23| Deposit Digit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama lima belas tahun ini Bintang menghirup napas di muka bumi, belum pernah sekali pun terlintas di benaknya, bahwa ia akan berurusan dengan sosok Kak Raya, Sekretaris OSIS yang dikenal anarkis itu. Tidak dalam mimpi buruk sekalipun.

Sehabis kalimat retoris itu, Raya membiarkan keheningan yang mengisi ruang kekosongan di antara mereka. Raya berniat memberikan kesan mengintimidasi yang lebih kuat. Bintang yang selama ini hanyalah anak piyik tanpa pengalaman organisasi sama sekali, tentu saja mengkeret ciut, mandi keringat dingin di bawah tatapan kakak kelasnya.

Kesunyian yang menyeramkan! Rasanya, Bintang akan lebih memilih untuk menghadapi penunggu kelas XI MIPA-3 yang kata Kiano berhantu belanda itu, daripada terjebak dalam situasi ini bersama Raya. Untuk mengusir setan, setidaknya Bintang masih bisa menguatkan hati dalam berdoa. Bagaimanalah untuk menghalau Raya? Gila, se-overpower itu auranya! Setan saja sampai insecure di pojokan.

"Uhm ... kenapa, Kak? Ada yang perlu saya bantu?" tanya Bintang, menundukkan pundaknya sambil nyengir paksa. Kaku sekali. Pertanyaan itu Bintang lontarkan karena tak tahan lagi dengan suasana mencekam yang ada. Bintang ingin segera melarikan diri dari jangka pandang sosok di hadapannya.

Alis Raya menukik. Kedua manik mata Bintang susah payah berlarian untuk tidak ditikam tatapan tajam Raya. Gadis berkacamata itu melesakkan kedua tangannya ke dalam saku jas abu-abu kebanggaannya. "Apa kau tidak menyadarinya?"

"Maaf, menyadari apa, Kak?"

Decakan malas berhasil lolos dari mulut Raya. Kini, matanya mendelik, membuang muka, dan mengamati seorang anak futsal yang sekadar tumpang lewat untuk melintasi keduanya. Para siswa tengah asyik-asyiknya di tengah lapangan, ataupun memenuhi setiap penjuru bazar. Sebagian lainnya tetap berada di food court Mang Dod, berlagak sudah mendeklarasikan janji setia pada makanan yang dijual pria kepala empat itu.

Raya mendengkus singkat, kembali menaruh atensinya pada Bintang. "Menyadari apa? Kini, kau bertingkah seperti anak polos tanpa dosa?"

Demi mendengar balasan yang sama sekali tak menjawab pertanyaannya itu, Bintang pun menegakkan kepala. Sebagian rasa takutnya sudah lenyap, berganti dengan rasa-rasa tidak mengenakkan yang membuat Bintang mulai mengurangi respek pada Raya. "Maksud Kakak? Saya pikir, setiap manusia juga punya kesalahan. Kakak tanya, saya anak polos tanpa dosa? Tidak ada. Saya pernah ingkar pada papa saya ketika berjanji untuk mandi sebelum jam lima sore. Saya sering mengambil uang kembalian mama saya di atas lemari. Saya pernah berbohong dengan mengatakan tidak akan banyak-banyak makan mi ayam atau es krim lagi. Saya ...."

"Stop, stop!" Mendapati raut muka Bintang yang mulai berlinang air mata sarat akan penyesalan itu, membuat Raya yang malah kelimpungan, kali ini. Raya mendesah sebal. "Kenapa kamu malah membuat sesi pengakuan dosa, di sini? Ini bukan renungan malam! Saya juga tidak meminta kamu untuk mengabsen semua kesalahan yang kamu punya."

Bintang yang memang sensitif, kini tak mampu lagi membendung isak tangisnya. Semakin Bintang mencoba menahannya, suara yang dia hasilkan justru semakin sulit dikendalikan, mulai berbunyi ngik-ngik macam tikus cegukan. Sesaat, Bintang menarik ingusnya dalam napas panjang. Menyadari sebagian lendir itu masih menghiasi bagian bawah lubang hidungnya, hampir mencapai bibir atas, Bintang pun mengelapnya dengan bagian dalam seragam. Masih dengan es cokelat di tangan lainnya.

"Kamu jangan membuang waktuku lebih banyak lagi!"

Sentakan frustrasi dari Raya itu berhasil membuat tangisan Bintang terjeda. "Ah, ya jangan dibuang, Kak. Mencemari lingkungan. Kita daur ulang saja."

"Jangan bercanda!"

Bibir Bintang menekuk ke bawah. Ih, ia tak bermaksud bermain-main. Bintang, kan, hanya refleks. "Ya sudah. Saya juga tidak berniat membuang waktu Kakak, kok. Saya mau buang ingus saja. Permisi, Kak."

"Tunggu dulu!"

Kini, Bintang hanya bisa keheranan menatap Raya yang mulai mengamuk, berkacak pinggang. Menyadari dirinya yang mulai hilang kendali, Raya pun beralih menyilangkan kedua tangan di depan dada, bermaksud memperlihatkan pembawaannya yang tenang sekaligus sangar.

Raya berdeham, mengembalikan suara penuh wibawanya. "Langsung saja. Kau ini terlalu menempel dengan Mat. Mau sampai kapan kau terus jadi bayang-bayangnya?"

Kening Bintang mengernyit dalam. "Mat? Ah, kami memang dekat, Kak. Kebetulan, Tante Hera ... uhm, maksudnya mamanya Mat, menempati rumah di samping tempat tinggal saya, Kak, belasan tahun lalu, sebelum kami lahir. Saya juga tidak tahu, kenapa harus bertetanggaan dengan manusia seperti Mat. Oh, Kakak mau coba main? Boleh, deh. Klepon sama somay buatan mamanya Mat enak banget, Kak!"

"Aku tidak membutuhkan omong kosong itu, Bintang Rasi." Raya melotot. Matanya seolah hampir keluar dan menggelinding hingga ke lapangan. Sesaat, ia melupakan gaya bicara formalnya. "Aku hanya mau kamu lebih memperhatikan batasan-batasan antara kamu dengan Mat. Kalian tetangga sekaligus sahabat kecil bukanlah masalah! Aku tak peduli kalian sedekat apa di luar sana. Tapi tolong. Di wilayah sekolah, Mat adalah anak OSIS. Dan aku bertanggung jawab penuh untuk memastikan nama baik OSIS tidak tercoreng oleh tindakan kalian."

Mendengar hal itu, Bintang ikut membelalakkan mata, tak percaya. "Tapi, kami tak bermaksud ...."

"Tak bermaksud mencemari akreditasi OSIS. Kami memang sudah terbiasa bersama? Siswa tidak akan memperhitungkannya! Mereka hanya akan menganggap kalian sedang berpacaran, yang berarti pelanggaran berat." Raya menjeda sejenak kalimatnya, menatap Bintang lekat-lekat. "Bukan apa-apa. Akan tetapi, apa kamu pernah tahu? Kotak kritik saran OSIS selalu dipenuhi hujatan untuk Mat! Mat memang paling disiplin menegakkan aturan. Karena itulah, siswa menyerang Mat lewat celahnya, kedekatan kalian! Jika sudah berhubungan denganmu, Mat jadi tidak bisa membela diri, kau tahu?"

Kenyataan itu memukul telak setiap penjuru di ruang hati Bintang. Segaris air mata kembali meluncur. "Mat .... Benarkah?"

Suara lirih Bintang tak cukup untuk melunakkan Raya. "Kau membuat Mat menanggung semua itu!"

"Raya!" Teriakan seorang perempuan dari lorong kelas membuat perhatian Raya teralih. Tampaklah sosok dengan rambut panjang lurus yang tengah berjalan menghampiri mereka. Itu Luna, teman sekelas Raya. Luna menghadap Raya dengan posisi yang memunggungi Bintang. "Bisakah kau berhenti berbuat macam-macam?"

"Apa?" Raya nyolot. "Aku hanya berusaha membuat anak itu tersadar dari kesalahannya."

"Tapi kau lupa untuk menyadari kesalahanmu sendiri." Luna memicingkan matanya. "Cara penyampaianmu salah. Tidakkah kamu mempelajari seni-seni public speaking yang baik dan benar? Selama ini, kau selalu mengocehkan profesionalitas ... tetapi apa ini? Kau tidak pernah menyesuaikan diri dengan lingkungan atau apa yang dihadapimu. Kau hanya memaksa dan menuntut orang-orang untuk mengikuti semua kehendakmu."

Garis wajah Raya tampak tersinggung total. Dengan tatapan penuh peringatan, Raya mendesis. "Jangan ikut campur. Aku punya banyak urusan lain yang lebih mendesak, dibandingkan berurusan denganmu."

Tanpa perlu menunggu respons dari Luna, Raya pun melengos, pergi begitu saja. Kini, yang tersisa di sana hanyalah Bintang dan Luna.

Luna berbalik badan untuk beralih pada Bintang. "Kau tak apa? Eeeh ... kau menangis?"

Tanpa melepaskan segelas es cokelat di tangannya barang sedetik pun, Bintang kembali menyusut ingus. "Kakak kenapa membelaku? Jelas-jelas, memang Bintang yang salah, kok! Aku tidak tahu, tindakan egoisku selama ini ... ternyata malah membuat Mat dalam masalah."

Luna menelan ludah. Aduh, bagaimana ini? Luna belum sempat membaca tutorial untuk menenangkan tangisan seseorang. "Uhm, jangan terlalu dipikirkan, ya. Nenek Lampir itu memang menyebalkan, terlampau strict. Memang sudah begitu dari pabriknya, kok. Selalu saja mengutarakan pikirannya tanpa peduli perasaan orang."

Masih dengan kedua sudut bibirnya yang menekuk ke bawah, Bintang berulang kali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Kak. Kalau soal bicara pedas, aku sudah terbiasa menghadapi Alfis, ahlinya. Akan tetapi, apa yang Kak Raya bilang ...." Bintang sesenggukan lagi. Ketika hendak kembali mengelap ingus, Bintang menerima selembar tisu dari Luna, yang lebih keren untuk ditempeli lendir lengket itu, daripada seragam sekolahnya. "Aku tahu, Mat tidak akan pernah bilang-bilang, seberat apa pun masalahnya. Itu yang membuatku semakin menyesal."

Mata Luna ikut berembun. Entah kenapa, kedekatan Mat dan Bintang ini terasa sensitif sekali di telinganya. Luna menepuk-nepuk puncak kepala Bintang yang lebih pendek darinya. Tanpa sadar, keduanya sama-sama berjalan tiada arah, lantas berhenti untuk duduk di atas dinding pendek pembatas taman kecil di samping ruang laboratorium.

Mendadak, malah Luna yang menangis habis-habisan. Jauh lebih parah dari Bintang. Mendapati itu, Bintang bahkan keheranan, sampai menghentikan isaknya sendiri. "Kenapa malah Kakak yang menangis?"

Tanpa peduli dengan riuh lapangan yang mulai mempertontonkan pertandingan semifinal, Bintang dan Luna saling berpelukan. Beberapa menit berlalu. Barulah Luna beringsut, lantas mengambil tisu baru di saku untuk dirinya sendiri. "Kau tahu? Mat itu mengingatkanku pada seseorang yang telah pergi ...."

"Oh!" Dengan tampang polosnya, refleks Bintang menebak, "Kak Melvin?"

Sesaat, suasana sendu kelabu itu malah hancur. Luna memekik heboh. "Bagaimana kau bisa tahu? Kau masuk ke fanbase Melvin juga?"

"Eh? Kak Melvin punya fanbase sendiri?" Bintang malah baru mendengarnya.

Luna menganggukkan kepala dengan mantap. "Ya! Mereka mengaku termelvin-melvin."

Bibir Bintang membulat, ber-oh tanpa suara. "Aku tahu dari Mat, sih. Lagi pula, siapa yang tidak mengenal Kak Melvin, kakak kelas panutan itu!"

"Benar! Mari ramaikan petisi, menolak untuk menghapus eksistensi Melvin. MLM, Menolak Lupa Melvin!"

"Ayo!"

"Kita gembor-gemborkan semangat ini pada kawula muda, demi keutuhan ...." Menyadari sesuatu, Luna pun menurunkan kepalan tangannya yang sudah teracung di udara. Muka seriusnya seketika kembali berubah jadi mengenaskan. "Kita tadi sedang menangis, 'kan? Jangan berubah-ubah genre, dong!"

"Oh iya, lupa." Bintang meringis. "Monggo, diteruskan lagi, Kak."

"Hm. Sebenarnya, aku dan Melvin malah lebih parah dari kamu dengan Mat. Kami jelas-jelas mengarah pada hubungan romantik, tidak sepertimu yang sebatas sahabat kecil, tak jauh berbeda seperti aku dengan El." Luna menyunggingkan senyuman menyakitkan. "Aku juga selalu bentrok dengan Raya. Yeah, dia memang menyukai Melvin juga, sih, sepertinya. Akan tetapi, meskipun sama-sama disiplin, Melvin tidak banyak dihujat seperti Mat. Mungkin, fakta bahwa Mat adik kelas membuat anak lain ramai menjadikan Mat target utama. Yang biasanya banyak menghujat memang kelas sebelas dan dua belas, sih."

Bintang teringat berita kematian Melvin. "Uhm, mengenai Kak Melvin ... Kakak pacarnya, 'kan? Sekarang, Kakak ... tidak apa-apa?"

Memahami pembicaraan Bintang akan menjurus ke mana, Luna pun kembali merekahkan senyuman pahit. "Tak apa. Aku sudah terlalu banyak berbuat kesalahan di setiap takdir yang diguratkan semesta. Kepergian Melvin memang membuatku kehilangan sandaran, tetapi itu pulalah yang menyadarkanku." Tak mau kembali terlarut dalam tangis, Luna pun mencoba membelokkan alur topik pembicaraan. "Ah, aku sampai lupa menanyakan namamu. Di awal semester dua, aku disuruh Bu Enden untuk memanggilkanmu ... olimpiade, 'kan? Namamu ... Bulan?"

Ingatan yang melenceng itu membuat Bintang terkikik geli. "Bintang, Kak. Kalau bulan, sih, arti nama mamaku."

"Eh, iya? Namaku artinya bulan juga. Luna, dari bahasa latin."

"Kak Luna?" Bintang memutar memori. "Ah! Peringkat pertama paralel tingkat kelas sebelas di UTS kemarin, dengan nilai yang nyaris sempurna itu, ya!"

Demi mendengarnya, Luna langsung mengibas-ngibaskan tangan di depan muka. "Tidak, tidak, tidak, tidak! Itu kesalahan. Posisi itu bukan milikku." Mencoba kembali mengalihkan perhatian Bintang yang tampaknya memang selalu ingin tahu itu, Luna pun menjentikkan jari. "Bintang, kau salah satu anak yang tergabung dalam kelompok ambis, monsternya kelas sepuluh, yang selalu diperbincangkan orang-orang itu, ya? Aku jadi penasaran, deh. Kenapa kau mengejar nilai dengan begitu kerasnya? Nilai bukan segalanya, 'kan? Untuk apa kau kerajinan begitu?"

Bintang menatap bentangan langit cerah di atasnya, lamat-lamat. Dalam sekali. "Kalau boleh terus terang, aku sama sekali tidak rajin, Kak. Aku bodoh, bebal. Untuk menguasai operasi bagi kurung di kelas empat SD saja, aku sampai terus begadang dan merecoki Mat agar mau mengajari sampai aku bisa. Kapasitas otak dan kemampuanku sangatlah kecil. Awalnya, menyadari hal itu, aku ingin langsung menyerah saja. Untuk apa berjuang mati-matian, jika pada akhirnya tetap saja tak ada yang benar-benar mampu kukuasai?"

Senyap. Hanya terdengar bisikan angin pagi yang menggelitik telinga. Luna membiarkan Bintang menuntaskan semua yang ingin dikatakannya.

"Aku tidak punya jiwa kepemimpinan yang bisa diandalkan seperti Mat. Tidak pula seperti Kiano yang seorang fast-learner, punya kekuatan fisik mengagumkan, serta kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi tingkat tinggi, minus sifat narsisnya. Aku juga tak terlahir dari orang tua ilmuwan, atau memiliki skill bermusik seperti Alfis, yang tanpa menguasai suatu mata pelajaran pun, Alfis masih bisa menjadi bintang, Alfis masih punya masa depan untuk melangit."

Bintang memejamkan mata, masih dalam posisi mendongakkan kepala pada naungan semesta.

"Aku tidak punya bakat apa pun. Karena itulah, jika aku tak memiliki kemampuan hebat seperti orang-orang, maka hanya usaha keras yang bisa kuandalkan untuk terus bertahan. Sebenarnya, jatuh-bangkitku dalam mengejar nilai ini adalah salah satu bentuk keputusasaan, karena aku tak tahu lagi cara lain untuk bisa ikut melangit. Aku tahu, nilai bukanlah segalanya. Tapi, aku hanya ingin menggenggam erat satu-satunya jaminan untuk masa depanku."

Luna sempurna membisu. Rasanya, ada sepercik nyala yang mulai merambati setiap penjuru jiwanya.

Di tengah keheningan itu, muncullah Kiano dengan tangannya yang heboh melambai-lambai ke arah Bintang. "Bi! Kau belum tahu lagu apa yang akan dinyanyikan Alfis, 'kan? Ayo! Dia mau tampil, habis ini!"

"Serius? Tunggu aku!" Sebelum benar-benar mengundurkan diri dari hadapan Luna, Bintang menatap kakak kelasnya itu lekat-lekat. "Uhm, Kak Luna. Aku hanya ingin mengatakan satu hal. Tubuh manusia tersusun atas 37.2 triliun sel yang terus bekerja setiap saatnya. Belum lagi memperkirakan jumlah total dengan adanya bakteri-bakteri yang menempel di tubuh kita. Amboi. Ramai sekali di dalam sana. Tapi lihatlah dirimu, Kak! Kau masih saja merasa sendiri? Ayolah! Sampai kapan kau mau terus-terusan mengabaikan eksistensi penghuni semesta berukuran mikro di tubuhmu?"

Luna loading, sementara Bintang tersenyum lebar.

"Jangan pernah merasa sendiri! Aku mau ke lapangan, sampai jumpa!"

Luna menanggapinya dengan lambaian tangan.

Bintang bergabung dengan Kiano. Ah, Bintang sampai melupakan eksistensi es cokelat di tangannya. Bintang menyedot minuman yang berkurang manisnya, karena es yang sudah mencair sejak tadi. Di tengah langkah mereka, Kiano bertanya, "Oh, iya, Lun! Sebentar lagi, mau pelepasan balon. Apa harapan yang kau tulis di Kertas Utopia, kemarin?"

Malas menanggapi, Bintang hanya mengangkat kedua bahunya. "Rahasia."

Meski begitu, setiap aksara yang dicoretkannya kala itu masihlah terekam dalam memori. Mau tak mau, senyuman Bintang lagi-lagi terkembang, hanya karena mengingatnya.

Wahai, Semesta. Izinkan mega bumantaramu menjadi pijakan-pijakan yang akan mengantarkan kami untuk melangitkan impian. Jangan biarkan angan-angan itu terjatuh begitu saja.

🏅   🏅   🏅

Alo! Aku kembali di dini hari, 01:17, waw, lumayan. Udah masuk Senin, kan, ya?'-'
YEA! Luna dan Raya dari Detik Detak numpang eksis lagi di sini! Inilah Luna sehabis kepergian Melvin, hehehe:3
Oh! Aku cuma mau bilang, 'bersiaplah untuk part depan di hari Kamis'>.<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro