Hesitate Kindness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedua mata Lisa dengan lincah menelusuri setiap senti sampul bukunya. Barangkali ada cacat atau sobek walau hanya semili. Tangannya mulai membuka lembar halaman demi halaman, membacanya satu persatu dari awal hingga terakhir kali ia menuliskan idenya. Lengkap. Cecunguk buluk itu tidak berbuat macam-macam pada aset berharganya ini.

Mengingat nama Hafidz, benak Lisa jadi menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang tak kunjung ia temukan jawabannya. Apa bahasanya terlalu sarkas, ya? Ditilik dari ekspresinya, Hafidz sampai terdiam mematung. Ah, kenapa pula harus Lisa pikirkan? Yang paling penting, bukunya sudah kembali di pangkuan.

Jalanan cukup padat merayap. Hawa panas mulai menyergap, membuat Lisa memutuskan membuka lebar daun jendela angkot. Semilir angin sore justru membuat keadaan semakin gerah. Lisa mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, yang sangat tidak berpengaruh banyak karena ia masih menggunakan jaket hitam kesayangannya. Apalagi warna gelap cenderung lebih mudah menyerap sinar matahari. Normal-normal saja kalau udara terasa pengap saat ini.

Bebas dari kemacetan bundaran, Mang angkot malah mengetem di pangkalan perempatan yang mengarah dari pusat perbelanjaan kota. Maklum saja, penumpang benar-benar sepi di akhir tahun begini. Sebagian besar masyarakat lebih memilih berliburan, mengunjungi keluarga, yang jelas-jelas tidak banyak bertransportasi menggunakan angkot. Apalagi seiring berkembangnya zaman, orang-orang sedang menggandrungi segala macam hal berbau online. Ojek, travel, sampai tiket kereta yang mudah dipesan lewat telepon genggam benar-benar membuat supir angkot merasa tidak ada gunanya di sini.

Lisa jadi ingat demo unjuk rasa para tukang angkot yang sudah lama kejadiannya. Saat itu Lisa masih anak SMA, yang ke mana-mana selalu naik angkot, mendadak tidak bisa ke sekolah karena angkutan kota bersepakat tidak beroperasi saat demonstrasi berlangsung. Yah, meskipun lambat-laun, ketegangan itu berakhir dengan sendirinya. Mereka sudah dewasa, tentunya. Sudah mampu menyadari bahwa Allah tidak akan pernah keliru, atau terbalik sekali pun mengenai nasib rezeki jutaan umat manusia.

Mang angkot terus meneriaki kerumunan orang yang berjalan mendekat. Seruannya dibalas oleh gelengan pelan. Mang angkot mendengus, memilih untuk segera tancap gas. Lisa mengalihkan perhatiannya ke sekitar. Angkot hanya terisi tiga penumpang, termasuk dirinya: seorang ibu dengan beberapa kantung belanjaan dari pasar, juga gadis yang masih mengenakan seragam SMA meskipun badannya jauh lebih bongsor dari Lisa. Ini hari libur, seharusnya. Mungkin anak itu punya kegiatan di sekolah. Angin siang ganas menerpa. Mata Lisa segera memanfaatkan kesempatan itu untuk membaca name tag gadis tersebut.

Intan Althafunnisa, oh, itukah namanya? Sialan. Kenapa Lisa menjadi penguntit begini?

Sampai di satu gang, seorang ibu tengah baya yang kerepotan dengan anak sekitar usia satu tahun di gendongannya, menaiki angkot, tepat di sebelah tempat duduk anak SMA yang Lisa yakini bernama Intan. Gadis itu tersenyum lebar pada anak kecil di gendongan ibunya, kemudian segera refleks menutup kaca jendela, menahan angin yang menerobos angkot karena temperatur yang jauh lebih rendah. Lisa tercenung. Heran. Padahal, Lisa dapat melihat dengan jelas bulir-bulir keringat yang mengalir deras dari dahinya. Di suasana pengap dan gerah begini, gadis itu menutup jendela hanya untuk membuat anak kecil di sampingnya nyaman?

Mungkin karena didukung oleh minat terhadap bacaan novel detektifnya yang meningkat drastis akhir-akhir ini, Lisa jadi senang menjadi pengamat sekaligus penganalisis situasi. Bisa dibilang tidak ada kerjaan, memang. Hanya saja, Lisa benar-benar merasa keren oleh hal itu.

Ibu dengan kantung belanjaan di sebelah Lisa memberi kode pada Mang angkot agar berhenti di sini. Dengan genggaman keresek penuh di kiri-kanan tangannya, Ibu itu susah payah menyerahkan biaya angkot sejumlah lima ribu. Kemudian, tergesa memasuki gang yang dibatasi oleh gapura. Mata Lisa menangkap sebuah dompet berwarna merah mencolok di bangku penumpang sepeninggalan Ibu yang habis belanja tadi. Oh, dompetnya pasti tertinggal!

Lisa mengalihkan pandangan ke jendela luar. Sebaiknya ia berpura-pura tidak melihatnya. Ia tak mau dikira pencuri, ataupun repot-repot untuk mengembalikannya.

"Mang, tunggu sebentar!" seru gadis SMA tadi yang sudah gesit meraih dompet di dekat kaki Lisa. Diiringi lari kecil, Intan menyusul Ibu tadi hingga luput dari pandangan Lisa.

Lagi dan lagi, dua kali berturut-turut, Lisa dibuat mematung oleh anak SMA itu. Lisa yang lebih dahulu menemukan dompet itu. Lisa yang lebih dahulu mendapati kesempatan untuk berbuat baik itu. Tapi ... Lisa mengabaikannya. Seolah-olah sudah merasa aman dengan amal perbuatan baiknya yang tidak seberapa selama ini. Mungkin saja dompet itu berisi sejumlah uang untuk menghidupi keluarganya. Dan kalau tak ada Intan yang menemukan dompet itu, mungkin Lisa hampir saja mendzolimi Ibu tadi.

Intan tampak lagi di mulut gang, berhasil mengembalikan hak pada yang seharusnya mendapatkannya. Angkot kembali melaju, melesat cepat membelah jalanan yang semakin sunyi, karena mulai memasuki kawasan pedesaan dengan rimbunnya pepohonan di kanan-kiri.

Tujuan Lisa semakin dekat. Meski begitu, Lisa masih sempat-sempatnya membuka laman Instagram dan menggulirkan layar untuk menyelami dunia maya lebih dalam. Lagi pula, sejak empat bulan lalu, Lisa sudah menghapus aplikasi mendunia itu karena penyimpanan ponsel yang memenuhi kapasitas seharusnya. Begitu habis menghapus beberapa file tidak penting, Lisa akhirnya memutuskan kembali menginstall Instagram semalam.

Beranda akunnya memperlihatkan postingan terbaru Syaima. Berupa potret pemandangan indah yang Lisa yakini sebagai hasil colong dari internet, dengan dibubuhi kalam Ilahi:

ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. [Al-Baqarah: 147]

Kebenaran. Apakah itu juga yang melandasi Intan agar menyegerakan dalam berbuat baik? Oh, kebetulan sekali. Kenapa postingan Syaima sangat sesuai dengan situasinya saat ini?

Benar juga. Sewaktu mengikuti kajian bersama Syaima dahulu, Lisa pernah mendengar soal prinsip salah seorang ustadz ternama di bumi nusantara, yang berkesempatan menjadi pembicaranya saat itu: Fastabiqul khairat. Berlomba-lombalah dalam kebaikan. Lisa jadi teringat hubungan persahabatannya dengan Syaima. Sejak dulu, Lisa selalu saja mengulur-ulur waktu dalam meminta maaf pada Syaima. Lepas dari sini, Lisa harus segera melaksanakannya. Toh, tidak ada yang bisa menjamin waktu hidupnya masih cukup sempat untuk mengucapkan kalimat itu, bukan?

Tatapan Lisa beralih pada angkasa di luar sana, merenungi suatu hal tak berdasar. Tak sengaja, matanya menangkap bangunan putih megah rumah sakit. Masih segar di ingatan Lisa, ruangan di tepi jalan lantai dua sana adalah tempat kamar Syaima dirawat dulu. Tunggu. Sepertinya ada yang janggal. Rumah sakit?

Otak Lisa mulai menyerap keadaan sekitar. Seakan menyadari sesuatu, Lisa menolehkan kepala ke belakang. Tampaklah gapura menuju rumahnya berjarak sekitar lima meter di belakang. Angkot semakin cepat menjauh. Kedua pupil mata Lisa melebar, berseru-seru, "Kiri, Mang! Kiri! Kiri! Berhenti!"

Dengan tidak santainya, Mang angkot menginjak rem mendadak. Tubuh kerempeng Lisa terbanting ke depan. Tergopoh-gopoh, Lisa menyerahkan pecahan uang dan lekas turun dari angkot. Kalau saja tak ingat supirnya sudah lanjut usia, Lisa ingin memaki-makinya sepanjang kereta yang baru saja lewat di sebelah kanan bahu jalan.

Sesampainya di halaman rumah, Lisa benar-benar kesulitan mengatur napas. Kedua belah paru-parunya heboh kembang kempis, menyokong kebutuhan oksigen sebanyak mungkin. Lisa terdiam sejenak sebelum membuka pintu. Lisa mengelap cucuran keringat di dahi, membasahi bibirnya yang terasa kering, kemudian memperbaiki ekspresinya seolah menjelma jadi manusia tanpa beban sedunia. Bagaimana pun kodisinya, Lisa harus terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Apalagi Ibu.

Lisa memghembuskan napas berat, membiarkan rasa resahnya naik ke permukaan lapisan ozon, bersamaan dengan gas karbondioksida yang keluar dari mulutnya. Lisa berusaha melangkah mantap, meski jalanan yang ia pijak terasa penuh duri dan menyakitkan sekali.

"Assalaamu'alaikum." Lisa membuka kenop pintu yang ternyata tak dikunci. Kamar Ibu menjadi tujuan utamanya begitu menginjakkan kaki di lantai rumah.

"Wa'alaikumussalaam," jawab Syaima, suara yang sangat familier di telinga Lisa, diiringi percakapan ringan yang tak dapat terdengar jelas dari posisi Lisa saat ini.

Tawa renyah Ibu terhenti sejenak begitu mendapati Lisa sudah berada di bingkai pintu kamar. Ibu menampilkan senyum terbaiknya. "Wa'alaikumussalaam. Kau sudah pulang, Sa? Syukurlah kau sudah tiba sebelum adzan magrib."

Syaima sedikit tersentak, seolah baru mengingat suatu hal penting yang ia lupakan. Syaima melirik digit angka yang menunjukkan keterangan waktu pada layar kunci ponselnya. "Astaghfirullaah. Sudah sore sekali. Kalau begitu, Ama pamit pulang dulu, ya, Lisa, Ibu. Syafaakillaah, semoga Allah lekas menyembuhkan Ibu."

Lepas mengucapkan salam dan pamit undur diri, Syaima benar-benar menghilang dari jangkauan mata. Tunggu. Lisa bahkan belum menyatakan maksudnya untuk meminta maaf pada sahabat kecilnya itu. Tanpa sadar, Lisa mengangkat tangannya, seolah berusaha mencegah Syaima pergi. Tapi terlambat. Syaima tak dapat melihatnya. Perlahan, tangan itu kembali turun.

Tak masalah. Mungkin esok hari.

◾◾◾

Lisa baru saja selesai melaksanakan salah satu kewajibannya sebagai seorang muslim: sholat isya. Setelah menghempaskan tubuhnya pada tempat tidur yang tak seempuk milik Syaima itu, kini Lisa memilih menyalakan ponselnya. Lisa yakin tidak berbuat kesalahan apa pun, tapi keresahan dan rasa tidak enak mulai bermunculan, yang bertujuan pada Hafidz. Menuntunnya untuk mengirimkan sebuah pesan pada nomor kontak lelaki yang tampak sedang online itu.

Heh, cecunguk buluk.

Hm?


Parah sangat. Anak itu malas mengetikkan balasan yang lebih pantas di keyboard, atau memang sangat irit kata? Oh, Lisa jadi bingung harus memulai topik percakapan dari mana saat ini. Oke, mungkin berbasa-basi dengan menanyakan jadwal baru diskusi Bumi Sastra selepas liburan UAS ini akan menjadi awal yang baik.

Kapan mulai diskusi Bumi Sastra?

Dua minggu lagi.
Sejak kapan kau mulai berinisiatif bertanya lebih dahulu soal komunitas yang sering kau bilang 'asal-asalan' ini?

Kutu betutu! Sekalinya mengetikkan pesan balasan lebih panjang, malah mengundang jiwa psikopat orang lain timbul. Tapi ada benarnya, sih. Lisa kan selalu terlihat tak peduli soal komunitas itu meskipun relung hatinya berkata lain. Ah, bodoh! Perubahannya terlalu mendadak! Lisa jadi kembali bimbang soal apa yang harus ia ketikkan sebagai balasan.

Bagaimana hubunganmu dengan Syaima?

Wait. Ini seriusan cecunguk buluk itu yang bertanya? Langka sekali! Mantap. Meski pusing tujuh keliling karena tak ingat bagaimana lelaki itu mengetahui masalahnya, pertanyaan Hafidz memberi ide pada Lisa untuk membeberkan saja apa yang sempat mengganggu pikirannya beberapa waktu ini.

Aku ingin meminta maaf padanya. Tapi ... rasanya gengsi. Bagaimana menurutmu?

Begitu pesan berhasil dikirimkan, Lisa merapal segala macam do'a penghalau setan dalam hati. Semoga saja keputusannya meminta saran dari Hafidz adalah keputusan yang tepat. Jantung Lisa terasa berdetak dua kali lebih cepat dibanding biasanya, takut setengah mati terhadap jawaban yang akan ia dapatkan.

Drrt! Drrrt!
Getaran itu sukses saja membuat hati Lisa terasa mencelos, menyambar nama kontak itu.

Sejujurnya, kau tak perlu meminta maaf. Aku yakin sekali, Syaima bukanlah orang yang menjadikan kata maaf sebagai acuan dalam suatu hubungan. Tanpa kau pinta pun, Syaima pasti sudah memaafkanmu. Menurutku, poin penting yang seharusnya kau lakukan saat ini adalah: bersikaplah seolah tak pernah terjadi masalah apa-apa dalam persahabatan kalian. I'm sure, itu yang Syaima inginkan.

Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, ya? Apakah Lisa dapat melakukannya?

◾◾◾

How about you?

See ya,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro