15| Tanya Senyap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angkasa seolah menyimpan banyak cerita. Saking penuhnya, Bintang merasa langit akan runtuh tak lama lagi.

Di bawah naungan bumantara gelap inilah, Bintang dan Denis melaksanakan ritual sakral mereka: duduk-duduk menengadah di teras depan. Sepiring klepon dari Hera belum disentuh lagi. Keduanya sibuk mengawang-awang di pikiran masing-masing.

Lima belas menit berlalu, hanya diisi nyanyian binatang malam. Wulan masih repot di dalam rumah, membereskan bekas makan malam mereka, juga menyiapkan beberapa hal untuk keberangkatan Denis esok pagi. Mendadak, dimensi waktu seolah lenyap dari semesta. Bintang serasa dilahap kelamnya angkasa yang menghampar di atas sana. "Papa ... sungguhan mau pergi?"

Semburan kikik geli tak mampu lagi ditahan Denis. Kedua tangannya disilangkan di belakang tengkuk Denis sendiri. Pandangannya melayang jauh, menembus selaput awan gelap yang menggantung di langit malam. "Kau sudah mengajukan pertanyaan yang sama sebanyak sembilan kali, sejak tadi sore. Apa kau berharap, ini adalah remedial, yang masih memberikan kesempatan untuk memperbaiki jawaban di ujian sebelumnya? Kau pikir, dengan metode begini, Papa akan luluh, terenyuh, dan mengubah jawaban Papa?"

Bibir tipis Bintang mengerucut. Kedua alisnya mengerut, tampak tak begitu senang atas kalimat Denis. "Memangnya harus di Bandung, ya, Pa? Tidak bisa di Tasik?" Layaknya baru dianugerahi ide paling cemerlang yang melintas di benaknya, Bintang lekas mengacungkan tangan. Bintang menatap Denis yang duduk di sampingnya, dengan wajah semringah. "Ah! Bintang baru ingat. Pak Haji Amir punya bangunan di lantai dua yang belum selesai dipakaikan langit-langit ruangan, 'kan? Kenapa Papa tidak menawarkan jasa padanya saja! Kan, enak. Papa tidak mesti naik ojek atau angkutan umum, hanya perlu berjalan beberapa langkah saja! Kalau Bintang kangen, kan, jadi gampang."

"Aah, jadi dalam kata lain, Bintang hanya tak ingin merindukan Papa terlalu lama, begitu?" Denis memasang cengiran gemas di wajahnya.

"Ih, Papa! Jangan tertular virus NARS-cov 2021-nya Kiano, deh! Narsistik Abadi dan Rusak Akhlak Selamanya-covirous 2021 .... Sama sekali tidak keren!" Hingga detik ini, Bintang merasa tak menemukan satu pun alasan untuk sekadar melebarkan senyuman.

Wahai, Semesta .... Sekali ini saja Bintang berharap. Jika kau memang mampu membantu Sangkuriang dalam membangun seribu candi, hanya untuk membuktikan cintanya pada Dayang Sumbi, lantas tak bisakah kau perpanjang waktu dalam satu malam ini? Untuk sekadar mengulur jarak dan waktu, yang akan membunuh paksa setiap kehangatan dalam rumah kecilnya ini?

Sesaat, rasanya Bintang tak ingin mentari lekas kembali. Biarlah ia terus ditelan garis cakrawala tak berkesudahan. Bersama Denis, Bintang masih ingin untuk direngkuh gulita malam bertabur bintang, persis seperti ini.

Dehaman berat Denis membuat Bintang memusatkan segenap atensinya pada sang ayah. Denis masih mengulas senyuman yang di mata Bintang, tak lebih dari kamuflase kekosongan. Denis menggenggam punggung tangan kecil milik Bintang, erat-erat. Genggaman yang tak pernah mau beranjak satu mili pun. Denis berbisik lembut, "Bi ... apa kau yakin, dengan gemintang mimpi-mimpi, yang sudah kau gantungkan di atas sana?"

"Tentu saja!" sahut Bintang, lantang, tanpa perlu jeda untuk berpikir panjang, sejak pertanyaan papanya terlontar.

"Lantas, apa lagi yang kau ragukan dengan keputusan Papa? Ini adalah salah satu upaya untuk membangun tangga-tangga kesuksesan yang akan mengantarmu pada titik itu ... titik di mana kau berhasil mendekap erat setiap angan-angan. Bagaimanalah kau bisa meyakini impian, jika untuk melangkah di atas pijakanmu saja, kau masih tak mau terima?" Denis menatap kedua manik hitam Bintang yang mulai berurai air mata, lamat-lamat. "Kau tahu, Bi? Terkadang, kau harus mengorbankan sesuatu untuk mengarungi perjalanan mimpi."

Pertahanan Bintang luluh lantak seketika. Garis air mata memanjang di kedua buntalan pipinya. Dalam diam, perlahan timbul tanya yang tak pernah terlintas di kepala seorang pemimpi seperti Bintang: Papa, bagaimanalah jika jalan yang susah payah kau buatkan ini ... malah diblokir tangan semesta?

🏅   🏅   🏅

Satu hari berlalu seperti biasa. Hanya saja, selepas mengantarkan sepiring klepon pada keluarga Bintang kemarin sore, Mat bisa merasakan perbedaan yang cukup kentara dari tingkah laku Hera. Tidak ada lagi suasana hangat yang biasa tergantung di setiap senti langit-langit rumahnya. Sorot tatapan Hera hanya bicara tentang sendu. Hampa. Persis seperti persamaan yang tidak memiliki penyelesaian, HP = { }. Suatu kekosongan yang terasa familiar bagi Mat.

Sosok Hera yang sama seperti tiga tahun lalu. Ketika Mat sedang belajar bersama Bintang di ruang tengah, Hera pulang dari urusannya dengan pakaian di bagian lengan dan perutnya yang berlumuran darah. Pada waktu itu, hujan deras mengguyur Kota Tasik tanpa henti. Gemuruh angin juga kilatan petir yang sesekali melintas di angkasa kelam sana membuat suasana tambah suram.

Seluruh badan Hera basah kuyup, tetapi itu tak cukup untuk membersihkan sisa darah yang mulai menyerap di serat pakaiannya. Mendapati sosok Hera yang muncul menyeramkan di balik daun pintu, Bintang hanya bisa memeluk buku paket Biologi-nya sambil mendekam di sudut ruangan. Kedua tangan kecilnya memeluk lutut, sekaligus upaya menghangatkan diri dari serangan kesiur angin yang bertiup kencang semenjak Hera membukakan pintu.

Meski sama-sama bermunculan banyak tanda tanya di kepala, Mat jauh lebih sigap dan mampu mengendalikan diri. Tanpa perlu disuruh, Mat mengambilkan sebuah handuk merah, lantas menggunakannya untuk mengelap wajah dan rambut Hera yang masih mengucurkan air hujan, membuat lantai mulai digenangi air. Dengan telaten, Mat mengusap pipi Hera yang sedingin es batu. Mat mengamati setiap senti wajah Hera dengan lebih cermat. Dari sanalah, Mat akhirnya menyadari bahwa Hera tampak kacau sekali.

Kedua sudut bibir yang menekuk datar, sempurna pucat pasi. Tatapan mata yang menyorotkan suatu kehampaan ... dengan melihatnya saja, Mat merasa tenggelam di samudra kegelapan yang tak menyisakan sepersekian detik pun untuk menarik napas dari suasana mencekam dan menakutkan. Apa ... apa yang sudah dilalui mamanya di luar sana? Sungguh, Mat lebih suka mendapati Hera menangis, meluapkan perasaannya secara langsung pada Mat, daripada diam seribu bahasa seperti ini.

Mat melingkarkan handuk pada badan Hera. "Ma, ganti baju dulu, ya. Dingin sekali .... Mama bisa masuk angin."

Pada akhirnya, Hera melangkah ke kamar mandi. Mat langsung membersihkan jejak air hujan yang mengotori lantai, mengiringi langkah Hera. Selesai. Di saat Hera masih mandi, Mat beralih pada Bintang yang masih mengerut takut di pojok ruang tengah. Mat membereskan buku paket Matematika-nya, juga ceceran kertas yang dipenuhi angka-angka di atas meja. Lantas, Mat menatap Bintang lamat-lamat.

"Bi, kau pulang saja, ya. Kita sudah belajar cukup lama. Kita juga masih punya waktu tiga bulan untuk OSN." Mat bangkit dari duduknya. "Di luar hujan deras. Biar kuantarkan."

Bintang, yang kala itu memang tak punya pilihan lain, akhirnya mengangguk menurut. Keduanya menggunakan satu payung yang sama, meskipun hanya perlu empat belas langkah menuju rumah Bintang. Di tengah gempuran suara gemuruh yang semakin kencang, Bintang berusaha angkat suara. "Mat, Tante Hera tidak apa-apa, 'kan?"

Sesaat, Mat hanya membiarkan derai ramai rinai hujan yang menimpa setiap materi di muka bumi yang menjawabnya. Mat juga tak punya petunjuk satu pun soal keadaan mamanya .... Pada akhirnya, Mat menganggukkan kepala saja. "Begitulah."

Sejak langkah pertama, payung warna biru malam milik Mat sudah berguncang, tampaknya tak kuat lagi, hampir terbalik jadi seperti mangkuk. Bintang susah payah menahan rok pendeknya supaya tidak berkibar diserbu angin. Uhm, Mat yang memang terlahir sebagai seorang good boy, tentu tidak akan macam-macam, sih. Waktu kecil, Mat juga sudah terbiasa karena Bintang selalu memaksa Mat untuk ikut menemani saat Bintang mandi. Hal itu dianggap Bintang sebagai hukuman karena Mat selalu saja menolak untuk mandi atau hujan-hujanan bersama dalam kondisi tanpa berpakaian. Bagaimana, ya ... Bintang memang terlahir tanpa rasa malu. Untunglah, keanuan itu berhenti sejak Bintang duduk di kelas tiga dan menyadari bahwa dirinya sudah sesat.

Angin kencang membuat rambut panjang Bintang terbang, seolah mau lepas dari akar kepalanya. Kedua mata Bintang saja sampai sulit terbuka. Untunglah sebelah tangannya digenggam erat oleh Mat. Sehingga Bintang memejam sekalipun, Mat tidak akan membiarkannya menabrak pohon atau tercebur ke Sungai Cimulu. Mat selalu bisa dipercaya dan diandalkan! Itu yang Bintang yakini.

"Terima kasih, Mat! Aku akan langsung bergelung dalam selimut sambil membaca Biologi. Dadah!"

Sehabis mengantarkan Bintang pulang, Mat kembali dan mendapati Hera sedang berpakaian di kamarnya. Mat meraih baju basah Hera yang masih tergantung di kamar mandi, lalu memerasnya hingga cukup kering dan dimasukkan ke dalam mesin cuci. Hera keluar kamar, duduk santai di ruang tamu. Akan tetapi, suasana hatinya masih tidak baik-baik saja, itu yang bisa Mat simpulkan dari tatapan suram Hera.

Tanpa perlu ditanya, Hera merasa berutang penjelasan. "Kecelakaan. Papa sudah tiada."

Tunggu, Papa? Mat yang duduk di samping Hera setelah menyeduh teh hangat untuk mamanya itu, seketika mengangkat kepala, berusaha memastikan bahwa Hera sedang berbohong. Berbulan-bulan ini, Mat belum pernah lagi melihat Haris, papanya. Dulu, Hera bilang, Haris bekerja di luar kota. Akan tetapi, sejak terakhir kali melihat sosok lembut itu, Mat tidak pernah mendapat kabar dari Haris. Berpamitan saja tidak. Hera yang selalu meyakinkan Mat bahwa Haris berangkat terlalu pagi sehingga tak sampai hati untuk membangunkan tidur pulas Mat. Untuk pertama kalinya Mat dapat kabar soal Papa ... malah kabar seperti ini? Apa-apaan?

Rasa sakit dari tiga tahun lalu itu masih membekas di setiap penjuru hati Mat. Mat sudah menguburnya dalam-dalam. Namun, mendapati Hera yang bertingkah seperti itu, membuat Mat kembali teringat, mengorek luka lama yang selama ini hanya ditutup-tutupi, tak pernah berhasil disembuhkan.

Rintik air hujan mulai turun dari langit gelap. Percikannya menerpa permukaan jendela yang sedang dilamuni Mat. Suasana yang persis seperti kisah menyakitkan dari masa lalu itu .... Tidak. Mat, hentikan. Berusaha mengalihkan pikiran, Mat meraih buku berisi kumpulan soal HOTS Matematika dari laci meja belajarnya. Sejak dulu, Matematika memang paling ampuh membuat Mat melupakan banyak hal.

Langkah kaki mendekat yang terdengar dari lorong kamar, membuat Mat menolehkan kepala. Tampaklah Hera dengan setumpuk buku tebal, juga rapor hasil pembelajaran Mat di semester satu. Hera menyimpan barang bawaannya di atas meja belajar Mat, lalu mengambil rapor bersampul hitam itu. "Biologi-mu masih saja 85. Jika tak kunjung ada peningkatan, sebaiknya kau mulai konsultasikan untuk pindah jurusan, pada Pak Prana. Masih ada kesempatan. Sebentar lagi baru UTS di semester dua. Sudah Mama bilang, bukan? Kelas MIPA bukanlah tempatmu, Mat."

Kedua alis Mat mengerut, keheranan. "Tapi, aku juara satu paralel, Ma. Apa itu belum cukup untuk membuktikan kelayakan?"

Hera meletakkan buku rapor Mat di atas meja, lalu menyilangkan tangan di depan dada, menatap Mat lebih intens. "Kau juga pasti paham, kan, Mat? Ranking seseorang itu hanya ditentukan dari standar kemampuan teman-temanmu. Berbeda dengan nilai, yang jelas ditentukan dari seberapa baik kualitas belajarmu sendiri."

"Tapi Mat suka hitung-hitungan, Ma. Mama juga tahu, Mat kurang dalam pelajaran hafalan."

"Kalau begitu, pelajarilah dari sekarang. Jika nilai biologi-mu tak kunjung mengalami perbaikan, Mama harap kau sudah siap untuk masuk kelas IPS." Hera mendorong tumpukan buku tebal di atas meja belajar Mat, sehingga menggeser buku Matematika yang sudah dibuka Mat sejak tadi. "Mama sudah belikan buku hukum, waktu pulang kerja. Pelajari dan pahami. Ini akan jauh lebih bermanfaat daripada matematika."

Lagi? Mat mengangguk. Hera menepuk pucuk kepala Mat, singkat, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

Mat mengembuskan napas berat. Ditatapnya jejak air hujan di permukaan jendela, lamat-lamat. Sebenarnya, apa yang tengah disembunyikan Mama? Kenapa semenjak Papa pergi, Mama jadi menekankanku untuk menguasai bidang hukum?

Papa .... Bisakah kau menjawabnya lewat bisikan kesiur angin?

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro