolok, Bintang merespons kalimat sebal Alfis lebih dahulu. "Yah ... mungkin dia memang ingin mempertanggungjawabkan ekstrakurikuler yang sudah dipilihnya. Sepertiku, yang masih aktif di klub sastra, 'kan?"

"Tentu saja, itu bisa diterima logika. Tapi tidak dengan Kalea."

Garis rahang Alfis mengeras. Mendengar nada tajam nan sarkasme yang tiada bandingannya di antara seluruh agen MS ini, tak ada lagi yang berminat meneruskan perbincangan yang terasa suram ini. Bintang mengerjapkan matanya berulang kali, mengalihkan atensi sepenuhnya pada mangkuk somay di hadapan. "Well, setidaknya aku menang lebih banyak bagian di camilan sore kali ini."

Sementara itu, di pojok ruangan, Mat melipat kedua tangan di depan dada. Leader MaFiKiBi Society ini tak banyak bicara atau menanggapi perubahan mendadak dari Kiano. Mat mengembuskan napas berat. Entahlah. Akan tetapi, Mat mulai mengendus keberadaan tembok besar yang akan menghadang perjalanan mereka. Tidak, tidak. Setiap agen MS sudah mafhum betul, tidak akan pernah ada jalan buntu di kamus kehidupan mereka. Mengenai tembok besar ini ... pertanyaan terbesarnya hanyalah: bisakah mereka menghancurkannya untuk meneruskan perjalanan mengarungi mimpi yang sempat tertunda?

🏅   🏅   🏅

Di ufuk timur, mentari mulai kembali ke peraduannya. Agen MS sudah membubarkan diri beberapa menit lalu, sama-sama tak tahan dengan suasana belajar yang seharusnya berlangsung seru dan menyenangkan, tetapi malah terasa menyebalkan hanya karena ketidakhadiran salah satu personelnya.

Mat menyadari mood mereka yang sedang buruk, terutama dari kernyitan kedua alis Alfis yang tak henti-henti menghiasi wajahnya. Yeah, suatu hal langka, mengingat Alfis yang jarang memasang pose tersebut meski sedang menghadapi soal fisika dengan tingkat paling sulit sekalipun. Walau selalu ngotot dan melontarkan kalimat sarkas yang meledak-ledak, Alfis selalu enjoy jika berinteraksi dengan fisika, tidak seperti kali ini. Nyaris tiga tahun bersama membuat Mat cukup memahami itu dengan baik.

Suasana di Kedai DoDi justru berbanding terbalik. Di salah satu mejanya,  tampaklah Kiano dan Kalea yang sangat heboh membahas atlet basket kelas dunia. Mereka habis mendiskusikan tugas Kimia yang tidak bisa Kalea kerjakan. Kini, Kiano menatap kedua netra Kalea, lekat-lekat. Tenggelam. Bak samudra lepas, kedua manik mata itu sukses menenggelamkan Kiano hingga tak tahu dan tak mau tahu caranya naik lagi ke permukaan. "By the way, lay-up dan teknik drive-mu sudah another level di mataku."

Sesaat, Kalea kesusahan menahan semburat malu di kedua pipinya. Demi mengalihkan itu, Kalea mengibaskan tangan berulang kali sambil memalingkan pandangan. "Tidak ada apa-apanya jika dibandingkan Kak Sabrina. Kau lihat sendiri, kan, latih tanding kapten tim basket putri kita yang satu itu? Benar-benar definisi dari monster. Ah, aku paling suka slam dunk-nya."

"Kudengar, dia memang mewarisi gen seorang atlet basket ternama di bumi nusantara, Zanki Danendra, kau tahu?"

Kalea tampak tercekat. "Masa iya? Bagaimana bisa aku baru mengetahui informasi sepenting itu? Aku harus minta tanda tangan beliau lewat Kak Sabrina, besok-besok! Thanks, Ki. Kiano memang selalu tahu banyak hal, ya?"

Mendengar nada kekaguman itu membuat Kiano lagi-lagi—entah keberapa kalinya hari ini—menyugar poni rambutnya ke belakang. "Tentu saja. Aku punya sumber informasi terpercaya yang menjadi mata-mata setiap penjuru Persatas hingga individu penduduknya. Ah, apa kau tahu ruang kelas XI MIPA-3 yang berada di pojokan bagian belakang sekolah yang temaram dan kekurangan intensitas cahaya itu? Ya! Dikenal sebagai kelas horor, apa kau tahu backstory-nya? Semua ke-anu-an yan terjadi di sana itu berkaitan dengan program LDKS OSIS di zaman dahulu yang ... yeah, cukup bermasalah dan mengusik eksistensi 'mereka' di sana."

Kalea menutup mulut, kaget dengan serentetan informasi yang baru saja diterima otaknya. "A-apa? Jadi ... hantu noni-noni yang dibicarakan anak basket itu sungguhan?"

"Ssshh!" Kiano mendekatkan badannya ke arah Kalea sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir itu. Dasar, modus roh halus! Kiano berlagak melirik ke sana kemari dengan mata memicing, menjiwai sekali. "Jangan bicara keras-keras dan terlalu frontal! Mereka ... bisa mendengarnya."

Lagi dan lagi, Kalea menahan jeritan. Tangan dengan hand band di pergelangan tangannya itu menutup kedua matanya sendiri. Berniat memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Kiano menepuk-nepuk pucuk rambut Kalea, gemas.

"Tak apa, tak apa. Aku di sini. Oh, apa mungkin kau butuh dekapan? Aku selalu bersedia."

Dalam hati, Kiano berterima kasih pada Ken Alvaro, anak kelas XI MIPA-5 yang menjadi salah satu staf dalam grup perkumpulan mata-mata Persatas, sekaligus sumber rumor dan gosipan-gosipan hot yang beredar. Berkat mendengar informasi menarik tentang Sabrina—yang tak lain adalah teman sekelas Ken—juga konspirasi-konspirasi di balik kelamnya ruang kelas XI MIPA-3, Kiano jadi sukses besar dalam membawakan topik pembicaraan dengan Kalea.

Diam-diam, Kiano mengepalkan tangan di depan dada. Terima kasih atas ilmu yang sangat bermanfaat ini, Senpai! Sehabis ini, aku tak akan memanggilmu admin lambe turah lagi!

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro