17| JAMET SMS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ujian tengah semester dua sudah berada di depan mata. Itu berarti, tinggal tiga bulan menuju olimpiade Kompetisi Sains Nasional, sekaligus berlangsungnya perang jilid ketiga di tahun pertama SMA bagi rakyat MaFiKiBi Society. Mereka memang masih aktif mengikuti kegiatan pembinaan KSN dari guru-guru Persatas—yang akhir-akhir ini, frekuensi pertemuannya semakin tinggi saja, mengingat waktu pelaksanaan yang terus mendekat—tetapi bukan berarti jadwal program-program Republik MaFiKiBi Society diliburkan.

Perbedaannya, karena sudah ditunjang pembinaan masing-masing bidang di sekolah, maka MS meminimalisir jadwal POM BENSIN, Pembekalan Olimpiade MaFiKiBi Society Bersiap sampai Nasional. Mereka lebih memperbanyak porsi belajar untuk Penilaian Tengah Semester, yang jelas-jelas sudah dekat. Prinsip mereka, seberapa banyak pun sertifikat dan medali yang dikoleksi dari olimpiade bergengsi, tetap tak akan pernah cukup jadi alasan untuk bersantai dan mengabaikan usaha peningkatan nilai di sekolah.

Pekan UTS pun berlalu. Seperti biasa, di tengah pagi yang kian meninggi, dengan cahaya mentari yang menyorot ganas, seluruh siswa Persatas dari tiga angkatan disuruh berkumpul di lapangan. Keempat Agen MaFiKiBi Society sama-sama memasang wajah paling sangarnya, hari ini, kecuali Mat. Meski dalam suasana yang masih menolak damai, sebagai bentuk rivalitas di peperangan ini, Mat tak sampai bertingkah sedramatis ketiga teman lainnya.

Di pinggiran lapangan yang dinaungi pohon kersen, Bintang mengepalkan tangan erat-erat. Tak jauh berbeda dengan Alfis dan Kiano. Ketiganya melangitkan bait-bait harapan yang sama. Jangan sampai juara pertama itu masih dikuasai nama yang sama seperti peraihan nilai di akhir semester satu. Jangan sampai.

Kedua alis tebal Alfis menukik tajam. Netra abu-abu miliknya semakin tenggelam, berusaha menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya mentari yang menyilaukan. Kini, mata itu hanya menyisakan satu garis lurus, persis suatu kurva diagram cartesius di mana y=0. Punggung Alfis sudah basah sejak tadi. Panas ganas, gerah parah. Akan tetapi, sesulit apa pun keadaan mereka—sampai kebas, bosan menunggu, atau pegal-pegal karena terlalu lama berdiri—selama Bu Elis dan Miss Ayie belum mengumumkan siapa peraih nilai tertinggi itu, mereka akan terus bergeming di posisinya.

Sebagaimana tradisi, tiga besar juara paralel selalu diumumkan dari kelas sebelas lebih dahulu. Bintang masih memicingkan mata, tak mau kehilangan fokus. Lewat mikrofon, Bu Elis berseru, "Untuk tingkat kelas sebelas, juara ketiga, dengan perolehan nilai 93.4, atas nama ... Elenio Saputra, XI MIPA-5!"

Mat menyilangkan tangan di depan dada. Elenio Saputra ... kalau tidak salah, itu nama yang sama seperti peraih juara paralel ketiga di akhir semester kemarin. Juara bertahan? Namun, dengan posisi yang cukup tinggi itu, kenapa Mat tidak pernah melihatnya berpartisipasi dalam kegiatan olimpiade, ya?

Juara kedua disebutkan, Pilar Ardika. Kedua alis Mat mengerut, Kak Pilar itu ... bukannya juara pertama, ya, sebelumnya? Pilar adalah kakak kelas sekaligus rekan satu tim bagi Mat, sebagai sesama delegasi Persatas untuk KSN bidang Matematika. Mat akui, jam terbang yang dimiliki kakak kelasnya itu memang sangatlah tinggi. Kini ... siapa yang bisa mengalahkan nilai tengah semester Pilar, sampai menggeser posisinya begini?

"Naaah, di tengah semester dua ini, ada yang menarik, Miss Ayie." Elis berdialog sebentar. "Karena ketiga juara, sama-sama berasal dari XI MIPA-5, lho! Miss Syarah menang banyak! Langsung saja. Peringkat pertama diraih oleh Luna Marshila Zahira, dengan total nilai 97.9!"

Nilai yang nyaris sempurna. Mata Mat membola. Alfis, Bintang, dan Kiano, juga bereaksi serupa. Luna? Siapa? Asing sekali. Beberapa teman sekelas Luna tampak berseru kaget sekaligus tak percaya, terutama seorang lelaki dengan penampilan tengil nan kusut itu. Keempat personil MS mengamati setiap langkah seorang perempuan yang maju ke depan untuk menerima uang pembinaan dari Bu Mastati, wakil kepala sekolah kurikulum. Mat jadi penasaran, berapa nilai Matematika kakak kelas yang satu itu? Ah, tunggu. Kak Raya yang juara dua sebelumnya, bahkan jadi tidak masuk tiga besar sama sekali? Sangat menarik.

"Baiklah! Tak perlu berlama-lama lagi, mari kita beralih pada kelas sepuluh." Kini, giliran Ayie yang menguasai atensi makhluk di seisi lapangan. "Entah bagaimana alasan konkretnya, tetapi ... lagi dan lagi, label juara empat besar paralel di tingkat kelas sepuluh, tetap dipertahankan oleh kelas X MIPA-1! Ah, apa kita perlu mengusulkan ide untuk pergantian anggota kelas di setiap tahunnya, ya, Bu Elis?"

Candaan di kalimat terakhir Ayie membuat sudut bibir Mat terangkat. Seperti biasa, basa-basi. Mengulur waktu seperti itu memang paling efektif membuat dirinya tambah menggebu untuk tahu siapa nama yang akan disebutkan lebih dulu. Benar. Mat menyadari sepenuhnya. Meskipun tampak berupaya membantai nilai habis-habisan, keempat agen MaFiKiBi Society sangatlah menikmati momen-momen semacam ini. Sensasi yang tak akan pernah mereka lupakan di sepanjang sejarah kehidupan.

"Menariknya lagi, keempat siswa ini teridentifikasi sama persis dengan peraih juara paralel di akhir semester sebelumya. Yang sedikit berbeda, hanyalah posisi mereka masing-masing di perguliran siklus kali ini." Ayie tersenyum penuh arti. Lima detik berikutnya, wanita itu berseru, "Selamat pada Bintang Rasi, Dematra Maherendra, Alfis Gamyaga, dan honorable mention, Kiano Aldebaran!"

🏅   🏅   🏅

"Ah, Perkutut Kentut! Lihatlah orang kalah ini! Dua kali berturut-turut menorehkan gelar peraih nilai terendah di antara kita. Poor Kialien," celetuk Bintang yang dilanjut dengan semburan tawanya. Dari tindakannya yang heboh menggebrak-gebrak meja food court Mang Dod, tampaknya Bintang memang puas sekali mampu mengolok Kiano.

Anak laki-laki di hadapan Bintang itu menggeram sebal. Matanya yang dipelototkan sudah seperti mau keluar saja. Kiano mendengkus singkat. "Listen to me, Dude. Kau sendiri tahu bahwa aku sempat krisis jati diri gara-gara keanuan Kalea, 'kan? Aku berbagi jawaban dengannya! Jelas saja integritas nilaiku menurun. Dan ... aku jarang mengikuti latihan ekstrakurikuler basket lagi. Begitulah."

Tak mau tinggal diam, Bintang langsung menyerobot, "Dalam kata lain, kau hanya berniat untuk menyalahkan keadaan, begitu? Kalah, ya kalah saja. Ayo, nangis! Ayo!"

Di ujung meja mereka, Kiano menelan salivanya susah payah. Anak itu memundurkan badannya beberapa senti, sembari melayangkan tatapan horor penuh kengerian pada Bintang. "Eh, sungguh, Bi. Boleh aku terus terang? Tampangmu sudah seperti seorang bocil yang berstatus sebagai ketua geng tukang buli di gang depan, dekat rumahmu dan Mat, Si Bos Alif itu, lho ...."

Sesaat, Bintang mengerutkan kening. Lantas, gelak heboh kembali meledak dari bibirnya. "Oh! Yang waktu itu pernah kau mainkan mobil tamiya-nya sampai rusak dan tercebur ke sawah, lalu Si Alif ini mengamuk sambil lempar batu, terus memalakmu uang jajan TeaJus Gula Batu di Warung Bu Nani, biar tidak dilaporkan ke emaknya?"

Tanpa menghilangkan kesan wibawanya, Mat tertawa kecil. Bukan. Bukan karena lucu, melainkan karena menyaksikan betapa recehnya tingkat humor seorang Bintang. Kisah itu sudah lama sekali, nyaris setahun lalu. Akan tetapi, sejak itu, Kiano tampaknya kena mental. Kiano jadi trauma jika berpapasan dengan anak Pak RT yang bernama Alif itu. Pasalnya, bocah itu jadi terus-terusan memeras keuangan Kiano.

Benar! Kiano diperas oleh anak yang bahkan belum masuk SD, kala itu. Semuanya gara-gara Mat yang mencoba berdiplomasi dengan Alif, melancarkan negosiasi agar mau berhenti melempar batu yang bisa mencelakai orang-orang. Waktu itu, kacau sekali. Bintang asyik menertawakan Kiano yang diburu hujan kerikil, sementara Alfis malah menjadi supporter Alif. 'Ayo, Dek. Sedikit lagi. Lebih kencang, lemparnya! Apa kau mau kuajari menghitung sudut dan tinggi lemparan, terlebih dahulu?', kurang lebih begitu bisikan Si Alfisetan.

Nasib baik, Mat berhasil membujuk Alif dengan iming-iming, bahwa kakak yang tadi akan membelikannya minuman dingin, gratis. Barulah Alif mau berdamai. Akan tetapi, kesepakatan itu malah terus dijadikan senjata bagi Alif dalam menggempur isi dompet Kiano habis-habisan. Untunglah, begitu masuk SMA, Kiano naik motor sendiri, sehingga tinggal tancap gas untuk menghindari spesies nakal bernama Alif. Sampai saat ini, Kiano memanggilnya 'Bos Alif'.

Entah bagaimana alasan konkretnya, tetapi hidup Kiano selalu saja sial jika berhubungan dengan bocah cilik. Berdasarkan observasi Bintang, sih, kemungkinannya, hal itu tak lain dan tak bukan adalah suatu karma bagi Kiano yang selalu saja jahil dan mengolok setiap anak yang ditemuinya sampai menangis.

Kiano menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha mengusir kenangan pahit yang mengiris harga dirinya. "Ah, ya! Dan aku tidak menyalahkan keadaan, ya ... tapi kita memang hidup dalam situasi yang berbeda-beda, 'kan? Apakah layak jika kita memukul rata semuanya? Sudah kubilang, nilai rapor itu terlalu rancu untuk dijadikan parameter. Ah, ini bukan pembelaan diri. Aku hanya memperjuangkan hak kita masing-masing!"

"Orang yang selalu protes, menandakan bahwa ia tak tumbuh dengan proses." Di samping Bintang, Alfis memiringkan kepala, menatap Kiano dengan seringai penuh kebanggaan. "Itu namanya pembelaan diri dengan gaya, Kawan."

"Hei, kau hanya satu tingkat lebih baik dariku, ya, Alfis!"

"Dan itu sangatlah menguntungkan." Alfis kembali memasang tampang sangarnya. "Baiklah. Sesungguhnya, aku juga kesal. Tapi ini adalah JAMET SMS, Ajang Kompetisi Pertengahan Semester MaFiKiBi Society. Pemenangnya tiga orang. Tidak seperti KIPAS MATI yang membuatmu harus mengeluarkan isi dompet, jika tak berada di posisi pertama. Mutlak hukumnya."

Tak tahan lagi dengan gempuran dari teman-temannya, Kiano pun berteriak frustrasi. Tangannya sibuk menggila dengan mengacak-acak rambutnya sendiri yang sudah panjang dan berantakan. Lihat saja. Pak Uzaz akan memangkas habis rambutnya, jika tak kunjung dirapikan. Mat sudah berkali-kali mengingatkan Kiano, bahkan sampai menawarkan layanan cukur gratis darinya. Akan tetapi, bukan Kiano kalau menurut begitu saja. Kiano menggebrak meja. "Baiklah, ayo cepat hisab nilaiku!"

Mat berdeham, menarik keseluruhan atensi di meja pojok itu. "Sesuai dengan Pedoman KERAMAS pada Pasal 03, tentang Juru Teknis Pelaksanaan JAMET SMS, Ajang Kompetisi Pertengahan Semester MaFiKiBi Society. Rakyat dengan peraihan nilai paling rendah berkewajiban untuk mentraktir ketiga rakyat lainnya, dengan total harga yang telah dirumuskan dalam n × t × p, di mana n adalah selisih nilainya dengan peraih nilai tertinggi, t adalah tahun masehi ke-berapa, dan p yang berupa jumlah mata pelajaran yang ada."

Sebagai pihak netral yang tidak berada di posisi tertinggi atau terendah, Alfis buka suara. "Selisih nilai Kiano dengan Bintang adalah 1.7, tahun 2021, 14 mata pelajaran. Hasilnya, 48,099.8 yang kemudian dibagi empat rakyat, sehingga Kiano harus mentraktir seharga Rp. 12,000 untuk per masing-masing orangnya."

Kiano menggelepar di atas meja. "Baiklah, Dompet. Tampaknya, riwayatmu hanya sampai di sini saja."

Dengan wajah nelangsa, Kiano pun hanya melongo tanpa minat ketika Mang Dod mengantarkan pesanan ke meja mereka. Tiga mangkuk mi ayam pangsit tersaji. Namun, di saat Alfis dan Bintang sedang merayakan kemenangan dengan mangkuk berbau sedap di tangan itu, Mat malah mendorong mangkuk miliknya ke hadapan Kiano. Mat tersenyum saja begitu Kiano balas menatapnya, meminta klarifikasi. Mat menganggukkan kepala. "Makan saja. Aku sedang tidak mau makan mi."

Pada akhirnya, Mat memesan lontong sayur dengan uangnya sendiri. Kiano kembali mendapatkan suntikan energi. Dengan semangat membara, Kiano menandaskan mi ayam itu tanpa ampun. Lumayan. Ia menghemat dua belas ribu dari biaya pengeluaran seharusnya.

Teringat sesuatu, Mat kembali berkata, "Sebenarnya, posisi kita tidak banyak berubah, 'kan? Hanya Bintang saja yang mendadak menyalip dan menggeser aku dan Alfis."

Merasa terpanggil, Bintang langsung menelan kuah kari di mulutnya. "Uhm, yea! I'm the MVP."

Mat mengangkat bahu. "Well, bagaimana caranya?"

Bintang memukulkan kepalan tangannya pada permukaan meja, berlagak layaknya seorang pejuang garda terdepan yang berhasil menuntaskan misinya di antara hidup dan mati. "Gara-gara MAS JONTOR itu! Aku tahu, di kegiatan joging menyebalkan itu, akulah yang paling sering tertinggal. Begitu sampai rumah, aku langsung membalaskan dendam itu dengan mempelajari lebih banyak hal! Dang, aku tak mau harus lari dua kali lipat, jika target tengah semesterku tidak tercapai!"

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro