Mencari Solusi Melalui Shalat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa hari ini aku memikirkan tentang foto yang sempat Sofia kirim di story-nya. Dia foto bersama laki-laki, sangat dekat. Bisa dibilang, mereka seperti sepasang kekasih. Aku sebenarnya ingin menanyakan hal ini padanya, tapi aku takut dia akan tersinggung. Pesanku beberapa hari yang lalu pun belum dibalas olehnya. Apa lebih baik aku tanyakan baik-baik padanya? Ya. Lebih baik aku tanyakan langsung daripada aku terus memikirkan foto itu.

Aku membalas story Sofi mengenai foto itu.

To: Sofia
Maaf, yang foto sama ukhti ini siapanya ukhti?

Seperti pesan yang sebelumnya, tak pernah dia balas meski sudah terkirim. Apa dia benar-benar sibuk? Hanya untuk membalas pesanku saja tak ada waktu?

Aku meletakkan ponselku di atas meja. Tak lama ponselku berdering tanda panggilan masuk. Kukira itu Sofi, tapi ternyata ayahnya. Aku segera mengangkat panggilan telepon itu dan menempelkan Ponselku di telinga. "Assalamu'alaikum," sapaku pada Pak Baban.

"Wa alaikumussalam. Apa kabar Nak Hamzah?" tanya beliau setelah menjawab salamku.

"Alhamdulillah, Hamzah baik, Pak. Bapak gimana kabarnya?" tanyaku basa-basi.

"Alhamdulillah, Bapak juga baik. Kapan kamu pulang ke Jakarta, Nak?" imbuhnya.

Kenapa Pak Baban menanyakan kepulanganku ke Jakarta?

"Insya Allah, lima hari sebelum hari H." Aku membalas.

"Apa nggak terlalu mepet? Apa semuanya sudah disiapkan?" Beliau memastikan.

"Insya Allah, semuanya akan siap sebelum hari H, Pak." Aku berbicara apa adanya.

Kudengar suara salam di sertai ketukan dari arah pintu ruanganku.

"Saya mau menanyakan masalah Sofia. Apa dia sering menghubungi Nak Hamzah?"

"Pak, maaf saya ada tamu. Nanti kalau sudah senggang waktu, Hamzah telepon Bapak. Ini Hamzah sedang di ruangan pondok. Maaf sebelumnya." Aku menyampaikan, merasa tak enak hati.

"Oh, iya. Maaf kalau saya mengganggu."

"Assalamu'alaikum."

Aku segera menutup panggilan ketika Pak Baban membalas salamku. Aku segera beranjak dari tempat duduk, berjalan menuju pintu.

"Wa alaikumussalam." Aku tersenyum ketika melihat Abah Bahar dan Ziyad. "Silakan masuk, Bah. Maaf kalau sudah menunggu." Aku menyilakan Abah masuk.

"Bah, Ziyad langsung ke pondok, yah?" Ziyad menatap abahnya.

"Iya, Ziyad. Nanti Ustadz panggil kalau Abah mau pulang." Aku menimpali ucapan Ziyad.

Abah Bahar hanya mengangguk. Sedangkan Ziyad berlalu pergi dari hadapan kami. Mungkin dia sudah rindu dengan pondok ini. Abah pun masuk ke dalam ruanganku dan duduk di sofa. Aku meraih air putih kemasan dan menyuguhkan padanya.

"Apa kabar, Bah?" tanyaku pada beliau membuka obrolan.

"Alhamdulillah, Abah baik." Abah tersenyum padaku.

"Bagaimana kabar Zainab?" Aku kembali bertanya.

"Alhamdulillah, semenjak ditegur Nak Hamzah kondisinya semakin baik. Lima hari yang lalu sudah pulang dari rumah sakit." Abah membalas.

"Alhamdulillah, semua itu karena Allah." Aku tersenyum.

Aku merasa senang jika kondisi Zainab sudah membaik. Memang tak mudah untuk bisa tegar seperti itu. Di saat menjelang hari H, calon suaminya justru mengalami kecelakaan dan langsung Allah panggil. Orang mana yang tidak sedih mendapati keadaan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi jika semua itu sudah ketetapan dari Allah?

"Kedatangan Abah ke sini, selain mengantar Ziyad, ada yang ingin Abah tanyakan masalah pondok putri." Abah melanjutkan.

Apa Abah mau memasukkan Zainab ke pondok putri di sini?

"Iya, Abah. Silakan." Aku mengangguk.

"Untuk pendaftaran pondok putri di sini kira-kira berapa, Ustadz?" tanya beliau.

"Abah mau ambil yang mana?" Aku mengeluarkan brosur. "Hafidz, Alim, atau bisa dua-duanya?" Aku tunjuk uang pendaftaran serta uang bulanan untuk santri putri.

"Abah mau masukin Zainab ke pondok lain, tapi Abah bingung karena Zainab seperti itu, jadi Abah mau masukin Zainab ke sini, dan biar Abah sekalian kalau jenguk." Abah menjelaskan.

"Boleh, Abah. Saya senang dan setuju kalau Zainab ada aksifitas positif." Aku menyemangati.

"Tapi ..." Abah menggantungkan kalimatnya.

"Tapi kenapa, Bah? Ada masalah?" tanyaku memastikan.

"Apa Abah bisa minta keringanan untuk masalah hafalan ataupun tugas pekerjaan untuk Zainab? Zainab nggak bisa capek dan banyak pikiran karena jantungnya lemah." Abah mengungkapkan.

Aku tersenyum. "Insya Allah bisa, Bah. Nanti saya musyawarah dengan adik saya." Aku menyanggupi.

"Tapi Abah mau Zainab tidak tau masalah ini."

"Insya Allah, Abah tenang saja." Aku masih tetap tenang.

Beliau mengangguk. Lalu beliau mengeluarkan uang untuk membayar uang pendaftaran dan uang bulanan. Aku memberikan kertas formulir untuk pendaftaran pada Abah.

Syukurlah jika Zainab sudah membaik dan mulai aktif lagi. Semoga dia betah di pondok putri. Nanti aku musyawarah dengan Salwa supaya dia tidak memberikan tugas berat untuknya demi kesehatan Zainab.

"Kapan Zainab boleh masuk?"

Aku menatap Abah. "Lusa atau pekan inj sudah boleh masuk, Bah." Aku memberikan kwitansi pada Abah.

"Insya Allah lusa saja."

Aku hanya mengangguk. "Semoga Zainab betah di sini."

"Aamiin. Kalau begitu, Abah langsung pamit pulang. Nanti Abah saja yang cari Ziyad sendiri, takut Ustadz lagi sibuk." Abah pamit.

"Nggak apa-apa, Bah. Biar lebih cepat." Aku meraih gagang mic lalu memanggil Ziyad untuk ke ruanganku.

Tak lama, Ziyad pun masuk ke ruanganku. Kubiarkan dia dab Abah berbicara. Aku hanya menatapnya yang sedang mengobrol dengan ayahnya. Ingatanku langsung menuju ke arah ketika aku mondok dulu. Ada banyak kenangan ketika menjadi santri. Tidak ada waktu banyak ketika bertemu dengan orang tua saat menjenguk karena terbatas waktu.

"Ustadz, saya pamit."

Aku terkesiap ketika Abah membuyarkan lamunanku. "Iya, Abah. Hati-hati." Aku tersenyum.

"Assalamu'alaikum." Beliau beranjak keluar dari ruanganku.

"Wa alaikumussalam." Aku hanya menatap kepergian beliau. Ziyad pun pamit padaku untuk ke kelasnya. Aku hanya mengangguk.

Aku beranjak dari ruanganku untuk menemui Salwa. Tak lupa Ponsel kuraih dan sesaat kubuka untuk memastikan sesuatu. Mataku tertuju pada sebuah pesan dari Sofia.

From: Sofia
Dia temanku.
Sebenarnya ada yang ingin aku katakan sama kamu tapi kamu janji enggak marah dan enggak bilang masalah ini sama Papa. Aku yakin kamu orang baik.

Aku langsung membalas pesan dari Sofia.

To: Sofia
Insya Allah, aku amanah.

Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.

Tak ada balasan dari Sofia. Aku segera menuju rumah Salwa. Rasa penasaran hinggap di pikiranku. Apa yang akan Sofia sampaikan padaku? Apa dia ada masalah? Semoga tidak ada hal-hal buruk yang akan terjadi.

"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam ketika tiba di rumah Salwa. Pintu rumahnya terbuka. Mereka ada di dalam. Aku bergegas memasuki gerbang.

"Wa'alaikumussalam." Terdengar Ali menjawab salamku. Kulihat Ali keluar dari dalam rumah.

"Salwa ada, Al?" tanyaku.

"Ada. Silakan masuk." Ali membuka pintu lebar.

Aku segera masuk ke dalam.

"Amoura! ini Kak Hamzah mencarimu." Ali menyeru Salwa.

Aku duduk di sofa ruang tengah.

"Iya sebentar. Ini masih nanggung." Terdengar sahutan Salwa dari dalam.

"Hari minggu nggak jalan-jalan?" tanyaku pada Ali.

Ali beranjak duduk. "Aku sudah mengajaknya, tapi tidak mau. Lebih suka sibuk di dapur Amoura."

Aku hanya tersenyum. Tidak biasanya adikku mau di dapur. Biasanya malas sekali kalau disuruh Umi buat cuci piring atau bantu Umi masak. Apa dia sudah mulai-

"Ada apa, Bang?"

Aku menoleh ke arah Salwa yang sudah terduduk di samping Ali. Aku kembali tersenyum.

"Tadi ada orang tua yang daftarin putrinya lewat Abang karena adiknya mondok di sini. Namanya Zainab, putrinya Abah Bahar. Pasti kamu kenal karena Abah Bahar sering ke sini bawa hasil kebunnya. Insya Allah, lusa dia datang ke sini. Nanti kamu atur saja." Aku memberikan kertas formulir yang sudah Abah Bahar isi mengenai biodata Zainab. "Satu lagi. Dia punya penyakit lemah jantung, jadi Abang minta sama kamu buat bilang sama petugas hikmad atau santri putri lain yang dapat tugas buat masalah pondok, jangan menyuruh Zainab untuk pekerjaan berat." Aku menatap Salwa yang sedang membaca biodata Zainab.

Salwa hanya mengangguk.

"Pesan Abah Bahar, kita tak perlu menunjukkan kalau dia tidak dikasih tugas berat. Kasih saja tugas yang dia kira-kira kuat." Aku melanjutkan.

"Dan hal lain bagi penderita lemah jantung."

Aku dan Salwa menoleh ke arah Ali.

"Dia tidak boleh dikejutkan dan dia tidak boleh banyak pikiran." Ali menambahi.

Aku memang tidak banyak tahu mengenai Zainab dan penyakitnya. Tahu jika Zainab menderita lemah jantung dari Ustadz Reza. Aku hanya menyampaikan pada Salwa jika Zainab memiliki penyakit itu.

"Apa penyakit itu menular?" tanya Salwa.

"Tidak. Itu penyakit tunggal. Faktornya bisa dari keturunan atau bisa jadi karena kelainan jantung." Ali menjelaskan.

Apa keluarga Zainab ada yang mengidap penyakit lemah jantung? Abah? Ibu?

"Antisipasi apa yang harus dilakukan jika penyakitnya kambuh? Kata Abah, dia sering pingsan kalau sedang kambuh?" tanyaku. Lebih tepatnya untuk Salwa karena dia yang akan sering berinteraksi dengan Zainab.

"Mudah. Gosok telapak tangan atau kakinya. Hirupkan minyak aroma terapi di hidungnya. Nanti akan sadar sendiri." Ali mengulas.

Aku jadi banyak tahu mengenai penyakit Zainab. Setidaknya hal ini untuk antisipasi sebelum penyakitnya kambuh.

"Ada lagi?" Salwa kembali bertanya.

"Mungkin itu saja untuk masalah penanganan pertama penyakit lemah jantung. Jika penanganan itu tidak bereaksi, segera hubungi dokter." Ali melanjutkan.

"Ngapain hubungi dokter sedangkan di sini sudah ada dokter?" Aku menatap Ali dengan senyum menggoda.

Gelak tawa pun menggema di ruangan ini ketika aku mulai menggoda Ali dan Salwa. Aku pun teringat satu hal mengenai Zainab.

"Oh iya, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan sama kamu, Wa." Aku kembali pada obrolan serius.

"Apa lagi, Bang?" Salwa menatapku jengah.

"Zainab memakai cadar, jadi kamu bisa bicarakan dan mengingatkan santri putri agar tidak mempermasalahkan atau membicarakan masalah Zainab memakai cadar." Aku mengulas. Hampir saja aku lupa mengenai ini.

"Insya Allah, nanti Salwa musyawarahkan dengan santri putri yang lain. Ada lagi?"

"Abang rasa sudah cukup. Cuma segitu yang Abang tau." Aku tersenyum.

Salwa hanya mengangguk. "Gimana taaruf Abang dengan Kak Sofia?" tanya Salwa membahas topik lain.

"Biasa saja, Wa," balasku santai.

Entah kenapa ada rasa malas ketika membahas masalah Sofia. Dan aku lupa memastikan balasan pesan dari sofia. Segera kuraih Ponselku di saku dan memastikan pesan dari Sofia. Benar. Ada pesan darinya masuk.

From: Sofia
Sebenarnya yang foto bersamaku bukan teman, melainkan calonku. Tapi hubungan aku dan dia tidak direstui Papa. Aku minta maaf karena aku tidak jujur sama kamu. Aku takut Papa akan marah kalau aku cerita sama kamu. Tapi aku juga nggak mau membohongi perasaan aku sendiri. Aku nggak cinta sama kamu. Aku cintanya sama Mario. Aku tahu kamu orang baik, tapi hati dan perasaan tidak bisa di bohongi. Aku harap kamu mengerti dan membatalkan pernikahan kita. Please.

Aku seketika terdiam. Jadi Sofia sudah memiliki calon? Apa alasan Pak Baban tidak merestui hubungan Sofia dan Mario? Kenapa Pak Baban tidak jujur dengan aku atau Abi kalau Sofia sebenarnya sudah memiliki calon?

"Bang!"

Aku terkesiap ketika Salwa menegurku. Aku segera menatapnya.

"Ada masalah?" tanyanya.

Aku menggeleng lalu tersenyum. "Kalau begitu, Abang pamit dulu, masih ada tugas pondok yang belum selesai." Aku beranjak dari tempat duduk.

Aku meninggalkan rumah Salwa setelah berpamitan pada mereka. Kulangkahkan kaki menuju ruanganku. Aku pun duduk di sofa setelah tiba di ruanganku. Kubuka Ponselku dan kembali melihat pesan dari Sofia.

Dia memintaku untuk membatalkan pernikahan kita yang tinggal menghitung hari? Bagaimana aku mengatakan hal ini pada Pak Baban? Sofia tidak mau melibatkan dia dan Mario. Aku tidak mungkin membohongi Pak Baban. Ya Allah, apa yang harus kulakukan?

To: Sofia
Bagaimana saya bisa membatalkan pernikahan kita sedangkan saya tidak memiliki alasan kecuali saya berkata jujur? Saya tidak mungkin membohongi orang tua ukhti.

Aku menghela napas setelah mengirim pesan itu. Aku tidak punya alasan untuk membatalkan pernikahan itu karena sejak awal aku sudah menyanggupi. Lalu tiba-tiba aku membatalkannya secara pribadi tanpa alasan yang jelas? Aku benar-benar tidak memiliki alasan apa pun dan tak ingin membuat kecewa pada orang tuanya.

Kubuka ponsel ketika mendapat balasan dari Sofia.

From: Sofia
Kamu bisa beralasan sudah memiliki calon atau apa gitu. Kalau Papa tahu alasannya karena aku, aku takut Papa akan semakin benci dengan Mario.

To: Sofia
Saya sama sekali tidak ingin berbohong meski itu untuk kebaikan. Kalau ukhti ingin semua ini batal, maka ukhti tak perlu takut untuk sebuah kejujuran. Insya Allah, besok saya akan ke Jakarta untuk membatalkan perjodohan kita jika ukhti bersedia terlibat.

From: Sofia
Besok sore jam empat kita bisa bertemu sebelum kamu ke rumah? Kalau bisa, nanti aku kirim alamatnya. Aku akan ajak Mario.

To: Sofia
Ukhti kirim saja alamatnya. Insya Allah, nanti aku ke sana.

Aku meletakkan ponselku ketika Sofia sudah mengirimkan alamat tempat kita bertemu. Kuhela napas dan mengeluarkannya perlahan.

Ya Allah, apa ini jawaban istikharah hamba selama ini? Apa hamba harus membatalkan perjodohan ini? Bagaimana dengan perasaan Pak Baban jika aku membatalkan perjodohan ini? Ya Allah, beri hamba jalan keluar. Hamba tak ingin ada yang tersakiti dari pembatalan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro