19| Eliminasi Aliensi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dunia Mat terasa jungkir balik seketika. Kacau. Tak beraturan. Lagi dan lagi, Mat terperangkap di dimensi kubus kaca itu. Namun, kini semuanya berbeda. Perlahan, di setiap sisi kubus itu tergurat retak memanjang. Suara bisikan kehancuran terdengar mengerikan di telinga Mat. Seisi dunia yang selama ini diyakini sebagai miliknya ... musnah tak bersisa.

Mat yang kehilangan ayahnya karena kecelakaan lalu lintas .... Skenario semacam itu tidak pernah benar-benar terjadi di kenyataan. Lantas, kepunyaan siapalah, hidup ini? Hidup siapalah, yang tengah Mat jalani ini?

Siluet mentari menimpa wajah Mat yang dijejaki garis peluh. Tanpa sopan santun, cahaya matahari pagi itu menelisik masuk, mengintip lewat celah jendela. Demi mendapati hal menyebalkan itu, Mat pun menyudahi perjalanan mimpinya. Mat memicingkan mata, mencoba beradaptasi dengan intensitas cahaya yang gila-gilaan menyerang retina hitam legamnya. Tunggu, matahari? Mat baru bangun dari tidurnya, setelah sang surya merajai angkasa sana? Mustahil!

Mat mengempaskan selimut, lalu beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Sudah hampir pukul enam pagi. Mat tidak pernah bangun setelat ini. Di saat Mat sudah bergegas untuk meraih handuk miliknya yang tergantung, langkahnya tiba-tiba terjeda begitu mendapati penampakan di cermin lemarinya.

Tidak, tidak. Genre kehidupannya bukanlah horor, apalagi fantasi. Cermin itu tidak memunculkan hantu mengerikan, atau menariknya ke antah-berantah seperti cerita fantasi yang pernah diceritakan Bintang dari Wattpad. Tidak. Tidak ada kesalahan teknis. Hanya saja, Mat terkejut melihat penampilannya sendiri.

Tetes-tetes peluh sebesar biji jagung meluncur deras dari setiap pori-pori keningnya. Punggung Mat basah kuyup oleh keringat. Bibirnya pucat pasi, sudah sangat cocok memerankan hantu di film-film horor murahan.

Jika Bintang melihatnya, pastilah anak itu akan mendorong Mat untuk ikut casting jadi setan penunggu Sungai Cimulu. Jangan lupakan garis hitam di kantung mata Mat yang tampak sangat jelas, persis mata panda. Tidak. Tidak. Oh, ayolah. Kebenaran yang dikuak mamanya semalam, tidak membuat Mat sampai kena mental separah itu. Kenapa sistem tubuhnya ini lebay sekali?

Kegalauan meresahkan itu dilanjutkan Mat sehabis mandi. Mat menyugar rambut rapinya yang masih basah. Sebagai salah satu usaha menutupi penampilan kacaunya pagi ini, Mat sudah menyengajakan diri untuk keramas lebih dulu. Setidaknya, itu cukup berperan penting dalam membuat Mat tampak beberapa persen lebih segar.

Akan tetapi, kulitnya yang putih pucat malah menjadikan kantung mata hitamnya tampak jauh lebih kontras. Baiklah. Rasanya tidak mungkin jika Mat sampai meminjam bedak Hera untuk menutupinya. Mundur, mundur. Saatnya menyerah.

Dengan tali ransel hitam yang tergantung di salah satu pundak lebarnya, Mat menuruni anak tangga. Di dapur, Hera sudah cekatan menyiapkan piring, lantas menangkupkan nasi goreng yang baru saja dimasak ke atasnya. "Selamat pagi, Ma."

"Pagi," sahut Hera, tampak semringah. Akan tetapi, Alif—anak Pak RT yang jadi primadona kampung dengan gelar perundung ulung itu—sekalipun akan tahu, bahwa senyuman lebar dan sikap riang Hera tidaklah cukup untuk menutupi jejak air mata di pipinya yang mulai berkeriput. Manik mata itu terlihat rapuh ... tak bisa menyembunyikan nada-nada elegi kehidupannya lebih lama lagi.

"Berangkat dulu, ya, Ma. Mama hati-hati ke tempat kerjanya." Setelah makanan di piringnya tandas, Mat langsung bersiap menyalami mamanya, takzim.

Hera tersenyum lebar, menyahut singkat. "Yeah, see you."

Dibekali lambaian tangan dari wanita kepala empat itu membuat Mat balas melemparkan senyuman lebar. Saatnya ke rumah Bintang. Anak itu pasti belum terbangun dari lelapnya. Seperti biasa, prediksi Mat tentang tabiat buruk Bintang memanglah tak pernah keliru.

Dengan satu hantaman telak dari guling yang sudah berhias air liur bau jigong, Mat lekas berseru, "Bangun, cepat. Hari ini, jadwal piketku jaga gerbang, ingat? Aku tidak mau diomeli Kak Raya lagi. Kau punya sepuluh menit untuk bersiap, jika masih merasa butuh atas tumpanganku."

🏅   🏅   🏅

"Selamat pagi. Di mana dasimu?"

Seorang lelaki dengan seragam yang dikeluarkan itu hanya melirik malas, tak menjeda langkahnya barang sejenak pun. Mat melirik sekilas nama yang tertera di name tag seragamnya, Kenan Rivaldo. Ah, anak kelas XI IPS-3 yang sering diperbincangkan Raya itu. Berandalan sekolah yang nyaris saja ditangkap aparat, karena percobaan pencurian sepeda motor di Gedung Olahraga Dadaha. Kenan mendongakkan kepala, merasa tinggi. "Tertinggal di kelas."

"Untuk ke depannya, tolong digunakan selama masih menggunakan seragam Persatas, ya, Kak. Terutama ketika memakai PSAS putih-abu. Biar tidak tertinggal lagi," timpal Mat, berusaha sesopan mungkin. Tak lupa dengan senyuman wibawa yang menghiasi kedua sudut bibir.

Selama ini, kinerjanya dalam menindak siswa yang melanggar peraturan, memanglah menjadi salah satu kebangaan Melvin. Akan tetapi, sebanyak apa pun pujian yang didapatkannya, nama Mat tetaplah menjadi objek utama sumpah-serapah dari para pelanggar peraturan, di kotak kritik saran. Setidaknya, dengan bertindak seprofesional mungkin, Mat jadi punya tameng untuk menulikan telinganya dari caci-maki netizen yang mahabenar.

Mendapati Mat yang masih saja memberinya ceramah pagi, Kenan mempercepat langkahnya. Tujuan utamanya adalah cepat sampai di kelas, lalu Mat akan berhenti membuntutinya. Namun, sudah terbiasa dengan trik licik anak Persatas, Mat langsung menghadang jalan Kenan supaya mendapat atensi lebih.

"Dasi, sabuk, tidak digunakan. Kaus kaki pun tidak berwarna sesuai hari. Seragam dikeluarkan, panjang rambut nyaris menyentuh pundak. Apa Kakak punya pelanggaran tambahan untuk menambah koleksi poin negatif Kakak?"

Atas dasar spontanitas, tanpa sadar, Kenan memasang mode defensif sambil meletakkan tangannya di samping tas. Sendinya mendadak kaku. "Tidak ada."

Menyadari pergerakan ganjil itu, Mat langsung melangkah mendekat dengan aura intimidasi. Tampaknya, kakak kelas di hadapannya ini belum begitu profesional sebagai bad boy. Mat mengulurkan tangan. "Tidak ada? Kalau begitu, tentu Kakak akan mengizinkanku untuk memeriksa tas Kakak, 'kan?"

Sepersekian detik berikutnya, Kenan sudah mengambil langkah seribu, berlawanan arah dengan hadangan Mat. Akan tetapi, refleks Mat tidaklah selambat itu. Tanpa perlu banyak mengeluarkan energi untuk gerakan tak penting, Mat langsung menarik ujung ransel Kenan. Di saat itulah, sudut mata Mat menangkap tiga batang rokok di pinggiran tasnya.

"Wow, Kakak membawa persediaan untuk bekal bolos nanti, di atas langit-langit toilet?"

Menyadari Mat yang sudah dalam mode siaga penuh, Kenan pun tambah berontak. Sial. Supaya lebih mudah untuk merokok di perjalanan, Kenan pun menyimpannya di sana, tadi. Kenapa pula malah bertepatan dengan Mat yang piket? Sehabis ini, Kenan memang perlu menemui geng Moreno untuk meminta data pengurus OSIS yang jadwal jaga gerbang di setiap harinya.

Kenan sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk meloloskan diri dari cengkeraman Mat. Sesaat, mereka yang masih berada di pinggiran lapangan pun menjadi tontonan gratis anak-anak lainnya, seperti biasa.

Tangan Mat yang hanya bertumpu pada ransel hitam itu pun kalah kuat. Genggamannya terlepas. Di saat yang sama, Bintang yang seharusnya berada di ruang kelas, kini malah menghampiri Mat. Kenan yang lepas kendali pun melarikan diri dengan anarki. Tenaganya yang masih berada dalam tingkat maksimal itu pun menabrak Bintang hingga terpental. Nasib baik, Kenan tak berani lagi macam-macam ketika Pak Uzaz, wakasek keamanan Persatas, datang dari ruang olahraga.

"Kakak itu membawa tiga batang rokok di pinggiran tasnya, Pak."

Laporan Mat membuat Kenan hanya bisa menggeram kesal. "Sialan, Babu Sekolah Bedebah!"

Kini, Kenan sudah berurusan dengan Pak Uzaz. Mat mengalihkan tatapannya pada Bintang yang masih tergeletak mengenaskan di pinggir lapangan. Anak itu jatuh tanpa ada nilai estetikanya sama sekali. Massa tubuhnya yang jelas jauh lebih kecil dari Kenan membuat Bintang-lah yang menerima damage paling besar, tidak seperti Kenan yang hanya berefek pada langkahnya yang terjeda.

Baiklah. Lesehan di lapangan begini membuat muka Bintang tambah mengenaskan saja. Mat menahan tawa dalam hati, lalu mengulurkan tangannya.

Bintang mendengkus sebal, lalu menerima bantuan itu. Bintang menepuk-nepuk bagian belakang roknya yang ditempeli debu-debu lapangan. Barulah Bintang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Orang-orang yang berada di dalam jarak pandang Bintang sedang memperhatikannya, saat ini.

Mampus. Lagi-lagi, Bintang jadi pusat perhatian .... Tidak, tidak. Bintang memang selalu berharap dirinya bisa maju ke depan tiga angkatan ketika upacara. Namun, hanya untuk menerima hadiah dan apresiasi seperti waktu pengumuman juara paralel di tengah semester, kemarin, bukan dalam kondisi memalukan begini!

"Mau apa ke sini?"

Sebelum menjawab pertanyaan Mat, Bintang lekas menarik lengan lelaki itu ke lorong kelas, mencoba berbaur dengan siswa lain. "Aduh, Mat! Kenapa pekerjaanmu keras begini, sih? Apa kau tidak takut dengan serudukan para berandalan itu? Lihat baik-baik badan berotot mereka, Mat! Pinggangnya bahkan dua kali lebih besar dari bahuku! Tingginya jangan tanya ...."

"Makanya, cepatlah tumbuh tinggi, Anak TK." Mat nyengir lebar, puas berhasil mengolok Bintang habis-habisan. "Dan yang barusan itu tidak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan kekuatan kawanan Kak Moren yang sampai mendobrak gerbang jika datang terlambat. Ah, kau tak tahu, ya, Bi? Gerbang depan pernah roboh hanya karena ulah mereka."

Bintang bergidik ngeri, tak ingin membayangkan betapa ganasnya aksi mereka. Bintang teringat dengan niat utamanya menghampiri Mat. "Oh, ya. Aku cuma mau bilang, jam pertama kita hari ini kosong, lho. Bu Nina sedang menemani putra bungsunya yang dirawat di rumah sakit. Aku dan Kiano sudah sepakat untuk latihan soal olimpiade di perpustakaan. Ah, Alfis juga, seharusnya. Tapi anak itu sedang mempersiapkan beberapa hal dengan anak band, untuk Persatas Day mendatang, katanya. Mat nanti menyusul, ya!"

🏅   🏅   🏅

"Kiano, mana bayaran untuk utangmu, kemarin?"

Teriakan Mang Dod di lorong-lorong kelas, membuat Kiano lekas bersembunyi di kolong meja perpustakaan. Bintang yang menyadari hal itu langsung mendelik malas pada Kiano. "Hm, pantas saja kau mendadak ingin latihan soal di perpustakaan, padahal di kelas saja bisa. Ternyata menghindari masalah. Please, ya, Ki. Kau itu orang berada, Bunda Nurand pasti tak masalah untuk memberimu uang jajan tambahan, jika kau minta baik-baik. Kenapa masih mengutang? Memalukan saja."

Tak begitu ambil pusing, Kiano hanya meletakkan telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan Bintang untuk mengunci mulut. Dengan buku hitam legendarisnya yang berisi catatan utang anak-anak Persatas, Dod menghentikan langkah Mat di bingkai pintu perpustakaan. "Ah, Mat! Apa kau melihat Kiano?"

Masih di kolong meja, mata Kiano membola. Mampus. Mat yang tidak tahu apa-apa, pasti menjawab seadanya saja. Tak salah lagi. Mat mengerutkan kening. "Uhm, tadi, katanya dia berencana ke perpustakaan, sih, Mang. Seharusnya, dia masih di sana .... Coba aku carikan, ya."

Tidak bisa diandalkan! Kiano langsung menarik lengan seragam Bintang, berniat memberi kalimat-kalimat terakhir, sudah seperti seorang petarung yang akan berjuang ke medan perang saja. "Bi, terima kasih untuk segalanya. Kau lanjutkan latihan soal saja dengan Mat yang tak punya hati itu .... Aku akan mencari persembunyian lain. Mungkin UKS akan jauh lebih aman. Tak perlu risau, oke? Sampai jumpa."

Bintang ingin muntah atas semua dramatisasi yang hiperbola gila itu. "Ya, ya. Selamat tinggal. Tak usah kembali lagi."

Baru saja Mat membuka pintu perpustakaan, Kiano sudah menyeruduk untuk melarikan diri sejauh mungkin. Menyadari itu, Mang Dod langsung mengejar, sambil kembali berteriak, "Hei, tunggu!"

Sebelum masuk pepustakaan, Mat segera mendesis pelan pada Dod. "Kalau sudah bel jam pelajaran pertama, jangan keras-keras, ya, Mang."

Mat mengangkat bahu begitu Dod menyempatkan diri untuk sekadar mengacungkan ibu jarinya. Lima menit berikutnya, Mat dan Bintang sudah asyik dalam lautan soalnya masing-masing. Meski begitu, Mat tak banyak bergerak, di saat Bintang bahkan sudah membuka berlembar-lembar halaman yang baru. Mat tampak tak fokus. Permukaan kertas yang biasanya diisi banyak rumus dan perhitungan rumit pun, kini masih saja mulus melompong.

Mau tak mau, Bintang pun meletakkan pensilnya di atas meja. "Apa ada yang mengganggumu, Mat?"

Akan tetapi, hal yang paling membuat Bintang terperanjat adalah, kenyataan bahwa segaris air mata mulai menjejaki pipi lelaki itu. Mata Bintang melebar. Bintang tak pernah mendapati pemandangan seperti ini. Terlalu asing ....

Senyuman tipis terbit di bibir Mat. Tak ada orang lain selain mereka berdua di perpustakaan ini. Akan tetapi, rasanya tetap saja memalukan. Membiarkan Bintang mendapati dirinya dalam keadaan semenyedihkan ini .... Mat pasti tengah bermimpi. Mat menundukkan kepala dalam-dalam. "Sekarang, kalau aku putuskan untuk berbagi ... mau?"

Bintang akhirnya ikut tersenyum. Belum apa-apa, manik mata cokelat terangnya mulai berhias kaca yang siap luruh menjadi air mata. Bintang berkata lembut, "Menangis saja. Hanya aku yang tahu. Aku tidak akan bilang siapa-siapa. Reputasimu sebagai calon Ketua OSIS, akan tetap terjaga."

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro