10| Ruang untuk Pulang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kiano sukses dipecundangi oleh seorang Kalea yang tak lebih dari patogen asing di kehidupannya. Sosok itu tampak kacau. Bisa Bintang pastikan, Kiano bahkan tak mendengar bel jam pelajaran pertama yang baru saja berbunyi nyaring. Sebelum Kiano semakin tenggelam dan Bintang akan kesulitan untuk kembali meraihnya, lekas saja Bintang keluar dari persembunyian. Kiano sebenarnya cukup terkejut begitu mengetahui dirinya dibuntuti Bintang sedari tadi. Akan tetapi, raut muka itu masih saja sama. Sarat akan kekecewaan.

Dan Bintang-lah yang paling memahami hal itu. Susah payah, dirangkulnya bahu Kiano yang persis sejajar dengan kepala Bintang. Kiano tak berkedip sama sekali. Tidak ada respons. Menoleh saja tidak. Bintang mengeratkan dekapannya sambil menguatkan kaki untuk berjinjit lebih tinggi lagi. "Ki, sudah bel masuk. Ayo ke kelas."

Sejenak, barulah Kiano tersadar. Tanpa melirik Bintang di sampingnya, Kiano mengulas senyuman lebar. Tak jauh berbeda dengan cengiran khasnya selama ini. Akan tetapi, kali ini, mendadak saja Bintang seolah bisa menangkap baret luka di sana. Kiano melepaskan rangkulan Bintang secara perlahan. Saking asingnya dengan Kiano yang seperti ini, rasanya Bintang tak punya ide lain selain berdiam diri saja dan mengamati punggung Kiano yang mulai mendekati salah satu meja food court.

Eh, jangan. Bintang harus mengikutinya lagi, tanpa terlihat. Bagaimanapun, Bintang harus memastikan keadaan sahabatnya. Bisa gawat jika Kiano mengamuk di food court yang sedang disesaki arus pulang para pengunjung. Bukan. Bintang yakin Kiano jauh lebih kuat dari dugaannya. Bintang hanya bertindak sebagai antisipasi jika seseorang malah melaporkannya untuk masuk penangkaran saja. Bukan apa-apa. Kiano bisa jadi selebritas ternama di antara penduduk margasatwa, tetapi Bintang jadi mengkhawatirkan kondisi mental fauna lainnya.

Itu Nahda dan Kalea yang tampak sudah bersiap untuk kembali ke kelas. Demi mendapati Kiano yang tiba-tiba berjalan mendatangi mereka, serentak saja keduanya saling lirik, waswas. "Ki?"

Panggilan lembut yang manisnya sudah bertransformasi jadi nada paling pahit yang pernah Kiano dengar, membuat Kiano hanya memasang senyuman simpul. "Oh, jangan merasa sungkan. Teruskan saja pembicaraan kalian soal pengembangan alat terbaru itu. Aku hanya mau bertransaksi secara resmi." Kiano memperlihatkan selembar uang milik Kalea di tangannya. "Hanya sepuluh ribu? Hei, ayolah. Kau bahkan ditraktir Nahda sepiring batagor, pop ice, dan mungkin untuk makan siang nanti? Ah, belum lagi hari-hari sebelumnya. Kenapa bagianku hanya segini?"

"K-Kiano .... Apa maksudmu? Aku tidak mengerti semua pembicaraanmu itu. Sepuluh ribu? Kau mau mengembalikan uangku, ya? Benar! Bagaimana kau bisa menyadari uangku yang terjatuh, sampai aku harus ditraktir Nahda begini?" Kalea tersenyum hambar, kesulitan menyembunyikan cara bicaranya yang gelagapan. Beberapa kali, Nahda diam-diam menyenggol pinggang Kalea, merasa terpojok.

"Oh, daripada memalak teman, kusarankan kau mengikuti casting saja, Kalea. Aku rasa, kau punya potensi besar di bidang itu."

Ya. Dia memang ahli sekali memainkan drama. Kiano sampai perlu berjuta kali meyakinkan diri bahwa semua tentang Kalea tak lebih dari rekayasa. Hanya dibuat-buat. Dan satu-satunya cara untuk mengapresiasi bakatnya itu, cukup dengan mengikuti alur yang sudah dibuat Kalea.

"Ya! Ini cuma sepuluh ribu. Tapi karena aku adalah seorang lelaki yang rajin menabung dan selalu peduli terhadap sesama makhluk hidup yang membutuhkan ... ini. Aku sumbangkan saja."

Bintang terlonjak kaget begitu mendapati Kiano sudah menoleh ke arahnya yang sedang sembunyi di balik meja food court belakang Kiano. Mata Bintang berlarian ke sana kemari. Sejak kapan manusia itu menyadari kehadirannya di sini?

Demi mempertahankan image tak berdosanya, Bintang langsung berlagak menjatuhkan uang recehan, lalu mengambilnya. "Ah, uangku di sini, ternyata. Bahaya kalau hilang. Papa bisa memarahiku habis-habisan jika ritual kerokannya cancel hanya gara-gara ini."

"Oi, Bi." Panggilan Kiano membuat Bintang menghentikan pergerakan. Padahal Bintang sudah bersiap mengambil langkah seribu untuk melarikan diri. Oh, demi sederet husbu-nya di alam gepeng sana, kenapa Bintang malah terlibat dalam sinetron yang serbasalah ini? Perlahan meski enggan, Bintang berbalik.

"I-iya?"

"Aku melupakan sesuatu." Kiano memiringkan kepalanya. "Apakah suatu makhluk yang tak memiliki otak masih bisa disebut sebagai organisme makhluk hidup?"

🏅   🏅   🏅

"Sungguhan? Kau putus?" Mat mencoba mengonfirmasi cerita Bintang pada pelakunya sendiri. Mereka masih di tempat parkir, sedang bersiap dengan helm di tangan masing-masing untuk meluncur menuju markas tercinta mereka.

Kiano hanya menanggapinya dengan menggaruk tengkuk yang tidak gatal, tampak malu sekaligus salah tingkah. "Yah .... Pada akhirnya, selalu saja begitu. Tidak akan pernah ada manusia sebagai makhluk serbaterbatas yang mampu menempati posisi spesial di dalam hidupku. Kiano Aldebaran, substansi yang tak bisa tertandingi. Well, aku memang makhluk supreme yang terlalu keren untuk setiap drama di dunia fana ini."

Baiklah. Kiano sudah kembali bicara narsis. Berarti ia memang seratus persen baik-baik saja. Akan tetapi, tak ada lagi sarkasme Alfis atau nyinyiran Bintang yang biasanya tak mau kalah untuk menistakan Kiano. Kini, mereka justru hanya menahan senyuman geli di sudut bibir. Dalam diam, sama-sama merindukan kalimat kepedean itu.

Untuk pertama dalam terakhir kali mereka berkendara saling susul-menyusul di jalanan siang menjelang sore, mereka merasakan sensasi menyenangkan yang terasa telah lama hilang. Alfis selalu paling ahli dalam hal tancap gas. Dan seperti biasanya, Bintang hanya bisa menggeram kesal, lalu membunyikan klakson manual dari bibirnya. "Mat, ayo! Lebih cepat lagi!"

Jika sudah begitu, Mat akan menjawab, "Tidak, Bi. Ini sudah mencapai kecepatan maksimal. Sebagai pengingatan ulang, kita masih di bawah umur, Bi. Belum punya SIM. Berkendaranya saja bisa ditilang jika ada razia. Jadi, jangan macam-macam. Safety first. Laju berkendara ini sudah sesuai dengan Standard Operation Procedure yang berlaku."

Kalau Mat sudah bersabda begitu, Bintang hanya bisa mendesah pasrah, lalu melipat tangan di depan dada, tak berselera bicara. Bintang kalah dari Alfis! Andai saja dirinya memiliki tinggi yang cukup untuk menapaki jalan saat duduk di atas jok pengemudi, Bintang tak akan membiarkan Alfis memimpin! Sementara itu, Kiano santai saja mengemudikan sepeda motornya di belakang mereka, terhalang oleh sebuah truk tronton yang mengangkut kerikil.

Bintang rempong menolehkan kepala untuk mengetahui posisi Kiano. Bintang berdecih meremehkan. "Kau lambat sekali, Ki! Tidak punya gairah hidup, ya!"

Tak peduli dengan pengemudi lain yang berkali-kali melirik sumber kericuhan di jalan itu untuk memastikan tidak ada pasien dengan kejiwaan terganggu yang bermain-main di tengah lalu lintas, Kiano balas teriak, "Bukan! Ini namanya menikmati hidup dengan gaya, tahu!"

Lima belas menit kemudian, mereka sampai dengan selamat. Mat memarkirkan motor, melepas helm, lalu menarik napas panjang. Ya. Masih memikirkan di mana kemungkinan kewarasan Bintang dan Kiano terjatuh. Tidak pernah ditemukan. Mat mulai berfirasat bahwa akal sehat keduanya memang tertinggal di rahim mamanya masing-masing.

Sesaat, kehebohan itu terhenti. Mereka teringat dengan minggu-minggu ini yang terasa suram sekali untuk dilalui. Mereka mematung sejenak di depan bingkai pintu markas. Bintang mengembuskan napas lega. "Yeah ... welcome home, Ki. Part dua. Jangan membuatku mengulanginya untuk ketiga kali."

Kiano mengangkat bahu, sekilas. "Thanks, Bi. Aku merasa sangat tersanjung."

Mereka sudah duduk di posisi masing-masing, melingkari meja bundar. Tidak ada yang menyiapkan alat tulis dan starter pack mereka sebelum belajar, lebih dulu. Di tengah keheningan itulah, tiba-tiba saja Kiano melepaskan semuanya. Dia menangis kencang. Cukup keras untuk didengar tetangga, apalagi orang-orang di rumah Bintang. Tiga orang lainnya tak bereaksi banyak, hanya saling pandang. Yeah. Orang lain bisa mengira adanya kelahiran bayi baru di rumah Mat.

Bintang yang paling terbiasa menghadapi situasi semacam ini. Dia menepuk-nepuk pundak Kiano sekeras mungkin. "Gentleman yang berbudiman juga boleh nangis, kok."

Butuh beberapa menit hingga rengekan Kiano terhenti. Mat yang peka langsung mengambilkan air putih, sekalian untuk yang lainnya. Tanpa tedeng aling-aling, Kiano langsung menenggak habis isi gelasnya. Tenggorokannya kering kerontang. Mat baru selesai menuangkan air dari teko untuk gelas Bintang dan Alfis, ketika Kiano langsung menyerobot punya Bintang. Lagi-lagi tandas kurang dari lima detik.

"Oi! Itu punyaku!"

Masih tak tahu diri, kini Kiano mulai merebut gelas Alfis. Kiano menarik napas penuh nikmat. Setelah hausnya dirasa hilang, Kiano kembali menjerit pilu.

Tak lagi berminat mengurusi makhluk absurd yang tengah bermuram durja, ketiganya pun lebih memilih untuk menikmati klepon isi cokelat buatan Tante Hera yang baru disimpan Mat di atas meja lipat. Kehadiran makanan dalam radius kurang dari lima meter membuat radar Kiano seolah menyala. Tidak, tidak. Bintang bisa menghabiskannya dalam sekejap. Kiano tidak boleh lengah sedetik pun!

Rempong sekali. Anak itu menyenggol tangan Bintang yang sudah menyomot butir-butir klepon hingga memenuhi batas kapasitas tangannya. Bintang memasang muka yang sudah siap memakan Kiano hidup-hidup, saat itu juga. "Kau ini! Kalau sedang menangis, menangis sajalah! Jangan malah semakin barbar untuk memonopoli makanan orang! Padahal tadi, kau sudah sok keren sekali memberikan uang sepuluh ribu untuk Kalea. Kenapa kau tak kunjung kalem juga selama ada di hadapanku?"

Kiano menelan klepon tanpa jeda. Akan tetapi, kalimat Bintang menghadirkan siluet Kalea di bayang-bayang kenangnya. Masih dengan sebiji klepon yang nangkring di mulutnya, Kiano kembali kumat. Bibirnya mangap lebar, membuat Bintang was-was, khawatir klepon yang sudah berlumuran berbagai zat sekotor akhlak Kiano itu akan terjatuh menghiasi karpet.

Mat tak kalah cemas. Segera saja ia mengambil alih situasi. "Sudahlah, Ki. Kau ini representasi dari orbital s. Terkadang, kau perlu kehilangan satu elektron agar tatanan konfigurasi tetap stabil. Dan elektron itu adalah Kalea. Pada hakikatnya, kau memang sudah sempurna bersatu dengan kimia. Dan hubungan spesial itu tidak selemah ikatan ion yang bisa diterobos perempuan lain, apalagi hanya Kalea. Jelas saja kalah jauh dengan Kimia-mu, 'kan?"

Demi mendengar itu, Kiano tampak jinak untuk sesaat. Bintang buru-buru menambahkan, "Yea! Benar sekali. Kalea tak lebih dari bakteri salmonella yang merangsek masuk ketika cangkang kehidupanmu lemah dan rapuh. Ingat prinsip bahan-bahan adiktif? Kau sempurna teradiksi atas rasa semu yang ditawarkannya, karena kau membiarkan Kalea masuk ketika pintu hidupmu sedang terbuka. Selain itu, daripada kau ber-sad boy ria dengan menangisi seorang perempuan yang bahkan tak bisa menerima Kimia kesayanganmu itu di dalam hidupmu, aku akan jauh lebih ikhlas kau jadi fakboi berpendidikan S3 di Jurusan Narsistik dan Perjametan."

Binar di kedua mata Kiano kembali terbit, berpijar. "Really?"

Tak tahan dengan puppy eyes yang sangat amit-amit itu membuat Bintang langsung mengalihkan muka, muak, lantas menjawab sekenanya, "Sure, Bestie."

"Aw, Bintang! You're so Copper and Tellurium, CuTe!"

Menyadari bahwa dirinya yang malah dijadikan objek percobaan, Bintang langsung protes. "What did you say? Not me!"

"But, you're the only girl, here!"

"Do it with Alfis!"

"No way! Hei, what do you think? I'm still normal! No, no. I mean, I'm still and will always normal!"

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro