I Will Try

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Real hijrah?"

Gadis berperawakan pendek itu menampilkan cengiran lebarnya beserta binar antusias di kedua bola mata. Dengan cepat, ia mengangguk berkali-kali. "Iya. Ama enggak lupa janji Ama buat ngajarin aku hijrah yang sebenarnya, 'kan?"

Syaima menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tadi, begitu mendengar suara salam yang sudah tak asing lagi di telinganya, diiringi decitan pintu depan dan suara langkah heboh yang sudah sangat Syaima hafal, membuatnya segera membilas tangan penuh busa, menghentikan kegiatan mencuci bajunya sejenak. "Coba ubah kata-katanya. Bukan aku mengajarimu, melainkan kita belajar bareng buat hijrah sebenarnya," koreksi Syaima yang beralih pada kain lap di dekat wastafel untuk mengeringkan tangannya.

Lisa mengangkat bahu. "Yailah, Ma. Cuma kata-kata doang."

"Tetep aja beda." Syaima membatu.

"Ih," keluh Lisa, kehilangan kata-kata. Biasanya, Lisa yang merajuk hanya karena alasan sepele. Selama ini, Lisa yang selalu menjadi tokoh manja dan Syaima yang paling sabar dalam menghadapinya. Seperti sudah ditakdirkan sejak lama, Lisa yang selalu menuntut dimengerti dan kewajiban Syaimalah untuk mengerti. Kenapa sekarang jadi terbalik begini? Lisa mendengus kesal, merasa direbut posisinya. "Iya, deh. Terserah Ama."

Dengan senyuman secerah mentari di angkasa sana, Syaima menarik tangan Lisa ke halaman belakang rumahnya. Entah apa yang hendak dilakukan Syaima, tapi gadis itu tidak kunjung angkat suara. Bosan dengan sosok Syaima di hadapan yang hanya berdiam diri sambil mengulas senyuman, Lisa mulai menelisik sekitar. Lisa sudah sering main ke sini, tapi tetap saja ia selalu kagum dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.

Aliran sungai yang tak terlalu deras menyejukkan mata Lisa. Kecipaknya bergesekan dengan objek sekitar membuat telinga Lisa nyaman. Gemerisik daun, terpaan angin, pancaran lembut sinar matahari, serta alunan merdu kicauan burung hinggap di pepohonan turut meramaikan suasana.

"Bagaimana?"

Lisa kembali memusatkan titik fokusnya pada Syaima yang tak henti melemparkan senyum manisnya. Merasa tidak connect dengan pertanyaan mendadak Syaima, Lisa mengernyitkan dahi. "Bagaimana apanya?"

"Udah ngerasain besarnya cinta Allah, belum?"

Gadis yang tak pernah bosan menatap langit itu tertegun sejenak, untuk kemudian menampilkan cengiran lebarnya pada Syaima. "Cinta Allah, ya?"

Syaima mengangguk. "Iya. Jangan ngaku pecinta alam kalau belum cinta sama yang menciptakannya. Lagian percaya atau enggak, Sang Maha Cinta udah menebar banyak cinta di hamparan muka bumi ini. Untuk setiap kedip dengan karunia-Nya, jantung berdetak dengan cinta-Nya, darah mengalir dengan kasih-Nya. Rasakan itu semua, maka kita akan semakin merasa tidak ada apa-apanya di hadapan Allah."

Lisa termenung menatap kabut yang kian memudar. "Gimana ya, Ma, biar bisa takut melakukan dosa?"

"Gini, deh. Aku pernah dengar, apabila seseorang hendak melakukan dosa itu ada syaratnya."

Sontak saja Lisa membulatkan mata, memusatkan titik fokus pada wajah Syaima. Entah mengapa, Lisa tertarik pada perkataan Syaima sampai tak lagi begitu memerhatikan sekitarnya yang terlihat indah dengan berjuta pesonanya. Padahal, Lisa paling suka langit pagi dan senja. Namun kali ini, ada yang lebih menarik perhatiannya. "Syarat berdosa?"

"Iya. Di antaranya, jangan menggunakan rezeki Allah, jangan hidup dengan kuasa Allah, dan jangan numpang di bumi-Nya Allah."

"Apa?" pekik Lisa heboh. "Kalau enggak hidup, tinggal, dan makan dengan rezeki Allah, mana bisa?"

"Itu dia. Kita ini hanya makhluk lemah yang tidak punya kekuatan selain dari Allah. Sekali lagi, Allah tanpa kita masih tetap Allah. Tapi kita tanpa Allah, tidak ada apa-apanya. Karena sejatinya, kita yang butuh Allah, bukan Allah yang butuh kita. Siapa kita, berani-beraninya menentang dzat yang menghidupkan, merizkikan, dan mengasihi kita?"

Keduanya membiarkan keheningan mengisi sekitar, membuat mereka terlarut dalam pikirannya masing-masing. Lisa menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, merasakan semerbak cinta Ilahi merasuki relung hati. Matanya yang sempat terpejam menikmati sentuhan alam, kini kembali terbuka. "Ma, adakah tips, metode, atau apalah itu namanya agar yang kujalani adalah sebenar-benarnya hijrah?"

Syaima tersenyum menyimpan kepingan misteri, kemudian menarik lembut tangan Lisa kembali memasuki kamarnya. Syaima berdehem, membiarkan Lisa tenggelam pada lautan pertanyaan di benaknya yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Meski begitu, gadis bergamis kedodoran itu memilih bungkam, membiarkan Syaima angkat suara terlebih dahulu, untuk segera menghapus berbagai keheranannya.

Orang yang meninggalkan banyak tanya itu justru tertawa kecil, selera humornya receh begitu saja melihat hal yang tak biasa. Lisa terlihat kalem, tak mendesak, meskipun kernyitan dalam di dahinya menunjukkan betapa ia berpikir keras akan apa yang hendak dikatakan Syaima. Singkatnya, Lisa terlihat jinak hari ini. Dan itu benar-benar sebuah kejadian langka. Mungkin Syaima harus mencatat tanggal sekarang untuk diperingati sebagai 'Hari Jinak Lisa Sedunia-Nya Allah'.

Syaima memilih segera beranjak mengambil spidol non-permanen di dalam laci meja belajarnya, merasa tidak enak juga bila melihat binar antusias di mata Lisa yang kali ini tengah menjadi Lisa paling kalem, tidak heboh dan pecicilan seperti biasanya. Syaima membuka tutup spidol dan mulai menggoreskan tinta hitam pada white board kecil miliknya yang tergantung manis di kamar, khusus untuk ia belajar praktik menjadi guru sesungguhnya, terkadang pula ia gunakan untuk belajar bersama Abi apabila ada waktu luang.

"Ketika seseorang berhijrah, hal yang perlu diperhatikan adalah ... pertama," katanya, mulai menuliskan dua kata di papan tulis. "Meluruskan niat."

Entah karena apa, Lisa refleks segera duduk manis di lantai tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari papan tulis. Menyipitkan mata melihat kalimat yang Syaima tulis, seakan itu adalah musuh bebuyutannya yang harus ia taklukkan saat ini juga.

Guru dadakan itu seakan menuangkan formalin pada senyum manisnya hingga awet tak hilang-hilang sedetik pun dari bingkai wajahnya. "Niatmu sudah karena Allah, belum?"

"Karena Allah?" Lisa mengerutkan dahi, mengikis jarak antara kedua alisnya. Gadis itu meletakkan telunjuk di dagu, seolah berpikir keras untuk soal ujian paling sulit sepanjang masa. "Awalnya sih, pengen bisa narik perhatian Bang Je. Soalnya, aku 'kan buka-buka YouTube isi ceramahan ustadz ternama tentang jodoh gitu. Katanya, jodoh itu cerminan diri. Jadi ya, kalau aku mau punya suami kayak Bang Je, aku juga minimal harus bisa setingkat dengan Abang Je," ucapnya dengan tampang polos tanpa beban.

"Itu hijrah yang diniatkan karena nafsu."

Sesaat, wajah berbinar Lisa yang merasa bahagia telah menjawab pertanyaan Syaima kini kembali berbalut kebingungan. "Kok nafsu, sih? Aku 'kan pengen dijodohin sama Bang Je biar bisa makin dekat sama Allah."

"Jadi kamu baru mau dekat sama Allah kalau jadi jodohnya Bang Je?"

Lisa tertegun, ekspresi serta gerakannya tertahan sejenak, seakan ada tangan jahil yang sengaja menekan tombol pause pada tubuhnya. Menjadi jodohnya Bang Je, Abang Ganteng peneduh hati itu? Tentu saja. Sejak awal, Lisa sangat menginginkannya. Tapi mendengar perkataan Syaima, kenapa rasanya ada yang menusuk-nusuk di ulu hati?

"Sa, mendapatkan cintanya seorang lelaki terlalu rendah untuk kau jadikan sebagai alasanmu berhijrah. Allah yang telah menciptakanmu, menghidupkanmu, dan memeliharamu. Tanpa Allah, kita enggak bisa apa-apa, Lisa. Kita cuma manusia lemah, tak berdaya sedikit pun. Berkedip sekejap, berpindah melangkah, bahkan bergerak semili pun tidak lepas dari kehendak-Nya. Atas segala kasih sayang serta cinta yang Allah tebar di muka bumi ini, masihkah kita menghindar dari fitrah kita singgah di dunia ini sebagai manusia yang diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya? Jika niat hijrahmu hanya karena dia, setiap manusia pasti akan mengalami yang namanya kematian. Kenapa tidak diniatkan karena Allah yang kekal dan abadi?"

Lisa tiba-tiba kehabisan kata-kata. Sungguh. Baru kali ini ia terlihat sejinak ini.

Gadis yang masih termenung menatap permukaan papan tulis mulus itu kini mengerjap berkali-kali, sedikit terkejut ketika Syaima menepuk pundaknya sambil menatap manik mata Lisa lekat. "Aku bisa merasakannya, Sa. Aku bisa merasakan bagaimana kemauan untuk berubah itu terbisik pada hati nuranimu. Kau tidak mau terus berjalan di tempat tanpa ada kemajuan berarti, 'kan?"

Lisa menyipitkan mata, seiring dengan bertambahnya jarak antara kedua sudut bibirnya, membuat senyuman tulus itu terkembang. Bibir bawah dan atasnya sedikit terbuka, memberi celah sehingga teralun tawa kecil tanpa beban khasnya.

Syaima kembali berdiri, mendekati papan tulis yang hanya bertuliskan dua kata sejak awal. "Kedua, kau harus meminimalisir hal-hal yang bisa membuatmu semakin jauh dari Allah." Gadis itu terlihat berpikir keras. "Lisa Blackpink kembaranmu itu, misalnya."

"Hah?!"

Pekikan sebagai bentuk protes Lisa itu membuat Syaima tak henti menggemakan istigfar. Anak aneh ini benar-benar hobi membuat orang lain terkejut. Kalau begini terus, bisa-bisa Syaima yang terjangkit penyakit jantung. "Iya. Aku pernah melihat fotonya di wallpaper ponselmu dengan busana yang sangat jauh dari syari'at."

Lisa mencebik. "Ya jelaslah, Ma. Kembaranku 'kan non muslim."

"Itu dia. Rasulullah pernah bersabda, barangsiapa yang mengidolakan suatu kaum, maka di akhirat nanti ia akan dikumpulkan dengan idola-idolanya tersebut. Kamu mau di akhirat nanti dikumpulkan bersama orang-orang yang bahkan tidak mengenal Allah dalam setiap tarikan nafasnya?"

"Yaaah, Ama," protesnya tak mau kalah. "Meskipun aku suka orang non-muslim, aku 'kan enggak melupakan kewajibanku sebagai hamba Allah."

"Semenjak ngaku-ngaku kembaran Lisa Blackpink itu, kamu jadi senang pakai busana yang tak sesuai dengan Al-Qur'an. Bahkan ketika Allah memanggil lewat adzan, kamu sering menghiraukannya dan malah sibuk menonton video YouTube yang malah membuatmu semakin jauh dari Allah."

"Aku ... enggak bisa langsung berubah gitu aja," lirihnya. Lisa menunduk, lubuk hati paling dalamnya membenarkan semua perkataan Syaima. Apa memang ia sudah sejauh itu dengan Allah?

Syaima kembali menepuk pundak gadis itu lembut. "Kata Imam Syafi'i, larilah menuju Allah. Kalau tidak mampu, berjalanlah. Kalau tidak mampu, merangkaklah. Yang penting, jangan pernah berhenti atau berbalik."

"Kamu enak, Ma. Anak kiai, paham agama, punya dasar iman yang kuat. Aku? Aku cuma anak yang jauh dari agama. Enggak semua orang punya nasib sebaik kamu, Ma." Lisa mengusap air matanya yang tiba-tiba meluncur. Entah mengapa, ia bisa-bisanya melontarkan kalimat sentimental itu.

"Sa, aku bukan orang berilmu. Aku bukan orang paham agama. Imanku pun masih naik-turun." Syaima membantu Lisa menghapuskan air mata kedua yang luluh dari kelopak matanya. "Kesholihan seseorang tidak dilihat dari garis keturunan. Nabi Ibrahim berasal dari keluarga penyembah berhala, bahkan ayahnya sendiri yang memahat berhala untuk mereka sembah. Tapi beliau beriman. Asiyah bersuami Fir'aun yang kejam dan mengaku sebagai Tuhan, tapi beliau tetap mempertahankan keimanan dalam jiwa. Apalagi kau yang berasal dari keluarga muslim. Setiap orang punya potensi untuk berubah. Jangan pernah malu dan membandingkan hidupmu dengan orang lain."

Lisa mendongak, menatap lekat dua manik hitam legam itu.

"Setiap orang baik punya masa lalu yang buruk. Dan setiap orang buruk punya masa depan yang lebih baik. Siapa tahu, 'kan?"

Lisa perlahan kembali mengembangkan senyumannya. Ia menggenggam tangan Syaima yang tadi digunakan untuk menghapus air matanya. "Aku akan berusaha."

Tanpa alasan, Syaima tertawa. Ia tidak tahu mengapa, tapi Syaima merasakan aura bahagia yang kian merasuki setiap sudut hatinya, hingga tawa itu menguar begitu saja.

"Eh, Ama bilang, setiap orang baik punya masa lalu yang buruk, ya?"

Sejenak, Syaima menyipitkan mata, merasa aneh begitu melihat perubahan raut muka Lisa. "Iya. Kenapa?"

"Berarti Ama juga punya masa lalu kelam, dong? Kok aku enggak pernah tahu?" sembur Lisa membuat Syaima menghembuskan napasnya kasar. Tuh, 'kan. Dalam hitungan detik, Lisa sudah kembali menjahilinya. Uh, rasanya Syaima ingin kembali menelan semua kata-katanya tadi. Lisa menyebalkan!

◾◾◾

Hulaaa, assalaamu'alaikum. Maapin, aku lupa update kemaren karena kecapean dan mendadak pengen tidur awal. Jadiii, hari ini aku mau double update. Seneng, gak? Enggak, biasa aja.

With love,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro