12| Kurva Distingtif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apakah kau pernah melihat pemandangan di mana dua sobat kental sejak orok yang selalu menempel rekat seperti upil dengan ingusnya di waktu flu, lalu mendadak saja jadi renggang, berjauhan, dan bertingkah layaknya orang asing yang tak pernah saling mengenal?

Itu yang bisa langsung Kiano simpulkan, semenjak menyapa keduanya karena tak sengaja bertemu di tengah lalu lintas yang ramai. Pada akhirnya, mereka memutuskan berangkat bersama tanpa bicara sepatah kata. Lampu merah sudah berganti hijau. Mat dan Kiano langsung tancap gas. Sembari berusaha menyamakan laju sepeda motornya dengan Mat, Kiano berdesis-desis pelan, bermaksud menarik perhatian Mat saja untuk menanyakan alasan di balik penampakan muka Bintang yang keruh. Akan tetapi, Mat tak kunjung peka dan hanya fokus menatap jalanan lurus di hadapannya.

Ah, sudahlah. Ini tidak akan berjalan baik. Kiano melirik singkat pada Bintang yang duduk di jok belakang, menempati posisi sejauh mungkin dari punggung Mat. Motor Kiano tersusul. Bintang yang memang duduknya menghadap ke belakang dan beradu punggung dengan Mat pun kini menatapnya sarat akan hasrat kesumat untuk mengamuk. Aura gelap terus-terusan mengungkung sosok Bintang, membuat bulu kuduk Kiano berdiri tegak, ngeri-ngeri sedap.

Jika diingat-ingat lagi, perubahan sikap Bintang memang sudah tampak dari semalam. Sejak Bintang turun dari motor Bang Ojek yang dipesankan Mat, perempuan itu tak henti menekukkan wajah. Cemberut. Kiano sampai tak berani mengusiknya. Mat tak kunjung pulang di jam tujuh malam. Masih dengan urat-urat di tubuhnya yang seolah terus tegang kala itu, Bintang berpamitan dan bilang mau pulang lebih dulu. Capek, begitu alasannya. Padahal, biasanya Bintang pulang paling akhir karena hanya perlu berjalan beberapa langkah dari basecamp untuk ke rumahnya.

Semalam, Alfis dan Kiano pun undur diri kembali ke rumah masing-masing begitu Mat tiba. Sehabis menyerahkan kunci markas, Kiano sempat menanyai Mat soal Bintang yang seolah sedang ada masalah. Saat itu, Mat hanya mengangkat bahu tanpa jawaban, dan malah balik bertanya, 'benarkah?'

Masih bertahan dengan tatapan maut Bintang, Kiano pun nyengir nelangsa. Oh, tidak. Dirinya bisa saja berjuta-juta kali ribut dengan Bintang, beradu argumen, rebutan camilan, mempermasalahkan anime mana yang paling keren sepanjang masa, mengolok Bintang soal nilai Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan-nya yang anjlok karena tinggi badannya tak kunjung mengalami pertumbuhan, hingga saling menjatuhkan husbu dan waifu masing-masing. Sebesar apa pun guncangan yang ditimbulkan perkelahian mereka, tak pernah ada yang berefek samping begitu dahsyat. Mereka akan kembali akur begitu menonton anime bersama, atau membuat lawakan yang bersifat menistakan Alfis dengan gengsi dan harga dirinya yang selangit.

Tak pernah terjadi masalah yang begitu serius di antara Kiano dengan Bintang. Bintang jarang-jarang mempertahankan ego dan jiwa permusuhannya berlama-lama. Hanya saja, jika Bintang sudah memutuskan untuk berselisih dengan Mat, maka sesuatu yang buruk sedang benar-benar terjadi. Mimpi buruk. Definisi kehancuran yang sesungguhnya.

Begitu mereka bertiga sudah mendarat selamat di atas kursi masing-masing, Kiano lekas-lekas membuka buku paket Bahasa Indonesia miliknya, lantas bertingkah seolah sedang membaca materi dengan serius. Sangat bukan dirinya. Diam-diam, Kiano melirik dua bangku di sebelahnya yang diliputi suasana suram. Bintang masih terdiam dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Sehabis menyimpan tasnya hati-hati, Mat langsung bangkit untuk mendekati bangku Bintang. Akan tetapi, langkah Mat terpaksa berhenti begitu tiga siswi sekelas menghadangnya dengan alat tulis di tangan.

"Mat! Ya ampun, akhirnya kau datang juga. Aku masih kurang memahami cara untuk mengeliminasi ketiga variabel ini. Bisa kau jelaskan ulang? Lihat! Aku sudah berniat membawa buku paket dan catatan matematika meski tidak ada jadwal pelajarannya, hari ini."

Beberapa detik, Mat masih belum bisa mengalihkan perhatiannya pada sosok Bintang yang semakin cemberut. Namun, senyuman Mat pun terkembang. "Oke, bagian mana yang tidak kamu mengerti?"

Mat tidak peka! Kiano menjerit dalam hati. Jarinya diketuk-ketukkan pada permukaan meja, gemas sekali. Seharusnya, Mat menolak permintaan Prima dan antek-anteknya itu, sebentar saja, lalu hampiri Bintang lebih dulu, buat Bintang merasa diprioritaskan dan berpikiran bahwa kekesalannya pada Mat cukup sampai di sini saja. Namun, anak itu ...! Kiano mengeluh dalam hati. Sesuai dugaan, Mat tidak akan pernah cocok untuk memainkan peran lelaki di drama-drama romantis televisi. Bukannya baper, bisa-bisa, penonton malah emosi sendiri karena male lead yang sangat tidak bisa diandalkan.

"Begitu. Prinsipnya, cari dulu cara untuk menghilangkan salah satu variabelnya. Setelah menghasilkan persamaan, eliminasi kembali. Temukan nilai suatu variabel, lalu substitusi. Oke? Kerjakan saja dulu contoh soal di halaman itu. Akan kuperiksa hasilnya, nanti."

Setitik harapan terbit. Mat berhasil mengusir massa yang mengerubungi bangkunya! Mata Kiano berbinar cerah. Come on, Mat! Hanya kau yang bisa menjinakkan Bintang kembali, di situasi ini!

Tiba-tiba, ponsel Mat bergetar panjang. Terus berulang-ulang. Sebuah panggilan masuk. Kiano mendesah pasrah, menampar mukanya sendiri dengan buku paket di tangan. Aura di sekitarnya semakin muram. Di saat yang tidak tepat itu, Alfis masuk kelas, baru sampai, lalu mengerutkan dahi, langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres di sini. Diliriknya Kiano yang duduk paling dekat dengan pintu masuk. Alfis mengangkat alis, bertanya tanpa suara, 'ada apa?'. Kiano meringis nelangsa, lantas hanya bisa bergidik ngeri.

Alfis tak banyak omong, langsung saja menuju bangkunya di samping kanan Mat, sementara Kiano mulai tak bertenaga lagi untuk sekadar menopang badannya tetap dalam posisi duduk tegak. Kepalanya sudah menggelepar di atas meja. Mat berbuat apa lagi, sih? Heran. Dari tadi, Mat tak kunjung sampai ke bangku Bintang yang hanya berjarak dua langkah dari tempatnya. Kiano memejamkan mata, lelah. Pemandangan di hadapannya sudah seperti pasangan suami istri baru yang sedang bertengkar karena sang suami malah terus-terusan sibuk bekerja demi menghidupi keluarga dan anak-istri.

Mat mengangkat panggilan itu. Kak Raya, staf OSIS yang berperan sebagai pembimbing di departemen Mat. "Bagaimana, Kak?"

"Kau ini sudah mau naik kelas sebelas, 'kan? Perlu berapa lama lagi kau di OSIS, agar tahu yang namanya kerja sama, tanggung jawab, dan kerja sinergi yang bisa saling mengisi? Cobalah untuk lebih berinisiatif! Apa kau tidak melihat piket OSIS di gerbang depan, yang hanya ada empat anggota, karena sebagian besar OSIS kelas sebelas sedang mengambil dispensasi dalam rangka memenuhi undangan seminar di Lanud?"

Sesaat, Melvin menjauhkan ponselnya dari telinga, kaget setengah mati dengan omelan Raya yang oktafnya tinggi itu. Setelah menguatkan mental, barulah Mat kembali fokus dengan suara di seberang teleponnya.

"Kau seharusnya tidak egois! Merasa tanggung jawabmu sudah tuntas, mengingat jadwal piketmu bukan hari ini, lantas lepas tangan begitu saja? Kau ini anggota kedisiplinan! Kemari, bantu temanmu yang kewalahan menindak tingkat pelanggaran siswa yang terus meningkat! Jangan sampai departemen kedisiplinan tahun ini tak memiliki perkembangan, karena anggotanya yang terlampau berleha-leha. Kau mau satu divisimu kusidang dengan Melvin, hah?"

Embusan napas berat yang sarat akan berjuta beban itu keluar dari mulut Mat. Here we go again. Benar juga. Salah Mat sendiri yang terlalu mengkhawatirkan Bintang, sampai melupakan tugasnya di OSIS. Mat mengiyakan kalimat Raya. Sambungan telepon terputus. Baiklah. Perhatian Mat tertuju pada Bintang sepenuhnya. Mat berkata, "Bi, aku mau jaga gerbang dulu."

Idiot! Kiano mendadak sudah seperti emak-emak yang greget sendiri dengan sinetron yang ditontonnya. Payah! Mat lelaki yang payah!

Jelas saja Bintang semakin sebal. Kakinya mengentak lantai, sedikit terkesan berlebihan. Muka Bintang dipalingkan dari Mat. Lantas, Bintang hanya menyahut dingin, "Apa aku terlihat peduli?"

Mat berkedip sekali. "Kalau begitu, sampai jumpa di jam pelajaran pertama nanti."

Mat meninggalkan kelas begitu saja. Tak bisa diharapkan! Kalau sudah seperti ini, rasanya Kiano ingin jadi keset saja di pojokan.

🏅   🏅   🏅

"Mat, coba nilai hasil pengerjaanku ini! Hasil x-nya senilai tiga, 'kan?"

Baru saja menginjakkan kaki di kelasnya, Mat sudah kembali dihadapkan pada ketiga siswi yang menganu. Mat menghela napas, lalu tersenyum simpul. Tangannya masih memangku setumpuk buku rekapitulasi poin negatif siswa Persatas yang tadi diserahkan Raya. "Biar kuperiksa di bangkuku, ya. Sebentar."

Bel masuk sudah berbunyi, tetapi Bu Novi—guru Sejarah Indonesia yang kedapatan mengisi jadwal pagi ini—belum juga datang. Mat lekas membenahi barang bawaannya ke dalam ransel. Mat duduk, Prima dan dayang-dayangnya masih setia mengikuti. Di saat mata Mat sibuk menelusuri angka-angka, menganalisis persamaan yang tertera di buku Prima, suara gebrakan meja berhasil mengalihkan atensi di sekitarnya.

Itu aksi Bintang, yang saat ini sedang berstatus sebagai monster galak. Alfis dan Kiano yang sedari awal ada di samping Bintang saja tak berminat untuk cari gara-gara dengan menanyainya. Baiklah. Kali ini, tampaknya Bintang benar-benar akan mengamuk.

"Mata kalian mendadak disfungsi?" Bintang menatap Prima dengan amarah meledak-ledak. "Dia baru selesai jaga gerbang, berdiri lama-lama, bahkan mungkin mengejar berandalan sekolah yang kabur karena tak mengenakan atribut lengkap. Urusannya bukan sekadar meladeni makhluk caper sepertimu, yang hanya mempermasalahkan soal Matematika sebagai metode modus sampah begitu!"

Air muka Prima beriak, tampak teramat sangat tersinggung. "Hei, apa-apaan? Aku hanya ingin memahami materi ini! Apa karena kau masuk ranking paralel satu angkatan, yang mampu mengatasi semua kesulitan ujian pelajaran mana pun dalam sekedipan mata, sehingga menganggap setiap usaha kami ini tak lebih dari omong kosong semata?"

"Kau butuh bantuan untuk memperbaiki nilai Matematika-mu? Well, selagi dia jaga gerbang, kau bisa memintaku atau Alfis untuk mengajarimu, jika kau memang benar-benar punya kemauan untuk bisa menguasai materi. Tidak harus dia! Apa kau meremehkan kemampuanku di Matematika, hah? Dan ... come on! Kau ini manusia purba atau memang baru terbangun dari zaman pra-aksara? Biar kuberitahukan. Ponsel mahalmu itu bisa digunakan untuk mengakses Internet dengan menonton pembahasan soal. Apa aku perlu menunjukkan tutorialnya padamu?"

Wajah Prima menggembung, marah. "Siapa kau? Berani sekali mengatur hidup orang. Sangat rempong dan banyak omong. Justru aku yang harus bertanya padamu, Bintang. Apa kau punya mata? Lihat! Mat saja tak berkeberatan untuk kutanyai. Bukankah kita memang harus aktif untuk menyelami lebih banyak ilmu? Kenapa kau malah menghalangiku, seperti itu?"

"Sebelum kau memahami materi, tidak bisakah kau memahami orang lain, lebih dahulu?" Bintang mengepalkan tangan. Sejak tadi, Bintang tak kunjung pegal menengadahkan kepala untuk membalas tatapan intimidasi Prima yang memang jauh lebih tinggi darinya. "Dia itu manusia! Punya lelah dan penat. Kau sendiri mengetahui kesibukannya, tapi kenapa terus-terusan berlagak tak tahu diri lantas mengganggu tak kenal waktu? Kau juga mendengar bel sudah berbunyi sejak tadi. Kemungkinan, jam pertama ini memang kosong. Tapi tidakkah kau amati dulu kondisinya? Setidaknya, sampai jam istirahat tiba. Apakah itu masih terlalu lama bagimu?"

Prima masih bergeming di tempat. Tak sempat membalas karena rentetan kalimat yang meluncur deras dari bibir Bintang seolah meluap dari dinding yang baru saja roboh.

Bibir Bintang bergetar. Oktaf suaranya tak lagi tinggi. Bintang berkata lirih, "Egois sekali. Kau tahu? Satu menit yang kau anggap tak lebih dari satuan detik tiada makna itu, bisa saja berarti segalanya bagi orang lain."

Kalimat di perbincangan itu tak lagi terdengar. Bintang langsung keluar kelas, entah ke mana. Di atas kursinya, Mat mematung, tak percaya bahwa seorang Bintang yang tak pernah mau berbuat masalah di kelas, kini melakukan sesuatu yang membuatnya jadi sorotan utama di pagi ini. Ketiga perempuan dengan buku di tangan itu memutuskan bubar, pada akhirnya, kembali ke bangku masing-masing. Rasa bersalah sedikit menelusuk penjuru hatinya. Sehabis ini, teman sekelasnya pasti akan merasa sungkan untuk bertanya pada Mat lagi.

Meski begitu, Mat tidak menyalahkan Bintang sama sekali. Dalam diam, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Entahlah. Mendapati aksi nekat Bintang memberi kebahagiaan tersendiri, bagi Mat. Sensasi menyenangkan yang jauh lebih mendominasi dibandingkan perasaan bersalahnya pada Prima dan kawan-kawan. Tanpa bisa dikendalikan lagi, senyuman Mat malah semakin lebar. Mat berusaha menutupinya dengan menundukkan kepala. Akan tetapi, hatinya terlanjur menjerit gemas. Bintang .... Anak itu benar-benar membuat Mat gila.

Iya. Tak peduli sebesar apa atau berapa kali pun Bintang mengelak, pada akhirnya, Bintang masih dan memang akan terus peduli pada semua hal tentang Mat. Itu kata semesta cerita kita.

🏅   🏅   🏅

Ekhem, kayaknya cuma aku yang gemes sama scene Mat-Bintang ini:3
Betewe, ada Raya dan Melvin dari Detik Detak, lho! Udah sempet say hi di lapak itu, 'kan? Kalo belum, ayo mampir! Nanti disuguhi mi ayam pangsit, deh, virtual tapi ya:D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro