25| Suara Aksara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dunia Bintang runtuh. Hanya sisakan rimpuh. Telinganya tak lagi mendengar suasana di lapangan yang gaduh, masih dipenuhi tepuk tangan riuh.

Frekuensi detakan jantung Bintang terasa terus meningkat, bertalu-talu semakin cepat. Untuk sesaat—yang Bintang inginnya hingga sepanjang waktu saja—Bintang lupa caranya menarik napas. Seolah berada di dalam suatu dimensi tanpa nama yang tak mengenal ruang dan waktu, setiap penjuru hati Bintang mati rasa, digempur berjuta sembilu habis-habisan.

Tiga detik berlalu. Bius itu seakan kehabisan dosis. Rasa sakit mulai menjalar, hingga setiap sendinya terus bergetar. Tak tahan lagi, Bintang berlari kencang. Tak peduli dengan indra penglihatannya yang mulai dikaburkan genangan air mata, Bintang menuruni panggung.

Di tengah undakan, Bintang kehilangan keseimbangan, salah mengambil langkah. Tubuh ringkihnya berdebam jatuh di atas permukaan lapangan yang kasar. Tangisan Bintang pecah. Tidak, tidak. Jangan sekarang. Masih dalam posisi jatuh terduduk, Bintang berniat bangun. Akan tetapi, kakinya tak bisa diajak kerja sama. Tremor parah.

Papa .... Bintang lemah. Bintang ingin uluran tangan juga rengkuhan hangat yang selalu kau tawarkan di saat Bintang jatuh dari sepeda. Bintang jatuh, Pa ....

Tidak, tidak. Papa tidak pernah menginginkan Bintang lembek begini. Dulu saja, Bintang pernah jatuh dari tangga saat lari-lari di lantai atas sekolah dasarnya. Bintang menangis, persis seperti ini. Mat yang menggendongnya sampai rumah. Bintang yang kesakitan, tetapi Papa malah meminta Bintang jadi anak yang baik dan lebih kuat, biar tidak lagi menyusahkan Mat. Bintang harus bangkit ....

Beberapa anak mulai menghampiri Bintang, di antaranya dua anak PMR yang bertugas di pinggir lapangan untuk menangani sekiranya ada siswa yang mengalami hal-hal tidak diinginkan. Seruan-seruan kaget mulai menggema di sekitar. Beberapa anak lainnya hanya menjulurkan kepala dari kejauhan, mencari tahu apa yang tengah terjadi.

Bintang anak yang kuat .... Tangan Bintang yang masih menggenggam ponsel dan selembar karya puisinya itu kini mencengkeram lutut kuat-kuat. Sebelum orang lain mencapainya, Bintang sudah meletakkan kedua tangannya di pijakan, berusaha memberikan tenaga ekstra sebagai penyangga tubuhnya. Bintang bisa.

Langkah orang-orang terhenti begitu menyaksikan Bintang yang sudah kembali berlarian, meski air mata malah semakin deras meluncur. Kerumunan tersibak dengan sendirinya, memberikan jalan yang lebih leluasa bagi langkah Bintang. Beberapa kernyitan kening tercipta. Akan tetapi, tak ada satu pun yang berani menegur Bintang untuk menanyakan apa yang sedang ada di benaknya.

"Bi!" Pada akhirnya, suara itu yang terdengar. Setiap sel di otak Bintang terasa korslet. Tidak ada perintah bawah sadar untuk menghindari hadangan tubuh Mat di dekat gerbang samping.

Tangan hangat Mat menggenggam kedua telapak tangan Bintang, erat. Bintang memberontak. Isakannya malah semakin keras. Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ia punya, Bintang berusaha mengempaskan tangan Mat. Bintang hanya ingin pulang .... Tak peduli meski itu berarti ia harus berlarian untuk ke rumah.

Sebelum Bintang benar-benar kehilangan kendali, atau membiarkan Mat semakin tenggelam dalam lautan tanda tanya, kehadiran Pak Prana dengan ponsel di tangan berhasil menjawab semuanya. Dengan raut bersedih, Prana berkata, "Mamamu sudah menelepon Bapak untuk mengizinkanmu pulang lebih dulu, Bintang." Prana beralih pada lelaki di samping Bintang. "Mat, kau antarkanlah Bintang ke rumahnya. Bintang harus melihat papanya untuk terakhir kali."

Bohong jika Mat tidak terkejut atas informasi yang baru saja diterimanya. Akan tetapi, Mat mampu mengendalikan diri, paham bahwa ada sesuatu yang jauh lebih mendesak untuk diurus.

Tak lagi berontak, kini Bintang menurut saja ketika Mat menariknya, dan membantu mengangkat tubuh Bintang untuk duduk dengan benar di atas jok sepeda motor. Tanpa membuang waktu barang sedetik pun, Mat lekas menarik gas untuk keluar dari area sekolah.

Sungguh, Mat tak tahan. Ingin sekali menghapus garis tangis itu, atau sekadar melontarkan kalimat-kalimat penenang yang meminta Bintang menyadari bahwa dirinya tidaklah sendiri, Mat akan selalu di sini .... Namun, Mat tahu dengan pasti, situasi ini bukanlah suatu hal yang mudah dihadapi. Mat menyadari bahwa benak Bintang sudah telanjur bising sejak awal.

Tangan Bintang yang biasa memukul-mukul pundak Mat untuk memacu sepeda motor lebih kencang lagi, kini hanya mencengkeram erat tanpa sadar. Keras sekali. Dari sanalah, dunia Mat terasa ikut diluluhlantakkan.

🏅   🏅   🏅

Situasi yang terjadi begitu cepat itu masih membekaskan tanda tanya di seluruh anak Persatas. Tidak terkecuali bagi Alfis dan Kiano yang sedari tadi sibuk membelah lautan manusia untuk menemui Bintang. Akan tetapi, mereka sampai ke dekat gerbang samping, persis ketika Mat dan Bintang sudah menaiki sepeda motor. Prana yang bermaksud kembali ke ruang guru, kini dihentikan panggilan Kiano.

"Pak, Pak, maaf! Bintang dengan Mat ke mana, ya?"

Prana membalikkan badan. "Pulang ke rumah BIntang. Barusan, Bapak mendapat kabar dari mamanya, mengenai kabar papanya Bintang yang meninggal dunia."

Sesaat, Alfis dan Kiano saling berpandangan dengan kedua alis mengerut. Sorot matanya bicara kegelisahan. Kiano kembali menghentikan langkah Pak Prana yang sudah berpamitan untuk undur diri. Alfis dan Kiano serempak menguncupkan kedua tangannya di depan muka Prana.

Dengan nada memelas yang jauh lebih terdengar seperti pemaksaan, Kiano angkat suara. "Pak, izinkan kami untuk menyusul Bintang! Yang tersisa hanyalah acara pengumuman pemenang dan pembagian hadiah, 'kan? Untuk hadiahnya Bintang, bisa tolong Bapak yang wakilkan?"

Kepala keduanya menunduk semakin dalam ketika Prana tampak berpikir. "Baiklah."

Tubuh Alfis dan Kiano seketika menegak. Tentu saja. Kawan macam apa mereka, yang membiarkan kawannya melalui titik terendahnya seorang diri? "Terima kasih, Pak!"

🏅   🏅   🏅

Bisik-bisik tetangga yang sudah memenuhi setiap penjuru di halaman depan rumah kecil Bintang, seketika sunyi senyap begitu mendapati Bintang turun dari sepeda motor Mat. Mobil ambulans sudah jadi pajangan sejak belasan menit lalu. Terseok-seok, Bintang berjalan cepat ke dalam rumah.

Di ruang tengah, hanya ada Tante Hera, Bu Haji Amir, beberapa tetangga dekat, pemuka agama juga sesepuh yang ada di Kampung Cibangun ini. Mat hanya bisa terdiam mematung di bingkai pintu, ketika Bintang terduduk, lantas perlahan menyingkap kain putih di hadapan.

Bukan. Ini bukanlah Papa. Hanya itu harapan yang digenggam Bintang erat-erat. Tangannya yang terulur bermaksud memastikan, bahwa dugaannya memanglah benar. Bukan Papa. Papa masih mengerjakan proyek di Bandung, kok. Berjuang keras untuk mengantarkan Bintang menuju bait-bait impian yang selalu dilangitkannya.

Setetes air mata kembali jatuh tanpa suara, persis di saat kedua netra Bintang kembali menatap sosok berahang tegas yang tengah memejam, penuh kedamaian. Sosok yang selalu menguasai elegi puisi kerinduannya.

Tak tahan lagi, Bintang mengerang frustrasi. Wulan langsung mendekap Bintang, menahan kedua tangannya yang mulai sibuk mengguncang-guncangkan jasad tanpa nyawa itu. Tanpa bisa dikendalikan, memori manis bersama papanya langsung menghujam ingatan Bintang begitu deras. Termasuk percakapan mereka kemarin lusa, via telepon.

"Semangat kerjanya! Kalau Papa capek, pulang saja. Tapi, enggak capek juga pulang, dong!"

Bintang menggeleng kuat. Tidak. Bukan pulang macam ini yang Bintang inginkan .... Bintang bahkan belum menyambut Papa! Kenapa mendadak pergi begitu saja, tanpa pamit?

Wulan mencengkeram kuat bahu Bintang, lantas menarik tubuh mungil putrinya untuk berbalik. Wulan membiarkan wajah Bintang terbenam dalam dekapan hangatnya. Beberapa menit dalam posisi itu memberikan ketenangan tersendiri bagi Bintang. Kini, yang tersisa pada kedua netra itu hanyalah sorot kekosongan, juga jejak tangis yang melintang di kedua buntalan pipi Bintang.

Tak ada lagi aksi Bintang yang memberontak dari serangan kenyataan. Setiap senti tubuh Bintang sudah lemas, tak punya lagi tenaga. Bahkan ketika menyaksikan daksa itu disemayamkan, dilahap tanah dengan iringan doa-doa dari tetangga yang turut menyaksikan.

Persis ketika pijakan sang buana merengkuh Denis menuju peristirahatan abadi, tangis Bintang kembali pecah. Suara paraunya mengudara di tengah keheningan semesta. "Papa aku ... papanya Bintang."

Isakan sedu sedan Bintang menjadi melodi yang terus merajai angkasa di sore itu. Orang-orang mulai kembali ke rumah masing-masing, kembali melanjutkan aktivitas seperti biasa. Namun, tidak dengan Bintang dan Wulan, yang masih bergeming di sekitar gundukan tanah itu, ditemani Hera, Mat, Alfis, dan Kiano.

Menyadari garis cakrawala yang mulai meniadakan mentari di atas horizon, Wulan pun menggenggam pergelangan tangan Bintang. "Ayo, pulang."

Bintang tetap tak mau beranjak. "Kenapa Papa malah tidur di sana? Dingin, 'kan?Papa cuma pakai sehelai kain. Mama juga belum sempat membuatkan makan siang untuk Papa, 'kan? Papa pasti lapar. Bintang juga belum memamerkan piala di UTS kemarin. Papa belum dengar puisi buatan Bintang. Bintang juara satu! Papa bilang, mau traktir mi ayam pangsit. Bintang tidak akan menagihnya, deh. Tapi kenapa Papa tak kunjung merespons BIntang? Di sana gelap ... kenapa Papa mau?"

Wulan mengusap-usap lengan atas Bintang, lembut.

Bintang masih tak mau menerima semua ini. Segurat lengkung senyuman pahit tercipta di kedua sudut bibir Bintang. "Ah, Papa ... tidur di sore hari itu tidak baik, lho! Itu yang Papa bilang, 'kan? Tapi Papa pasti capek, habis melakukan perjalanan dari Bandung ... jadi ya sudah, deh. Nanti juga Papa bangun, kan, malam-malam, untuk sekadar menyeduh kopi hitam, atau rebahan di teras depan rumah, sambil menggoreskan bait-bait impian Bintang, seperti biasa? Membicarakan semesta kita lagi, Pa ...."

"Bintang," panggil Wulan yang berusaha terdengar tegar di tengah rasa sakit yang tak kalah besar. "Biarkan Papa istirahat, ya. Bintang juga butuh istirahat, 'kan? Ayo, kembali ke rumah."

Tanpa berniat melepaskan pandangan dari tempat persemayaman papanya barang sejenak pun, Bintang melangkah pergi.

Sesampainya di rumah Bintang, semua duduk melingkar di atas tikar yang digelar Wulan di ruang tengah. Setelah menyiapkan sepiring nasi dan telur ceplok berhias kecap seadanya untuk Bintang, Wulan pun mulai menceritakan kronologi kecelakaan Denis kepada Hera. Mamanya Mat ikut menahan tangis, lantas menggenggam erat telapak tangan Wulan yang dingin.

"Denis berniat memberi kejutan pada Bintang, dengan kepulangannya tanpa memberitahu ini. Di perjalanan pulang, dari informasi yang kudapat, sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan, lalu ...."

Cukup! Bintang memejamkan mata, tak mau mendengarkan apa pun. Bintang tak mau tahu apa pun soal kepergian Papa. Dengan menerima informasi dari Wulan, itu berarti memberikan kesempatan bagi rasa sakit itu kembali menggila di permukaan. Itu juga menjadi celah yang bisa membuat Bintang percaya atas apa yang terjadi .... Tidak. Papa masih di sini.

"Téh Hera ... ajari aku kuat seperti Tétéh," bisik Wulan, tenggelam dalam pelukan Hera, "bagaimana Tétéh bisa melalui semuanya? Bahkan Mat masih SMP, saat itu. Sampai detik ini, bagaimanalah Tétéh bertahan, seorang diri?"

Hera mengusap punggung Wulan yang sudah seperti adiknya sendiri. Senyuman yang sudah melalui berbagai luka itu, kini terkembang lebar.

Perlahan, sudut mata Hera lekat membingkai Mat, sosok yang selalu menjadi alasannya untuk tetap bertahan, tak peduli seberapa pelik kehidupan.

"Sekarang ataupun nanti, tak pernah ada yang mampu menjinakkan rasa dari suatu perpisahan. Maka, sejatinya, eksistensi orang kuat itu tidaklah benar-benar ada, Lan. Bagiku, definisi orang kuat adalah orang-orang yang terus meneguhkan kaki di tengah perjalanan hidup. Tak peduli apa yang terjadi, dia terus melangkah untuk menyongsong esok hari." Hera mengeratkan dekapannya di bahu Wulan. "Tetaplah hidup, Lan, itu lebih dari cukup."

Percakapan itu hanya mampu didengar keduanya. Bintang mulai melahap makanannya. Menangislah sesukamu, Bi, tetapi jangan membuat Mama lebih khawatir lagi. Tak peduli nafsu makannya yang menghilang banyak, Bintang terus menjejalkan nasi ke dalam mulutnya. Kau bukan satu-satunya korban perenggutan semesta, di sini, Bi.

Sementara itu, Mat, Alfis, dan Kiano, sedari tadi hanya bisa menemani tanpa bahasa. Menghibur Bintang dengan lawakan receh bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan dalam situasi ini. Mereka mati gaya.

Persis ketika Bintang menandaskan isi piring dan bermaksud mencucinya, perhatian Bintang teralihkan pada sebuah buku catatan yang tampak lusuh di atas meja. Refleks, Bintang meraihnya.

"Ah, buku itu ditemukan dalam tas Papa, waktu kecelakaan," jelas Wulan, yang menyadari tanda tanya putrinya.

Rinai kembali berderai dari kedua netra itu, bahkan di saat Bintang baru saja membuka halaman pertama.

Senin, 21 Desember 2020

Lagi-lagi, kami sibuk melangitkan bait-bait angan di antara kelam semesta. Malam ini, Bintang kembali menggantungkan impiannya, yang menjadi semangatku untuk terus memperjuangkannya.

Hera memberitahuku mengenai proyek pembangunan swalayan di Bandung. Aku akan mengambil kesempatan di sana.

Bintang, maaf karena terlahir dalam kondisi Papa yang serba-terbatas. Uhm, itu kalimat yang sampai saat ini, belum pernah berani Papa sampaikan. Semoga kau tak pernah membacanya!

Papa memang payah. Tidak bisa menjadi sosok keren yang dapat kau bangga-banggakan. Tapi Papa akan terus berusaha!

Sampai kapan pun, Papa mau jadi undakan yang bisa mengantarkanmu ke puncak sana .... Tak perlu risau, Papa akan berjuang!

Tangisan Bintang sudahlah kering, terlalu banyak dikeluarkan. Bahu ringkih Bintang naik-turun. Sesak sekali. Ketersediaan oksigen seolah habis di muka bumi.

Papa, kenapa kau memperjuangkan mimpiku sekeras itu? Angan-angan omong kosong bagai mimpi di siang bolong itu hanya merenggutmu dariku.

Pandangan Bintang buram. Kini, yang mampu dilihatnya hanyalah kegelapan tiada akhir.

🏅   🏅   🏅

Halo! Kaget, engga, lihat mapikibi apdet, padahal jadwalnya masih besok?
Hwhw, di draft sudah tamat, makanya untuk enam bab terakhir ini, in syaa allah akan ku-publish tiap hari, ya. Stay tune!:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro