Labirin Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gemetar. Dunia di sekelilingnya seakan terguncang. Patah-patah, Arkan menyalin pesan itu ke google translate, memastikan tidak ada kesalahan teknis, sekaligus meyakinkan diri bahwa indera penglihatannya masih berfungsi dengan baik. Ini serius? Ini bukan halusinasi atau Mbah Google yang memalsukan hasil terjemahan hanya untuk menyenangkan hati seorang jomblowan sejati, 'kan?

Arkan kembali membaca pesan itu. Sekali, dua kali. Oh, tidak. Dibaca berulang kali pun ia tidak akan pernah bosan, sampai kalimat berbahasa Inggris itu hafal di luar kepala. Padahal Arkan tipikal pelajar paling tumpul dalam mempelajari bahasa asing. Perasaan ternyata dapat mengubah segalanya, ya. Kalau orang lain bilang, the power of  love.

Cukup. Arkan menepuk-nepuk kedua pipinya, menyadarkan diri bahwa ia harus segera bergegas, menemui sang penyebab jantungnya berpacu lebih cepat saat ini. Dengan wajah tegang sekaligus antusias, dan tangan yang masih gemetar tak percaya, Arkan menyambar jaket hitam di gantungan lemari. Belum dicuci selama seminggu, sih. Tapi tak apa. Lisa selalu suka memakai jaket hitam. Siapa tahu Lisa semakin kesengsem melihatnya.

Cengiran lebar melintang di wajah Arkan. Hm, tidak sia-sia juga ia mengorbankan Si Kokok--celengan ayam ala sinema Indonesia--yang berisi uang tabungan setengah tahun hanya untuk satu buah jaket hitam bermodel mirip dengan outfit yang senang dikenakan Lisa.

Aku padamu, Kokok.

Berlarian, bertingkah gagah menghadang angin petang, Arkan berhasil mencapai tempat tujuannya. Tak begitu jauh dari rumahnya, meskipun jembatan kayu itu terbilang kawasan sepi karena penduduk setempat lebih membiarkan kawasan itu tetap asri, tumbuh sebagaimana mestinya. Sosok berlapis jaket hitam--seperti dugaan Arkan sebelumnya--seketika membuat senyuman Arkan tak dapat tertahankan.

Gadis itu terlihat asyik memainkan kedua kakinya di atas danau, mengangkatnya ke udara. Lengannya bergelantungan pada pegangan jembatan, menahan beban tubuh agar tidak terjatuh ke air.

"Boom," kejut Arkan tepat di samping telinganya.

Lisa menjerit. Refleksnya yang buruk membuat Lisa tanpa sengaja melepas kedua pegangannya. Matanya sudah tertutup rapat, enggan mendapati bahwa dirinya sudah tak dapat lagi menghirup oksigen.

"Aku sudah menduganya."

Eh, ia masih bisa mendengar suara Arkan? Apa itu detik-detik salam perpisahan?

Perlahan, Lisa membuka mata, dan permukaan danau yang beriak lembut segera menyambutnya. Jeritan Lisa kembali terdengar. Tunggu. Bagaimana ia masih bisa melihat permukaan danau?

Belum sempat pertanyaannya terjawab, Lisa sudah merasakan sedikit tarikan di belakang lehernya. Oh, apa lagi ini? Zombie menjijikkan yang akan mencekiknya habis-habisan?

Tarikan itu berhenti ketika posisi duduknya sudah stabil dan nyaman kembali. Lisa menyambar pegangan jembatan kayu. Menoleh cepat pada sumber tarikan di belakang lehernya.

Arkan, dengan cengiran tak berdosa itu melepaskan tangannya dari tudung jaket Lisa. Meski sama-sama absurd, level kecerobohan Arkan tidak seburuk Lisa, kok. Lelaki itu sudah dapat memprediksi resiko kejutannya dan bergerak selangkah lebih maju.

"Ih, nyebelin."

Tanpa memedulikan omelan Lisa, Arkan menunduk melewati pegangan jembatan, kemudian mendarat duduk di samping Lisa. "Huft, aku harus tetap membongkokkan badan agar dahiku tidak menabrak pegangan jembatan."

Hening sejenak. Lisa memandang sekeliling. Mengamati. Membandingkan jarak kepalanya dari pegangan jembatan dengan kepala Arkan. Sekali lagi memindai sekitar, mulai mencerna beberapa persepsi baru dari kalimat singkat Arkan. "Oh, kau mau bilang aku pendek?"

Dasar cewek, sensitif banget kalau sudah menyangkut penampilan.

Keduanya saling bertatapan. Hingga Arkan melihat setetes kesedihan meluncur mulus dari pelupuk mata Lisa. "Sayang, kenapa? Aku minta maaf untuk kalimat tadi, enggak bermaksud menyinggung kamu, sungguh."

Lisa menghambur pada pelukan Arkan. Merasa terkejut dengan aksi itu, Arkan mematung sejenak, mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Kikuk, tangan kanannya merengkuh dan mengusap punggung gadis itu, berusaha memberi kekuatan. Isakan Lisa semakin keras. Sentuhan itu setidaknya membuat Arkan sepenuhnya sadar bahwa ini bukan mimpi. Oh, untung saja tangan kirinya masih berpegangan pada jembatan kayu, kalau tidak, bisa-bisa ia sudah terbang tinggi di angkasa harapan sana.

"Aku ... kesal pada diriku sendiri."

Arkan memilih bungkam, membiarkan Lisa mengeluarkan apa yang ingin ia sampaikan.

"Aku kesal pada diriku yang masih saja terperangkap labirin rasa. Aku kesal pada diriku yang masih saja bermain di gelapnya kekecewaan. Aku--"

Kalimat Lisa tak dapat ia tuntaskan. Lisa sudah kembali bergulat dengan tangisannya. Arkan semakin mengeratkan rengkuhan, meyakinkan Lisa bahwa ada dia di sini.

Waktu terus bergulir. Lisa sudah lebih tenang dan terkendali. "Bagaimana, sudah lega?"

Lisa menyedot ingus dalam satu tarikan penuh, mengangguk. "Suasana hatiku lebih baikan." Ia mendongak untuk menatap manik Arkan. "Terima kasih."

Ponselnya bergetar singkat. Disusul getaran-getaran berikutnya, membuat Lisa segera mengeluarkan ponsel dan membuka fitur chat WhatsApp demi melihat notifikasi pesan muncul.

Nadifa Ibu Ketu changed the subject from "Sastra Indonesia PERSATAS" to "PSITas [Purna Sastra Indonesia PERSATAS] 2018/2019".

Kakay Unceh: REUNIAN, KUY!

Faradina: Kuy.

Adelia Dodol: Kuy kuy. Gimana, Ibu Ketu? @NadifaIbuKetu

Nadifa Ibu Ketu: Kuy aja. Di basecamp zaman SMA, gimana? Pada bisa, 'kan?

Kakay Unceh: Yang bisa, ditunggu secepatnya.

Lisa termenung menatap air danau untuk sesaat. Kemudian segera mengetikkan balasan.

Tunggu aku, teman-teman!

Ya. Mungkin sudah seharusnya ia kembali membuka diri, menenangkan diri sejenak dari hal menyakitkan yang ditimbulkan sahabatnya sendiri. Lisa hanya mencoba menghindar, dari sosok kepercayaannya yang sekarang bertransformasi menjadi sosok paling mengecewakannya.

Itulah kesalahan Lisa berikutnya. Ketika mendapat rasa pahit dari seseorang, ia berpaling pada seseorang lainnya, yang akan terus mengulang siklus menyakitkan itu. Padahal begitulah hakikatnya makhluk, selalu mengecewakan. Karena berharap pada makhluk, selalu berujung rasa sakit.

"Aku akan ke basecamp, anak-anak Sastra kepengen reunian," lapor Lisa.

"Apa enggak terlalu petang? Bisa-bisa kau pulang kemalaman. Bahaya."

"Enggak apa, Kan."

Arkan menyemburkan napas. "Biar kuantar."

◾◾◾

"Abil!"

"Helo, Kak Lisa! Sudah lama sekali tak bertemu sejak momen es krim cokelat itu. Abil kangen!"

Tanpa peduli sekumpulan orang di sekitarnya, Lisa menjerit-jerit kegirangan, menatap sosok yang sedang terkoneksi dengannya lewat video call. "Rinduku juga sudah seluas samudera, tanpa tahu harus bagaimana meluapkannya."

Beberapa makhluk mulai ricuh, apalagi Kayla. Spesies yang sedang menunggu drama Korea terbaru selesai diunduh di ponselnya itu mengintip kegiatan Lisa dengan tidak santainya. Kayla memang si Mister Kepo, di mana hanya Oppa Korea yang bisa mengalihkan dunianya. Omong-omong, gara-gara makhluk satu ini juga Lisa mulai mengenal kembarannya di Blackpink. Dan alhasil Lisa terjun ke dunia surgawinya para gadis zaman sekarang. Meskipun sampai saat ini, Lisa masih agak parno kalau melihat laki-laki Korea yang bermake-up tebal dan memakai perhiasan. Bukan apa-apa, Lisa merasa kalah saing saja sebagai seorang perempuan, jika dibandingkan dengan lelaki yang Kayla panggil dengan sebutan 'oppa-oppa' itu.

"Abil apa kabar? Kapan-kapan bolehlah mampir kedai es krim bareng aku." Lisa sudah menunjukkan wajah mencurigakannya. "Asal Abil yang traktir."

Gelakan tawa bergema dari seberang sana, menertawakan perkataan Lisa yang saking jujurnya, ekspresi wajah Lisa seolah minta diberi hadiah timpukan meja. "Kapan-kapan, deh, Abil sekalian ajakin Abang. Biar ada dompet berjalan, gitu."

Lisa ikut tertawa, bangga sekali rasanya menghadapi kenyataan ada yang satu spesies dengannya. "Mantap. Aku bangga padamu, Nak."

"Eh, Kak Lisa lagi di mana, sih? Ramai amat. Itu juga yang nyempil-nyempil sebelah kiri Kak Lisa, iya, itu. Ngapain ikut-ikutan masuk kamera, sambil ngupil, pula!" Mendadak, Abil mengoceh sepanjang jarak memisahkan kita. Eh? Cukup. Di saat penuh kebahagiaan seperti ini, Lisa masih saja sempat baper. Lisa melirik sekilas Kayla di sebelahnya yang masih santai-santai saja, tak mendengar protes Abil karena Lisa memakai headset.

Demi mengalihkan rasa sesak yang kembali muncul di permukaan, Lisa menoyor kepala Kayla dengan seenaknya. Habisnya anak itu tidak bisa diam. Terus saja miring-miring menatap layar ponsel Lisa sampai rambut panjangnya menyerempet mata Lisa. Momen sialnya lagi, di saat Lisa menarik napas panjang untuk mengekspresikan emosi, rambut hitam Kayla malah salah masuk, menusuk-nusuk hidungnya tanpa dosa. Sampai akhirnya kepala itu berhasil ditumpas dengan jitakan Lisa yang mahadahsyat, masih tak puas juga, Lisa berteriak sebal, "Rambutmu bau asam! Kau belum keramas tiga bulan, atau memang sampomu dari ekstrak air comberan?!"

Kayla nyengir saja diperlakukan begitu. Dengan penuh percaya diri, Kayla menepuk-nepuk rambutnya. "Penghematan air, Sa. Biar emakku enggak ngomel lagi. Maklum, tanggal tua."

Sosok lain yang tertangkap kamera video call Lisa dari ruangan berisik itu sukses menyedot perhatian Abil. "Kau tahu novel terbarunya Erisca Febriani, belum? Parah banget kalau jawab belum." Sosok yang hanya terlihat separuhnya di layar ponsel Abil, kini lenyap seiring Lisa yang memperbaiki posisi duduk dan memusatkan kamera pada dirinya seorang--membiarkan Kayla kembali fokus pada habitatnya sendiri.

"Ih, Kak Lisa di mana? Kok, banyak orang?"

"Aku di basecamp anak PSITas. Maklumlah, lagi pada reunian ini," sahut Lisa yang mulai heboh sambil teriak, meningkahi ruangan yang bisingnya memang sudah macam di sarang tawon. Reuni itu kamuflase saja, sebenarnya. Toh, mereka sibuk sendiri, mentang-mentang rumah Kayla ada wi-fi.

Abil tiba-tiba terlihat menahan sebal begitu mendengar suara samar di seberang sana. "Ya ilah, Bang. Bentaran doang. Kayak enggak pernah bikin rusuh aja!"

Lisa hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Abil yang kedengarannya malah terlibat percekcokan. Karena situasi berisik--apalagi Kayla yang mulai berteriak-teriak tak keruan begitu mendapati drama Korea yang diincarnya telah selesai terunduh--Lisa tidak dapat menangkap percakapan di telepon. Lisa hanya bisa melihat alis Abil berkerut dengan warna kekesalan menghiasi wajahnya, memandang sebal seseorang di sebelahnya.

Ketika Abil sepenuhnya kembali menghadap Lisa, gadis kecil itu menghela napas panjang.

"Ada apa?"

"Ini, nih. Biasa. Abang ngeselinnya minta ampun. Nanti lagi ya, Kak. Bye-bye!"

Sebelum Lisa sempat menjawab, koneksi video call itu terputus. Ya sudah. Lisa bisa lanjut streaming kembarannya. Tapi begitu menekan tombol kembali, matanya tertarik pada nomor yang sedang ditunggunya saat ini. Tiga pesan belum terbaca.

Arkan MulyaNajis
Merindumu adalah candu, yang mengalun merdu di setiap sudut kalbu.
Dalam senyummu ada Via Vallen, ya?
Kok, tiap kebayang senyummu dikit aja, jantungku sering tiba-tiba dangdutan, sih?

Speechless. Lisa sudah kehabisan kata. Ketika jari-jarinya masih sibuk menari-nari di atas keyboard untuk mengetikkan balasan yang tidak jadi melulu karena ragu, perhatiannya sudah lebih dulu teralihkan oleh notifikasi dari nomor tak dikenal.

Memang menyakitkan. Tapi tak ada salahnya mencoba menerima dan membuka lembaran baru. Hadapi saja semua kenyataan. Karena lebih baik terperangkap pada rasa sakit, daripada terperangkap pada bayang-bayang kemungkinan terburuk yang pada akhirnya tetap saja menyiksa hati. Kebenaran yang ditamparkan, jauh lebih baik dari pada menerka dalam kegelapan.

Mematung. Lisa benar-benar bergeming dibuatnya. Pesan misterius ini mengingatkan Lisa pada seseorang yang telah mengecewakannya.

Tangan Lisa mengepal kuat. Karena posisinya saat ini sempat digambarkan sang anonim: menerka dalam kegelapan. Sekeras apapun Lisa menolak, itulah kenyataannya. Ia ... terlalu takut menghadapi kenyataan. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan yang mungkin saja akan jauh lebih menghancurkan isi hati. Lisa memilih tak tahu, menutup mata, menutup telinga. Seolah itu adalah jalan keluar terbaiknya.

◾◾◾

Wah geelaa. Semalam sampe ga bisa tidur. Soalnya kemaren tuh pas update Battle Inside, dari total 18 bab yang udah dipublish mendadak cuma nyisa enam biji. Udah geger akutuh, mikirin yang dua pertinganya pada ilang ke mana, huhu😢

Tapi sekarang udah balik, yeay! Error sekilas aja, kayaknya.

See ya,
@dekadream

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro