Escape Object

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ma, aku masih mengingat petuahmu dulu," kata Lisa sambil mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk ke arah dagunya, bertingkah seolah tengah berpikir keras memeras otak, demi mengingat waktu yang telah lalu. "Katamu, aku harus menjauhi K-POP, benar, 'kan?"

"Hm, maybe. Kenapa? Kau masih terjangkit virus itu, ya?" selidik Syaima yang memicingkan mata, seolah sedang meneliti setiap senti wajah Lisa.

Lisa menggembungkan pipi, membiarkan udara mengisi kedua buntalan di kedua sisi wajahnya. "Tapi, gimana ya, Ma? Aku ngerasa ... kembaran aku tuh udah jadi zat adiksi dalam hidupku. Lagu-lagunya selalu bisa jadi mood booster di saat dunia menghempaskanku ke dasar jurang paling dalam."

"Nah! Di situlah letak kesalahannya," desis Syaima diiringi jentikan jari dan matanya yang berbinar terang, seolah sedang berperan menjadi detektif yang baru saja menemukan titik terang mengenai bukti dan saksi kunci dalam suatu kasus pembunuhan. "Kamu tahu, kenapa sesuatu zat disebut mengandung adiksi dan membuat kita ketagihan lagi dan lagi?"

"Hah? Ya ... karena punya daya tarik yang tinggi?" tebak Lisa dengan nada suara yang semakin mengecil volumenya, tampak ragu atas jawabannya sendiri. "Kukira, sifatnya relatif. Kembali lagi pada masing-masing kepribadian orang. Tapi untuk menyokong hal itu, setiap hal pasti membutuhkan daya tarik yang tinggi. Oke, aku sadar omonganku terlalu berbelit-belit. Argh, sudahlah. Aku enggak ngerti pertanyaanmu itu."

Syaima tertawa kecil menanggapi tingkah Lisa yang rempongnya minta ampun begitu ditanyai suatu hal yang di luar pola berpikirnya. "Suatu hal dapat dianggap punya zat adiksi karena hal tersebut ada di saat kamu hampa. Contoh yang sering relate dengan kehidupan, di antaranya adalah rokok dan minuman keras. Tidak semata-mata efek samping dari nikotin dalam rokok atau zat adiksi lainnya, melainkan diri kita sendiri yang selalu melarikan diri pada dua hal tersebut. Ada sedikit masalah, larinya ke rokok. Ada gejolak sepercik, dilampiaskannya ke minuman keras. Pertama kali mencoba, menimbulkan stigma yang lama-kelamaan akan membuat kita ketergantungan. Paham?"

Mata Lisa membesar. Lisa mencermati setiap kata yang dilontarkan dari mulut Syaima yang panjangnya sampai mengalahkan hujaman materi dari Pak Dendi, dosen Linguistik yang galaknya naudzubillah itu. Perlu beberapa saat hingga Lisa dapat mencerna secara keseluruhan maksud Syaima. "Ketergantungan? Jadi, kita kecanduan sesuatu karena hal itu seolah menjadi pelarian di saat kita banyak masalah, begitu?"

"Yap! Kurang lebih seperti itu. Yang dalam kasusmu, zat adiktif itu terdapat pada lagu-lagu Korea. Kamu sering mendengarkan musik mereka di saat kamu merasakan hampa dan kekosongan, benar?"

Kedua telapak tangan Lisa beradu, menghasilkan suara heboh. Lisa bersorak kegirangan, memuji dugaan Syaima yang sungguh, seratus persen benar adanya. "Whoaa, Ama keren, bisa tahu persis! Udah kayak cenayang aja."

Syaima geleng-geleng menghadapi kehisterisan Lisa yang berlebihan itu. "Untuk ke depannya, di saat kamu gundah, jangan mendengar musik Korea yang bisa mempengaruhi alam bawah sadarmu. Cobalah isi dengan murottal Al-Qur'an, nasyid, atau sholawat. Itu jauh lebih bermanfaat. Mendapat pahala, pula. Siapa tahu kita teradiksi oleh hal-hal yang dapat mendekatkan diri kita pada Allah. Keren, gak?"

Lisa termenung, tak lagi memberikan tanggapan. Kali ini, otak Lisa benar-benar digunakan sekeras mungkin. Aneh. Lisa mendapatkan ambiguitas dalam kalimat penjelasan Syaima. Benaknya mendadak dipenuhi oleh siluet bayangan Arkan. Lelaki itu ... apakah Lisa menerima pernyataan cintanya hanya untuk sekadar adiksi saja?

◾◾◾

Kamu benar-benar mencintai Arkan, Sa?

Pertanyaan Syaima sangat membekas, membuat Lisa tak bisa memejamkan matanya barang sekejap pada malam yang gelap gulita ini. Purnama yang biasanya menghiasi, kini mendadak tak mau menyapa Lisa sedetik pun. Begitu pula dengan bintang-gemintang, yang biasanya indah bertabur, kini melebur dengan gelapnya angkasa. Gumpalan awan kelam menjadi penguasa di atas sana.

Di atas tempat tidur, sudah berkali-kali Lisa berganti pose hanya untuk mencari posisi yang nyaman dam bisa membuatnya segera terlelap. Tapi matanya benar-benar enggan menutup. Kasur tipis itu mendadak bagaikan beralas duri tajam yang bisa menusuk Lisa kapan saja. Dari pada terus terlarut dalam kegalauan yang tanpa diketahui asal-muasalnya ini, Lisa memilih membuka aplikasi chat miliknya, memeriksa isi dari riwayat pesannya akhir-akhir ini. Saat asyik menggulirkan layar, Lisa tertegun sejenak mendapati nama kontak Arkan dengan tiga pesan baru yang sengaja tak dibuka Lisa sejak kepulangannya dari Yogyakarta. Oke, tak ada salahnya Lisa mencoba kembali menghubungi lelaki yang berstatus kekasihnya itu.

Hm?

Lisa tahu pasti bahwa pesan balasannya terlambat empat puluh delapan jam dari yang seharusnya. Menghela napas, Lisa melirik bar notifikasi Arkan. Last seen today, 21.39. Masa aktif Arkan sudah lebih dari lima belas menit yang lalu. Mungkin saja Arkan sudah mengawang di alam mimpi. Oh, sudahlah.

Di luar dugaan Lisa sebelumnya, baru beberapa detik semenjak terkirimnya pesan Lisa, status Arkan berubah online. Cepat sekali! Sesaat kemudian, Lisa sudah mendapati pesan balasan dari Arkan.

Finally, Dear! Akhirnya kamu membalas pesanku. Sejujurnya, kalau saja tidak mencoba mengertikan dirimu, mungkin aku akan menerormu sepanjang waktu sejak dua hari yang lalu. Do you have any problem?

Lisa menimbang-nimbang keputusan yang sempat terlintas di benaknya. Dia harap, saat ini adalah good timing untuk mengungkapkannya.

Kan, i think our relationship must be break up.

Tanpa sepengetahuan Lisa, di sana, Arkan tersenyum miring. Sadar bahwa kalimat itu--cepat atau lambat--pasti akan terucap dari seorang gadis yang lebih dari empat bulan terakhir telah menyandang status sebagai pacarnya. Sebelum membalas pesan, Arkan memutar lagu We Don't Talk Anymore yang terdengar hype, meskipun pada kenyataannya punya makna lagu yang cukup menusuk hati. Arkan mengeraskan volume, menulikan telinganya dari segala hal yang mampu mengusik ketenteraman jiwanya.

Oh, gitu. Haha. Kalau boleh tahu, apa alasannya?

Lisa menggigit bibir kuat-kuat begitu membaca pesan balasan Arkan yang entah mengapa, membuat hatinya semakin teriris tipis. Aduh, apakah ia terlalu mendadak mengucapkannya? Analoginya, struktur teks pidato saja terdapat pendahuluan sebagai pengantar untuk menyampaikan maksud terhadap audiensi, apalagi di saat seperti ini. Rasanya, tidak mungkin ia langsung mengungkapkan secara gamblang begitu saja. Ah, sialan. Lisa benar-benar merasa tolol, saat ini.

Terus terang saja. Aku bahagia begitu kau berada di sampingku di saat seluruh dunia menjauh. Tapi seiring bergulirnya waktu, aku kira ada yang salah di antara kita. Hubungan kita.
Aku ... bahkan masih ragu untuk menyatakan bahwa rasa dalam hati ini berupa cinta.

Kedua centang pada obrolan Lisa sudah berubah menjadi biru dalam waktu yang terbilang singkat. Namun, tiga menit berlalu dengan Lisa yang terus memantangi layar ponselnya. Tanpa ada pesan balasan dari Arkan. Lisa menggigit bibir. Apakah perkataannya terlalu melukai? Lisa semakin frustasi, mulai menjambak rambut. Rasanya, Lisa ingin menjedotkan kepalanya pada tembok berulang-ulang. Oh, seandainya saja Arkan tahu. Meskipun Lisa terbilang hampir menguasa dunia penulisan, tapi kali ini, dirinya bahkan sudah tak mampu merangkai kata agar terdengar lebih baik lagi bagi akal, logika, maupun perasaan Arkan. Lisa yang sering Nahla bilang sebagai Maniak Bahasa sekaligus Master Diksi, kini bahkan tak berkutik begitu dihadapkan dengan situasi sulit ini. Lisa kehilangan kata-katanya. Benar-benar hilang. Seolah-olah pembendaharaan katanya lenyap bersamaan dengan raibnya cahaya di langit gelap sana.

Kan? I'm sorry. I know, you hate me right now. Marahi, sumpahi, caci maki saja aku. But let me say, forgive me. For all that hurting your heart.

Hah? Memarahimu? Kau gila ya, Sa! Haha. Aku mencintaimu, ingat? Aku bukan seorang tsundere yang bisa mencaci-makimu di saat hatiku hanya menginginkan kebahagiaanmu.

Meski hatiku bukan untukmu?

Lisa meremas lipatan selimut hingga berantakan begitu pesan darinya berhasil dikirimkan. Lisa sudah merasa hopeless, putus harapan. Empat bulan terakhir Lisa berusaha terus memandang dan memuji betapa indahnya gemintang cinta yang Arkan tujukan kepadanya. Berharap semua itu bisa membuka matanya lebih lebar, agar mampu melihat perjuangan orang-orang yang menyayanginya. Tapi lagi dan lagi, Lisa selalu saja berpaling ke arah sang mentari tanpa sengaja. Hingga Lisa benar-benar dibutakan oleh pesonanya. Seseorang yang tak seharusnya terpatri dalam hati. Seseorang yang tak sepantasnya tertanam dalam hati. Oke, Lisa sangat yakin seyakin-yakinnya, Arkan akan membenci dirinya setengah mati, setelah ini.

Yeah, why not? Aku sudah menduga semua ini.

Mata Lisa terbuka sempurna, sampai hendak keluar dari tempatnya. Jarinya lekas menari-nari di atas tombol keyboard. Menduga semua ini? Apa maksudnya?

Kau mencintai Fadhel, benar begitu? Mungkin kau akan bertanya, bagaimana bisa aku mengenal nama itu. Jelas aku tahu. For your information, setiap orang yang sedang jatuh cinta, pasti mendadak jadi detektif sekaligus stalker handal demi tahu setiap detik kehidupan yang ia cinta. Orang bilang, itu the power of love. Jujur saja, aku sudah mengenal Fadhel sejak awal. Suami sah dari Syaima, sahabatmu sendiri. Lengkapnya Al-Fadhel Muhammad Syakir Jaelani. Kau senang memanggilnya Je, bukankah begitu?

Jantung Lisa terasa mencelos hingga turun ke perut, sekarang. Hatinya terasa teremas-remas, hingga hancur tak bersisa. Bagaimana bisa ada orang yang memperhatikannya sedetail itu? Dan kenyataan paling parahnya, orang itu adalah yang akan menjadi korban tersakiti dirinya.

Bagaimana aku tahu kau mencintainya? Mudah saja. Kau mungkin bisa menyangkal pernyataanku ini. Kau mungkin bisa bertingkah seolah rasa itu telah musnah dari dasar hatimu. Aku bisa mengetahuinya, Sa. Bahkan sejak awal kali aku bertemu dengannya di masjid sore itu. Aku melihatnya. Senyuman tulusmu yang ikut terkembang secara otomatis di saat melihatnya tertawa kecil. Tatapan matamu yang seolah tak ingin kehilangan sedetik pun atau hanya sekedipan mata, sekadar untuk memindai keberadaan sosok dia. I know it so well, hehe.

Perasaan Lisa semakin campur aduk. Berarti selama ini ... Arkan benar-benar menembus pikiran dan perasaan Lisa. Di saat dirinya cemburu mendapati Je bersanding di pelaminan bersama wanita lain, Lisa justru mematahkan sebuah hati yang tiada henti mencintainya. Di saat Lisa merasa tersakiti, ia justru tak menyadari bahwa ada hati yang jauh lebih tersakiti oleh dirinya saat itu.

Kau selalu memperhatikanku. Meskipun kenyataan yang kau hadapi seringkali berupa mata pisau tajam dan menusukmu tanpa jeda. Sudah tahu itu menyakitkan, lantas kenapa kau masih bertahan?

Kau tahu, itu karena aku mencintaimu.

Air mata mulai membasahi pipi Lisa. Ia merasa menyesal telah menghancurkan perasaan Arkan habis-habisan. Tapi yang jauh lebih menyesakkannya lagi, kenapa rasa ini tetap tak berubah? Kenapa rasa iba dan kasihan tak dapat membuat dirinya menghadirkan cinta meski sesaat untuk Arkan?

Arkan, aku sangat minta maaf. Please, forgive me.

Tak usah meminta maaf, Sa. Kau tak bersalah. Dan tak ada yang berhak disalahkan. Aku justru ingin berterima kasih untuk setiap waktu yang rela kau habiskan bersamaku, orang yang hanya punya modal cinta untukmu. Terima kasih untuk membuatku bermimpi dengan segala keindahan yang sesaat. Tak masalah. Lagi pula, hubungan ini memang tak dibenarkan Allah, bukankah begitu? Aku tak sengaja mengupingnya dari Syaima saat berbincang denganmu. Eh, sepertinya aku yang harus meminta maaf. Maafkan aku, karena telah membuatmu berdosa atas segala hubungan yang tak semestinya ada. Aku pergi dulu, entah akan kembali atau tidak. Sekali lagi, terima kasih. Wassalaamu'alaikum.

Detik berikutnya, tulisan online pada bar notifikasi Arkan menghilang. Beda halnya dengan rasa bersalah Lisa yang tak kunjung menghilang, atau memudar sedikit pun.

"Maafkan aku, yang hanya menjadikanmu sebagai objek pelarian," lirihnya di tengah kungkungan kelamnya malam. Lisa menghela napas panjang-panjang, memaksakan sebuah senyum samar. Tak mengapa. Setidaknya ia terlepas dari jeratan zina.

◾◾◾

ESCAPE, GAESS! Pelarian. Tahu gimana rasanya?

"Selain mencintai sendirian, menjadi pelarian menurutku lebih menyesakkan." [Nurul Nyung]

Hwaaa tadi ada kesalahan edit, maapin kalo pusing baca chatnya:(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro