10. Merajut Asa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


= Banjarmasin, 2020 =

Yun gelisah bukan main. Sepanjang hari itu, semua yang ia lakukan salah. Puluhan jurnal kesehatan terbengkalai, tidak jadi dibaca. Demikian pula naskah tinjauan pustaka. Tidak maju-maju juga. Macet di paragraf ke-10.

Kehadiran Faisal selama sebulan memang memberi suasana baru dalam hidup Yun. Ia yang sehari-hari menyendiri, kini memiliki teman untuk bercanda. Faisal mudah sekali membuat tertawa. Segala hal bisa menjadi bahan candaan. Ia sampai heran dari mana ilmu melawak itu didapatkan. Jangan-jangan anak itu kebanyakan nonton stand up comedy.

Rupanya, Suryani merasakan perubahan pada diri anak asuhnya. Yang semula selalu sendu, kini lebih banyak tersenyum. Sebagai ibu angkat, ia senang dengan perubahan itu. Anak asuhnya semakin cantik dari hari ke hari. Ia tahu siapa yang membuatnya begitu.

"Kok kayaknya ada kejadian penting, nih?" pancing Suryani.

Wajah Yun kontan memerah dan tersipu-sipu. "Kejadian penting apa sih, Bu?"

"Habis ketemuan sama Faisal tiga hari lalu, kamu jadi lain. Hayo, ada apa?"

"Ah, nggak ada apa-apa kok, Bu."

"Nggak usah ditutup-tutupi, Yun. Kalau memang ada berita bagus, kenapa nggak bilang sama Ibu?"

Yun tak dapat menahan senyum. Wajahnya semakin memanas. "Ibu nggak marah kalau saya jujur?"

"Kenapa mesti marah? Pasti soal Faisal."

"Kok tahu, Bu?"

Suryani hanya tertawa kecil. Apa yang bisa disembunyikan dari seorang ibu?

"Saya boleh tanya sesuatu?" tanya Yun dengan mimik serius.

"Boleh banget!"

"Kalau seumur saya ini, apa udah boleh punya cowok?"

Mata Suryani kontan melebar dan kedua alisnya terangkat. "Hayo, pasti Faisal nembak, ya?"

Yun mengangguk dengan sangat malu. Diam-diam Suryani mengeluh. Yun tidak pernah jatuh cinta. Sekalinya dekat dengan cowok, ternyata anak kelas dua SMA. Dilihat dari sisi mana pun, keduanya tidak seimbang. Ibu mana yang tidak khawatir?

"Menurut Ibu, Faisal itu orangnya gimana?"

Suryani terpaksa meneliti ingatannya tentang anak itu.

"Kayaknya sih memang agak bedungil, ya." (badung)

Yun mengangguk kembali. "Nekatan, Bu. Ngototan juga kalau udah punya mau."

"Hmmm, sebenarnya itu bagus. Tandanya dia pemberani, ulet, dan pantang menyerah. Calon orang sukses." Suryani harus jujur mengakui kelebihan Faisal. "Dia juga cukup sopan. Keluarganya baik-baik."

Mendengar kata keluarga, mata Yun seketika bergulir gelisah. Suryani langsung paham.

"Jangan melihat ke belakang, Yun. Masa lalu itu nggak akan merusak masa depan, kecuali kamu membuatnya begitu. Masa depan itu tergantung usaha kita hari ini," ujar Suryani.

"Tapi keluarga saya nggak ada apa-apanya dibanding keluarganya. Apa mereka bisa nerima saya?"

Suryani sepenuhnya mengerti mengapa Yun menjadi seperti ini. Direngkuhnya gadis itu. Tangis Yun runtuh.

"Saya takut," rintih Yun di sela tangis.

"Kamu sayang dia?"

Yun malu-malu mengangguk. "Tapi umurnya lebih muda lima tahun. Gimana, Bu?"

Ini sebuah dilema. Suryani sadar betul. Hati Yun yang rapuh sangat berharap mendapat kebahagiaan. Tapi bisakah anak ABG itu bertanggung jawab memenuhi harapan gadis ini? Bisa jadi ia cuma main-main.

"Jangan terlalu serius dulu. Faisal masih SMA. Mikir seriusnya nanti aja, kalau kalian udah lulus kuliah dan bisa cari uang sendiri."

"Jadi saya nggak boleh jadian sama dia?" Mata Yun semakin kelam.

Suryani menjadi ragu. Apa salahnya cinta beda usia? Tidak ada aturan yang mengatakan perempuan harus lebih muda dari pasangannya. Siapa tahu mereka memang berjodoh. Kalau melarang mentah-mentah, jangan-jangan ia menghalangi kebahagiaan sepasang makhluk Tuhan.

"Boleh aja jadian. Tapi harus tahu batas. Jangan kebablasan, apalagi sampai kumpul kayak suami istri," saran Suryani akhirnya.

Mata Yun berbinar kembali. "Ih, kami nggak pernah pegang-pegang, Bu."

"Bagus. Ibu percaya padamu. Tetap seperti itu, ya. Kalau jalan bareng, jangan ke tempat sepi. Tempat begituan banyak setannya."

Yun mengangguk. "Jadi boleh, Bu?" pintanya.

Suryani tidak punya pilihan lain selain mengangguk mengiyakan. "Tapi ingat. Pacaran yang baik itu tujuannya untuk belajar saling memahami, saling menjaga, dan belajar mengurangi sifat egois. Pacaran kalian itu harus mendatangkan hal-hal baik. Contohnya, nilai makin bagus. Tugas selesai dengan baik. Kamu wisuda pada waktunya. Sanggup?"

Yun menghapus air mata. "Sanggup, Bu!"

"Yang kedua, jangan melanggar bingkai-bingkai norma dan agama. Janji?"

"Janji."

"Karena Faisal lebih muda dan masih remaja, kamu sebagai orang yang sudah dewasa harus bisa membimbing dia," lanjut Suryani.

Ada kilau keraguan dalam mata Yun. "Membimbing gimana?" tanyanya lirih.

"Membimbing dia menjadi lelaki dewasa yang bertanggung jawab. Misalnya, sekolahnya harus selesai tepat waktu dan lulus dengan nilai yang baik. Kalau ada kebiasaan buruk, kamu harus ingatkan dia untuk berubah."

Tentang belajar, Yun tidak khawatir. Dirinya dulu siswa yang rajin, sehingga tahu apa yang dinamakan disiplin. "Dia sudah berhenti merokok sejak kenal saya."

Suryani mengangguk. "Bagus itu. Kamu harus bantu dia untuk mencapai cita-cita dan menjadi orang yang bisa dibanggakan oleh keluarga."

Dibanggakan oleh keluarga.

Kalimat itu terngiang dalam telinga Yun berhari-hari kemudian.

⚜⚜⚜

Di kamar, Yun bolak-balik memandangi layar ponsel. Bagaimana menyampaikan jawaban kepada Faisal? Apa langsung dikirim melalui pesan teks?

Perasaan hati itu bisa melintasi ruang. Pasti di seberang sana Faisal sedang merasakan yang sama. Nyatanya anak itu membuat panggilan. Yun menyambut dengan berdebar.

"Halo, Yun." Faisal tidak menunggu izin Yun untuk menghapus panggilan 'Kak'.

"Ya?" sahut Yun. Suara tenor Faisal selalu berhasil membuat darah Yun mengalir lebih cepat. Sebulan bertemu setiap hari, semua yang ada dalam diri anak itu telah melekat.

Ah, Faisal bukan lagi anak SMA bagi Yun. Ia seseorang, sosok lelaki. Sikap pemberani dan percaya dirinya telah membuat Yun yakin bahwa suatu saat ia bisa mengandalkan Faisal di segala situasi.

"Udah punya jawaban?" tanya lelaki itu.

"Belum." Yun sengaja menggoda.

"Yaaah, aku harus nunggu lagi? Ini kan udah tiga hari."

"Penting banget jawabanku?"

"Banget! Sepenting pulsa bagi hape! Ya, udah. Aku ke rumahmu."

"Kapan?"

"Sekarang!"

Yun panik. Masa pukul sepuluh malam Faisal mau bertamu? "Jangaaan! Udah malam."

"Nggak pa-pa. Rumah kita kan deketan."

"Pokoknya jangan!"

"Bentar aja. Nggak usah dibukain gerbang juga nggak pa-pa. Asal bisa ngobrol bentar sama kamu."

"Jangaaaan!"

"Aaah! Bentaaar aja!"

"Jangan, Faisal! Kalau kamu nekat, aku akan kasih jawaban 'enggak'!"

Sejenak tak terdengar balasan. Beberapa detik kemudian, suara pekikan Faisal membahana.

"Yeeeeessss!"

"Loh, kenapa teriak?" Yun kebingungan.

"Kamu bilang, kalau nekat akan kasih jawaban 'enggak'. Berarti jawaban yang ada sekarang 'iya'. Bener, 'kan?"

Yun merasa malu. Begitu mudahnya Faisal menguasai dirinya.

"Yun, kok malah diem? Kamu mau bilang 'iya', 'kan?" cecar Faisal.

Yun menggigit bibir. Kalau begini, beberapa detik lagi statusnya akan berubah menjadi mantan jomlo.

Semoga aku nggak salah pilih. Semoga kamu memang orang yang tepat buatku.

"Yuuuu-uuuuun!" rajuk Faisal.

"Iya."

"Apa?"

"Iya, Sal."

"Apa? Aku nggak dengar."

Pipi Yun memerah. Suaranya bergetar. Namun, ada seulas senyum manis yang tersungging.

"Aku sayang kamu, Faisal Elvano."


///////////////////////

Cieeee ... jadian. Gimana dong? Jungkook-ku diambil Yun! Auauauuuuu ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro